Anatasya, atau yang lebih akrab dipanggil Ana, adalah seorang perempuan cantik berusia 28 tahun yang masih berstatus single.
Wajahnya yang manis dan senyumnya yang cerah membuat banyak orang terpesona, namun hatinya masih belum siap untuk menerima cinta dari orang lain.
Ana masih teringat akan sosok lelaki tampan yang pernah mengajaknya ta'arufan beberapa tahun yang lalu. Mereka telah memutuskan untuk menikah, namun nasib berkata lain.
Lelaki itu meninggal dunia sebelum mereka bisa melangsungkan pernikahan, meninggalkan Ana dengan hati yang hancur.
Setelah kejadian itu, Ana memutuskan untuk fokus pada dirinya sendiri dan tidak ingin terlibat dalam hubungan romantis lagi. Ia lebih memilih untuk hidup sendiri dan menikmati kesendirian, meskipun banyak orang yang berdatangan mempersuntingnya.
Ana selalu menolak mereka dengan alasan bahwa ia belum siap untuk menikah dan masih ingin hidup sendiri. Ia lebih memilih untuk menghabiskan waktunya dengan mengajar di sekolah desa dan melakukan kegiatan sosial lainnya.
Namun, di balik wajah tenangnya, hati Ana masih terus mengingat kenangan masa lalu. Ia masih teringat akan sosok lelaki tampan yang pernah mengisi hatinya dengan cinta dan harapan.
Ia masih teringat akan janji-janji yang mereka buat bersama, dan masih teringat akan kehilangan yang ia rasakan ketika lelaki itu meninggal. Ana tahu bahwa ia harus melanjutkan hidupnya, namun ia masih belum siap untuk melepaskan kenangan masa lalu.
Jalan desa yang biasanya ramai dengan aktivitas warga kini sepi, hanya menyisakan suara gemerisik daun yang diterpa angin. Ana melangkah sendirian di jalan setapak, memeluk tas putihnya erat-erat.
Tas itu berisi uang arisan milik para tetangga yang dititipkan padanya untuk diserahkan esok hari. Sebagai seorang guru sekaligus sosok yang dipercaya banyak orang di desa, Ana tahu tanggung jawabnya besar.
Namun, di balik wajah tenangnya, hatinya penuh kegelisahan. Hujan mulai membasahi tubuhnya, dan jalan menuju rumah terasa begitu panjang.
Ketika Ana melewati sebuah tikungan gelap, perasaannya semakin tak nyaman. Ia seperti merasa diawasi. Namun, ia mencoba mengabaikannya, meyakinkan diri bahwa itu hanya imajinasinya. Tapi langkah kaki lain terdengar dari belakang, semakin mendekat.
Sraaak!
Tiba-tiba, tasnya direnggut oleh seseorang yang melompat dari balik semak-semak. Ana tersentak, hampir jatuh ke tanah.
“Hei! Kembalikan tas saya!” teriaknya, suaranya bergema di tengah malam yang sunyi.
Lelaki berpakaian serba hitam itu berlari cepat ke arah jalanan gelap. Ana mengejarnya, meski langkahnya terseok-seok karena tanah yang licin.
“Tolong! Tolong!” suara Ana pecah oleh rasa takut dan panik.
Di saat yang bersamaan, langkah kaki lain terdengar dari arah sebaliknya. Edgar, seorang pemuda tampan yang dikenal sebagai ketua OSIS dan atlet taekwondo di sekolahnya, muncul dengan napas tersengal. Ia baru saja pulang dari rumah temannya setelah mengerjakan tugas kelompok.
“Bu Ana?” Edgar berhenti sejenak, terkejut melihat gurunya tampak panik.
“Itu! Dia mencuri tas saya!” Ana menunjuk ke arah lelaki yang hampir menghilang dari pandangan.
Edgar langsung bergerak. Tanpa bertanya lebih lanjut, ia berlari mengejar pencuri itu. Langkahnya cepat dan penuh keyakinan.
Di tengah pengejaran, Edgar mengambil sebuah batu kecil dari tanah. Dengan gerakan yang terlatih, ia melempar batu itu ke arah pencuri.
Bruak!
Batu itu menghantam punggung pencuri, membuatnya terjatuh ke tanah.
Edgar segera mendekat, menahan lelaki itu dengan cekatan. “Berani-beraninya mencuri tas guru saya!” bentaknya, suaranya penuh kemarahan.
Pencuri itu merintih kesakitan, memegangi punggungnya yang terluka. “Ampun Bang! Saya cuma butuh uang!” ucapnya dengan suara memelas.
Ana yang baru tiba melihat Edgar hendak melayangkan pukulan ke wajah lelaki itu. Namun, Ana buru-buru menahan tangannya. “Jangan Ed! Sudah cukup,” ucapnya dengan suara gemetar.
“Tapi bu! Dia mencuri tas anda!” Edgar menoleh, matanya penuh emosi.
“Dia sudah mendapat pelajaran. Biarkan dia pergi,” ucap Ana, meski rasa takut masih menyelimuti dirinya.
Dengan enggan, Edgar melepaskan lelaki itu. Pencuri itu segera bangkit dan melarikan diri dengan langkah terseok-seok, meninggalkan mereka di bawah guyuran hujan.
“Ini tas anda bu.” Edgar menyerahkan tas putih itu kepada Ana.
Ana membuka tasnya dengan tangan gemetar. Uang arisan masih utuh. Ia menghela napas lega, lalu menatap Edgar dengan penuh rasa syukur.
“Terima kasih Ed. Kalau bukan karena kamu, saya nggak tau apa yang akan terjadi,” ucapnya dengan suara serak.
“Iya bu sama-sama,” jawab Edgar sambil tersenyum tipis.
Hujan semakin deras, membuat tubuh mereka berdua basah kuyup. Edgar melihat sebuah pondok kayu di pinggir jalan. “Bu, kita berteduh dulu di sana. Kalau terus begini, kita bisa sakit.”
Ana mengangguk, terlalu lelah untuk menolak. Mereka berjalan menuju pondok itu, mencoba menghindari hujan yang semakin menggila.
Di dalam pondok, hanya suara hujan deras yang menemani mereka. Ana duduk di salah satu sudut, merapatkan cardigan basahnya.
Sedangkan Edgar berdiri di dekat pintu, memperhatikan hujan yang tak kunjung reda.
“Bu,” Edgar akhirnya membuka suara, memecah keheningan. “Kenapa anda selalu sendirian? Kenapa anda nggak menerima lamaran dari lelaki-lelaki di desa ini?”
Ana terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia menatap Edgar dengan bingung, tidak tahu harus menjawab apa. “Ya saya punya alasan sendiri,” jawabnya pelan.
Edgar menoleh, menatap Ana dengan penuh rasa ingin tahu. “Apa itu karena seseorang yang pernah melamar anda?”
Ana terdiam. Kata-kata Edgar seperti menembus pertahanannya. Ia merasa tidak nyaman dengan pertanyaan itu, dan ia ingin menghentikan percakapan itu secepatnya.
“Cukup Ed,” ucap Ana tegas. “Saya nggak mau membahas tentang hal itu. Kamu nggak perlu tau tentang kehidupan pribadi saya.”
Edgar terkejut dengan nada Ana yang tegas. Ia tidak terbiasa dengan Ana yang seperti itu. “Maaf bu,” ucap Edgar. “Saya nggak bermaksud mengusik anda.”
Ana menghela napas, “Saya tau Ed. Tapi saya nggak mau membahas tentang hal itu. Kamu hanya perlu tau bahwa saya nggak akan pernah melupakan seseorang yang pernah saya sukai.”
Edgar mengangguk, “Maaf kalau saya lancang bu. Tapi, anda layak untuk bahagia. Anda nggak perlu terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu.”
Ana tersentak mendengar kata-kata Edgar. Hatinya bergemuruh, tapi ia tidak tahu harus berkata apa. Ia merasa bahwa Edgar sedang mencoba untuk memahaminya, tapi ia tidak tahu harus bagaimana.
Malam itu tak hanya hujan yang membasahi tubuhnya, tetapi juga percikan harapan baru yang perlahan menghangatkan hatinya.
Ana merasa bahwa ia sedang dihadapkan pada sebuah pilihan, antara terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu atau mencoba untuk melangkah ke depan dengan harapan baru yang terbaik untuknya.
Hujan semakin deras, membuat suara gemerisik daun dan ranting menjadi semakin keras. Udara dingin malam itu seolah menusuk hingga ke tulang, membuat Ana menggosok kedua tangannya yang basah kuyup untuk menghangatkan tubuhnya.
Dress sederhana yang ia kenakan sudah menempel di tubuhnya karena air hujan, membuatnya merasa tidak nyaman.
Petir menyambar keras, membuat Ana menggigil ketakutan. Ia melirik Edgar yang tampak duduk bersandar di salah satu tiang pondok kayu, mencoba mengeringkan rambutnya dengan tangannya sendiri.
Suasana di sekitar mereka menjadi semakin mencekam, dengan hujan yang semakin deras dan petir yang menyambar keras. Ana merasa seperti berada di dalam sebuah film horor, dengan udara yang dingin dan gelap.
Ia mencoba untuk menguatkan dirinya, tetapi tidak bisa tidak merasa takut. Edgar, di sisi lain, tampak tenang dan tidak terganggu oleh hujan dan petir. Ia terus duduk bersandar di tiang pondok kayu, dengan mata yang terpejam dan wajah yang tenang.
Ana merasa sedikit iri dengan ketenangan Edgar, dan ia tidak bisa tidak bertanya-tanya apa yang membuatnya bisa tetap tenang dalam situasi seperti ini.
“Jangan khawatir bu. Hujan ini pasti segera reda kok,” ucap Edgar, mencoba menenangkan.
Namun, pikiran Ana sedang kacau. Ia hanya mengangguk kecil sambil menatap ke arah kakinya yang basah. Seketika, ia merasa sesuatu yang aneh bergerak di kakinya. Dengan gugup, Ana mengangkat sedikit dress-nya.
“Aaaa!” Ana berteriak keras, langsung melompat mundur.
Edgar terkejut. “Ada apa bu?”
Ana seketika saja memeluk Edgar tanpa berpikir panjang, tubuhnya bergetar hebat. “Ada cacing Ed! Di kaki saya! Tolong buang! Tolong Ed!”
Edgar tersentak, namun tak bisa menahan tawa kecilnya. “Hanya cacing bu?”
“Ed, aku geli! Cepat buang! Jangan ketawa! Saya seriusan!” Ana semakin mengeratkan pelukannya, membuat Edgar kehilangan keseimbangan hingga keduanya jatuh bersama ke lantai pondok yang dingin.
“Tenang bu. Saya akan buang,” ucap Edgar, mencoba bergerak meski Ana masih memeluknya erat. Dengan cepat, ia meraih cacing itu dan melemparkannya keluar pondok.
“Sudah bu. Aman sekarang,” ucap Edgar sambil membantu Ana bangkit.
Namun, Ana belum sempat membalas. Dari luar, terdengar suara langkah kaki mendekat diiringi gumaman beberapa orang.
“Siapa di sana?” suara seorang lelaki paruh baya terdengar tegas.
Ana dan Edgar menoleh bersamaan. Lima lelaki dewasa masuk ke dalam pondok. Mereka adalah warga desa yang juga mencari tempat berteduh dari hujan. Namun, saat melihat Ana dan Edgar berdekatan, tatapan mereka berubah curiga.
“Kalian berdua. Apa yang kalian lakukan di sini?” tanya salah satu lelaki dengan nada tajam.
“Kami hanya berteduh,” jawab Ana cepat sambil berdiri, wajahnya memerah.
“Berteduh? Tapi kenapa kalian basah kuyup dengan posisi kayak lagi bermesraan? Apa kalian sedang melakukan—”
“Bukan begitu pak! Tadi saya dan Edgar—”
“Sudah bu Ana. Jangan cari alasan. Lebih baik kalian ikut kami ke rumah pak RT sebelum masalah ini jadi lebih besar,” ucap lelaki lain dengan nada penuh keputusan.
“Tapi ini salah paham pak! Kami benar-benar tidak melakukan hal apapun.” Ana bersikeras, namun tidak ada yang mendengarkannya.
Edgar berdiri, menatap para lelaki itu dengan tegas. “Kami nggak melakukan apa-apa pak. Kalian nggak bisa menuduh tanpa bukti.”
Namun, ucapannya hanya membuat situasi semakin panas. Salah satu lelaki menarik tangan Edgar. “Kamu diam aja Nak. Kamu masih terlalu muda untuk melawan. Kita semua juga melihat kok apa yang barusan kalian lakukan. Mungkin jika kami nggak kesini, bisa jadi kalian berdua sudah melakukan zina besar.”
“Kami benar-benar nggak melakukan apa-apa pak,” ucap Ana masih ingin membela diri.
“Jelaskan aja di rumah pak Harto, bu Ana. Jangan biarkan nama baik kalian berdua semakin jelek nantinya. Lebih baik ikut kami sekarang,” ucap lelaki lainnya.
Dengan enggan, Ana dan Edgar akhirnya mengikuti paksaan para lelaki yang menuduh mereka dengan mudah ke rumah RT setempat.
Di sana suasana semakin mencekam. Orang tua Ana dan Edgar telah dipanggil untuk menghadiri pertemuan darurat itu. Wajah mereka tampak cemas.
Harto, sang RT, duduk di kursi utama. Ia mengetuk meja dengan jari-jarinya, mencoba menenangkan keributan kecil yang mulai muncul di antara para warga.
“Baik, kita langsung ke inti masalah,” ucap Harto dengan nada tegas. “Kalian berdua, jelaskan apa yang sebenarnya terjadi.”
Ana mengambil napas dalam, berusaha menjelaskan dengan tenang. “Kami hanya berteduh dari hujan di pondok itu pak. Nggak ada hal lain yang terjadi. Saya bisa bersumpah. Saat itu kaki saya ada cacing tanah, saya benar-benar terkejut dan sontak aja reflek meminta bantuan Edgar. Tapi kami malahan terjatuh bersama karena licin pak.”
Namun, beberapa warga tidak percaya. Salah seorang lelaki menyela, “Jujur ya bu Ana, pakek logika aja, Masa sudah besar kayak begini takut dengan cacing tanah. Terus sampai terjatuh dengan posisi kalian aja sudah terlalu intim untuk sebuah ketidaksengajaan. Fikir dong, alasan kayak begitu di jadikan pembelaan.”
Edgar menatap lelaki itu tajam. “Saya nggak akan membiarkan siapa pun menghina guru saya. Jika bapak-bapak sekalian nggak percaya, tanyakan apa pun, tapi jangan membuat asumsi sendiri. Nyatanya memang benar kok pak, apa yang di katakan bu Ana.”
Namun, perdebatan itu tidak mereda. Salah seorang tetua desa berdiri. “Sudahlah pak Harto, lebih baik kita nikahkan mereka aja. Ini untuk menjaga nama baik keluarga Ana dan Edgar. Jika mereka nggak di nikahkan malam ini juga, saya sebagai warga di sini nggak sudi dan nggak mau mereka berdua menginjak kampung ini.”
Ana terkejut. “Apa?! Nggak! Itu nggak bisa pak. Kami benar-benar nggak melakukan hal itu.”
Ayah Ana, Mawan, mencoba menenangkan putrinya. “Ana, dengarkan dulu. Ini untuk menyelamatkan nama baik keluarga kita.”
“Tapi Pa! Aku ini guru Edgar. Dia masih muda, masa depannya masih panjang. Dia bahkan mendapat beasiswa untuk kuliah di luar negeri!” Ana memohon, air matanya mulai mengalir.
Namun, warga desa bersikeras. Mereka tidak ingin memperpanjang masalah. Ibu Edgar, Ita, menatap Ana dengan ekspresi pasrah. “Nak, ini mungkin bukan yang kamu inginkan. Tapi demi menjaga nama baik kita semua, mau nggak mau kalian harus menikah. Apa kamu nggak bisa memandang kami juga? Lagian masa depan Edgar masih bisa kita diskusikan.”
Ana hanya diam, wajahnya menunjukkan konflik batin yang mendalam. Namun akhirnya, ia mengangguk pelan. “Baiklah, kalau ini yang terbaik,” ucapnya lirih.
Prosesi sederhana pun dimulai. Dengan hanya berbekal uang sepuluh ribu rupiah sebagai mas kawin, Edgar mengucapkan ijab kabul di hadapan penghulu dan saksi.
Ana tidak bisa menahan tangisnya. Ia merasa hidupnya berubah dalam sekejap. Ia menoleh ke arah Edgar yang kini resmi menjadi suaminya, merasa bersalah telah menyeret pemuda itu ke dalam situasi ini.
Di dalam hatinya, Ana bertanya-tanya. Apakah ini benar-benar takdir, ataukah sebuah keputusan yang terburu-buru?
Hujan di luar masih turun deras, seperti sebuah badai yang tidak berhenti. Suara gemuruh petir menyatu dengan derasnya air hujan di atap rumah, menciptakan suasana yang semakin mencekam dan menakutkan. Ana berdiri mematung di kamar.
Suasana di kamar semakin tegang, dengan hujan dan petir yang semakin keras. Ana mencoba untuk mengalihkan suasana dengan berbicara, tetapi nada suaranya tidak bisa tidak terdengar tegas.
“Ed, kamu mandi duluan sana. Nanti bajumu biar ibu bereskan,” ucap Ana, mencoba mengalihkan suasana. Edgar menoleh sambil tersenyum kecil, namun matannya tidak bisa tidak terlihat tajam.
“Bu, anda yang harusnya mandi duluan. Baju anda sudah basah, dan itu bisa buat masuk angin. Saya sudah biasa kayak begini,” jawab Edgar dengan suara yang tenang, namun dengan nada yang sedikit menantang.
Ana menghela napas panjang, merasa kesal dengan sikap keras kepala muridnya itu. “Kamu itu anak muda Edgar. Kalau sakit, nanti gimana sekolahmu? Kamu sebentar lagi mau ujian, kamu harus tetap sehat,” Ana mencoba untuk menyadarkan Edgar, namun nada suaranya tidak bisa tidak terdengar kasar.
Edgar tertawa kecil, menatap Ana dengan mata jenakanya yang tajam. “Kalau begitu, gimana kalau kita mandi bareng? Jadi adil bu,” ucapnya dengan suara santai, nadanya sedikit menggoda.
Ana yang sedang membenahi pakaian di lemari langsung berhenti dan memutar badan, wajahnya memerah dengan marah. “Apa? Edgar! Apa kamu sadar apa yang barusan kamu katakan?” suaranya naik satu oktaf dengan emosi yang mulai memuncak.
Edgar hanya mengangkat bahu santai, ia bertingkah sesantai mungkin di hadapan Ana yang terlihat tidak menyukainya secara terang-terangan. “Kita ini suami-istri bu. Bukannya itu hal yang wajar?”
Ana menggebrak meja kecil di dekatnya, emosi mulai memuncak. “Wajar apanya? Kamu itu murid saya, Edgar! Suami istri apa? Jangan lupa, pernikahan ini hanya karena tekanan warga. Ini nggak nyata!” Ana mencoba untuk menyadarkan Edgar, nada suaranya tidak bisa tidak terdengar kasar.
Edgar tidak bergeming, matanya terus menatap Ana. “Tapi kenyataannya kita memang sudah menikah bu. Mau nggak mau, ini adalah takdir kita,”
Suasana di kamar semakin tegang, dengan hujan dan petir yang semakin keras. Ana dan Edgar terus berdiri di sana, dengan emosi yang mulai memuncak, dan dengan suasana yang semakin mencekam.
Ana menggeleng kuat, suaranya bergetar dengan emosi semakin memuncak. “Takdir apa? Takdir itu masih bisa diubah Edgar. Besok kita temui orang tua kita dan kita akan bercerai! Itu solusi terbaik sebelum ini semua menghancurkan masa depan kamu.”
Mendengar itu, Edgar mendekati Ana perlahan, dengan langkah kaki yang membuat Ana mundur secara refleks. Suasana di kamar semakin tegang, dengan hujan dan petir yang semakin keras di luar.
Ana mencoba menghindari tatapan Edgar, namun tak bisa. Mata Edgar berubah menjadi tajam, membuat Ana merasa seperti sedang diintai.
“Kenapa ibu selalu berpikir saya nggak cukup baik? Apa saya terlalu kecil di mata ibu?” tanya Edgar, suara yang bergetar dengan emosi.
Ana tertegun, tidak bisa menjawab pertanyaan Edgar. Ia mencoba menghindari tatapan Edgar, namun tak bisa.
“Kamu masih anak-anak Ed. Kamu harus fokus pada masa depanmu. Saya ini hanya penghalang,” ucap Ana, suaranya penuh dengan getaran.
Namun, Edgar semakin mendekat, membuat Ana menyandarkan punggungnya ke dinding.
Ana mulai panik, dengan hati yang berdegup kencang. “Ed, kamu jangan macam-macam. Jangan lupa posisi kita! Kamu belum lulus sekolah, belum siap menghadapi dunia ini!” teriak Ana, suaranya semakin meninggi.
Edgar menghela napas panjang, namun tetap mendekat. Ia menatap Ana dalam-dalam, dengan mata yang terus menatap Ana tajam.
“Saya sudah siap bu. Saya sudah menjadi suami anda. Apa itu nggak cukup untuk membuktikan kedewasaan saya?” tanya Edgar dengan suara yang bergetar penuh dengan emosi.
Ana merasa seperti sedang dihadapkan pada sebuah pilihan yang sulit, dengan hati yang berdegup kencang.
“Kamu belum paham Edgar! Pernikahan ini akan menghancurkan masa depanmu. Bagaimana dengan beasiswa yang sudah kamu dapatkan? Bagaimana dengan cita-cita kamu?” Ana mencoba membujuk dengan suara lebih lembut walaupun emosinya masih memuncak.
Namun, Edgar hanya tersenyum, dengan matanya yang tak teralihkan. “Masa depan saya sekarang adalah masa depan kita berdua bu. Saya akan tetap mengejar cita-cita saya, tapi dengan anda di sisi saya. Saya nggak akan meninggalkan tanggung jawab saya sebagai seorang suami,” ucap Edgar dengan suaranya meyakini.
Ana terdiam, kata-kata Edgar terlalu matang untuk seseorang seusianya, namun ia tahu, ini bukan kehidupan yang diharapkan.
“Ed, kamu nggak ngerti. Dunia ini nggak seindah itu. Orang-orang akan menghakimi kita, menghancurkan segalanya. Kamu pikir dunia itu ibarat permainan yang bisa kita olah dengan muda. Jika itu yang kamu pikirkan, itu salah besar Ed,” ucap Ana yang terus menyadarkan Edgar.
Edgar tidak bergeming, matanya terus menatap Ana dengan tajam. “Biarkan mereka berbicara bu. Yang penting saya tau apa yang saya perjuangkan,” ucap Edgar dengan penuh keyakinan.
Ana menutup matanya, berusaha meredakan gejolak di dalam hatinya. Ia merasa seperti sedang dihadapkan pada sebuah tebing yang curam, dengan tidak ada jalan keluar.
“Baiklah Ed. Kalau kamu benar-benar serius menjalani ini, maka kamu harus membuktikannya. Kita jalani ini perlahan. Tapi ingat, kamu harus tetap sekolah dan fokus pada masa depanmu,” ucap Ana dengan suara yang meredah tetapi emosi masih menyulut kalbunya.
Edgar mengangguk mantap, lalu berjalan ke arah kamar mandi. Sebelum masuk, ia menoleh sekali lagi dan berkata dengan nada jahil, “Tapi kalau ibu berubah pikiran soal mandi bareng, kabari saya ya.”
Ana hampir melemparkan bantal ke arah Edgar, namun Edgar sudah tertawa sambil menutup pintu kamar mandi. Suara tertawa Edgar seperti sebuah pisau yang menusuk hati Ana, membuatnya merasa sakit dan terluka.
Ana duduk di tepi ranjang, memegang kepalanya. Hatinya terasa berat, bukan hanya karena situasi yang tidak diinginkannya, tetapi juga karena dirinya mulai merasa goyah.
Wajah Edgar, senyumnya, bahkan keyakinannya, semua perlahan merayap masuk ke dalam pikirannya. Ana merasa seperti sedang dihadapkan pada banyaknya pilihan yang sulit, dengan hati yang berdegup kencang.
“Ya Allah, apa yang sebenarnya kau rencanakan untukku?” gumam Ana pelan sambil menatap ke luar jendela, di mana hujan masih turun tanpa henti.
Suasana di luar seperti sebuah refleksi dari hati Ana, yang terus terombang-ambing dalam badai emosi. Ana merasa seperti sedang berjalan di dalam labirin yang tidak ada jalan keluar sama sekali. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya saat ini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!