NovelToon NovelToon

Dion [Untuk Kembaranku]

Prolog

“Kak, apa kabar?” ucap seseorang bertopi sembari mengusap batu nisan.

Dari dua bola matanya, ada berkas bening-bening kaca. Dia menangis. Dion Purnama Putra terukir jelas pada batu nisan yang masih baru itu. Tanahnya sudah tidak basah. Bunga-bunga kamboja masih merah merekah menghiasi tanah makam. Sudah dua tahun berlalu, cowok yang terbaring tanpa suara itu meninggalkan dirinya.

“Kak, malam ini aku akan mengikuti kompetisi Berbakat Musik itu. Aku akan membawa piala kemenangan untukmu,”katanya tersedu-sedu. “Terima kasih banyak Kak, kamu sudah mengajarkanku,” katanya sembari meninggalkan batu nisan itu.

Pemuda bertopi itu melangkah pergi meninggalkan pemakaman yang sunyi. Perlahan, kendaraan roda duanya bergerak dan menuju pada sebuah gedung megah. Suara hiruk pikuk terdengar seisi ruangan. Orang-orang bak ikan-ikan sarden dalam kaleng. Duduk rapi dan seperti menantikan sesuatu.

“Peserta selanjutnya, seorang cowok yang akan menampilkan kepandaiannya dalam bermain drum. Langsung saja kita panggil, Dion,” panggil pembawa acara mempersilahkan.

Pemuda itu segera maju ke atas panggung. Dia berdiri pada sebuah alat musik besar yang hampir menutupi tubuh kecilnya. Drum. Kemudian, dia duduk di sebuah kursi kecil di dekat drum dan menunjukkan kepandaian. Semua mata terpaku. Para penonton terpesona dengan permainan drum yang begitu indah. Sangat menakjubkan! Dia mampu memainkan berbagai genre indah. Jazz, Pop, dan Rock menyatu melalui stick drum yang di pegangnya.

TUK! Pukulan terakhir berhenti. Hening. Suasana sepi. Tak ada yang bersuara bahkan tidak ada yang mengedipkan mata. Tidak beberapa lama, PUK… PUK… PUK… Suara tepuk tangan mengelegar. Suara  itu memecahkan keheningan sesaat. Pemuda itu berdiri, membungkukkan badan, dan tersenyum kepada penonton.

“Selamat, ya!” ucap selamat itu terus bertubi-tubi datang kepada Dion.

Sekarang, sebuah piala kemenangan berada sangat dekat kepadanya. Dia memeluknya dengan sangat erat. Bahkan sekali-kali dia mencium benda berwarna keemasan itu. Piala ini sangat penting baginya. Dia akan memberikan kepada orang yang telah mengajarkan tentang drum kepadanya.

“Hei!” sapa seseorang. “Selamat ya atas kemenanganmu sebagai drumer terbaik!” katanya lagi. Dia memandang Dion takjub, dari ujung kaki dan kepala. Bukan hanya dia terkesima, tiga cowok di dekatnya juga melongo melihat sosok yang ada di hadapannya.

Dion mengangguk mengiyakan, membalas sapaan itu. Dia merasa senang dan bangga dengan keahliannya. Dia sudah berjuang dengan sangat keras. Tidak di hiraukan jemari-jemarinya menjadi merah dan bengkak hanya untuk memukul alat band paling besar. Sungguh sakit dan nyeri rasanya.  Namun cidera itu bukan apa-apa. Kebahagiaan yang di rasakan tidak ternilai oleh apapun.

“Kamu hebat banget main drumnya, mau gabung bareng band kita?” tambah seorang laki-laki lagi.

“Maksud kamu apa? Aku nggak ngerti?” ucap Dion menggeleng kepalanya tidak mengerti.

“Baiklah, aku akan jelaskan. Sebelum itu, perkenalkan. Aku Rian, ketua band ini dan bermain keyboard. Di samping kiri aku, Andre, dia gitaris band kami, dan dua cowok di samping kanan aku, Rio dan Bian, dia adalah bassis dan Vokalis. Dan nama band kami adalah SCORPIO,” jelas lelaki berambut sedikit botak yang bernama Rian itu.

“Terus, apa hubungannya denganku?”

“Kami membutuhkan seorang drumer. Dan kami merasa bahwa kamu sangat cocok menjadi drumer band kami,” jelasnya. “Apakah kamu mau bergabung?” tanya Rian dengan mengebu-gebu.

“TIDAK!” ucap Dion tegas.

Dion segera melangkah pergi. Dia tahu, ucapannya itu terlalu ketus. Bahkan terlalu jutek. Tapi, dia harus melakukannya. Ya, dia sudah berjanji di dalam hati. Dia tidak akan lagi bermain drum. Terlalu banyak kekacauan seandainya dia tetap meneruskan hobi kesayangnya ini. STOP! Pemain drum pada kompetisi itu adalah yang terakhir untuknya. Dia hanya bermain drum untuk orang itu, tidak lebih.

“Tunggu, kenapa kamu menolak ajakan kami? Apakah kamu sudah mempunya band sendiri?” ucap cowok bernama Andre itu mengernyit heran.

“Bukan urusan kamu. Aku tetap tidak mau bergabung dengan band kalian. TITIK!” kata Dion dengan nada marah.

Dion melangkah pergi. Good mood yang tadi menggelora berubah menjadi bad mood yang sangat dalam. Dia berlari dengan sekuat tenaga. Nafasnya terenggah-enggah. Berharap para cowok itu tidak mengejarnya dan memaksa untuk masuk ke dalam band itu. Sungguh! Dia tidak ingin bermain drum lebih daripada kompetisi ini.

LIKE! COMMENT! VOTE!

Episode 1.1

“Oke, teman-teman. Rapat hari ini saya tutup,” ucap Dea mengakhiri rapat osis.

Dea menghela nafas. Sungguh melelahkan! Jabatan sebagai ketua osis membuat dirinya sangat lelah. Dia tidak pernah berpikir sebelumnya, dia akan menduduki kursi goyang yang empuk dengan jabatan siswa tertinggi di sekolah itu.

Dia berdiri. Merenggangkan otot-otok tangan yang kaku. Malam tadi, dia bergadang untuk menyelesaikan laporan pentas seni atau pensi beberapa bulan lagi. Kemudian merapatkan laporan itu kepada pengurus osis yang lain. Dia harus membuatkan acara terakhir itu sebagai acara yang spektakuler. Bukan hanya Indonesai Idol yang harus spektakuler,  namun acara pensi yang penting ini pun harus spektakuler  dan sukses.

“Huaam,” Dea menguap. Sekali-kali dia mengucek-ngucek matanya. Dia berharap rasa mengantuk ini menghilang. “Tari, kamu ada minum?” katanya kepada sahabatnya sekaligus sekretaris osis.

Tari menganggukkan kepala. Perlahan dia mengambil sebotol minuman di dalam tasnya. Dea mengambil minuman itu dan meneguknya. Tari terpaku, dia sudah biasa dengan sahabat tomboy-nya itu. Sudah terbiasa melihat Dea menguap setelah acara rapat osis. Sudah terbiasa melihat Dea bersikap tomboy pada teman-temannya. Sudah biasa melihat gadis berlesung pipi itu berkerja dengan dengan sangat keras.

“Dea, mengapa kamu harus bergadang? Memang kamu nggak punya waktu lagi untuk menyelesai laporan itu siang hari,” tanya Tari sedikit binggung dengan kondisi Dea yang sering mengantuk.

“Bukan begitu Tar, kamu tahu sendirikan kesibukan aku?”

“Ya, aku tahu. Kamu selalu berlatih bermain drum.  Tapi aku binggung,  mengapa kamu tidak mau menjadi anak band?”

Dea hanya tersenyum, mengembangkan senyumnya. Dia tidak butuh menjadi anak band. Cukup seperti ini saja. Ketua osis yang selalu mengerjakan tugas dengan baik. Dan cewek tomboy yang selalu di kenal oleh teman dan gurunya. Kemudian dia merangkul Tari ke dalam pelukannya. You are right!, Tari adalah sahabat terbaiknya. Dia dan Tari sudah berteman sejak kecil. Mungkin sejak bayi. Mereka seperti sudah di takdirkan untuk selalu bersama. Dan hanya tari, seorang gadis yang bisa mengerti kondisinya dan menjaga secret-nya. Mungkin bukan secret yang besar, tapi sebuah secret yang membuat orang ternganga.

Pulang sekolah. Sebuah tempat sunyi ini merupakan tujuan. Sudah berulang kali, dia mendatangi pemakaman umum itu. Selalu saja menuju sudut makam. Dan pada saat ini pula, Dea menampakkan sisi wanitanya. Dia menangis. Air matanya selalu tumpah bila berhadapan langsung dengan batu nisan itu. Seperti saat ini.

Sudah hampir tiga tahun berlalu. Dion Purnama Putra, kakak laki-laki yang sangat di sayanginya, pergi ke tempat keabadian. Kecelakaan maut yang menyebabkan nyawanya menghilang. Sampai sekarang pun, Dea tidak dapat merupakan darah yang mengalir pada setiap tubuh Dion. Dan bila membayangkan cowok itu, dia selalu merasakan pipinya di elus dengan lembut oleh saudaranya itu untuk menenangkannya. Dia selalu teringat, perihnya hati ketika melihat ibunya pingsan mendengarkan berita itu.

“Kak, kenapa Kakak pergi dengan sangat cepat?” katanya sembari mengelus-elus batu nisan dengan lembut. “Kakak senang dengan piala ini?” tanya Dea.

Piala itu. Piala kemenangan kompetisi berbakat setahun lalu terbaring di dekat batu nisan Dion. Itu hadiah indah darinya pada hari ulang tahun Dion yang ke-19. Walaupun Dion sudah tiada, dia tetap ingin menciptakan senyum terindah kepada saudara laki-lakinya itu. Dengan melalui hobi kesayangannya, bermain drum.

Dea melangkah dengan sangat pelan. Mencoba menjaga frekuesi jarak langkah agar tidak terdengar oleh Tari. Bukan karena takut kepada gadis itu, tapi sudah ada ide suprise. Bukan hal yang luar biasa sih, hanya keisengan belaka.

“DUAARR!” kejut Dea.

Tari meloncat, berlari menjauhi dari tempat duduknya. Nafasnyat terengah-engah tidak teratur. Sementara Dea tertawa terbahak-bahak. Reaksi itu. Reaksi unik yang selalu di perlihatkan oleh Tari ketika dia terkejut sangat lucu. Right! Dia seperti tikus yang ketakutan ketika kedatangan manusia. Dan setiap kejadian itu pula, Dea selalu tertawa terbahak-bahak hingga mulut terbuka lebar.

“Dea, apaan sih? Kamu mau buat aku mati terkena serangan jantung,” kata Tari marah.

“Nggak kok, Tar,” kata Dea sembari menahan tawa.

“Huh, awas ya!” Tari mengancam. Tari mendekati, menyiapkan jemari tangan. Dia akan membalas perbuatan Dea. Dengan mengelitik tubuh gadis itu.

“Ampun, Tar. Aku janji kalau ini yang terakhir,” kata Dea sembari melindungi tubuhnya.

“Beneran, awas kamu bohong?”

“Aku janji, HAHAHAHA,”

“Udah Dea, jangan tertawa lagi. Nanti aku marah beneran sama kamu,” ancam Tari lagi.

Dea menutup mulut dengan tangannya. Kalau tidak, tidak tahu apa yang terjadi dengan hubungan persahabatan mereka. Namun kejadian tadi benar-benar sangat lucu. Dea sangat menikmatinya. Bisa di katakan, ada sebagian beban yang hilang dari hatinya. Dia merasakan sedikit kelegaan.

Tiba-tiba, seorang cowok dengan kacamata tebal menghampiri mereka. Dea dan Tari terpaku. Ada apa gerangan? Apa ada masalah? Dengan takut. Bukan kepada orangnya, tapi kacamatanya itu lo! Tebal banget.

“Maaf kak Dea. Kakak di panggil Pak Marwan sekarang?” ucap cowok berkaca mata itu gemetar.

“Ya, terima kasih,” ucap Dea mengeryit heran dengan tingkah cowok itu.

Perlahan, dia melangkah pergi meninggalkan Tari yang masih sedikit marah. Pak Marwan, ada urusan apa dengan Wakil Kepala Sekolah itu? Apakah dia sudah melakukan kesalahan besar? Atau jangan-jangan, guru-guru dan teman-temannya sudah mengetahui secret itu?

LIKE! VOTE! AND COMMENT!

Episode 1.2

Tok… tok… tok… !

“Permisi, Pak!” kata Dea sopan.

“Oh, Dea. Kamu sudah datang!” kata Pak Marwan menoleh ke arahnya. “Bapak bisa minta tolong,” katanya dengan melirik seorang cowok yang berdiri di hadapannya.

“Minta tolong apa, Pak?”

“Kamu bisa mengantarkan Andre, siswa baru, untuk melihat-lihat sekolah kita,” ucap Pak Marwan sembari memperkenalkan Dea.

Dea terkejut. Andre. Nama itu. Dan…Wajah itu. Dia teringat dengan kejadian di gedung kompetisi berbakat musik itu. Dan Scorpio. Ah, dia teringat dengan nama band yang mengotot untuk mengajaknya bergabung. Dea mulai takut. Apakah cowok itu akan mengenalnya? Dea menghela nafas. Dia mencoba untuk menenangkan pikirannya. Sekarang, dia adalah seorang cewek, bukan pemuda pada kompetisi itu, dan juga bukan Dion. Aman!

“Jadi, bagaimana Dea. Apakah kamu bisa membantu bapak,” ulang Pak Marwan lagi.

“Bisa Pak,” kata Dea tegas.

“Terima kasih, Dea. Bapak sangat tertolong,” ucap Pak Marwan berterima kasih.

“Ini perpustakaan sekolah. Di depan sana, itu ruang UKS. Kemudian… ,”

“Sudah, aku bosan. Lebih baik kita berbicara yang lebih penting saja,” kata Andre memberhentikan penjelasan Dea.

“Maksud kamu?”

“Setahun lalu, aku menonton Kompetisi Berbakat Musik. Pada saat itupula, aku bertemu dengan seorang drumer berbakat”.

Dea terkejut. Hatinya berdetak dengan sangat cepat. Apa maksud ucapan Andre itu? Apakah dia tahu? Huh! Dea mencoba bersikap tenang. Dia tidak mau Andre curiga dengan dirinya.

“Terus, apa hubungannya?” tanya Dea pura-pura tidak mengerti.

“Kamu tidak perlu berpura-pura lagi, Dea. Eh, atau aku panggil Dion aja ya!” kata Andre sembari tertawa. Dia tersenyum dengan penuh kemenangan.

Secret. Bagaimana ini? Rahasia itu sudah terbongkar. Aduh! Dea tida tahu harus berbuat apa, Andre pasti akan memaksanya lagi untuk bergabung dalam bandnya, Scorpio. Dea menunduk. Dia mencoba mencerna setiap perkata Andre. Tidak mengerti. Dia menggelengkan kepala. Perlahan, mengambil nafas dan menghembuskan pelan-pelan.

“Maksud kamu?”

“Sudahlah, akhiri aja kebohongan ini. Aku sudah tahu semuanya,”

Dea berpikir. Sudah tahu? Jadi, Andre sudah tahu semua kebenaranya. Dion. Drumer. Malam kompetisi. ARGH! Bagaiman ini? Apa yang harus di lakukan olehnya. Diam saja. Ataukah membiarkan rahasia ini akan di ketahui orang?

“Jadi, kamu mau apa?”

“Sama seperti dulu. Aku ingin kamu bergabung dengan band kami,”

“TIDAK!” jawab Dea tegas.

Andre tertawa. Lagi. Kini kata penolakan itu kembali terdengar. Gadis di hadapannya ini sangat keras kepala. Dea masih berdiri teguh pada pendiriannya. Dia sudah tidak mau berurusan dengan cowok itu, segera dia melangkah meninggalkan Andre yang masih tertawa. Menjauh dari cowok yang sudah mengetahui rahasianya itu.

Pelajaran Matematika menjadi membosankan. Tidak dapat berkonsentrasi. Dia terus memikirkan pembicaraan singkat dengan Andre. Apa yang harus di lakukannya? Diam saja. Entahlah, dia benar-benar binggung. Hingga pelajaran usaipun, pikiran Dea masih belum bisa tenang. Kerutan pada kepala terbentuk. Dia terlihat seperti Einstein yang kebinggungan.

“Dea, kamu kenapa?” tanya Tari.

Dea menggelengkan kepala. Untuk saat sekarang, dia tidak ingin menceritakan kepada siapa-siapa termasuk Tari, sahabatnya. Dia ingin menyelesaikan masalah ini sebelum secret itu terbuka terlalu jauh.

“Tar, kamu tahu Andre kelas berapa?”

“Andre?” pikir Tari. “Maksud kamu, Andre Steven, si siswa baru yang ganteng itu?”

“Ganteng?” kini Dea yang berpikir. “Terserahlah, dia kelas berapa?” lanjut Dea.

“Setahu aku, dia kelas XI IPS 2, kenapa kamu cari dia?”

“Nggak kok!” jawabnya sembari melangkah pergi.

Jam tangannya baru menunjukkan pukul 4 sore. Para siswa-siswi yang lain sudah pulang kecuali Dea dan beberapa anak ekstrakulikuler. Dia segera pergi menuju ke ujung ruangan di sisi sekolah. Ruang osis. Kemudian duduk pada kursi singasana. Memandang langit sore yang sangat indah. Dia mencoba untuk menenangkan hati yang sedang kebinggungan. Galau. Bahkan tidak tahu arah.

“Kok, kamu melamun,”

Dea terkejut, dan menoleh kea rah sumber suara. Andre. Ada apa gerangan? Mengapa dia datang ke ruang osis. Pasti, Dea mulai mengetahui maksud kedatangannya. Dia pasti ingin mengajak Dea bergabung ke dalam bandnya. Dan jawabannya sudah pasti, TIDAK.

“Ruangan ini tidak boleh di masuki oleh orang selain pengurus osis,” kata Dea  mengusirnya.

“Siapa yang buat peraturan itu? Sekolah? Nggak kan?, jadi siapa saja boleh masuk ke ruangan ini,”

Dea diam. Right! Ruangan ini boleh di masuki siapa saja. Pengurus maupun bukan pengurus osis. Namun tidak untuk Andre. Dea melarangnya. Siswa baru itu di anggapnya sebagai musuh besar yang harus di hindari. HARUS! .

“Mau apa kamu ke sini? Kalau kamu mau mengajak aku untuk gabung ke dalam band kamu, maka… aku menolak,” ucap Dea ketus.

Andre tersenyum. Dia  tidak menghiraukan ucapan-ucapan itu. Sedangkan Dea benar-benar terlihat sangat murka. Muka cemberut. Bibirnya menahan geram. Bola matanya memancarkan kemarahan.

“Kamu ketua osis ya?” tanya Andre. “Kamu siswa teladan, tapi mengapa kamu tidak mengumumkan kebanggaan itu, sekolah pasti bangga kepada kamu,”

Dea diam. Dia tahu akan hal itu, dia sangat bangga dengan kemenangan kompetisi tersebut. Itu adalah impiannya. Hanya saja, dia tidak ingin bermain drum lebih daripada hobinya. Apalagi bergabung dengan anggota band lalu di ketahui orang lain. Dia hanya ingin hobinya sebagai secret. Sebuah secret yang akan menjadi sebuah kenangan indah untuk kakak tersayangnya. Sungguh, tidak lebih.

“Bukan urusan kamu! Sebaiknya kamu pergi saja dari ruangan ini, kamu MENGANGGU!”

Andre belum menyerah. Matanya menatap Dea dengan sangat tajam. Perlahan, Kakinya melangkah mendekati Dea. Dekat. Makin dekat. Sangat dekat. Sekarang, posisinya tepat saat berada di hadapan Dea. Dia masih menatap Dea. Lebih tajam daripada yang tadi. Bahkan lebih tajam daripada elang. Gadis itu menjadi salah singkah.

“Apaan kamu, jangan dekat-dekat aku!” usir Dea.

Andre mengedipkan mata. Dia bukannya mendengarkan perintah Dea, namun semakin mendekat. Kedua tangan Andre memegang meja. Tubuhnya di bungkukkan dan mensejajarkan kepala ke kepala Dea. Wajahnya tepat berada pada wajah Dea. Matanya menatap tajam. Dea bisa merasakan nafas Andre yang tenang keluar dari hidungnya. Dag… dig… dug… Hati Dea berdetak dengan keras. Wajahnya memerah. Dia tersipu malu.

“Awas! Jangan dekat-dekat!” usir Dea lagi.

“Ya, sudah. Besok aku datang lagi ya!” ucap Andre melangkah pergi, dengan meninggalkan rasa kesal dan juga wajah tersipu bagi Dea.

PLEASE! PLEASE! LIKE DAN COMMENT NYA DONG!!!

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!