“Bagaimana Bibi?”
Lyra menatap Bi Mirah dengan tatapan penuh harap, jika dia gagal lagi mendapatkan pekerjaan kali ini maka dia dan putrinya tidak tau akan bagaimana kedepannya. Hanya Bi Mirah yang menjadi harapannya kali ini.
Bi Mirah tersenyum lembut lalu menyentuh tangan Lyra. “Kau bisa pindah sore ini,” ucapnya dengan senyum terukir di wajahnya.
Mendengar itu Lyra melompat kegirangan, dia mencium tangan perempuan tua di depannya sembari mengucapkan terima kasih berkali-kali.
“Apa Bibi sudah memberitahu tentang kondisiku yang memiliki seorang anak?” tanya Lyra dengan nada was-was, dia baru teringat dengan hal itu, selama ini kebanyakan tempat kerja menolaknya karena alasan itu.
“Tuan Liam tidak keberatan dengan hal itu, lagi pula kita tidak akan tinggal di mansion utama, kita akan tinggal di paviliun yang terletak di belakang mansion, Tuan Liam tidak akan mempermasalahkan selama kau bekerja dengan baik.”
Lyra membuang nafas lega mendengarnya, sekarang semua masalahnya perlahan-lahan bisa diatasi, beruntung dia bisa bertemu dengan Bi Mirah. Dengan bekerja di sini, dia tidak hanya mendapat pekerjaan tapi juga tempat tinggal dan makanan. Setidaknya untuk sekarang dia bisa merasa tenang.
Lyra melayangkan pandangannya menatap di balik gerbang besar di belakang tubuh Bi Mirah, mansion yang sangat besar.
“Terima kasih banyak Bibi,” ucapnya penuh rasa syukur.
“Tuan Liam Biasanya pulang sebelum jam makan malam, sebaiknya kau sudah datang sebelum beliau pulang agar kau bisa langsung memperkenalkan diri,” ucap Bi Mirah.
Lyra mengangguk cepat, “Baik Bibi, kalau begitu aku pulang sekarang, sekali lagi terima kasih,” pamit Lyra. Dia lalu balik kanan meninggalkan Bi Mirah yang juga balik badan memasuki gerbang.
Lyra dan putrinya yang berusia empat tahun tinggal menumpang dengan Camila, sahabat Lyra di sebuah kontrakan yang terletak tidak terlalu jauh dari mansion tempat dia akan bekerja.
Sesampainya di kontrakan Lyra disambut oleh Camila dan Sofia putrinya yang sedang bermain di ruang tamu.
“Mama...” Sofia berlari menghampiri Lyra yang baru saja membuka pintu.
“Anak Mama... ”
Lyra berjongkok di depan putrinya untuk mensejajarkan tinggi badan mereka. Dia lalu tersenyum mengusap kening putrinya yang sedikit berkeringat.
“Bagaimana? Apa kau diterima?”
Camila mendekat sembari membereskan beberapa mainan yang berserakan di lantai.
Lyra akhirnya duduk berselonjor di lantai sembari memangku Sofia yang sepertinya sudah mengantuk. Ini memang sudah lewat jam tidur siang Sofia, putri Lyra itu memang selalu kesulitan tidur jika tidak ada Ibunya.
“Aku diterima! kami akan pindah sore ini,” ucap Lyra dengan suara tertahan sambil tersenyum sumringah. Tangannya bergerak menepuk-nepuk pelan paha putrinya yang sebentar lagi akan tertidur.
"Benarkah?!" Seru Camila ikut merasa senang.
Lyra mengangguk cepat sembari tersenyum senang.
Camila menghela nafasnya dengan lega, setelah mendengar jika sahabatnya itu sudah mendapat pekerjaan. Sebenarnya dia tidak keberatan jika Lyra dan Sofia terus tinggal di kontrakkannya namun sekarang Lyra tidak bisa terus tinggal bersamanya setelah orang-orang yang sedang mencari Lyra menemukan tempatnya.
“Syukurlah, aku kira kali ini gagal lagi seperti terakhir kali."
“Majikan Bi Mirah sepertinya orang baik, dia tidak mempermasalahkan sama sekali tentang aku yang akan membawa Sofia.” Lyra menunduk memandang putrinya yang sudah tertidur bersandar di dadanya.
“Aku berharap bisa mengumpulkan uang secepat mungkin,” lirih Lyra, raut wajahnya berubah sedih.
“Kau pasti bisa! Sekarang kau sudah mendapat pekerjaan, lagi pula gaji yang ditawarkan di tempat kerjamu cukup tinggi.” Camila menepuk bahu sahabatnya itu memberi kekuatan. Seandainya dia punya banyak uang sudah pasti dia akan membantu Lyra.
Lyra mencoba mengukir senyum di wajahnya. Dia percaya semuanya akan mulai membaik kali ini.
Lyra kemudian berdiri, berjalan masuk ke dalam kamar untuk menidurkan putrinya di atas kasur lalu dia kembali ke ruang tamu, duduk bersama Camila di atas sofa.
“Apa mereka datang lagi?” Lyra bertanya khawatir.
Mengerti maksud pertanyaan Lyra, Camila memiringkan tubuhnya menghadap Lyra. Perempuan itu memainkan boneka barbie yang ditemukannya tersembunyi di balik bantal sofa.
“Tidak, sepertinya karna kemarin aku berteriak memanggil tetangga saat mereka datang, jadi mereka takut untuk datang lagi.”
“Syukurlah,” ucap Lyra lega. Dia takut orang-orang yang mencarinya datang dan mencoba menyakiti Camila.
“Apa kau masih belum bisa menghubungi bajingan itu?” Camila bertanya dengan nada jengkel.
Lyra menggeleng lemah, “Aku sudah tidak ingin menghubunginya lagi, aku sudah lelah. Lebih baik aku fokus pada Sofia, aku tidak ingin peduli lagi tentang dia.”
“Baguslah kalau kau sudah memutuskan begitu. Tapi bagaimana dengan hutang-hutang itu? orang-orang itu akan terus mencarimu selama hutang itu belum dilunasi.”
“Aku tidak pedui, selagi aku bisa bersembunyi dari mereka aku tidak akan khawatir. Lagi pula itu bukan hutangku, aku tidak pernah meminjam uang pada rentenir-rentenir itu. Mereka tidak punya hak untuk menuntutku membayarnya.”
“Betul, laki-laki berengsek itu benar-benar kelewatan, dia meninggalkanmu dan kabur bersama perempuan lain, lalu menyuruhmu membayar hutang-hutangnya. Padahal dia tau anaknya sedang sakit keras.”
Camila mendadak kesal mengingat tentang laki-laki yang menghancurkan hidup sahabatnya itu.
“Sudahlah aku tidak ingin lagi membahas tentang dia, lebih baik aku mulai berkemas sekarang. Bisakah kau membantuku untuk mengumpulkan mainan sofia ke dalam box?” Tanya Lyra, dia hendak beranjak memasuki kamar.
“Tentu,” Balas Camila.
***
“Selamat malam Tuan, nama saya Lyra Maharani, usia saya dua puluh lima tahun."
Dengan gugup Lyra memperkenalkan dirinya di depan majikannya yang ternyata masih terlihat cukup muda. Pria dengan rahang tegas, alis tebal dan hidung mancung di depannya tidak mengalihkan pandangannya dari ponsel di tangannya.
Apa ini bukan waktu yang tepat untuk memperkenalkan diri? Lirih Lyra di dalam hati.
Lyra hanya bisa menunduk memadangi tangannya yang sedang bertaut. Dia semakin gugup karna pria di depannya tidak mengatakan apa-apa bahkan tidak melihatnya sama sekali.
“Tuan Liam?”
Bi Mirah yang menemani Lyra menemui majikannya akhirnya bersuara melihat majikannya itu tidak bergeming.
Pria yang dipanggil Liam itu pun mengangkat wajahnya lalu menatap Lyra dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan tatapan menilai.
“Single mother?” Tanyanya.
“Iya Tuan,” jawab Lyra dengan gugup bercampur khawatir.
Liam mengangguk-angguk sebelum melepas kaca mata yang dipakainya. “Begini, saya tidak suka dengan anak kecil, saya menerimamu bekerja di sini karna kau kerabat Bi Mirah, jadi pastikan anakmu tidak berkeliaran di mansionku. Untuk pekerjaan dan yang lainnya kau bisa bertanya pada Bi Mirah. Itu saja, kalian bisa pergi.”
“Baik Tuan, terima kasih,” ucap Lyra lalu segera pergi bersama Bi Mirah meninggalkan Liam yang kembali sibuk dengan ponsel di tangannya.
“Sebenarnya Tuan Liam itu baik, hanya saja dia tidak bisa bersikap lembut. Bibi sudah bekerja di sini sejak Tuan Liam masih kecil, dulu dia adalah anak yang ceria, tidak seperti sekarang, kaku, jarang sekali tersenyum. Kenangan buruk masa lalunya yang membuat dia berubah begitu.”
Bi Mirah bercerita sembari membantu Lyra membereskan barang-barang bawaannya. Sebenarnya Lyra sudah melarang, Bi Mirah pasti sudah lelah bekerja seharian, namun Bi Mirah tetap kekeh ingin membantu.
“Apa Tuan Liam tidak memiliki keluarga?” tanya Lyra penasaran. Saat di meja makan dia hanya melihat Liam makan sendirian, mansion besar itu juga terlihat sangat sepi.
“Pernah, sampai Tuan Liam berusia lima tahun,” jawab Bi Mirah dengan raut sedih.
Tangan Lyra yang sedang memindahkan pakaian dari koper ke lemari terhenti. Dia memandang Bi Mirah dengan rasa penasaran yang membuncah. Sepertinya kisah hidup majikannya itu cukup menarik.
“Apa yang terjadi?” Tanya Lyra penasaran.
“Ceritanya panjang, lain kali saja Bibi ceritakan, sebaiknya kau cepat bereskan semua baju-baju itu, putrimu sudah terlihat mengantuk.” Bi Mirah, menghindari tatapan Lyra saat mengatakan itu. Tangannya dengan cepat mengeluarkan boneka-boneka kecil mainan Sofia dan menyusunnya di atas tempat tidur.
Lyra memandang putrinya di atas tempat tidur, putrinya itu sedang menonton kartun di ponselnya. Gadis kecil itu terlihat menguap, sekarang memang sudah jam sembilan. Wajar saja jika putrinya mengantuk.
“Ini hampir selesai," ucap Lyra buru-buru mengosongkan koper yang terletak di lantai di depan kakinya.
“Yasudah, Bibi ke kamar kalau begitu, Bibi sudah mengantuk,” ucap Bi Mirah lalu dengan buru-buru meninggalkan kamar Lyra.
Sepeninggalan Bi Mirah, Lyra segera membereskan sisa barang yang masih berantakan di lantai kamar. Kamar ini cukup luas. Dia tidak menyangka Tuan Liam memberikan paviliun sebagus ini untuk ditinggali oleh pembantu.
Setelah selesai Lyra akhirnya masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri sembari membawa piyama dan handuk bersih. Tidak lama setelahnya dia kembali keluar dengan wajah yang sudah lebih segar. Dia kemudian duduk di depan meja yang dijadikan meja rias di kamar itu, mengoleskan berbagai krim di wajahnya lalu kemudian menyisir rambutnya yang sudah memanjang.
“Mama! Sofia mengantuk.” Sofia yang sedang duduk di atas tempat tidur memanggil Lyra, tangannya bergerak menutup mulutnya yang terbuka karna menguap.
“Sebentar ya...” Lyra segera meletakkan sisir di tangannya di atas meja meski rambutnya belum selesai disisir.
Dia kemudian mematikan lampu kamar dan menyalakan lampu tidur, lalu beranjak naik ke tempat tidur dan menutup layar ponsel yang tergeletak di atas kasur.
“Ayo sini berbaring.” Lyra menepuk sisi kasur di sampingnya sembari melebarkan selimut yang masih terlipat.
Sofia pun menurut, gadis kecil berusia empat tahun itu mendekat dan berbaring di samping Lyra yang sudah lebih dulu berbaring.
“Selamat malam Mama, I love you,” ucapnya sembari mengecup sedua pipi Lyra, lalu tangan kecilnya bergerak memeluk Lyra.
“Love you too sayang, mimpi indah, ” balas Lyra sembari mengecup kening putrinya. Tangannya kemudian dengan lembut menepuk-nepuk pelan bahu putrinya.
Tidak lama suara nafas Sofia mulai teratur, gadis kecil itu sudah tertidur dengan nyenyak. Lyra bergerak memeluk putrinya itu dengan erat, bibirnya tak henti-henti mengecupi kepala Sofia.
Sofia adalah sumber kekuatan bagi Lyra, semua masalah yang terjadi di dalam kehidupannya dapat dia lewati karna Sofia bersamanya. Permata hatinya, separuh nafasnya.
“Mama akan selalu berusaha untuk menjagamu sayang, Mama janji, kamu akan bisa sembuh.” Lyra melerai pelukannya, dia memandang wajah putrinya yang terlelap. Tangannya bergerak merapikan poni Sofia yang terlihat berantakan.
Lalu matanya tanpa sengaja melihat bekas luka jahitan di dada putrinya itu, jahitan itu terlihat lantaran kancing piyama bagian atas yang dipakai putrinya itu terlepas.
“Jangan tinggalkan Mama sayang, Mama tidak akan bisa hidup tanpa kamu, kamu harus bertahan, Mama pasti mampu mengumpulkan uang, Mama akan berusaha sayang, Mama janji, apa pun akan Mama lakukan demi kesembuhanmu.”
Lyra mengecup bekas jahitan memanjang di dada putrinya itu, air matanya sudah tidak bisa dia bendung lagi. Tangannya bergerak mengancingkan piyama Sofia lalu menarik selimut untuk menutupi tubuh mungil itu hingga dada.
Sofia mengalami kelainan jantung sejak lahir, jantungnya sangat lemah hingga harus dilakukan beberapa kali operasi. Terhitung sudah tiga kali putrinya itu melakukan operasi bedah jantung setelah dilahirkan.
Dokter yang menangani Sofia mengatakan bahwa kondisi Sofia akan semakin lemah seiring bertambahnya usia, dan beberapa minggu yang lalu, putrinya itu kembali pingsan, dokter mengatakan dalam waktu enam bulan harus dilaksanakan pembedahan.
Lyra tidak tau bagaimana cara untuk mendapatkan uang yang cukup untuk operasi putrinya sedangkan dia tidak memiliki pekerjaan tetap, ditambah dia dikejar-kejar oleh rentenir yang diutangi oleh Harris, laki-laki tidak bertanggung jawab yang meninggalkannya dan putrinya.
Keadaan Lyra sudah agak membaik sekarang setelah dia mendapatkan pekerjaan, namun meski begitu dia tidak mungkin bisa mendapatkan uang dua ratus juta dalam enam bulan bekerja.
Tidak ada lagi barang yang bisa dia jual, rumah serta mobil sudah dijual untuk menutupi biaya operasi yang sudah-sudah. Sedangkan sekarang dia hanya bekerja sebagai pembantu. Memang untuk ukuran pembantu, gaji yang diberikan Liam memang cukup besar, tapi tetap saja itu tidak akan cukup.
“Mama akan melakukan apa pun sayang.”
Lyra kembali merebahkan kepalanya di bantal, dia percaya semuanya pasti akan ada jalannya, selama ini dia sudah mampu melaluinya, dia yakin kali ini juga akan sama. Dia akan bisa mengumpulkan uang itu. Bagaimanapun caranya!
Lyra menatap sekelilingnya dengan tatapan kagum. Mansion ini benar-benar luar biasa indah dan megah. Kemarin dia tidak benar-benar memperhatikan lantaran terlalu gugup ketika bertemu pertama kalinya dengan majikannya, Tuan Liam.
Mansion yang Luas dan besar ini memiliki aura yang sama seperti pemiliknya, dingin. Mungkin karna hanya ditinggali oleh satu orang saja.
Saat ini Lyra sedang menyiram tanaman di halaman mansion. Sekitaran mansion ini ditumbuhi banyak tanaman. Sepertinya Liam adalah orang yang menyukai tanaman. Terbukti sekeliling mansion tidak ada spot yang tidak ditumbuhi tanaman, mulai dari berbagai jenis bunga juga pohon-pohon yang tidak dibiarkan meninggi.
“Selamat pagi Tuan.”
Lyra menyapa kala melihat Liam keluar dari mansion menuju mobilnya yang terparkir di pekarangan. Seorang sopir bernama Mamat yang sedari tadi berdiri di depan pintu mengambil tas yang dibawa oleh majikannya itu untuk dimasukkan ke dalam mobil, Mamat kemudian membukakan pintu mobil untuk Liam.
Liam tidak membalas sapaan Lyra sama sekali, laki-laki itu hanya melirik sekilas melalui sudut matanya. Lyra kembali menarik sudut bibirnya yang menampilkan senyum terlalu lebar untuk menyapa majikannya. Apa yang diharapkan Lyra, tentu saja orang seperti Liam tidak akan sudi membalas sapaan seorang pembantu sepertinya.
Lyra menunduk saat mobil yang membawa Liam melewatinya. Sebagai seorang pembantu dia harus menunjukkan rasa hormatnya kepada majikannya.
Mobil hitam mengkilap itu pun menghilang di balik pagar yang tertutup otomatis.
Lyra pun melanjutkan pekerjaannya. Karena halaman mansion yang cukup luas, mungkin akan memakan banyak waktu untuk menyirami seluruh tanaman itu. Halaman belakang juga samping kiri dan kanan masih harus disiram.
Satu setengah jam setelahnya Lyra akhirnya selesai menyiram seluruh tanaman di sekitar mansion. Pekerjaan selanjutnya adalah membersihkan area kolam renang, lalu setelahnya dia akan membersihkan jendela-jendela besar di area gym.
Karena Bi Mirah sudah cukup berumur jadi dia hanya mengerjakan pekerjaan dapur. Tiga hari sebelum Lyra datang, orang yang biasanya mengerjakan pekerjaan bersih-bersih seperti itu sudah pulang kampung.
“Bagaimana bekerja di sini?”
Bi Mirah yang datang dari arah dapur membawakan segelas air putih untuk Lyra.
“Terima kasih Bibi,” ucap Lyra menerima gelas berisi air putih dari Bi Mirah.
“Area yang dibersihkan luas sekali, cukup menguras banyak tenaga. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kalau Bibi yang mengerjakan semua ini,” balas Lyra setelah meneguk air putih di tangannya.
Bi Mirah tersenyum, dia ikut duduk di kursi panjang yang di duduki Lyra. “Dua tahun yang lalu Bibi masih mengerjakan semua ini sendiri.” Bi Mirah memandang jauh ke depan. Teras belakang ini memang area yang enak untuk bersantai.
“Oh ya?” Lyra terkejut tidak percaya. Dia saja yang masih sangat muda mengaku kelelahan membersihkan sebagian tempat di mansion ini, apa lagi Bi Mirah yang sudah berumur.
“Bibi sudah terbiasa sejak dulu bekerja di sini sendirian, Tuan Liam itu tidak suka orang baru, kalau bukan karna Bibi yang jatuh sakit dan meminta berhenti dua tahun yang lalu, tentu Tuan Liam tidak akan mau menerima Imah, gadis yang bekerja sebelum kamu. Jadi, agar Bibi tetap bekerja di sini dia bersedia menerima pekerja baru asalkan itu orang yang Bibi kenal, seperti kamu dan Imah," jelas Bi Mirah panjang.
Lyra mengangguk-anggukkan kepalanya, ternyata itu penyebabnya Liam bersikap jutek padanya. Bukan karna ada yang salah dengan dirinya tapi karna memang Liam tidak menyukai orang baru.
“Kenapa Bibi tidak berhenti saja? Usia Bibi sudah cukup tua, seharusnya sekarang Bibi menikmati kehidupan Bibi, pulang ke kampung dan berkumpul dengan anak-cucu," kata Lyra simpati.
Bi Mirah menggeleng, matanya memandang jauh ke atas langit.
“Kalau Bibi berhenti, Tuan Liam akan sendirian di sini. Sejak kecil dia sudah terbiasa dengan kehadiran Bibi, dia tidak memiliki siapa-siapa.”
“Memangnya orang tua Tuan Liam kemana?” Tanya Lyra penasaran.
“Sudah meninggal saat Tuan Liam berumur lima tahun.”
Bi Mirah tersenyum getir, ingatannya melayang jauh ke masa lalu. Masa yang begitu sulit untuk diingat. Saat itu dia baru beberapa bulan bekerja di mansion. Dan kejadian naas itu pun terjadi.
“Lebih tua satu tahun dari Sofia,” seru Lyra. Dia tidak bisa membayangkan anak seusia itu harus kehilangan orang tuanya.
“Sudahlah, sekarang sudah siang. Ayo kita makan siang. Sofia pasti sudah menunggumu di paviliun.”
***
Liam pulang tepat pukul setengah tujuh, Laki-laki berperawakan tinggi itu memasuki mansion dengan menenteng jas dan tas kerjanya. Dia langsung naik ke lantai dua dan memasuki kamarnya.
Tidak lama kemudian laki-laki itu turun ke lantai bawah lalu duduk di ruang tengah menunggu makan malam. Liam menyalakan televisi, memilih-milih tontonan yang kiranya bisa menarik baginya. Berita tentang kecelakaan pesawat yang disiarkan di salah satu saluran televisi swasta menarik perhatiannya.
Liam mengetuk-ngetukkan jarinya di sandaran sofa, mendengarkan dengan fokus laporan dari reporter, hingga tiba-tiba fokusnya teralihkan. Samar-samar dia mendengar suara seseorang. Liam mengerutkan alisnya, dia menajamkan pendengarannya. Selain dirinya, yang ada di rumah ini sekarang hanya Bi Mirah dan seorang pembantu baru, kedua orang itu sekarang sedang sibuk menyiapkan makan malam di dapur, tidak mungkin suara itu berasal dari satpam yang berjaga di depan.
Merasa penasaran dengan suara tersebut Liam beranjak dari duduknya. Kakinya membawanya melangkah ke pintu samping mansion. Di luar sedikit remang.
“Mama!”
Seorang anak kecil, anak perempuan. Liam menajamkan pengelihatannya, anak kecil itu sedang menangis sambil membawa sebuah boneka beruang berukuran sedang.
“Mama! Sofia takut."
Liam membuang hafasnya kasar. Dia lalu menghampiri gadis kecil yang kelihatan ketakutan itu. Dia tidak suka anak kecil, mereka berisik.
“Siapa kau?” Tanya Liam dingin.
Gadis kecil bernama Sofia itu terlonjat kaget mendengar suara berat Liam. Melihat Liam, Sofia mendekat.
“Apa Om melihat Mamaku?” tanya Sofia dengan masih sesenggukan. Tangan mungilnya bergerak mengusap air matanya sendiri.
Liam tidak menjawab, dia menatap Sofia dengan tatapan meneliti. “Siapa kau?” Liam kembali mengulang pertanyaannya. Matanya menyorot tajam Sofia yang kini menatapnya takut-takut.
Sofia menunduk. “Namaku Sofia. Mamaku bekerja di sini,” cicitnya.
Liam memutar bola matanya jengah, dia sudah menduga, perempuan yang membawa anak itu akan sangat mengganggu.
“Bi Mirah!”
Liam berteriak, membuat Sofia semakin ketakutan, gadis kecil itu menutup telinganya dengan sebelah tangannya. Suara Liam membuat Sofia kembali sesenggukan.
Tidak berapa lama kemudian, Bi Mirah keluar dengan berlari kecil. Dia menatap bingung Liam yang memunggunginya.
“Ada apa Tuan?” Tanya Bi Mirah. Tidak biasanya Liam berteriak seperti itu.
Liam kemudian menggeser tubuhnya. Bi Mirah terkejut mendapati Sofia yang berdiri di depan Liam.
“Nenek!” Sofia menghambur memeluk Bi Mirah.
“Ada apa nak?” Bi Mirah menunduk memeluk tubuh Sofia yang terasa dingin. Dia mengusap wajah gadis kecil itu, merapikan rambutnya yang tidak terikat.
“Om itu galak,” bisik Sofia namun masih dapat didengar oleh Liam.
Mendengar itu Bi Mirah melirik takut-takut ke arah Liam yang masih berdiri di depannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!