NovelToon NovelToon

HUSAN DI TANAH CRATERA

Pelarian

Desing vosta membelah sabana dengan kecepatan yang sangat tinggi. Kendaraan berbentuk kapsul tersebut terbang rendah di atas hamparan rumput, menimbulkan jejak dari rumput yang dipaksa rebah oleh tekanan dari gesekan udara dengan vosta itu sendiri. Membawa pengendara vosta itu melesat menuju tujuan yang pasti: keluar dari Cratera.

Vosta tersebut bukanlah kendaraan yang besar, hanya muat untuk empat hingga enam orang saja. Sehingga hanya memiliki tinggi setinggi orang dewasa dan panjang empat kali tinggi orang dewasa. Warnanya yang didominasi warna biru elektrik dengan pendar kekuningan di bagian depan, menunjukkan bahwa pemilik vosta tersebut adalah bagian dari kerajaan Cratera.

Di dalam kendaraan tersebut, terdapat empat orang penumpang dan tidak ada yang tampak menikmati perjalanan tersebut. Dua orang dewasa—pria dan wanita, dan seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun mengatupkan rapat bibir mereka dengan rahang yang mengeras dan tengkuk yang kaku memaksa kepala mereka memandang lurus ke depan. Sementara seorang anak perempuan berusia tiga tahun menangis kencang dalam gendongan wanita penumpang vosta tersebut.

“Kaisha, Nak, bersabar ya. Tidak lama lagi kita akan aman,” bujuk Olesha, wanita penumpang tersebut. Ia mencium kepala anak bernama Kaisha tersebut berkali-kali, berharap dapat menenangkannya dengan cepat.

Suami Olesha dan ayah dari Kaisha, Sarvar, mengemudikan vosta dengan menyapukan telapak tangannya di atas sebuah panel di depan tempatnya duduk. Di sebelahnya, Husan duduk sambil sesekali melirik ayahnya. Air matanya mulai mengering, namun ia belum mengatakan apa-apa sejak mereka menumpangi vosta tersebut.

Olesha yang duduk di belakang Sarvar dan Husan, menyadari kegundahan putranya. Dengan lembut ia mengusap punggung Husan, membuat putranya menoleh.

“Ayah-mu akan membawa kita ke dunia permukaan tepat waktu. Kita akan selamat,” hibur Olesha. Ia mencium lembut ubun-ubun Husan demi menguatkan kata-katanya bahwa mereka akan baik-baik saja.

Namun Husan rupanya tak terhibur dengan kata-kata ibunya. Air matanya malah mengalir lagi mengikuti isak tangis yang sejak tadi ia tahan.

“Ibu, ini salahku. Kalau saja aku tidak mendekati Gul, kita tidak akan dikejar Paman Turan seperti ini,” kata Husan penuh sesal.

Dengan sebelah tangan, Sarvar menyentuh kepala Husan dan berkata, “Ayah dan Ibu sebagai orangtuamu juga salah. Kami gagal menjagamu dengan baik. Jangan bersedih. Tabahlah.”

Husan masih menangis. Hanya, kali ini dia terlihat lebih tenang. Ia mendongak, mengarahkan pandangan ke langit Cratera. Barangkali berdoa dalam hati, semoga keluarga mereka dapat meloloskan diri dari kejaran pasukan kerajaan.

Langit Cratera sendiri tidak memiliki matahari. Namun, bukan berarti Cratera gelap gulita. Sebab, hamparan di angkasa tersebut memiliki ribuan mayda gul yang menyinari Cratera sepanjang waktu.

Mayda gul merupakan kumpulan titik-titik cahaya yang jika dilihat dari bawah, tampak seperti bunga. Di mana sebuah titik cahaya yang lebih besar—sebagai pusat sebuah mayda gul, dikelilingi oleh delapan titik cahaya yang lebih kecil dengan warna-warni yang berbeda.

Masing-masing mayda gul memiliki pusat dengan warna yang berbeda. Sehingga langit Cratera tak ubahnya pelangi di dunia permukaan, namun dengan bentuk layaknya hamparan permadani.

Sama halnya dengan di langit, cahaya yang sampai di permukaan tanah Cratera pun berwarna-warni. Sebagian cahaya warna-warni itu menyatu dan menghasilkan cahaya putih yang jernih. Namun sebagian lagi tetap menjejak di permukaan sesuai warna cahaya yang dipancarkan oleh sumbernya, mayda gul. Apa yang terhampar di permukaan tanah, sama indahnya dengan hamparan di langit.

Setelah beberapa lama, vosta yang ditumpangi keluarga kecil tersebut tiba di wilayah stepa Cratera. Itu artinya, tak lama lagi mereka akan tiba di perbatasan Cratera dengan jalan menuju dunia permukaan.

Olesha membuka sebuah kompartemen dan mengeluarkan dua pasang sarung tangan dan sepatu berpendar biru. Ia memakaikan sarung tangan dan sepatu khusus tersebut pada anak-anaknya sebagai persiapan untuk melalui jalan menuju dunia permukaan, karena hampir tidak mungkin menggunakan vosta untuk melaluinya. Sarung tangan dan sepatu tersebut dari qaz—material khusus yang mengandung energi dari Gul*\,* yang akan sangat berguna untuk

melalui medan berat di jalan menuju dunia permukaan.

Namun saat hendak mengambil sarung tangan dan sepatu di kompartemen yang berbeda untuk dirinya dan suaminya, Olesha tertegun. Hanya ada sepasang di sana. Padahal sebelumnya Sarvar sudah mengatakan bahwa ada cukup sarung tangan dan sepatu untuk keluarga kecil mereka.

“Aku memberikannya pada Shavkat dan menitipkan kalian padanya. Mulai sekarang, aku percayakan anak-anak

sepenuhnya padamu,” kata Sarvar saat menyadari kebingungan istrinya. Ia menoleh sesaat untuk memberikan senyuman, lalu kembali menatap ke depan.

Olesha tercekat. Sejak awal pelarian mereka, ia berusaha tegar dengan tidak menitikkan air mata setetes pun. Namun kali ini ia tak kuat lagi.

“Sayang, mengapa…? Kita seharusnya selalu bersama,” tanya Olesha. Ia menempelkan wajahnya di punggung

Sarvar sambil terisak lirih.

“Harus ada yang membeli waktu untukmu dan anak-anak. Ada dua orang yang dikejar oleh Turan di sini. Paling tidak, kita bisa menyelamatkan salah satunya,” jawab Sarvar tanpa menoleh.

Tangis Olesha tetap terdengar di balik punggung suaminya. Sedangkan Husan menatap kedua orang tuanya dengan kebingungan, tak memahami mengapa ibunya tiba-tiba menangis. Namun berbeda dengan abangnya, Kaisha sepertinya sedikit memahami kegundahan hati ibunya. Gadis kecil itu berhenti menangis saat melihat ibunya terisak.

Di luar sana, Shavkat melambaikan tangan saat melihat vosta yang dikemudikan oleh Sarvar dari kejauhan. Olesha dapat melihat bahwa adik kandungnya tersebut mengenakan sarung tangan dan sepatu yang serupa dengan yang

ia kenakan. Sarung tangan dan sepatu yang sedianya untuk Sarvar, ayah dari kedua orang anaknya.

Sarvar segera menyuruh keluarganya turun dari vosta. Sudah tak ada waktu lagi. Pasukan Turan bisa tiba kapan saja untuk menangkap mereka sekeluarga.

Setelah Husan turun dan Kaisha diambil alih oleh pamannya, Olesha memanfaatkan waktu yang tersisa untuk memeluk Sarvar dan memberikan kecupan singkat di kening.

“Susul kami setelah selesai menghadapi mereka. Berjanjilah,” kata Olesha.

Sarvar hanya tersenyum tipis. Ia tidak bisa menjanjikan apa-apa. Saat melihat Husan yang menunggunya untuk turun, Sarvar berseru padanya.

“Jaga ibu dan adikmu! Patuhi ibu dan pamanmu!”

Setelah istrinya turun, Sarvar segera mengemudikan vosta berbalik arah. Tujuannya jelas untuk menghadapi para pengejar mereka. Menyadari kepergian Sarvar, Husan mengejar dan berteriak memanggil ayahnya.

“Ayah! Kenapa pergi?! Kembali!”

Namun Sarvar sudah sangat jauh sehingga tak mungkin terkejar hanya dengan berlari. Husan mengedarkan pandangan dan melihat vosta kecil berwarna kuning madu milik Shavkat yang terparkir. Ia segera melompat ke dalamnya.

“Husan!” sergah Olesha. Ia mengejar putranya, hendak menariknya keluar.

“Aku harus membawa Ayah kembali, Ibu!” balas Husan seraya mencoba menghidupkan vosta milik pamannya tersebut. Tentu saja ia gagal karena vosta tersebut bukan miliknya.

Olesha menarik lengan putranya, namun tepukan lembut dari Shavkat mencegahnya.

“Tidak apa-apa, Kak. Kami akan mengawasi dari kejauhan. Kami tak akan lama,” kata Shavkat.

“Tapi…”

Shavkat melompat masuk ke dalam vosta-nya. Di bawah tatapan kakak dan keponakan perempuannya, ia membawa Husan menyusul ayahnya.

“Paman, kenapa Ayah kembali ke sana? Kenapa Ayah tidak mau pergi bersama kita?” tanya Husan sambil mengusap wajahnya untuk mengeringkan sisa-sisa air matanya.

“Paman tidak tahu. Sabarlah. Kita akan mencari ayahmu, lalu kembali pada ibumu. Kita tidak boleh meninggalkan mereka berdua lama-lama,” jawab Shavkat. Pria yang hanya lebih tua lima belas tahun daripada Husan tersebut menghembuskan napas kasar. Seperti berharap agar dalam perjalanan mereka berdua, mereka tidak akan bertemu dengan hal-hal yang dapat menggagalkan pelarian mereka ke dunia permukaan.

Kematian Sarvar

Meskipun sama-sama terbuat dari qaz yang mengandung energi dari Gul, nyatanya vosta milik Shavkat tidak mampu menyusul vosta milik Sarvar secepat yang diinginkan oleh Husan. Ada perbedaan spesifikasi yang nyata antara vosta milik anggota keluarga kerajaan seperti Sarvar dengan vosta milik ‘rakyat jelata’ seperti Shavkat. Bahkan Husan sempat menyebut bahwa vosta milik pamannya sangat lamban seperti siput.

Setelah beberapa saat, vosta milik Shavkat akhirnya berhenti dalam jarak di mana mereka melihat bangkai vosta milik Sarvar hanya sebesar manusia. Itu jarak yang aman agar tak terlihat oleh pasukan Turan yang kini mengepung Sarvar. Apalagi, vosta milik Shavkat yang berukuran kecil bersembunyi di balik tanaman perdu.

Rupanya pertempuran sengit antara vosta milik Sarvar melawan lima vosta militer dan satu vosta yang setara dengan vosta milik Sarvar, baru saja usai. Meskipun vosta milik Sarvar memiliki persenjataan dan kekuatan yang sangat baik, namun dikeroyok oleh enam vosta sekaligus membuatnya menderita kekalahan telak.

Sarvar memang berhasil melumpuhkan empat vosta lawannya. Namun serangan dari vosta milik Turan melumpuhkan vosta miliknya. Sehingga di saat-saat terakhir, Sarvar terpaksa melompat keluar agar tak tewas oleh

medan listrik yang ditimbulkan oleh vosta-nya yang rusak berat.

Maka, Sarvar saat ini dikepung oleh Turan, abangnya sendiri, yang membawa tiga belas orang prajurit kerajaan. Kakak-beradik itu kelihatannya bertukar kata, namun tentu saja Shavkat dan Husan tak dapat mendengarnya.

“Paman, ayo mendekat! Kita bantu Ayah!” seru Husan. Satu tangannya menarik-narik lengan Shavkat sementara

tangan lainnya menunjuk ayahnya di kejauhan.

“Iya. Sebentar, Paman ambil qilich dulu,” jawab Shavkat, menyebut senjata khas Cratera. Ia meninggalkan panel kemudinya untuk membuka kompartemen di bagian belakang.

Dari kompartemen tersebut, Shavkat mengeluarkan sebuah kapsul berukuran setengah ruas jari dan berwarna merah. Itu bukanlah qilich seperti yang ia katakan pada Husan. Sementara Husan yang terus memandang ayahnya dari kejauhan, tak menyadari bahwa Shavkat memiliki maksud yang berbeda dengan ucapannya.

Qilich sendiri merupakan salah satu senjata canggih khas Cratera yang terbuat dari qaz yang mengandung energi dari Gul. Bentuknya seperti gabungan pedang pendek dengan pistol, dengan ukuran sepanjang lengan bawah orang dewasa. Pada beberapa bagian, terdapat pendar berwarna yang menghiasi sebuah qilich. Warna merah jika qilich tidak sedang digunakan dan biru pada saat qilich diaktifkan.

Pada pangkal qilich terdapat pelatuk untuk menembakkan cahaya dari ujungnya yang runcing. Cahaya yang dikeluarkan serupa dengan sinar laser putus-putus yang berbentuk menyerupai peluru. Sedangkan bagian tengah qilich tipis dan sangat tajam, hingga mampu membelah sehelai rambut menjadi dua. Karena senjata ini sangat berbahaya, layaknya vosta, qilich hanya dapat digunakan oleh pemiliknya.

Sementara itu, ketegangan antara Sarvar dan Turan memuncak hingga Sarvar mendorong abangnya. Turan yang tampaknya tak terima, mengarahkan qilich pada adiknya dan menembak hingga cahaya biru putus-putus menembus dada Sarvar.

Husan menjerit memanggil ayahnya saat melihat pamannya menembak. Sarvar sendiri rubuh mencium tanah

sesaat kemudian. Entah masih sadar, atau tak sadarkan diri. Atau, mungkin pula ia langsung kehilangan nyawanya.

Husan mengamuk dan kembali mencoba mengendalikan vosta agar dapat mendekat pada ayahnya yang nasibnya belum jelas itu. Tentu saja anak itu gagal melakukannya, sehingga ia memukul panel pengendali dengan frustrasi yang memuncak. Sekali pukul, panel tersebut ringsek seperti dihantam benda keras. Husan ternyata sangat kuat untuk ukuran anak kecil.

Shavkat tak membiarkan pukulan kedua merusak panel pengendali. Ia cepat-cepat menempelkan kapsul merahnya di tengkuk Husan. Begitu menyentuh kulit Husan, kapsul kecil itu mengeluarkan sepasang capit mini dan mencengkeram tengkuk Husan.

Sesaat kemudian, Husan terbelalak dan tersentak saat kapsul tersebut mulai bekerja. Tubuh anak itu mulai kejang-kejang, lalu tumbang. Beberapa saat kemudian, kejang-kejangnya berhenti. Husan akhirnya berhasil dilumpuhkan.

“Sudah tidak ada yang dapat kita lakukan. Sekarang, mari kita kembali pada ibu dan adikmu,” kata Shavkat lirih.

Tubuh Husan diangkat dari lantai, lalu didudukkan di sebelah Shavkat kemudian yang mulai mengemudikan vosta-nya.

Meskipun tak dapat bergerak sama sekali, Husan masih dapat melihat apa yang terjadi pada Sarvar. Tampak Turan sedang membalikkan tubuh adiknya yang bersimbah darah.

Hanya sampai di situ Husan menyaksikan apa yang terjadi pada ayahnya. Sebab\, Shavkat sudah memutar balik *vosta-*nya. Kemudian terbang rendah menjauh\, kembali ke tempat di mana mereka meninggalkan Olesha dan Kaisha.

“Ayahmu kembali untuk melawan Paman Turan-mu supaya kau, ibu dan adikmu bisa selamat dan tiba di dunia permukaan. Jadi, kau harus mengikuti apa yang ayahmu inginkan. Jangan membuatnya kecewa,” kata Shavkat pelan.

Husan yang tak bisa menjawab, lagi-lagi hanya bisa meneteskan air mata. Sorot matanya berbeda dengan sebelumnya, di mana sebelumnya ia tampak cemas dan ketakutan. Kali ini, tatapannya tajam menghunjam. Rahangnya yang tak bisa digerakkan pun tampak semakin kaku. Shavkat yang melihatnya jadi tercekat. Ia tahu, keponakannya kini dibakar dendam pada orang-orang yang telah menyakiti Sarvar.

Shavkat melepaskan kapsul di tengkuk Husan saat mereka telah bertemu kembali dengan Olesha dan Kaisha.

Tentu saja hal itu ia lakukan setelah ia berhasil membuat Husan berjanji untuk patuh pada ibunya. Dengan isyarat berupa kedipan mata yang berat, Husan menyetujui persyaratan tersebut.

Di sisi lain, hanya dengan melihat keadaan Husan yang memendam murka dan duka, Olesha segera mengetahui

bahwa suaminya tak akan kembali lagi. Namun wanita itu berusaha tegar. Tak ada waktu untuk berduka. Masih ada dua orang anak yang harus ia jaga keselamatannya.

Medan yang mereka lalui berikutnya adalah gua yang menanjak dan dipenuhi bebatuan. Gua tersebut sempit, hanya dapat dilalui dengan kepala menunduk bagi orang dewasa. Belum lagi kecuramannya yang luar biasa, sehingga mereka harus mengandalkan sarung tangan dan sepatu yang mereka kenakan untuk menambah daya cengkeram pada tangan dan kaki yang menyentuh dinding dan lantai gua.

Bermodalkan cahaya dari lampu berenergi Gul yang diletakkan di dada Olesha dan Shavkat, mereka menyusuri gua tersebut dengan pergerakan yang sangat lambat. Belum seperenambelas perjalanan, Kaisha yang masih sangat kecil sudah kelelahan sehingga harus digendong oleh Shavkat. Olesha sendiri terus-terusan mengawasi Husan, khawatir kalau-kalau putranya itu kelelahan seperti adiknya.

Namun Husan yang masih dibakar dendam, seperti mempunyai energi berlebih untuk melanjutkan perjalanan. Ia berhasil menyelesaikan perjalanan menyusuri gua tersebut meski beberapa kali harus beristirahat sejenak. Lengan dan tungkainya lecet dan tergores di sana-sini.

Namun, lelah dan sakit yang Husan rasakan segera menguap manakala di ujung gua, ia melihat cahaya putih dan asing yang menyeruak masuk.

“Ibu, apa kita hampir sampai di dunia permukaan?” tanya Husan yang semangatnya tiba-tiba berkobar lagi setelah kelelahan menempuh medan yang sulit.

“Iya, Nak. Kita hampir sampai,” jawab Olesha lemah.

Husan bersorak, lalu mempercepat langkahnya. Ia mendahului ibunya, tak menghiraukan panggilan wanita itu agar menunggu pamannya dan Kaisha. Ia tidak sabar lagi untuk melihat dunia permukaan yang selama ini baginya hanya dongeng yang diceritakan oleh orang-orang dewasa.

Husan akhirnya tiba di ujung gua dan menemukan pemandangan yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Ia takjub

melihat kolam—ah, bukan, kumpulan air dengan volume yang sangat besar. Air itu berwarna kebiruan dan anehnya, bergerak terus-menerus mendekati tempat di mana Husan berpijak. Ada buih-buih yang timbul akibat pergerakan air tersebut, namun segera hilang tak berbekas.

Husan juga merasakan udara yang bergerak menerpa tubuhnya. Seperti membelai dan memanjakannya, hingga

Husan nyaris mengantuk karena terlena. Di Cratera, tidak ada udara yang bergerak seperti ini. Ini luar biasa!

Lalu, Husan mendongak. Kembali dibuat tercengang saat melihat langit yang berwarna biru dengan dihiasi sesuatu yang mirip asap putih yang entah apa namanya. Husan akan menanyakannya pada ibunya.

Di langit yang sama, Husan juga melihat sebuah benda bulat menyilaukan. Apakah itu matahari seperti yang

ia dengar dari cerita para gurunya di Cratera? Cahayanya sepertinya berwarna putih, namun mengapa langit dunia permukaan ini memiliki warna yang sama dengan warna air yang terus bergerak dan berbuih itu?

Husan melangkah mendekati kumpulan air yang bergerak dan menyadari bahwa ia sedang menginjak permukaan

yang lunak. Rupanya ia menginjak pasir berwarna putih yang sangat lembut. Saat Husan berusaha menggenggamnya, pasir itu malah mengalir keluar dari sela-sela jarinya. Lagi-lagi, ia menemukan hal menakjubkan seperti langit berwarna biru dan air yang terus bergerak.

Beberapa saat kemudian, Olesha dan Shavkat akhirnya dapat menyusul Husan. Anak itu rupanya sedang asyik

membasahi kaki kecilnya dengan air yang berbuih tersebut.

Melihat ibunya, Husan memeluknya dan bertanya dengan riang. Untuk sejenak, ia melupakan dukanya karena telah kehilangan ayah.

“Ibu, kita sedang berada di mana? Apa kita sudah sampai di dunia permukaan?”

Olesha mengusap kepala Husan dan menjawab, “kita berada di tempat yang disebut sebagai pantai. Iya Nak, kita telah tiba di dunia permukaan.”

Pria Tak Dikenal

Sepuluh tahun setelah pelarian diri Husan sekeluarga.

“Hasan, aku masih ingin latihan dengan kamu,” rengek Hanif cemberut. Ia melipat kedua tangannya di dada tanda merajuk. Pura-pura memaksa Husan—yang selama sepuluh tahun ini ia kenal dengan nama Hasan, agar menuruti keinginannya.

 “Kalau kamu itu cewek dengan bibir tipis, hidung bangir, bulu mata lentik dan pipi halus, aku pasti akan luluh. Masalahnya, kamu itu punya jakun dan itu, jadi aku tidak akan terpengaruh oleh rengekanmu. Malas aku dibujuk makhluk yang tangannya berbulu,” tolak Husan tegas. Ia mendengus sebal melihat tingkah sahabatnya sejak kecil itu.

Hanif terkekeh sambil mengusap lengannya yang memang sudah ditumbuhi rambut yang cukup lebat. Sangat berbeda dengan Husan yang lengannya tampak bersih dari rambut.

Kedua remaja itu sedang duduk berhadapan di dalam sebuah freezer tua yang tidak digunakan lagi. Ada dua buah lubang di sudut-sudut freezer rusak itu, menjadi sumber cahaya dan udara bagi Hasan dan Hanif yang sedang bertukar kata.

Freezer tersebut menjadi tempat favorit Husan dan Hanif untuk bersembunyi dan bercerita sejak sepuluh tahun lalu, saat keduanya masih kecil. Meskipun pengap dan cukup gelap, Husan dan Hanif betah berlama-lama di sana. Mereka juga telah terbiasa dengan bau kurang sedap dari dalam freezer tersebut. Jika dalam film-film, kemah atau rumah pohon menjadi ‘tempat aman’ bagi anak-anak, maka bagi kedua remaja itu, freezer tua itu adalah tempat perlindungan mereka.

“Tapi dulu ‘kan kamu rajin melatihku. Malah, aku bisa juara setelah mulai latihan dengan kamu,” balas Hanif, tak menyerah untuk merayu sahabatnya.

“Iya, itu waktu kita masih SD dan SMP. Setelah kita masuk SMA, aku tidak berminat lagi melatihmu. Kecuali kalau Hanum yang meminta untuk dilatih, aku mau,” sergah Husan, menyebut nama siswi paling populer di SMA tempat dirinya dan Hanif bersekolah.

“Giliran cewek saja, cepat. Dasar genit! Kamu ini macam…” sungut Hanif.

“Macam apa?!” sergah Husan, memotong kalimat Hanif.

“Macam motor korslet. Gas terus!” jawab Hanif asal, seraya mendorong pintu freezer. Ia lalu melompat keluar sambil tertawa kencang.

Husan ikut melompat, lalu memburu Hanif yang sudah menjauh. Tak lama kemudian, mereka sudah bergumul di halaman belakang rumah Husan. Bergulat, lalu dilanjutkan dengan adu pukulan dan tendangan yang hanya mengenai angin, tidak mengenai bagian tubuh masing-masing lawan.

Seperti itulah cara Husan dan Hanif bercanda. Tawa mereka berderai, memancing perhatian Olesha dan Shavkat. Ibu dan paman Husan itu keluar dari pintu belakang dan tercengang. Shavkat hanya menggelengkan kepala sementara Olesha mendekati kedua orang remaja itu.

Melihat Olesha mendekat, Husan dan Hanif segera menghentikan aksinya sambil cengengesan.

Tanpa ampun, Olesha menjewer telinga anak laki-lakinya.

“Adududuh, ampun Bu!” ringis Husan dengan kepala miring ke kiri karena telinganya ditarik oleh ibunya yang bertubuh lebih pendek. Meski demikian, Husan masih sempat tersenyum, menunjukkan bahwa perbuatan Olesha itu bukan apa-apa baginya.

Olesha menggiring Husan masuk ke dalam rumah melalui pintu belakang. Di dapur yang terletak di bagian belakang rumah, Olesha melepaskan Husan. Tapi tangannya tak lantas berhenti menghukum. Ia mencubit pinggang putranya hingga lagi-lagi Husan meringis.

“Sudah berapa kali Ibu bilang? Jangan bermain gulat atau tendang-tendangan dengan Hanif. Bagaimana kalau kau tidak sengaja mengeluarkan kekuatanmu dan melukainya?” omel Olesha setelah melepaskan cubitannya.

“Ampun, Bu. Aku lupa,” balas Husan sambil mengusap-usap telinga dan pinggangnya.

“Jangan jadi kebiasaan. Ingat, kalau kau kelepasan, konsekuensi yang harus kita tanggung sangat besar, Nak.”

“Iya, Bu. Aku minta maaf.”

Olesha menarik napas berat. Ia sudah terlalu sering mendengar ucapan putranya itu. Begitu mudah diucapkan, tetapi dengan mudahnya pula Husan mengulangi perbuatannya.

Di halaman belakang, Hanif bergidik melihat kekerasan hati Olesha. Namun saat mengingat Husan yang malah

tersenyum meskipun sedang dihukum oleh ibunya, tak ayal Hanif malah terkekeh. Sahabatnya itu, meskipun dikenal pendiam di sekolah, ternyata bandel juga.

“Pulang, Hanif. Sudah sore,” sela Shavkat, memudarkan tawa Hanif. Remaja itu menoleh pada paman Husan

yang masih berada di dekatnya.

“Iya, Om Afka. Hanif pulang dulu,” balas Hanif patuh, menyebut nama yang digunakan oleh Shavkat selama sepuluh tahun terakhir ini.

Remaja tujuh belas tahun itu berbalik meninggalkan Shavkat di halaman belakang rumahnya. Sambil tersenyum, ia melompati tembok pagar yang menjadi pembatas antara rumah Husan dan rumahnya. Sebuah kebiasaan buruk yang sudah ia lakukan sejak sepuluh tahun lalu, saat ia baru mengenal Husan sekeluarga.

Namun, saat hendak turun ke halaman rumahnya sendiri, ekor mata Hanif menangkap pemandangan yang tidak

biasa. Di seberang jalan yang mulai sepi karena hari sudah sangat sore, Hanif melihat seorang pria yang tidak dikenalnya, sedang menatap rumah Husan.

Pria tersebut mengenakan kacamata hitam dengan jaket bomber yang menurut Hanif, sangat keren. Perawakan pria itu tegap dan kekar, bentuk tubuh impian Hanif yang membuatnya rutin berlatih berolahraga sejak berusia sepuluh tahun.

Saat menyadari bahwa Hanif memerhatikan dirinya, pria asing itu membuang muka. Kemudian melenggang

meninggalkan tempatnya berada.

Hanif mengerutkan kening melihat tindak-tanduk pria tak dikenal tersebut. Sesaat kemudian, ia mengangkat bahu. Kemudian bersiap untuk melompat ke halaman rumahnya sendiri.

Ternyata, di bawah sana, Yati sudah menunggu sambil melipat tangan di dada. Menatap tajam pada putranya yang

masih juga bertingkah seperti anak kecil.

Hanif terkesiap melihat ibunya. Kemudian kembali cengengesan hingga Yati memerintahnya agar segera turun. Seperti tetangganya, Yati lalu mengomeli anaknya sambil menjewer telinganya.

“Sudah berapa kali Ibu bilang, jangan memanjat-manjat. Ada pintu pagar, gunanya untuk dilalui. Jangan seperti pencuri. Lagipula itu bahaya. Pagar itu tingginya dua meter. Kalau tergelincir, bisa keseleo,” omel Yati sambil menggiring anaknya masuk ke dalam rumah.

Seperti Husan, Hanif meminta ampun pada ibunya. Namun Yati tetap menjewer hingga mereka menghilang

di balik pintu belakang.

Sementara itu, pria yang sebelumnya dipergoki oleh Hanif tengah mengamati rumah Husan, ternyata tidak benar-benar meninggalkan lokasi. Ia mengambil posisi yang sedikit lebih jauh agar tidak terpantau oleh penghuni rumah yang sedang diamatinya.

Pria itu mengamati gerak-gerik Shavkat yang sedang menutup pintu pagar rumah. Shavkat sendiri tampaknya tak menyadari bahwa dirinya sedang dipantau.

Sebelum Shavkat kembali ke dalam rumah, seorang gadis remaja yang lebih muda empat tahun dari Husan, muncul dari balik pintu. Mereka berbicara sebentar, lalu bersama-sama masuk ke dalam.

Pria tak dikenal tersebut menyunggingkan senyuman lalu bergumam, “empat orang. Aku harap ini tidak akan terlalu sulit.”

Pria itu kemudian melangkah lagi. Kali ini, ia benar-benar meninggalkan tempatnya mengamati Husan sekeluarga. Langkahnya tegap dengan senyuman yang terus tersungging di wajahnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!