Gadis kurus tinggi langsing itu, bangun kesiangan. Secepat mungkin dia bergegas masuk kedalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Hanya membutuhkan waktu tak lebih dari 10 menit, gadis itu keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit badannya, mencari baju yang akan di kenakan di dalam lemari pakaiannya. Susunan pakaian itu tak lagi rapi. Seperti orang yang sedang emosi, gadis itu membongkar semua isi lemarinya.
"Kenapa tidak ada! bukannya kemarin sudah di cuci!" dia mencari seragam kerjanya. Hari ini dia harus bergegas pergi bekerja, karena akan kedatangan direktur rumah sakit yang baru.
Akhirnya dia menemukan seragamnya tergantung dibalik pintu.
"Astaga, berarti aku mencucinya satu minggu yang lalu." Juna menepuk jidatnya hingga meninggalkan bekas merah disana.
"Aw" dia mengelus sendiri keningnya yang lebar.
"Pakai saja lah, dituang parfum sebotol juga wangi!" ucapnya menyeringai. Menyemprotkan minyak wangi ke sekeliling tubuhnya. Kemudian mengambil tasnya memasukkan beberapa alat make up dan sisir, tak lupa satu buah plastik toko yang dilipat rapi, tak terlalu tebal. Tapi pasti di dalam plastik itu ada sesuatu. Dia selalu membawanya tapi hanya sekedar dibawa saja, tak pernah dibuka apalagi di pakai.
Dia mengambil gawainya yang masih di isi daya. Beberapa menit di sibukkan dengan memainkannya.
"Oke beres!" ucapnya keluar dari kamarnya
Setelah lulus menyandang sarjana Farmasi, gadis itu melanjutkan pendidikannya untuk menjadi Apoteker. Dan sekarang dia sudah bekerja di sebuah rumah sakit di kotanya.
Perempuan itu setengah berlari menuruni tangga rumahnya.
"Pagi, Pa! Bunda! Hallo jelek!" sapanya kepada adik kecilnya Juni. Juni yang sedang sarapan mengacungkan jempolnya. Sudah hal yang biasa mendapat sapaan seperti itu dari kakak tersayangnya, Juni menganggap itu panggilan sayang dari Juna untuknya. Dia tidak akan pernah nakal lagi, karena kalau dia nakal kakak kesayangannya itu akan pergi lagi meninggalnya seperti sepuluh tahun yang lalu.
"Sarapan dulu, Kakak! paling tidak duduklah minumnya." ucap Bunda Cindy, melihat anak sambungnya yang minum susu dalam keadaan berdiri.
"Gak sempat bun! Sudah terlambat!" Juna menempel mulutnya dengan tissu, kemudian membukanya kembali dengan hati-hati, bukan hanya bekas susu yang menempel dipermukaan bibirnya yang hilang, melainkan lipstik merah meronanya juga ikut memudar. Dia mencium bunda dan papanya, juga Juni yang masih asik menghabiskan roti bakarnya.
\=\=\=\=
Itu adalah ritual setiap pagi. Karena susahnya tidur malam alias insomnia, aku jadi selalu bangun kesiangan. Sifat pemalasku masih selalu setia bersamaku, kalau saja bunda tidak ada, mungkin aku tidak akan memperdulikan penampilanku. Dari ujung kaki sampai kepala, bunda selalu mengurusnya, tak jarang omelannya selalu menjadi alarm pengingat setiap kali aku tidak mau memakai deodorant, jorok kan? itulah aku.
Tapi setelah aku memutuskan untuk kuliah dan tinggal bersama mama di Makassar aku tak lagi mendengar omelan bundaku. Sampai saat ini aku tinggal kembali bersama papa dan bunda pun, aku tak pernah lagi diomelin oleh bunda. Bunda membiarkan ku, aku bertindak semauku sekarang. Bukan karena bunda tak perduli lagi kepadaku, tapi kata bunda aku sudag dewasa sekarang. Ya, bunda Cindy adalah ibu tiriku, papa dan mamaku bercerai saat usiaku masih kecil, mama memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya, sedangkan aku tetap tinggal bersama papa.
Beberapa tahun berlalu, aku dan papa hidup berdua saja, tanpa ada figur ibu dalam hidupku. Papaku menjadi ayah sekaligus ibu buatku, papa selalu ada untukku. Jadilah aku seorang gadis kecil yang tangguh, gak cengeng dan juga tomboy.
Semua pekerjaan laki-laki lebih suka ku lakukan dari pada menjadi anak perempuan yang manis yang selalu menangis jika di ganggu oleh anak laki-laki.
Semuanya berubah, saat perawat cantik bernama Cindy Malinda merawat ayahku saat kecelakaan dulu. Saat melihatnya ada perasaan yang tak bisa ku lukiskan, aku merasakan keluarga ku lengkap bersama dengannya. Waktu itu aku memanggilnya dengan sebutan "Kakak" badannya yang tak terlalu tinggi dan wajahnya yang cantik membuatku canggung untuk memanggilnya tante.
Singkat cerita, gayung bersambut. Papa ku dan wanita yang kupanggil kakak itu menikah, dan saat itu dia menjadi Bundaku!
Juna wati, S.Farm, Apt. Itulah aku, Sosok gadis yang sangat periang namun menyimpan luka mendalam. Umurku sudah 29 tahun. Usia yang terbilang matang untuk seorang perempuan. Bahkan terhitung "tua" di kalangan pecinta nikah muda bukan?
Dari perceraian orang tuaku aku tak percaya cinta itu membawa kebahagiaan. Cinta itu hanya akan menyebabkan pertengkaran yang berlarut-larut, tak bisa diselesaikan kecuali dengan perpisahan, seperti layaknya pertempuran walaupun ada yang menang tapi tetap menyisakan sakit yang membekas. Walaupun mereka berpisah secara baik-baik, tapi sebagai korban dari keputusan yang mereka buat, memberikan efek trauma dalam hidupku.
Karena itulah, aku masih betah "Sendiri" dalam usiaku yang sekarang ini. Teman-teman ku sekolah semuanya sudah menikah bahkan anak mereka sudah ada yang duduk di bangku Sekolah menengah pertama.
Hari-hariku ku habiskan dengan bekerja, bekerja, dan bekerja. Pergi pagi pulang petang! seperti itik ya. Tapi aku lebih senang seperti ini, setelah pulang kerja aku hanya diam dirumah, bermain bersama adik kecilku Juni, yang saat ini sudah duduk dibangku SMP. Aku merasa berdosa, saat dulu meninggalkannya. Dia termasuk orang yang paling sedih, saat aku memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ku di luar pulau, selain Papa. Ini saatnya aku menebus semuanya. Aku tak akan meninggalkannya lagi.
Tapi ternyata papa dan bunda mengkhawatirkan ku. Berbagai cara dilakukan mereka, mulai dari mengenalkan ku dengan anak teman mereka, guru lesnya Juni dan banyak lagi, namun semuanya tak ada yang berhasil. Setelah melalui tahapan-tahapan yang ku rasa "aneh" itu. Akhirnya mereka bisa merasa lega.
"Baiklah, Juna mau menikah!"
Tak pernah terpikir olehku, kata-kata itu keluar dari mulutku, entah apa yang ada di fikiranku saat itu.
"Perempuan punya masa emas untuk mempunyai keturunan, Nak? ada istilah resiko tinggi, jika nanti kau mengandung dalam usia yang tak lagi muda. Apa kau mau terus sendiri begini? Bunda, Papa, dan Mama tak selamanya ada di dunia ini!" aku teringat ucapan bunda saat itu.
Cinta itu belum ada di hatiku, aku hanya sekedar sayang kepadanya. Ya, hanya sayang. Usia kami yang terpaut enam tahun membuatku merasa canggung memanggilnya dengan sebutan "Abang".
"Kalau halal nanti, aku akan mencoba mencintaimu!" itu ucapanku saat meminta waktu berdua dengannya saat dia datang memberanikan diri melamarku.
"Iya, aku akan membuatmu cinta kepadaku!" ucapnya mantap saat kedua manik mata kami bertemu. Ada perasaan aneh yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Walau aku masih berusaha menghindarinya.
Inilah kisahku, Menemui laki-laki yang katanya sudah dari dulu mencintaiku, haha... hal yang lucu menurutku. Katanya dia mencintaiku saat dulu aku mengambilkan layangannya yang tersangkut di atas pohon.
Perempuan berkacamata dengan kaus hitam dan celana denim dan sepatu sneakers berjalan menarik kopernya.
"Medan, iam coming!" serunya merentangkan tangan, menghirup atmosfer kota kecil yang sangat dirindukannya itu.
Empat tahun tinggal di kota lain membuatnya selalu merindukan kota kecil tempatnya tumbuh besar itu. Gadis itu mengambil telepon selulernya, menggulir nomor kontak yang tersimpan, kemudian menempelkannya ke daun telinganya, sedikit menyisipkan rambutnya kebelakang.
"Halo, papa. Aku sudah di bandara. Apakah ada yang menjemput ku? atau aku naik taksi saja?" ucapnya kepada orang pertama yang paling dirindukannya. Bagaimana dia tidak merindukannya. Sejak kepergiannya dulu, tak pernah satu kali pun ia pulang ke kotanya, walaupun itu hari besar seperti idul fitri ataupun natal, dia tetap tak ingin pulang. Begitupula dengan sang papa, dia lebih baik memendam rindu, dari pada harus menginjakkan kakinya ke kota kampung halaman mantan istrinya.
"Maaf, papa tidak bisa menjemputmu. Tapi tadi papa sudah suruh Zuan untuk menjemputmu!" dengan suara yang tampak menyesal, sang papa tak bisa menjemput putri sulungnya tersebut.
"Apa Papa, tak merindukan ku? Kenapa tidak Papa saja yang menjemput ku! Zuan itu siapa lagi, Pa?" Juna mencebikan mulutnya, menghentakkan kakinya kelantai. Saat ini dia tengah duduk diatas kursi panjang. Laki-laki yang sedari tadi memperhatikannya menyembunyikan senyumannya.
"Zuan itu anaknya Pras, tetangga satu komplek kita! masak kamu lupa? Disana ngapain aja? ada kebentur kepalanya? makanya semua pada dilupain!" ucap Papa menggoda anak gadisnya. Dia tau persis, pasti Juna saat ini sedang menghentakkan kakinya kelantai.
"Kalau tau begini, lebih baik Juna tinggal sama Mama saja seumur hidup! gak usah pulang sekalian!" Juna semakin jengkel. Laki-laki disebelahnya semakin melebarkan senyumnya.
"Apa kau! ketawa pula kau ya!" Juna semakin kesal melihat laki-laki yang tak jauh dari sampingnya, mereka hanya dipisahkan tas hitam panjang milik pria tersebut.
"Arjuna seperti anak kecil, Ya!" ucap laki-laki itu.
Deg
"Kak Arjuna! kak Arjuna!" sekilas Juna flashback mengingat panggilan yang barusan saja di ucapkan laki-laki itu. Sepertinya dulu anak kecil yang memanggilku dengan sebutan itu.
"Apa kau mengenalku?" tanya Juna penasaran. Memandangi wajah itu, putih bersih, dengan kumis tipis berbaris diatas bibirnya yang tak terlalu tipis.
"Masa kau tidak mengenaliku?" ucapnya meletakkan jari jempol dan telunjuknya ke dagu. Membenarkan posisi topi yang baru saja dilepasnya kemudian dipakai kembali.
"Ah... entah siapapun, Kau!" Juna menepiskan tangannya, merasa tak penting. Kemudian kembali menempelkan benda pipih nya tadi.
"Apa kau membawa calon menantu Papa, Sayang?" ucap Papa yang sedari tadi mendengarkan pembicaraan Juna dengan laki-laki tampan itu.
"Papa ada-ada saja! Siapa yang khilaf jatuh cinta kepada anakmu ini!" ucap Juna tak bersemangat.
"Ah, jangan begitu! anak papa ini kan cantik! siapa yang tidak mau!" Papa menanggapi.
"Sudah la, Pa! mana si Zuan-zuan itu?" tanya Juna tak sabar ingin segera meninggalkan tempat itu.
"Zuan sudah dari tadi melihatmu! tapi kau tidak mengenalinya!" ucap Papa menegaskan, laki-laki yang akan menjemputnya ternyata sudah ada disekitarnya.
"Kau Zuan?" tanya Juna kepada laki-laki yang ada disebelahnya tadi. Juna merasakan hal yang aneh, dia bukannya melakukan panggilan video kepada papanya. Melainkan hanya panggilan suara biasa.
"Papa, kenapa papa bisa tau, Zuan ada disini?" selidik Juna, menatap sekeliling. Matanya membulat melihat sosok pria tinggi tegap dengan jaket hitam melekat ditubuhnya. Juna juga memperhatikan laki-laki bertopi yang ada disebelahnya tadi. Mereka memakai celana dan sepatu yang sama, serta jaket yang dikenakannya juga.
"Papa!" Juna berlari, menghamburkan diri ke pelukan laki-laki yang masih gagah dihadapannya.
"Pakai ngeprank segala si Papa! gak lucu!" Juna kembali beraksi, menggunakan mode cemberut level tinggi.
"Jelek! jangan gitu! nanti gak ada yang mau!" ucap Papa menarik hidung Juna. Kemudian memeluknya.
"Akhirnya pulang juga anak gadisku!" ucapnya. Suasana berubah menjadi haru seketika.
Bapak dan anak itu berpelukan lama. Kelegaan di hati Rudi melihat anak perempuannya telah kembali dan akan tinggal bersamanya lagi, setelah empat tahun tinggal bersama ibunya.
"Bagaimana kabar mamamu?" tanya Rudi setelah duduk di kursi panjang dekat dengan Zuan.
"Alhamdulillah, Mama, ayah dan adik sehat. Semuanya titip salam ke Papa dan bunda! Oiya, bunda mana, Pa? kok enggak ikut?" Juna kembali melihat sekeliling. Mungkin dia akan menemukan bunda dan adiknya juga disekitarnya.
"Jangan celingukan, Bunda bahkan belum tau. Kau pulang hari ini!" ucap Rudi serius. Memang benar, dia tidak memberitahu istrinya.
"Jangan pergi lagi, Juna! Kasihan bunda mu!" Rudi menatapnya, matanya sedikit berkaca-kaca.
"Sejak kau pergi, dia merasa bersalah." Rudi teringat akan sesuatu.
Flashback
"Apa aku terlalu cerewet, Bang? Maafkan aku, mungkin karena sifat ku seperti ini Juna memilih tinggal bersama kak Lia! aku secerewet ini karena aku menyayanginya seperti aku menyayangi Juni, Bang! Walaupun aku hanya ibu tiri, tapi aku tak membeda-bedakan mereka." Cindy memuntahkan segala unek-unek yang disimpannya selama ini.
Satu tahun sudah, anak sambungnya berada jauh dari jangkauan mereka. Tak ada tanda-tanda dia ingin pulang walau hanya sekedar berkunjung beberapa hari.
"Aku janji, Bang! kalau nanti Juna pulang, aku tidak akan memarahinya lagi, aku janji!" ucap Cindy, memantapkan dirinya untuk mengubah sikapnya nanti.
"Juna tak seperti itu. Dia sangat menyayangimu. Kau hadir dalam kehidupan kami disaat yang tepat, Sayang! aku tak bisa membayangkan, bagaimana penampilan anak gadisku yang beranjak remaja sebelum kedatanganmu. Bisa jadi dia meminta izin kepadaku untuk jadi transgender. Maklumlah, aku menjadi ayah sekaligus ibunya." ingatan Rudi menuju masa-masa sulitnya hidup berdua saja dengan Juna.
Flashback End
"Enggak kok, Pa! Juna justru rindu omelan Bunda disana." ucap Juna merasa bersalah.
"Ayo cepat kita pulang, Pa! Juna akan jelaskan semuanya ke Bunda!" Juna menarik tangan Rudi yang masih tetap pada posisinya.
"Duduk dulu. Kita menunggu Adzka!" ucap Rudi, menatap Zuan yang masih tersenyum melihat kebersamaan mereka.
"Masih lama, Zu?" tanya Rudi.
"Sebentar lagi, Pak! katanya urusannya tinggal sedikit lagi!" Zuan berdiri membenarkan posisinya menjawab pertanyaan dari atasannya tersebut.
Iptu Zuandrika Safar, polisi ganteng dengan segudang prestasi, usianya satu tahun dibawah Juna, saat ini sedang menjalani tahun ke tiga untuk menjadi AKP. Masih jomblo, sama seperti Juna, pendidikan dan karier menjadi hal yang paling utama dalam hidupnya.
"Sudah, Zu." laki-laki yang wajahnya lebih bersih dari Zuan menghampirinya. Mengambil tas hitam yang sedari tadi menjadi sandaran siku Juna.
"Eh!" Juna terkejut, saat tas disebelahnya diambil secara tiba-tiba.
"Oh! iam Sorry" ucap laki-laki itu, dia tidak menyadari ada tangan yang singgah diatas tas panjang miliknya.
"Maaf, jadi menunggu Pak!" ucap laki-laki itu, mencium punggung tangan Rudi dengan penuh takzim.
"Tidak apa-apa, Nak! kami juga tidak buru-buru!" ucap Rudi memeluk laki-laki di hadapannya.
"Saya selalu salut, pada anak muda berprestasi! Semoga ilmu mu berkah!" ucap Rudi menepuk bahu laki-laki tersebut.
"Siapa sih, dia itu! sampai lupa sama anak sendiri!" gumam Juna menarik kopernya. Sementara Rudi, Zuan dan laki-laki tadi berjalan mendahuluinya.
"Bodo amat dah, Bunda! Kakak pulang!" ucap Juna dalam hati, tak sabar melihat ekspresi sang bunda ketika melihatnya nanti.
.
.
.
.
**Hai Reader ku tersayang, semoga suka dengan karya terbaru ku ini ya, jangan lupa like, komen, juga vote ya. Setelah itu Rate deh, nilai tulisanku dengan berapa banyak bintang yang menurut kalian pantas.
Kritik dan sarannya ditunggu Ya! 😊🙏
sambil nunggu episode selanjutnya up, baca juga karya author lainnya, pastinya ceritanya seru dan menarik, bahkan lebih menarik dari ini, heheh.... sama-sama belajar**.
Mobil hitam melaju dengan kecepatan sedang, membelah jalanan ibu kota menuju kediaman yang dirindukan.
Rudi dan Zuan duduk di depan, Zuan mengemudikan mobil pribadi milik Rudi.
Bukan karena tak punya, melainkan Rudi memang kebetulan sedang malas untuk menyetir.
"Permisi, Pak. Saya mohon izin beberapa jam kedepan. Adik saya hari ini pulang, saya akan menjeputnya di Bandara!" ucap Zuan memasuki ruangan atasannya. Rudi yang sedang duduk di kursi kebesarannya segera bangkit, mengenakan jaket hitam khas mereka. Merogoh kantong jaketnya. Kemudian melemparkan kunci mobilnya ke arah pemuda dihadapannya.
Dengan sigap Zuan berhasil menangkapnya.
"Kebetulan sekali, saya juga akan menjeput anak saya! Ayo, kau yang menyetir!" ucap Rudi saat melempar kunci tersebut.
\=\=\=\=\=
"Berapa lama kau disini, Adzka!" tanya Rudi membuka pembicaraan. Ia memalingkan wajahnya kebelakang. Dia dan Zuan duduk di depan, Zuan mengemudi. Sedangkan Adzka dan Juna di bangku belakang.
"Hanya sepuluh hari, Pak!" jawab Adzka.
"Setelahnya mungkin saya akan lama tidak pulang. Saya harus fokus agar bisa selesai sesuai target!" tambahnya lagi.
"Mantap! begitu anak muda, keren. Saya saja bangga, bagaimana lagi orang tuamu!" ucap Rudi takjup dengan pencapaian pemuda yang duduk di mobilnya itu. Bagaimana tidak, diusianya yang masih sangat muda, dia sudah menyelesaikan pendidikannya sebagai seorang dokter dan sekarang sedang mengambil spesialis.
"Bisa di contoh itu semangatnya, Jun!" ucap Rudi.
"Juna!" panggil Rudi lagi, setelah ucapannya barusan tidak direspon sama sekali oleh putrinya.
"Dia pakai headset, Pak!" Adzka menyentuh bahu Juna dengan jari telunjukknya. Juna yang tersadar mengangkat dagunya. Sedangkan Adzka menunjuk ke arah depan.
"Iya, Pa! kenapa?" Juna membuka headsetnya.
"Gak ada, apa-apa!" ucap Rudi merasa kecewa. "Kenapa dia bukannya ngobrol dengan Adzka, malah mendengarkan musik!" Rudi merasa usahanya sia-sia.
Sejak dia melemparkan kunci mobilnya kepada Zuan, Rudi memiliki ide untuk membuat anak gadisnya dekat dengan Zuan. Tapi setelah melihat respon diantara kedua nya tadi, sama sekali tak memperlihatkan ketertarikan satu sama lain. Planningnya berubah. Saat Adzka datang dan melihat Juna, Rudi menangkap ada sesuatu dari mata Adzka. Seperti ada ketertarikan, walau ekspresi anaknya juga tetap sama seperti saat melihat Zuan.
\=\=\=\=
"Assalamu'alaikum!" Juna masuk kedalam rumah yang masih bercat hijau. Sama seperti empat tahun lalu. Hanya bedanya catnya masih terlihat baru. Mungkin lebaran kemarin baru saja di cat, pikirnya.
"Bunda!" Juna langsung menuju dapur, spot favorit semua ibu-ibu.
"Bunda!" Benar saja, Juna menemukan Cindy yang tengah menggoreng ikan.
"Ya, Allah. Anaknya bunda sudah pulang!" Cindy memegang kedua lengan Juna.
"Ini beneran, kan? Bunda gak mimpi kan?" Cindy menepuk-nepuk pipinya.
"Enggak, Bunda! Ini Juna, beneran!" Juna memeluk perempuan yang dirindukannya tersebut.
"Alhamdulillah, akhirnya pulang juga anak wedok ku!" ucap Cindy menyeka air di sudut matanya.
"Maafin bunda ya, Sayang!" ucap Cindy, mereka masih terus berpelukan.
"Udah dong, pelukannya. Papa dari depan mencium bau tak sedap dari arah sini!" ucap Rudi yang datang sudah memakai pakaian santai. Kaos oblong dengan celana training.
"Astaga, iya. Bunda lupa!" Cindy bergegas mematikan kompor, mengangkat ikan yang tadi di gorengnya. "Belum gosong sempurna kok. Masih bisa dimakan" ungkapnya merasa bersyukur.
"Kok abang gak bilang, Juna pulang hari ini?" ucap Cindy kepada suaminya.
"Biar surprise dong!" Rudi menyeringai.
"Ia, jadinya bunda gak masak apa-apa!" rengut Cindy, merasa tak enak, anaknya pulang tapi dia tidak bisa menyuguhkan makanan kesukaan anaknya.
"Santai, Bun! Juna akan disini terus kok, gak pergi lagi! Jadi, besok bunda bisa masak makanan kesukaan Juna! dan memang hari ini, Juna juga tidak mau makan dirumah." ucap Juna panjang lebar.
"Trus mau makan di mana? udah ada janji, siapa! siapa! kenalin ke Papa dong!" Rudi mengira Juna sudah punya janji dengan pacarnya.
"Papa kenapa sih? Juna belum punya pacar, Papa! kepikiran aja, enggak!" ucap Juna melengos, meninggalkan kedua orangtuanya naik menuju kamarnya.
"Kamar Juna masih utuh kan?" tanyanya menaiki tangga, membawa kopernya yang lumayan berat.
"Masih dong, Sayang. Setiap hari bunda bersihkan!" Cindy sedikit berteriak, karena Juna sudah hampir sampai ke depan pintu kamarnya.
Ckleek... knop pintu terbuka. Kamar bernuansa biru dengan ornamen origami yang menggantung di bagian atas, serta tirai glitter dan karpet berwarna ungu menghiasi kamar itu. Masih sama seperti dulu. Rudi dan istrinya tetap melestarikan keadaan kamar Juna seperti anak mereka itu masih berada bersama mereka.
Juna mengambil handuknya didalam koper yang di letakkannya diatas kasur. Kemudian membersihkan dirinya di dalam kamar mandi. Dengan menggunakan celana jins biru dengan baju kaus lengan panjang, Juna mengikat rambutnya, menambahkan ciput rajut ke atas kepalanya. Kemudian menutup seluruh kepalanya dengan jilbab berbahan sutra berwarna hitam.
"Bunda, Juna pergi dulu, Ya!" Cindy dan Rudi yang masih berada di dapur, saling menatap satu sama lain.
"Baru nyampe rumah, udah mau pergi lagi?" Suara Rudi sedikit meninggi.
"Papa...." Juna memeluk Papanya, mencoba meredakan amarah sang ayah yang sudah mulai terasa.
"Besok sahabat Juna menikah, Papa. Hari ini Juna ingin menemuinya, sebentar juga gak apa-apa! boleh ya, Pa. Juna sudah rindu sekali! Papa... boleh ya, Papa!" Juna merayu Rudi, masih tetap memeluknya manja.
"Nginap?" Rudi menaikkan kedua alisnya.
"Kalau boleh!" dengan cepat Juna menjawabnya.
"Enak aja! gak boleh. Besok kesana lagi. Papa juga di undang kok!" balas Rudi yang tak mengijinkan anaknya itu menginap dirumah sahabatnya.
"Oke deh, Papa!" di izinkan pergi saja Juna sudah sangat senang. Dia mengambil gawainya dalam tas.
"Juna pesan taxi online ya, Pa!" Juna mulai membuka aplikasi berwarna hijau yang ada di handphonenya.
"Gak usah, biar Zuan yang antar!" Rudi menempelkan benda pipih miliknya, beberapa detik kemudian telah terjadi percakapan diantara mereka.
"Tunggulah sebentar, Zuan masih di kantor!" ucap Rudi meletakkan hapenya, menyeruput kopi yang sudah mulai dingin diatas meja.
"Zuan-Zuan lah, yang penting aku sampai kesana!" gumam Juna dalam hati.
Di tempat lain, Zuan sudah mengemudikan mobil milik Rudi keluar dari parkiran kantor, menuju rumah atasannya itu.
Dengan Headset bluetooth yang dikenakannya terlihat dia berbicara dengan seseorang.
"Ka, ikut gak? aku otw jeput Arjuna mu! mau ngantar dia ke rumah sahabatnya!" Zuan berbicara dengan sesorang.
"Duh, aku capek banget. Lagipun Mama pasti tak mengijinkan, kalau tau aku pergi bersama Arjunaku! kau kan tau Mama gimana!" ucap laki-laki yang di telepon.
"Ya sudah lah. Semoga dia tak jatuh cinta padaku!" Zuan mematikan panggilan dengan seulas senyum penuh arti.
"Heh!" laki-laki itu tampak marah karena panggilan itu sudah berakhir.
"Awas saja kalau kau berani!" umpatnya meninju samsak yang tergantung di balkon kamarnya.
ZUANDRIKA SAFAR
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!