🥀🥀🥀
Seorang wanita menanggalkan tali kecil sebuah dress merah polos yang menggantung di kedua pundaknya sambil menatap diri di cermin. Tubuhnya berdiri di depan cermin meja rias di sebuah kamar hotel bintang lima. Di belakangnya, seorang pria berbadan six-pack, yang hanya mengenakan celana hitam panjang, berdiri sambil memperlihatkan kemolekan tubuhnya dari belakang. Kemeja dan jas yang sebelumnya terpasang di badan pria itu sudah mendarat di atas sofa yang ada di sudut kamar.
Secara perlahan, tangan pria itu menarik resleting bagian belakang dress wanita itu, ikut membantu wanita tersebut menanggalkannya, sampai akhirnya tinggal lah sehelai tanktop dan celana pendek hingga paha berwarna hitam di badan putih mulus wanita itu.
"Untuk pertama kalinya?" tanya pria itu, berbicara pelan ke telinga kiri wanita itu dengan senyuman menggoda.
"I-iya. A-aku terpaksa melakukan ini. Tolong hargai aku," ucap wanita itu dengan suara gagap, takut.
"Menghargai wanita sepertimu? Wanita yang menjual kehormatannya sendiri tidak pantas untuk dihargai. Kalian hanya pantas diperlakukan seperti ini."
Pria itu menukar posisi berdiri mereka, lalu melangkah maju, menyebabkan wanita itu melangkah mundur sampai kaki bagian belakang wanita itu menyentuh ranjang.
Perlahan wanita itu menoleh ke belakang, menatap kasur yang empuk siap menampung dirinya dan pria itu bersama ekspresi tegang yang tergambar di wajahnya, sedangkan pria itu tersenyum seringai. Kemudian, pria itu mendorong wanita tersebut sampai terbaring di atas kasur. Wanita itu tampak kaget sampai napasnya berderus kencang.
Setelah itu, pria tersebut merogoh saku celana kirinya, mengambil dompet dan mengeluarkan sebuah kartu ATM yang berisikan uang senilai seratus juta di sana. Ia menaruh kartu itu di atas meja. Kemudian, tangan pria itu lanjut menarik ikat pinggangnya, melepaskannya, dan melemparkannya ke lantai secara sembarangan. Dengan ganasnya, pria itu memainkan bibir dan tangan setelah mengungkung tubuh wanita yang sudah dibelinya itu.
Wanita itu menoleh ke kanan bersama wajah sedih dan pasrah, ia menatap kartu ATM yang ada di atas meja. Rasa bersalah, rasa penuh dosa menghantui segenap jiwa dan raganya karena tahu tindakannya menghasilkan uang saat ini, salah. Namun, apalah daya? Kondisi membuatnya terpaksa banting setir menjadi wanita penghibur untuk membayar biaya operasi ibunya. Selain itu, ia juga harus membayar hutang senilai lima puluh juta kepada rentenir.
Tiara Natasia, wanita yang sudah duduk di bangku semester akhir perkuliahan itu berada di titik kelamnya, di jalan buntu, yang membuatnya tidak bisa berbuat banyak untuk menghasilkan uang, hingga ia memilih jalan yang penuh dosa.
Pria itu mengendus leher Tiara, menjelajahi setiap kulit putih mulus dan bersih wanita itu dengan bibir seksi yang dimilikinya. Tiara hanya bisa diam dengan tetesan air mata mengalir tanpa melakukan perlawanan, ia membiarkan pria itu menggerogoti tubuhnya sampai mengambil kehormatan yang selama ini diagungkannya.
Suara ringisan terdengar di telinga pria itu, membuat pria tersebut memberhentikan aksi bejatnya dan memandang wajah Tiara dengan mata menyelidik.
"Kinerjaku kurang bagus? Tidak. Seharusnya aku yang mengatakan itu. Ingat, aku sudah membeli tubuhmu. Jadi, bekerja keras untuk membuatku terbuai dalam layanan mu." Pria itu beralih menelentangkan badan di samping Tiara dengan mata mengarah ke loteng kamar.
Tubuh Tiara gemetar kuat dalam ketakutan, di bagian tangan terlihat sangat jelas. Ia duduk dan perlahan merangkak, mengungkung tubuh pria itu dalam keterpaksaan.
"Jangan membuatku muak! Jika kamu tidak sanggup, pergilah! Kalian sama, tidak bisa diharapkan." Pria itu membentaknya dalam kemarahan dan mendorong tubuh Tiara ke sisi kanan dengan kasar.
Kemudian, pria itu meraih ponsel yang ada di atas meja dengan posisi tubuh masih berbaring. Ia berniat menghubungi Emie, pemilik rumah bordil tempat Tiara bekerja.
"Tidak. Aku bisa," ucap Tiara sambil memegang tangan pria itu yang sudah menggenggam ponsel, ia tahu pria itu akan menghubungi Emie.
Tiara menarik napas panjang, lalu menyeka air matanya. Ia tidak ingin tindakan sejauh ini hanya berakhir sia-sia tanpa membuahkan hasil. Jadi, ia berusaha memberikan yang terbaik. Ia kembali mengungkung badan pria itu, lalu melepaskan topeng pria tersebut dan menjatuhkannya ke lantai. Kemudian, ia merendahkan wajahnya, mendekatkan wajah mereka dan menautkan bibirnya ke bibir seksi milik pria itu.
Bibir yang semula hanya saling mengecup, berakhir bermain ganas hingga suara yang khas terdengar. Tidak hanya permainan bibir, mereka juga bermain ke hal sensitif lain yang menjadi tujuan dalam jual-beli pelayanan wanita penghibur itu. Emosi dalam hubungan suami-istri yang mereka lakukan sama besarnya, memunculkan suara erangan yang hanya didengar oleh dinding kamar.
***
"Bonus." Pria itu melemparkan seikat uang senilai sepuluh juta ke atas kasur, tepat di samping Tiara yang masih berbaring menyamping membelakangi pria itu dalam kondisi lemah karena aksi mereka semalam.
Kemudian, pria itu berjalan menghampiri sofa, mengutip pakaiannya dan mengenakannya. Lalu, pria itu mengambil ponsel dan kartu nama yang ada di atas meja, di samping ranjang. Dante Eldantara, itulah nama yang tertulis di kartu nama tersebut, nama pria itu.
Sebelum meninggalkan kamar yang berantakan, Dante menyisir rambut dengan gaya belah dua yang bisa menghipnotis para kaum hawa yang mengibaratkan mereka bak Oppa Korea.
"Besok malam kamu harus standby di sini. Malam ini, kamu bisa bermain dengan pria manapun, jika kamu masih sanggup," ucap Dante sambil merapikan dasinya dan tersenyum licik dengan salah satu sudut bibir naik.
Dante menoleh ke samping, memandangi tubuh Tiara dalam balutan selimut putih yang dinodai oleh bercak cairan merah milik wanita itu sebagai tanda virgin wanita itu telah lepas landas darinya. Dante mendengkus remeh, lalu keluar dari kamar itu dengan langkah angkuh.
Tiara duduk setelah mendengar suara pintu dibanting untuk menutupnya. Ia memandangi pintu itu dalam diam beberapa detik dan berteriak, merasa frustasi setelah bungkam sejak semalam. Kedua tangannya menggenggam kasur dan memukulnya berkali dalam tangis histerisnya seperti orang depresi berat.
"Maafkan aku, Tuhan. Maafkan aku, Ma," isak tangisannya.
Tiara menuruni kasur, berlari memasuki kamar mandi tanpa memakai sehelai pakaian pun. Ia berdiri di bawah shower yang menjatuhkan tetesan air dengan harapan bisa membersihkan noda dari perbuatannya semalam bisa dihapus. Tangannya menggosok keras kulitnya, terutama di bagian leher dan dada yang membuatnya teringat akan sentuhan Dante. Dan, aksi itu bersamaan dengan tangis yang terdengar keras karena tidak bisa menerima kejadian semalam dan merasa malu pada dirinya sendiri.
***
Satu Jam Kemudian ....
"Mau seharian kamu mencuci tubuhmu, nodanya tidak akan pernah hilang. Nikmati saja, toh kamu juga dapat uang," ujar Emie dari pintu kamar mandi, menatap Tiara yang berendam dalam bathtub dengan tatapan kosong menyedihkan.
Tiara menoleh patah menatap Emie di sisi kirinya. Raut wajah lesu yang dari tadi bersemi diperlihatkan kepada wanita paruh baya itu. Ia merasa tidak bertenaga secara mental maupun fisik.
Tiara menatap senyuman seringai di bibir Emie, menjalar ke bawah, menatap kartu ATM yang semula ada di atas meja, di kamar itu, sudah ada di genggaman tangan Emie. Tiara menyodorkan tangan kirinya, meminta kartu itu tanpa bersuara.
Emie mendengkus, lalu berjalan mendekati Tiara.
"Pak Dante sungguh baik hati. Dia membayar keperawanan mu dengan nilai seratus juta. Baru kamu rekornya," ucap Emie sambil berjalan menghampiri Tiara dengan senyuman puas. "Ini. Jika kamu menemaninya lagi esok malam, dia akan memberikanmu uang dengan jumlah yang sama. Dia cukup royal demi kepuasannya. Mengapa tidak? Istrinya yang penyakitan itu tidak bisa membahagiakannya secara batin," terang Emie setelah menaruh kartu ATM ke atas tangan Tiara.
"Penyakit apa?" tanya Tiara, sedikit penasaran.
"HIV," jawab Emie. "Sampai kapanpun, dia tidak akan bisa disenangkan oleh istrinya," jelas Emie.
Perkataan Emie mengingatkan Tiara pada ucapan Dante semalam.
'Kalian tidak bisa diharapkan.'
Tiara terbenam dalam ingatan itu, memunculkan asumsi yang membukanya sadar akan sikap Dante.
"Malam ini, pemilik perusahaan Skyes memintamu menemaninya. Dia akan memberikanmu uang lima puluh juta jika kamu bisa melayaninya dengan baik. Tunggu dia di kamar ini," ucap Emie sambil berjalan keluar dari kamar mandi.
"Tidak," balas Tiara, menghentikan Emie melangkah di ambang pintu.
Wanita paruh baya yang bergaya seperti anak gadis itu menoleh ke belakang, menatap Tiara dengan dahi mengerut bingung.
"Seratus juta. Jika dia sanggup, aku akan memenuhi keinginannya," lanjut Tiara, memberikan penawaran.
"Baik." Emie tersenyum senang melihat Tiara mulai menikmati profesinya.
......🥀🥀🥀......
BACA JUGA CERITA PERTAMA SAYA!
D3 (DILEMA DALAM DIAM)
🥀🥀🥀
Tiara ke rumah sakit Gentara dalam setelan celana jeans panjang warna hitam dan baju kaos lengan panjang berwarna putih. Rambut panjangnya dikepang satu ke belakang. Penampilannya selalu sopan, tidak seperti semalam. Ia tidak ingin jati diri baiknya selama ini luntur karena profesi wanita penghibur itu.
Tiara membayar uang operasi ibunya di meja administrasi, sampai dokter memberikan keputusan akan mengoperasi Hera, ibunya itu besok malam. Wanita itu mengidap gangguan jantung yang sudah akut sejak beban tahun terakhir.
Kesulitan mengarungi hidup Tiara sejak tiga tahun terakhir. Ayahnya meninggalkan mereka karena Hera yang selalu sakit-sakitan itu, selalu mengeluarkan banyak uang untuk berobat.
"Kamu dapat uang dari mana?" tanya Hera dengan suara berat.
Ibunya itu tengah berbaring di atas ranjang rumah sakit, di sebuah kamar.
"Kerja. Aku punya sedikit tabungan," bohong Tiara.
"Syukurlah. Ibu bangga padamu. Selama tiga tahun terakhir kamu kerja dan membiayai kuliahmu sendiri. Kamu juga membiayai uang rumah sakit Ibu. Setelah operasi, Ibu akan berusaha hadir di wisudamu dan akan membantumu cari uang," ucap Hera, tersenyum.
"Iya. Yang terpenting Ibu sehat dulu. Kalau begitu, aku ke kampus sebentar untuk membayar uang wisuda," pamit Tiara sambil menyalam tangan Hera.
Tiara keluar dari kamar Hera yang sudah ditempati ibunya itu sejak tiga hari terakhir. Setelah menutup pintu, Tiara meneteskan air mata dalam rasa bersalah karena sudah berbohong.
Selain membayar uang wisuda, Tiara juga akan menemui rentenir yang mengejar-ngejarnya selama tiga tahun terakhir agar bisa menjalani hidup lebih tenang.
Seorang wanita menabrak Tiara dari belakang ketika kaki wanita itu baru beberapa kali melangkah dari pintu kamar sang ibu.
"Maaf," ucap Tiara dan memperhatikan wanita yang menabraknya itu tidak menghiraukannya, masih lanjut berjalan dengan posisi membelakangi dirinya.
Tiara tidak tahu, wanita yang baru menabraknya adalah istri Dante yang berusia tujuh tahun lebih tua darinya, namanya Rania Pramesti. Wanita itu datang ke rumah sakit untuk berkonsultasi bersama dokter pribadinya mengenai penyakit HIV yang menyerangnya sejak enam bulan terakhir.
Rania berjalan dalam kesedihan bersama air mata yang jatuh menetes di pipinya setelah mendengar penjelasan dokternya tadi. Bukan karena sombong, kesedihan yang membuat Rania tidak sadar dengan keberadaan Tiara tadi karena fokusnya sudah menetap pada masalahnya.
***
Tiara memberikan amplop kuning berisi uang tunai kepada dua pria, rentenir yang selama ini mengejar-ngejarnya. Pria berpakaian seperti preman itu tersenyum senang sambil memandangi uang dalam amplop tersebut yang mereka lihat dari celah yang mereka buat.
Interaksi pembayaran itu mereka langsungkan tepat di depan bank, tempat di mana Tiara menarik semua uang itu secara tunai dari kartu pemberian Dante.
"Kalau begini kan enak. Urusan kita berakhir di sini," ucap salah satu dari rentenir itu, pria berkepala botak.
Kedua pria itu berjalan meninggalkan keberadaan Tiara yang masih berdiri diam dalam lamunan rasa bersalah menghantuinya sejak semalam. Saat ini ia merasa menjadi orang paling kotor sedunia.
Deringan telepon menghancurkan lamunan itu. Tiara merogoh gawai dari tas yang diselempangkan di badannya. Emie, pemilik rumah bordil itu menghubunginya.
"Dia setuju. Seratus juta. Beli lah pakaian bagus dan berdandan cantik. Jangan mengecewakannya," ucap Emie, dari seberang sana tanpa berbasa-basi saat memulai pembicaraan.
"Iya," balas Tiara dan memutuskan sambungan telepon dengan dinginnya.
Secara kebetulan Tiara mendapati taksi yang akan lewat di di hadapannya. Ia melambaikan salah satu tangan dengan tangan lain memasukkan ponsel ke dalam tas.
***
Tiara berjalan keluar dari gedung universitas tempatnya menimba ilmu empat tahun terakhir sebagai mahasiswi Teknologi Informasi. Ia baru saja membayar uang wisuda, menjadi satu-satunya orang yang paling terakhir melakukan pembayaran wisuda itu.
Kakinya berjalan lambat di gerbang universitas setelah mendengar samar beberapa orang membicarakannya.
"Kasihan juga. Dia pasti kesulitan mencari uang. Belum untuk makan sehari-hari, biaya kuliah, dia juga mencari uang untuk membayar pengobatan ibunya," kata salah satu dari sekumpulan mahasiswi yang berdiri dekat gerbang.
Mereka tidak membicarakan keburukannya, tetapi kejadian semalam membuat Tiara sedikit sensitif. Ia merasa mereka memandangnya buruk. Meskipun begitu, ia tetap diam dan lanjut berjalan sampai akhirnya keluar dari area kampus.
Tiara berjalan di tepi jalan yang dilalui oleh banyak transportasi. Ia ke mall Dearis yang berada tidak jauh dari universitas itu untuk membeli beberapa pakaian minim dan kosmetik untuk berdandan nanti malam.
Ketika sedang menjelajahi area pakaian, secara kebetulan ia bertemu Dante dan wanita yang tadi menabraknya. Mereka bersebelahan saat melirik-lirik pakai yang tergantung di toko yang sama.
"Mungkin ini cocok!" seru seorang pelayan wanita sambil menunjukkan sebuah pakaian minim ke hadapan Tiara yang juga menarik perhatian Rania dan Dante.
Kesalahpahaman terjadi, Rania mengira pelayan itu merekomendasikan baju minim itu untuknya.
"Bukankah itu terlalu berlebihan? Itu tidak cocok untuk ke pesta, tetapi ke klub," ujar Rania dengan senyuman ringan dan melirik Dante yang berpura-pura tersenyum.
"Maaf, Mbak. Ini untuk Mbak ini. Kalau untuk Mbak, untuk pesta ... cocoknya yang ini," kata pelayan wanita itu sambil menaruh kembali pakai minim yang ada di tangannya dan beralih mengambil sebuah gaun pesta warna merah muda, memperlihatkannya pada Rania dan Dante.
"Oh, Maaf," ucap Rania. "Ini baru cocok. Terima kasih." Rania sambil mengambil gaun itu dari tangan pelayan tersebut.
Tiara sedikit merasa kecil dengan perkataan pelayan tersebut, meskipun tahu wanita itu tidak bermaksud mengusiknya.
Tiara mengambil baju minim yang lebih dulu diperlihatkan oleh pelayan itu dengan senyuman ringan yang terpaksa ditunjukkan dan membawa baju itu ke kasir untuk dibayar. Rania pun membawa gaun di tangannya ke ruang ganti, diikuti oleh pelayan wanita itu, meninggalkan Dante masih berdiri di posisinya tadi sambil memperhatikan Tiara dengan wajah dingin. pria itu tersenyum remeh menyaksikan Tiara membayar baju itu dengan kartu yang diberikannya pagi tadi.
“Begitu berharganya uang dibandingkan harga diri,” lirih Dante dan berjalan menuju sofa tunggu, duduk di sana.
Tiara berjalan melewati Dante, pria itu menyodorkan kaki ke samping dengan sengaja dan membuat Tiara hampir terjatuh karena menyandung kaki pria itu. Dante menarik tangan Tiara, membuat tubuh ramping wanita itu terjatuh di pangkuannya dengan mata saling menatap.
“Sudah mendapatkan pelanggan? Bagaimana jika ikut bersamaku malam ini? Aku bayar dengan nominal yang sama seperti semalam,” tawar Dante dengan suara kecil, berbicara dengan senyuman remeh.
“Sudah ada orang yang memesan ku. Maaf,” ucap Tiara dan berusaha bangkit.
Dante menahan badan wanita itu di pangkuannya dan kembali bernegosiasi.
“Dua kali lipat. Bagaimana?” tawar Dante, lagi, sambil menatap wajah Tiara dengan mata menyelidik.
“Baik," balas Tiara dengan santai, terlihat menikmati profesinya.
Dante mendorong Tiara sampai berdiri dengan wajah tampak kesal melihat respons wanita itu. Dante berdiri, berjalan mendekati jejeran gaun yang ada di rak gantung di sisi kanannya. Ia mengambil salah satu gaun yang ada di sana setelah memperhatikannya beberapa detik dan melempar gaun itu kepada Tiara, menyuruh wanita itu memakainya malam ini.
“Di kafe Pinky, depan hotel Wions, tunggu aku di sana jam delapan malam,” ucap Dante sambil berjalan menuju sofa yang sebelumnya ia duduki.
Harga diri terasa diinjak-injak, Tiara merasa tidak bisa menunjukkan wajah lagi di hadapan pria itu. Bergegas ia kembali menemui kasir untuk membayar gaun itu dan meninggalkan toko tersebut dengan melewati keberadaan Dante yang duduk dengan raut wajah dingin yang dipalingkan darinya dalam bengisnya pria itu.
Kaki Tiara berjalan seiring dengan air mata jatuh membasahi pipinya dalam rasa sedih, merasa tidak memiliki harga diri sedikitpun dibuat oleh pria itu.
🥀🥀🥀
Tiara dirundung jiwa yang gugup, merasa tidak tenang, membuatnya tidak bisa duduk di kafe menunggu kedatangan Dante menjemputnya. Selain itu, ia juga tidak pernah datang ke acara pesta di gedung besar sebelumnya.
Sebuah mobil berhenti di tepi jalan, seorang pria berseragam sopir warna hitam memasuki kafe, menghampiri Tiara.
“Tiara?” tanya pria seusianya itu.
Tiara menganggukkan kepala dengan raut wajah bingung.
“Saya sopir pribadi Pak Dante. Ayo!” ajak pria itu sambil memainkan tangan, menyuruh Tiara berjalan keluar dari kafe.
Begitu polos wanita Tiara, ia mengikuti pria itu, berjalan di pandu oleh sopir pribadi Dante tersebut sampai akhirnya duduk di dalam mobil, di bangku belakang sopir.
Selama perjalan, Tiara hanya diam dengan perasaan tegang sampai akhirnya tibalah di sebuah gedung besar di mana di depan pintu gedung itu ada lengkungan bunga yang indah memanjakan mata. Setelah sopir mobil yang dinaikinya membuka pintu, ia keluar dan berjalan di karpet merah yang mengarah ke pintu gedung. Beberapa mata menatapnya cukup dalam, mereka tampak terpesona, seakan melihat bidadari batu turun dari kayangan.
Gaun merah yang melekat di tubuh Tiara menarik perhatian mereka, berpadu dengan badannya yang ramping bak model papan atas dan rambut digerai bergelombang panjang ke belakang, bando juga menghiasi rambutnya.
"Ternyata pesta ulang tahun. Besar sekali acaranya." Tiara berkata dalam hati dengan mata terpesona melihat kemewahan acara tersebut yang dihadiri oleh banyak orang berpenampilan elit.
Seorang pelayan wanita berpakaian hitam-putih menyodorkan sebuah topeng pesta kepada Tiara ketika masih berdiri di ambang pintu gedung itu. Tiara mengambil topeng tersebut dengan senyuman ringan dan kepala ditundukkan sekali sebagai ucapan terima kasih.
Sebelum terlalu jauh masuk ke dalam gedung, Tiara memasang topeng tersebut ke wajahnya setelah sadar semua orang menggunakan hal yang sama sebagai teman acara itu. Barulah Tiara melangkahkan kaki yang memakai sepatu hak tinggi berwarna hitam itu berjalan maju setelah topeng itu sempurna terpasang.
Dante yang sejak tadi memperhatikannya menaruh gelas anggur di tangannya ke atas meja sambil berbisik ke telinga Rania yang tengah berbicara bersama beberapa wanita yang merupakan teman istrinya itu.
"Aku ke toilet dulu," ucap Dante dan meninggalkan perkumpulan itu.
Dante benar ke toilet, ia mengganti kemeja dan topengnya dengan warna yang berbeda dari sebelumnya untuk menghindari penandaan Rania terhadapnya. Setelah itu, ia menulis pesan teks kepada Rania melalui sambungan telepon sambil berjalan keluar dari toilet bersama senyuman seringai di bibirnya.
Setelah sampai di aula acara, Dante mencari-cari wujud Tiara di keramaian. Kakinya melangkah ke arah kiri setelah melihat Tiara berdiri diam sendirian dengan segelas jus di tangan wanita itu.
"Pilihanku tidak salah," bisik Dante ke telinga kanan Tiara dan mengecup bibir wanita itu dengan tangan kiri merangkul pinggang Tiara di antara beberapa orang yang tidak menghiraukan mereka.
"Jangan begini. Istri Anda ada di sini," balas Tiara sambil melepaskan tangan Dante dari pinggangnya dan menjaga jarak.
"Lantas?" Dante kembali menarik dan memeluk tubuh Tiara.
Tangan kanan pria itu bermain di rambut di telinga Tiara dengan mata menatap dalam mata dan bibir wanita itu.
"Mungkin dia ingin melihat kita bermain karena tidak bisa melakukannya," goda Dante, masih berbisik ke telinga kanan wanita itu.
Semua terlihat sudah diatur sedemikian rupa. Musik romantis terdengar, Dante menaruh gelas di tangan Tiara ke atas meja dan mendorong wanita itu, lalu menariknya kembali, bersambut dengan gerakan dansa yang diperhatikan oleh mereka yang ada di pesta. Gerakan tubuh yang selaras dengan irama musik mengundang mereka ikut berdansa dengan pasangan mereka masing-masing.
"Dante di mana?" Rania mencari-cari karena ingin mengajak suaminya itu melakukan hal yang serupa.
Rania menyalakan ponsel dan melihat pesan masuk di bilah notifikasi atas.
Isi Pesan:
Maaf, aku terpaksa meninggalkanmu karena aku harus ke luar kota secara mendadak karena ada urusan bisnis yang penting dan harus segera ditangani. Besok sore aku akan kembali. Eko yang akan mengantarmu pulang. Setelah sampai di rumah, buka kejutan yang aku letakkan di atas kasur.
Benar-benar sudah terencana. Untuk menghilangkan jejak curiga, kejutan disiapkan Dante untuk istrinya yang berhati lembut itu. Sayang sekali, kelebihan wanita itu di isi oleh kekurangan yang begitu menyiksa batinnya.
Bibir Rania semula kecewa, tetapi kembali tersenyum ketika tahu suaminya itu menyiapkan kejutan yang membuatnya penasaran. Diri tidak bisa ditahan berlama-lama di sana, Rania meninggalkan gedung pesta tersebut untuk bisa sampai di rumah sesegera mungkin.
Tingkah Dante semakin menjadi setelah sadar istrinya meninggalkan pesta. Tubuh Tiara dibopong di hadapan semua orang dan dibawa keluar dari gedung itu.
"Kamu membawaku ke mana?" tanya Tiara, tegang dalam rasa bingung yang menggerogoti pikirannya.
Dante berhenti melangkah di pintu gedung.
"Surga," jawab Dante sambil memandangi mobil yang dikemudikan Eko, pria yang tadi menjemput Tiara, kini membawa Rania.
Dante lanjut berjalan meninggalkan gedung itu.
"Kamu ingin membunuhku, Pak?" Tiara salah memahami perkataan Dante.
Dante tersenyum miris dengan mata menatap wajah polos wanita itu.
"Menarik. Mungkin ini yang membuatku tidak bisa melupakannya sejak pagi tadi.” Dante berkata dalam hati dengan bibir tersenyum remeh.
"Nona Tiara Natasia, biarkan aku mengajarimu banyak hal di hotel Wions," ucap Dante dan melanjutkan kaki berjalan menuju mobil yang baru berhenti di tepi jalan. Mobil tersebut milik orang suruhannya.
***
Dante melemparkan tubuh Tiara ke atas kasur empuk yang ada di salah satu kamar di hotel Wions, hotel paling mahal dan berbintang lima. Satu persatu pakaian yang menempel di tubuh Tiara dilucuti oleh pria itu dan dibuang sembarangan.
"Tunggu!" tahan Tiara dengan telapak tangan menempel di dada bidang Dante yang sudah mengungkung tubuhnya. "Aku belum minum obat," terang Tiara, menyebut pil pencegah kehamilan.
"Aku peduli? Tidak. Itu derita kalian sebagai seorang wanita penghibur," tutur Dante, tersenyum seringai dan melanjutkan aksinya.
Tiara hanya diam mematung setelah mendengar jawaban pria itu. Perkataan Dante membuat hatinya sakit, tetapi tidak bisa membalas pria itu karena tahu apa yang dilakukannya juga kehendaknya.
Di tengah mereka sedang bermain di atas kasur yang empuk itu, suara deringan ponsel membendung permainan itu. Dante meraih ponsel yang ada di atas meja dengan badan masih mengungkung Tiara. Ia melihat layar ponsel di mana nama Rania ada di sana.
"Iya?" tanya Dante setelah menempelkan ponsel tersebut ke telinga kirinya.
"Terima kasih kalungnya," ucap Rania dengan sipuan malu.
"Iya. Kalau begitu, aku tutup teleponnya," ucap Dante dan memutuskan sambungan telepon begitu saja, tanpa sepengetahuannya membuat Rania kecewa.
Dante kembali menaruh ponsel ke atas meja dan menatap Tiara yang memalingkan wajah ke samping, menjauh dari pandangannya.
"Kamu tidak pernah merasa bersalah dengan perbuatanmu ini? Aku tahu kalau istrimu itu tidak bisa berhubungan denganmu. Tapi, tidak seharusnya kamu begini. Dia pasti akan tersakiti," ucap Tiara dengan wajah murung, prihatin dengan kondisi Rania.
Dante bangkit, duduk di tepi kasur dengan selimut yang menutupi bawahannya. Ia mengutip celana di lantai yang ada di samping kasur yang bisa diraihnya dari sana dan mengeluarkan rokok dari salah satu saku celana, ia menyalakannya dengan pemantik dan menghisap rokok tersebut.
"Apa peduli mu? Ini masalahku. Jadi, jangan ikut campur," ucap Dante.
"Aku harap kalian bisa bahagia. Solusi dari masalah kalian saat ini bukan begini." Tiara masih lanjut memberikan pencerahan meskipun dirinya dinilai buruk oleh Dante. "Banyak cara untuk bisa menangani masalah ini." Tiara masih lanjut Berkata dengan volume rendah, meskipun tampak diabaikan.
"Benarkah? Seperti apa?" Dante menoleh ke belakang, berpura-pura tertarik dengan perkataan Tiara. "Jangan sok tau. Jika kamu memiliki banyak solusi, kamu tidak mungkin berakhir begini," ucap Dante dan berdiri.
Perkataan pria itu benar juga di benak Tiara. Wanita itu memejamkan mata, berusaha menenangkan perasaan yang terluka mendengar perkataan Dante yang membuatnya murung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!