Belakangan ini Olivia sangat sering mengikuti sosok senior yang membuatnya kagum. Senior itu memiliki wajah dingin dan tegas, yang justru menambah ketampanannya. Sudah setahun Olivia menyukainya. Sekarang ia memiliki keberanian untuk menyatakan cintanya.
Hari ini ia memang tidak ada jadwal belajar di kampus, jadi Olivia memiliki kesempatan untuk bertemu dengannya. Olivia berdiri di parkiran tempa mobil biasanya parkir, setelah melihat mobil sudah diparkir oleh pemiliknya, Olivia langsung menghampirinya.
Untuk menyatakan perasaannya, Olivia sudah berdandan dengan cantik hari ini. Untuk lebih menarik perhatian seniornya. Wajahnya berseri-seri, penuh dengan senyuman, mndekat ke arah seniornya.
"Kak Alex, Ada hal yang mau aku bilang?"
Olivia meletakkan tangannya dibelakang untuk menghilangkan kegugupan. Waktu itu masih pagi, tapi sudah terbilang cukup banyak mahasiswa yang datang ke parkiran.
"....."
Karena seniornya tidak menjawab, ia langsung mengungkapkan niatnya.
"Aku cinta sama kakak. Kakak mau tidak, menerima cinta aku"
Olivia mengatakan satu kalimat dengan lancar, keringat mengalir di pelipis wajahnya. Saat mengatakannya ia hanya menunduk, tidak berani menatap waja seniornya.
Tidak ada sedikitpun suara yang berasa dari mulut pria itu, Olivia memberanikan diri melihat mata pria dihadapannya. Hanya ada tatapan dingin dari pria itu. Telinga nya tiba-tiba menangkap suara samar-samar di parkiran.
'Lihat Olivia, dia menyatakan perasaannya sama senior'
'Berani banget dia'
'Dasar perempuan tidak tau diri, dia tidak punya kaca ya dirumah. Pantesan saja berani'
'Orang yang lebih dari dia saja ditolak'
'Kelihatan sekali murahannya'
Olivia menatap orang-orang yang membicarakannya. Orang-orang itu hanya menatapnya dengan wajah kebencian dan menjijikkan. Olivia mengerutkan alisnya bingung. Kenapa mereka berkata buruk tentang aku?
"Minggir, jangan pernah temui saya lagi"
Hanya dengan satu kalimat dari bibir pria itu mampu untuk membuat dirinya lemah. Olivia menyingkir dari hadapan pria itu, membiarkan melewatinya seperti angin. Ia hanya menatap sendu pada punggung kasar pria itu.
......
"Heii, kamu Olivia kan?"
Olivia yang sedang menikmati makanannya hampir tersedak saat mendengar suara kerasa menghampirinya. Ia terengah-engah, mengambil minum dan melegakan tenggorokannya. Ia menatap sosok wanita didepannya, melihat lencana di dipakainya menandakan kalau wanita ini adalah seniornya.
"Iya, Kak. Memangnya kenapa?"
Olivia menatapnya dengan pandangan bingung. Ia tidak kenal dengan wanita ini, tapi kenapa wanita ini mendatanginya.
"Beranin banget kami menyatakan cinta sama Alex. Alex itu calon pacar aku"
Wanita itu berteriak di depan wajahnya, matanya bahkan hampir keluar sangking marahnya.
"Tapi, aku dengar kak Alex belum punya pacar"
Olivia akhirnya mengerti mengapa seniornya ini mendatanginya. Pasti gara-gara kejadian tadi pagi, berita pernyataan cintanya dengan Alex menjadi perbincangan hangat dikampus. Berita itu disebar secara anonim di forum kampus, bahkan dosen pun bisa melihatnya.
"Berani jawab lagi, dengarin ya! Kamu itu tidak pantas dengannya! Kalau kamu masih berani deketin Alex lagi, aku tidak akan segan-segan untuk mengusir kamu dari kampus ini atau kalau perlu, aku bisa pakai cara kekerasan"
Wanita semakin emosi, di cafetaria sedang ramai saat itu. Otomatis mereka mendengar semuanya yang terjadi. Tak banyak dari mereka yang mencibirnya dengan kata-kata buruk.
"....."
Karena tidak mendapat tanggapan darinya, wanita langsung pergi dengan marah. Menggertakan giginya, orang-orang yang mengenalnya bahkan tidak berani menyapanya.
Olivi yang ditinggal hanya bisa diam, menundukkan wajahnya. Makannya masih tersisa banyak, tapi selera makannya langsung hilang. Ia bangkit dari kursi dan pergi, tanpa mempedulikan tatapan sinis dari semua orang.
.....
Hari sudah senja, karena tidak ada kegiatan lagi, ia memutuskan untuk pulang. Mengistirahatkan dirinya, kejadian hari banyak menguras tenaganya. Ia harus melawan dan menghadapi orang-orang yang membencinya karena pernyataan cintanya. Saat fokus dengan lamunan nya di jalan, ia mendengar ponselnya berdering. Itu nomor asing yang tidak dia kenal.
"Halo, apakah ini dengan saudara Olivia"
Untuk menghilangkan rasa penasarannya, ia langsung mengangkat ponselnya. Suara diujung ponsel langsung mencapai indera pendengarannya, seorang pria, suaranya tegas dan sopan.
"Iya, saya sendiri"
Olivia membalasnya dengan sopan.
"Ibu anda dipukuli oleh sekelompok preman tadi. Saat ini kondisinya sedang kritis. Mohon segera datang ke rumah sakit segera"
Pria itu memberitahukan kabar ibunya yang masuk rumah sakit. Tubuhnya bergetar, ponsel yang dipegangnya hampir terjatuh. Hanya dengan satu kalimat ia langsung pergi tergesa-gesa ke rumah sakit.
"Baik, dok. Saya akan segera datang"
Kepergiannya yang tergesa-gesa langsung menarik perhatian mahasiswa dikampus, semenjak berita nya terkenal, semua mahasiswa siswa kampus hampir mengenalnya. Kepergiannya yang tergesa-gesa justru menjadi bahan pertanyaan bagi semua orang. Tak terkecuali sosok pria yang membuatnya terjerat dalam berita itu.
....
Di cafetaria, Alex sedang menikmati makan siangnya yang hampir terbilang sore bersama dengan 2 Sabahat dekatnya di kampus. Mereka Allano dan Steven. 2 orang laki-laki yang saling bertolak belakang, tapi mampu untuk menjadi sahabat.
Alex menikmati makanannya tanpa melihat tatapan kagum dari mahasiswa di cafetaria. Sebenarnya ia paling membenci keramaian, karena perutnya sudah lapar, ia terpaksa makan disana.
"Lex, aku dengar Olivia bilang cinta sama kau. Beneran?"
Allano membuka keheningan diantara mereka. Mengucapkan satu kalimat yang membuat mood makannya turun. Ia sangat jengkel jika menginginkan kejadian tadi pagi.
"Hmm"
"Terus diterima?"
Steven bertanya dengan semangat.
"Sepertinya kita sudah tau apa jawabannya"
Allano menatap Alex dengan seringai licik, Alex yang ditatap hanya acuh tak acuh. Tidak untuk baginya untuk menjawab pertanyaan yang tidak penting.
"Apa?"
"Yasudah pasti ditolak"
Allano berkata dengan semangat, sambil membayangkan bagaimana cara Alex menolak wanita itu.
"Wajar saja sih ditolak, yang lebih dari Olivia saja ditolak"
Steven menambahkan, Allano mengangguk setuju. Saat orientasi mahasiswa baru, banyak senior yang menyatakan cinta pada Alex. Tapi ia menolak semuanya tanpa terkecuali.
"Itu orang nya bukan"
Allano dan Alex sontak menatap sosok yang ditunjuk Steven, menatap gadis yang melewati mereka dengan tergesa-gesa. Meja makan mereka tepat di sebelah meja. Sehingga mereka bisa melihat Olivia yang berlari ke arah cafe untuk menunggu taxi.
Alex bahkan tanpa sadar melihat kegelisahan dari mata wanita itu, wajahnya terlihat pucat dari terakhir kali ia lihat tadi pagi. Tapi, ia langsung mengalihkan perhatiannya ke ponsel. Bermain game tanpa mempedulikan temannya yang berisik.
.....
Setelah turun dari taxi, Olivia langsung tergesa-gesa masuk ke rumah sakit. Membuka pintu ruangan dimana ibunya berada. Di bangsal putih, ibunya dirawat. Ia melihat tubuh ibunya berbaring di bangsal, dengan beberapa luka di wajah dan selang infus di tangan kanannya.
"Ibu"
Olivia memanggil ibunya dengan nada senduh, ia memeluk pelan tubuh ibunya, takut akan menyakitinya. Ibunya yang awalnya menutup mata langsung membuka matanya saat mendengar suara putrinya.
"Oliv"
Suaranya hangat dan lembut, sangat menenangkan di hati. Ibunya adalah wanita sangat lembut didunia. Matanya selalu memancarkan kasih sayang untuk Olivia, putri satu-satunya.
"Ibu tidak apa-apa kan? Bagaimana kabar ibu? Olivia takut saat mendengar dokter mengatakan kalau ibu kritis"
Olivia berkata dengan panik, meneliti tubuh ibunya satu-persatu. Memperhatikan luka-luka yang terdapat dibeberapa anggota tubuh ibunya. Ia menatap ibunya, air matanya mengalir diujung matanya. Sejak diperjalan tadi, ia menahan air matanya agar tidak menanggung orang-orang yang melihatnya. Sekarang Olivia bisa mengeluarkan air matanya dengan lega.
Menghilangkan semua rasa takut dan kekhawatiran di hatinya. Ibu satu-satunya tiba-tiba dibawa ke rumah sakit, merupakan pukulan yang berat untuknya. Rasa takut kehilang mengalir ditubuhnya. Ia tidak ingin merasakan kehilangan untuk yang kedua kalinya lagi.
"Sekarang ibu sudah lebih baik sayang"
Wanita dibangsal menjawab dengan senyum, tangan satunya yang tidak diinfus mengelus pelan kepala putrinya. Memancarkan kasih sayang yang besar didalamnya. Mencoba untuk menenangkan putrinya.
..... Bersambung .....
Siang ini, Olivia ada jadwal belajar di kampus. Ia berjalan dengan beberapa buku di lengannya. Rambutnya terurai berterbangan terkena angin, sepertinya cuaca sedang tidak bagus hari ini. Untung saja ibunya sudah diperbolehkan pulang kemarin, itupun karena keinginan ibunya sendiri untuk dirawat di rumah.
Olivia tidak bisa menolak keinginan ibunya untuk dirawat di rumah. Jadi, ia meminta pada dokter yang menangani ibunya di rumah sakit untuk memperbolehkannya pulang. Dokter mengijinkannya dengan beberapa syarat.
Olivia menatap gedung kampus didepannya, memperhatikan kanan kiri dan menyebrang. Ia berjalan dengan santai, sesekali bersenandung ringan. Kakinya tiba-tiba kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Ia mendengar suara tertawa di belakang, Olivia bangkit, membersihkan debu ditubuhnya dan mengambil kembali buku-buku yang berserakan.
Ia berdiri dan menatap beberapa wanita yang menatapnya dengan sinis.
"Rasain, siapa suruh kamu suka sama kak Alex. Pakek nyatain cinta lagi"
Wanita itu berkata dengan sinis, menatap Olivia dengan senyum meremehkan.
"Kamu itu tidak pantas sama kak Alex, sebaiknya jauh-jauh deh dari kak Alex. Awas saja kalau masih berani deketin"
Teman disebelahnya juga
ikut-ikutan memperingatinya.
"Oh iya, bagaimana keadaan ibu kamu? Pasti sakit ya semalam?"
Wanita itu berkata dengan seringai disudut mulutnya. Olivia mengerutkan dahinya. Ia menatap curiga pada wanita didepannya.
"Jangan bilang kamu yang membayar preman itu untuk melukai ibu aku!?"
"Iya! Memang kenapa?"
Wanita itu menjawabnya dengan santai, acuh tak acuh.
"Kalau kamu benci sama aku, seharusnya kamu tidak melibatkan ibu aku didalamnya"
Olivia mengepalkan tangannya, tubuhnya bergetar menahan amarah. Seandainya ia bukan berada di daerah kampus, pasti tangannya sudah melayang ke wajah wanita didepannya.
"Terserah aku, itu masih belum seberapa. Kalau kamu masih berani mendekati kak Alex lagi, aku akan mengeluarkan kamu dari kampus ini"
Wanita itu berkata sombong, tertawa bersama teman-temannya.
"Oke, bahkan sebelum kamu usir pun, aku sudah ingin mengundurkan diri dari sini"
Olivia mengatakannya dengan percaya diri.
"Bagus kalau kamu sadar"
Wanita itu akhirnya pergi dari hadapan Olivia, meninggalkan Olivia yang masih setia berdiri di tempat awalnya. Ia kehilangan mood belajarnya dan akhirnya memutuskan untuk pergi ke gedung belakang kampus.
.....
Di gedung belakang kampus tergolong sunyi, hanya ada pepohonan besar yang rimbun. Lantai gedung terlihat bersih walaupun jarang dibersihkan. Ia berjalan dipinggir lantar dan memutuskan untuk duduk.
"Aku harus cari kampus lain sekarang"
"Kalau kamu menyerah itu tandanya kamu pengecut"
Sebuah suara dingin tiba-tiba masuk ke dalam telinganya, Olivia memutar kepalanya untuk mencari sumber suara. Matanya terpaku pada sosok laki-laki yang masih berbaring di lantai dengan mata yang masih tertutup.
Ia menatap wajah tampan laki-laki yang masih tertidur, karena sadar akan diperhatikan oleh wanita di depannya. Pria itu membuka matanya dan bangkit dari tidurnya. Pria itu menatap tajam Olivia.
"Aku Allano"
Melihat keterdiaman wanita didepannya, Allano membuka suara untuk mencairkan suasana tegang itu.
"Olivia"
Olivia membalas salam perkenalan pria dihadapannya.
"Aku sudah tau namamu, kau langsung terkenal dalam sehari gara-gara pernyataan cintamu"
Allano menggaruk rambutnya yang tidak gatal, tersenyum tipis disudut bibirnya.
"Seharusnya aku tidak perlu mengatakannya"
Olivia menjawab kalimat pria itu dengan nada pelan. Menyadari nada yang tidak menyenangkan datang dari wanita didepannya, Allano memutuskan untuk mengakhiri pembicaraan.
"Ini"
Allano memberikan selembar kertas kepada Olivia. Olivia mengambilnya, memperhatikan kata-kata yang tertulis di atas kertas.
"Apa ini?"
Kalimat pertama kali yang ia baca di kertas itu adalah "Beasiswa+Biaya Hidup+Biaya Tempat Tinggal". Judul di kertas sangat menarik perhatian Olivia. ia menatapnya dengan mata berbinar.
"Aku pikir kau lebih membutuhkannya saat ini, aku menemukannya di selokan kemarin"
Allano menjawabnya dengan asal. Pria ini sepertinya sangat suka berbuat jahil kepada orang lain, benar-benar mengesalkan.
"....."
Menyadari keheningan sekitar, Allano memutuskan untuk bangkit dan pergi. Meninggalkan Olivia seorang diri.
"Bercanda. Aku akan pergi sekarang"
Olivia mengabaikannya, matanya fokus membaca seluruh isi kertas. Ada beberapa hal yang membuatnya bingung dari keterangan isi kertas itu. Kemudian ia memutuskan untuk bertanya dengan wakil dekan.
.....
Disinilah Olivia berada, Lantai 5 ruang dekan. Untungnya lift bisa digunakan (biasanya khusus untuk tamu), jika tidak maka ia tidak punya pilihan lain selain menaiki tangga. Menaiki tangga sampai lantai 5 bukan langkah yang mudah, belum sampai ke ruang, ia sudah kehabisan nafas.
Tok....tok...
Agar terlihat sopan, ia mengetuk pintu terlebih dahulu. Hingga suara didalam menjawab, barulah ia memutuskan untuk masuk.
"Masuk"
Olivia masuk kedalam, tidak lupa menutup pintu kembali. Saat akan berbalik ia dikejutkan oleh sesuatu yang sangat ingin ia hindari. Ia ingin segera melarikan diri sekarang, tapi itu pasti terlihat tidak sopan. Ia memutuskan untuk melangkahkan kakinya, duduk disebelah pria itu. Pria itu masih belum menyadari kehadirannya, karena masih sibuk menulis dihadapannya wakil dekan.
"Olivia?, Ada apa kamu datang kemari"
Wakil dekan berkata dengan terkejut. Wakil dekan merupakan teman dekat ayahnya saat masih di sekolah menengah. Tentu saja ia mengenal nya dengan baik.
"Ada yang ingin saya tanyakan kepada ibu"
"Apa itu?"
Olivia mengeluarkan selembar kertas yang diberikan oleh Allano tadi dari tasnya. Kertasnya agak terlihat kusut karena terlipat.
"Teman saya memberikan kertas ini pada saya, setelah saya melihat isi kertasnya, ada beberapa hal yang saya tidak mengerti"
Wakil dekan mengambilnya dan membacanya sekilas.
"Isi kertas ini memang asli dan kampus yang ditujukan kebetulan bekerjasama dengan kampus ini. Makannya seandainya kamu ingin mendapatkan beasiswa untuk bisa melanjutkan dikampus tujuan, maka kamu harus lulus ujian di kampus ini"
Olivia berpikir sebentar, Tes Masuknya cukup terbilang sulit. Untuk bisa mendapatkan beasiswa di kampus tujuan, harus mengikuti ujian dikampus ini bulan depan. Ujian di kampus ini cukup sulit, banyak mahasiswa yang tidak lulus.
"Tapi saya tidak melihat jadwal ujian yang tertulis didalamnya?"
Olivia yang awalnya tidak mengetahui kalau ada ujian langsung berkecil hati.
"Iya, sepertinya ada kesalahan didalam percetakan. Sebentar ibu ambil kertas yang baru di revisi"
Wakil dekan pergi, setelah itu keheningan melanda. Pria disebelahnya masih sibuk menulis. Pria itu bahkan tidak menoleh atau menatapnya sebentar. Mungkin benar, menyatakan perasaannya pada pria ini seharusnya tidak pernah ia lakukan. Walaupun secinta apa pun dia dengan laki-laki ini.
Setelah wakil dekan datang, ia memberikan kertas yang baru saja dibawahnya. Olivia mengambilnya dengan sopan dan keluar ruangan setelah berpamitan. Meninggalkan ruangan tanpa menyapa laki-laki itu sedikitpun.
.....
Alex tidak tuli sedikitpun, sejak awal wanita ini datang, ia sudah mengetahuinya. Mengetahui dari nama yang disebutkan oleh wakil dekan. Bahkan saat wanita itu duduk disebelahnya, ia masih berpura-pura untuk melakukan kegiatannya sendiri, tanpa mempedulikan wanita disampingnya.
Sampai ketika, kalimat "Beasiswa di kampus lain" terucap, ia terdiam, menghentikan kegiatan menuliskannya untuk sesaat. Matanya masih enggan menatap wanita disebelah, tapi telinga dan pikirannya fokus pada wanita disebelahnya.
Kalau wanita ini membahas Beasiswa di kampus lain di ruang wakil dekan, itu menandakan kalau wanita ini memiliki niat untuk pindah ke kampus lain. Alex sudah mengetahui isi kertas itu, karena ia yang mencetak revisinya kemarin. Isi kertasnya terbilang cukup menguntungkan, terutama bagi mahasiswa yang terkendali biaya.
Tapi ia tidak pernah berpikir kalau wanita disebelahnya akan tertarik. Saat wakil dekan pergi pun, wanita ini masih diam. Apakah dia berpura-pura untuk tidak mengenalku? Tapi aku tidak peduli sedikitpun! Seharusnya aku senang karena wanita ini tidak akan mengangguku lagi.
Sampai setelah wakil dekan datang kembali, suasana ruangan mencair. Wanita itu menerima kertas yang diberikan wakil dekan dan pamit untuk undur diri. Setelah kepergiannya, Alex hanya menatap pintu yang sudah tertutup. Menandakan bahwa wanita yang mengusik dirinya sudah hilang.
...Bersambung....
Olivia menatap ibunya yang sedang menjahit pakaian pesanan pelanggan. Semenjak ayahnya meninggal 4 tahun yang lalu saat dirinya masih disekolah menengah pertama, ibunya bekerja sebagai serabutan untuk menghasilkan uang. Walaupun hasilnya tidak banyak, tapi bisa mencukupi kehidupan sehari-hari dan juga untuk biaya sekolah nya. Olivia bahkan tak segan untuk membantu pekerjaan ibunya. Walaupun hasilnya belum terbilang cukup baik. Tapi ia senang bisa tetap membantu ibunya.
Setelah berdiri cukup lama, ia berjalan kearah ibunya. Ditangan kirinya ia memegang kertas yang diberikan wakil dekan di kampus tadi. Ibunya duduk di kursi ruang tamu. Olivia pun duduk disebelah kursi ibunya, menatap ibunya yang masih fokus menjahit. Ibunya menjahit pinggiran baju yang sepertinya baru saja dipotong. Potongan sisa baju masih berserakan dilantai.
"Bu, ada yang mau aku bicarain sama ibu?"
Olivia mengeluarkan suaranya setelah sekian menatap ibunya yang masih fokus menjahit pakaian dipangkuan ya. Ibunya menggunakan jahitan tangan jika hanya menjahit pinggiran setelah selesai dipotong, setelah itu baru dirapikan dengan menggunakan mesin.
"Iya"
Ibunya menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari pakaian yang dijahit. Tangannya masih memasuki jarum yang sudah berisikan benang ke permukaan pakaian yang akan dijahit.
"Aku punya kabar baik, Bu"
"Tadi teman aku memberikan kertas, di kertas itu berisi informasi mengenai Beasiswa+Biaya Hidup+Biaya Tempat Tinggal, bu. Aku juga sudah bertanya kepada wakil dekan soal itu. Menurut ibu bagaimana?"
Ibunya menghentikan pekerjaannya, menatap Olivia dengan senang. Tangannya memasukkan jarum kedalam gumpalan benang, melipat pakaian sampai rapi. Saat ini ia ingin fokus mendengarkan perkataan putrinya.
"Menurut ibu itu bagus, kamu mau ikut?"
Ibunya bertanya, menatap putri tunggalnya.
"Oliv mau, Bu. Seandainya Oliv lulus beasiswa, ibu tidak perlu lagi berkerja terlalu keras. Oliv, tidak ingin melihat ibu kerja terlalu keras"
Oliv merendahkan suaranya, terlihat jelas diakhir kalimat nya ditujukan untuk wanita paru baya yang merangkap sebagai ibunya dihadapannya ini. Ia sangat sedih melihat ibunya bekerja terlalu keras untuk dirinya. Pernah ketika, ibunya bekerja Samapi larut dan harus berakhir di rumah sakit. Saat mengingatkannya kembali, Olivia merasakan nyeri didadanya.
"Itu sudah menjadi tanggung jawab, ibu. Kalau pun kamu mendapatkan beasiswa itu berarti rezeki kamu. Tapi walau bagaimanapun ibu harus tetap berkerja untuk memenuhi kebutuhan kita yang lain"
Ibunya mendekatkan diri padanya, memberikan kata-kata yang menenangkan hati. Tak lupa menampilkan senyuman lembutnya.
"Seandainya ayah masih hidup, pasti ibu tidak akan berkerja sekeras ini"
Olivia berkata dengan sedih, peristiwa yang menimpah ayahnya saat melakukan pekerjaan, benar-benar menjadi pukulan yang besar bagi ia dan ibunya. Ia bukan hanya kehilangan kehidupannya, tapi juga kehilangan sosok ayah yang selama ini sangat ia sayangi. Sedangkan ibunya harus menjalani kehidupan yang berat. Bukan hanya bekerja keras sebagai tulang punggung keluarga, tapi juga harus kehilangan sosok suaminya yang sangat ia cintai.
"Sayang, ayah sudah tenang disana. Kalau Oliv sedih, nanti ayah juga akan ikut sedih"
Ibunya menatapnya dengan sendu, sebenarnya ia pun masih belum bisa melupakan peristiwa mengerikan itu. Tapi, ia tidak bisa berlarut-larut untuk terus bersedih. Masih banyak kehidupan didepannya yang sedang menanti. Ia tidak pernah sedikitpun menampilkan wajah sedih didepan putrinya, agar putrinya tidak terlalu memikirkan kesedihannya.
"Iya,Bu. Oliv tidak akan sedih lagi"
Oliv, menghapus setitik air mata disudut matanya. Bibirnya tersenyum melengkung keatas, memancarkan kelembutan seorang anak.
"Itu baru anak kesayangan ibu, untuk beasiswa ini, itu terserah kamu mau ikut atau tidak. Ibu yakin apapun yang kamu lakukan pasti ada alasannya. Yang penting kamu tetap rajin belajar, agar suatu saat mimpi kamu bisa tercapai. Ayah pasti bangga sama kamu, kalau kamu bisa berhasil"
Ibunya memeluknya erat, menyalurkan kasih sayang yang besar terhadap putrinya ini. Hanya Olivia yang ia punya sekarang, dan ia berjanji untuk selalu membahagiakan putrinya kelak.
"Iya, Bu. Aku janji"
Olivia membalas pelukan ibunya, meletakkan kepalanya di dada ibunya. Hingga akhirnya kedua orang dikursi itu meninggalkan kursi dan tidur dikamar masing-masing.
Rumah yang sekarang ditempati Olivia, merupakan rumah sewa yang sederhana. Hanya ada 2 kamar tidur, 1 kamar mandi, dapur dan juga ruang tamu. Mereka menempati rumah itu karena harganya yang murah, penyewanya juga orang baik yang tidak pernah menagih mereka kalau mereka tidak memiliki uang. Tapi, bagaimana pun keadaan mereka saat ini, ia dan ibunya tetap bersyukur. Masih bisa diberikan tempat yang nyaman untuk berteduh dan menghilangkan rasa lelah setelah beraktivitas.
......
Alex yang baru saja selesai belajar, turun dari kamarnya untuk kedapur. Mengambil air hangat untuk menghilangkan dahaga ditenggorokannya. Ia sengaja memilih air hangat dari pada air dingin. Air hangat membantu tubuh dan perutnya tetap hangat, sehingga tidurnya bisa terasa nyaman.
"Alex, papa ingin kamu segera belajar tentang perusahaan. Setelah kamu lulus nanti, kamu yang akan menggantikan papa sebagai pemimpin perusahaan"
Saat hendak kembali, ia mendengar beberapa kata keluar dari mulut papa nya. Saat ini, papa nya sedang duduk dengan mama nya di ruang tamu. Papa nya membaca koran dan mama nya menonton televisi. Saat berbicara dengan Alex pun, papa nya masih tetap menatap koran.
"Iya, Alex. Kamu adalah anak satu-satunya Papa sama Mama. Mama harap kamu bisa melakukannya yang terbaik untuk keluarga ini"
Mama nya yang masih menonton televisi pun ikut dalam percakapan, memberikan kalimat yang selalu sering ia dengar.
"Iya Ma, Pa. Alex pamit ke kamar dulu"
Jawaban Alex selalu sama sejak awal, suaranya rendah dan dingin. Berpamitan kepada orangtuanya sebelum masuk ke kamar. Sejak kecil, orangtuanya selalu mengatakan hal yang sama tentang perusahaan. Sehingga membuatnya hampir muak. Tapi ia segera menyadarinya, ia adalah anak satu-satunya. Kalau bukan dia, siapa lagi yang akan memimpin perusahaan. Untuk memenuhi harapan orangtuanya, ia akan memendamnya impiannya jauh dilubuk hatinya.
.....
Di dalam kamar, ia membuka jendela. Angin malam langsung masuk ke kamar nya, menggelitiki kulit tangannya yang hanya memakai pakaian pendek. Matanya menatap kosong pepohonan di depan arah jendela kamarnya. Sebelum suara ponsel berdering membangkitkannya dari lamunan.
"Hmm"
Ia mengambil ponselnya diatas meja, memencet tombol hijau.
"Al, ingat kan? Besok kau harus mengganti Bu ana untuk mengajar di kelas"
Itu adalah suara temannya Steven, suara diujung ponsel terlihat sangat senang. Seandainya ia seekor anjing, pasti ekornya sedang bergoyang saat ini.
"Ya, aku ingat"
Alex menjawabnya dengan nada malas. Ia sudah tau kalau besok akan masuk di kelas wanita itu, mengganti Bu Ana yang tiba-tiba sakit. Dikalangan dosen, Alex sudah terkenal akan kepintarannya. Tidak heran, gen orangtuanya menurun dengan sangat baik padanya. Sebagai mahasiswa semester 7 yang sebentar lagi akan mengurus skripsi, membuatnya harus banyak memiliki pengalaman. Termasuk menjadi asisten dosen atau menggantikan dosen yang tidak hadir.
"Berarti kau otomatis akan bertemu dengan Olivia kan, pasti seru kalau aku juga ikut denganmu"
Steven berkata dengan senang yang membuat Alex memutar matanya kesal.
"Tidak"
Alex menjawab dengan dingin.
"Ayolah, aku juga ingin melihat dia"
Sepertinya temannya ini benar-benar memaksanya untuk menerima keinginannya.
"Tidak, jangan berdebat denganku"
Alex menjawab dengan marah, mematikan ponselnya. Tanpa menunggu jawaban dari sisi lain. Menghela nafas nya kesal, menahan amarah. Temannya satu ini sangat suka memancing emosinya.
"...."
Ia melemparkan kembali ponselnya di atas meja. Berbaring diatas meja, menutup perlahan-lahan kelopak matanya. Berharap untuk bisa tertidur, tapi matanya tidak mau bekerjasama. Ia menatap langit-langit kamarnya, memikirkan sesuatu yang tidak pernah ia sadari.
Setelah sekian lama, matanya perlahan-lahan tertutup. Menghilangkan segala kerutan di pelipisnya. Nafasnya mulai teratur pelan, bersamaan dengan keheningan dimalam hari. Malam itu suasana kamar langsung hening, menyisakan seorang anak laki-laki yang terbaring nyaman ditempat tidurnya.
Jendela yang tidak ia tutup membuat angin malam masuk sesuka hati. Masuk kedalam ruangan dan menyapu tangannya. Ia menggigil sesaat sebelum menutupi dirinya dengan selimut. Sepertinya ia lebih menyukai angin malam daripada pendingin ruangan.
....... Bersambung.......
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!