NovelToon NovelToon

Rubiyati

Bab 1 Transmigran

Tanjung Selor, 1951.

Sebuah kamp transmigran dari Jawa yang berada di Tanjung Selor, ibu kota Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara. Disana sedang ramai truk-truk dan para tentara yang sedang mengadakan sebuah apel pagi. Seorang Kolonel sedang memberikan sambutan pada para transmigran.

Sejak pagi sudah terjadi hiruk pikuk antara para transmigran yang dilema. Ada sebagian yang ingin tetap berada di Tanjung Selor. Ada juga yang ingin ikut ke Pulau Sumatera. Para veteran itu mendengarkan dengan seksama apa yang menjadi instruksi dari Kolonel Sohoed Pramoatmodjo, seorang Kepala Kem. Pertahanan B.P.B.A.T atau dikenal dengan Biro Penampungan Bekas Anggota Tentara)

"Sumatera adalah tempat tujuan kita, dikarenakan di tempat ini sudah penuh sesak oleh transmigran. Lahan juga sudah mulai di bentuk disini. Untuk kloter hari ini adalah kloter yang akan saya bawa ke God's Own Country.', yang juga Sumatera Selatan. Maka saya harap, dengan tiba disana, Kita sadar akan kebesaran Tuhan bahwa masih ada banyak daerah yang kaya akan kekayaan bumi yang tak terhingga. Agar kekayaan bumi kita tak kembali di jarah oleh orang luar. Bapak presiden juga menyampaikan dan berharap dengan adanya transmigran disana akan mempercepat proses pembangunan bangsa kita dewasa ini." Suara tegas dengan tubuh tegap sang Kolonel menyampaikan amanat pada Apel pagi sebelum para transmigran yang tak lain adalah para Veteran, bahkan diantara mereka ada yang pernah menjadi prajurit Panglima Soedirman.

Sesaat setelah apel, para transmigran naik ke atas truk yang akan mengangkut mereka. Di salah satu truk terdapat sepasang suami istri yang juga ikut rombongan. Pratu Surya Kusuma bersama sang istri bernama Rubiyati.

"Berapa lama mas kira-kira?" Tanya Rubi seraya duduk di sisi sang suami.

"Mungkin satu hari satu malam jika cepat. Tergantung kapalnya ada tidak." Ucap Surya.

"Kapal? Jadi kita akan menaiki kapal?" Tanya Rubi dengan kedua netra yang membulat.

Anggukan dari Surya membuat Rubi merasa senang. Ia penasaran seperti apa laut, seumur hidup ia tak pernah melihat sebuah lautan. Saat ke Kalimantan dulu, ia tertidur lelap sehingga tak sempat melihat indahnya laut biru yang membentang.

"Apakah pembagian tanah disana akan sama di Kalimantan?" tanya seorang Pratu yang tampaknya khawatir jika pembagian tanah berdasarkan jabatan. Maka bisa di pastikan jika pembagian tanah berdasarkan pangkat mereka, maka pangkat Pratu tentu paling sedikit dibandingkan dengan Letnan.

"Entahlah, tapi setidaknya tidak kalah indah seperti Kalimantan. Kabarnya disana juga kaya akan migas, emas dan batubara." Jawab Surya yang mengusap rambut buah hatinya, Bima. Anak pertamanya itu sedang terlelap dalam pangkuannya. Sedangkan putra keduanya sedang berada dalam gendongan Rubi. Dua bocah itu tampak lelah karena sedari tadi sibuk berlarian mengejar bola.

Berharap sebuah kehidupan lebih baik di Sumatera Selatan. Mereka melalui perjalanan dua hari dua malam. Tiba di sebuah kamp, rasa putus asa mulai menghantui para transmigran yang merasa justru di tempat ini sungguh tidak nyaman.

Sebuah kawasan hutan yang masih banyak pohon besar-besar dengan kera dan siamang yang masih bergantungan di ranting-ranting pohon.Belum ada padi di daerah itu, masih hutan belantara. Bahkan beberapa kali beruang tampak datang ke kamp pemukiman mereka. Mereka menetap di sebuah hutan belantara yang bernama Kungku.

Para transmigran itu adalah patriot. Karena di zaman revolusi mereka adalah patriot manusia-manusia yang imperialis dan di zaman pembangunan mereka adalah patriot yang melawan alam untuk menciptakan kemakmuran. Maka bangsa memberikan mereka kepercayaan untuk membuka jalan untuk merintis terciptanya sebuah kemakmuran.

Dimulai dari kemakmuran paling kecil yaitu kemakmuran keluarga. Layaknya untaian kalimat bahwa seorang pewaris akan berbeda dengan jalan hidup para perintis, begitu pula yang dialami Rubiyati dan Surya dalam mengarungi hidup rumah tangga mereka di tempat yang baru akan dirintis, dan keluarga mereka juga masih merintis untuk bahagia dan makmur.

Para perintis itu mulai dari membuka lahan untuk dijadikan tempat tinggal dan juga lahan untuk bertani hingga bisa bertahan hidup sebelum adanya pembukaan jalan dari pemerintah hingga terhubung dengan Jakarta. Walau mereka di tanah Sumatera, tapi adat budaya dan bahasa mereka masih menggunakan khas Jawa. Tetapi tidak melupakan bahwa mereka adalah satu, satu bangsa yaitu Bangsa Indonesia.

Hal itu yang selalu ditanamkan oleh Surya pada anak-anak nya. Kini mereka sudah satu tahun di tempat itu. Mereka tinggal di sebuah gubuk yang ditopang oleh Kayu Sengon dan berdinding bambu. Surya tampak duduk dengan meruncingkan bambu. Lalu ia pasangkan sebuah bendera merah putih ke bambu itu.

"Pak, katanya kita sudah merdeka. Tetapi kenapa kita masih suka lapar?" Tanya Bima yang sedang membuat mobil-mobilan dari debok pisang.

"Sudah merdeka, bukan berarti kita harus santai dan makan juga harus negara yang memberi. Maka itu perjuangan setelah merdeka lebih berat." Ucap Surya seraya berjalan ke arah jalan. Ia tancapkan bendera itu. Abimanyu, mengikuti dari arah belakang Surya. Ia memberikan hormat pada bendera itu.

"Besok, Abi ingin jadi tentara seperti Bapak." Ucap Abi penuh semangat seraya memberikan hormat pada bendera Merah-putih yang warna putihnya tak lagi terlihat cerah, jangankan untuk membeli bendera. Untuk makan sehari-hari saja keluarga mereka masih mengandalkan hasil kebun. Belum ada kendaraan dan akses jalan menuju kota, sehingga daerah mereka masih menggunakan sistem barter untuk mendapatkan sesuatu. Seperti sore hari,Rubi pergi ke warung Mbok Jum.

Ia menukar satu butir kelapa dengan sebongkah garam. Ia pulang dan bergegas menyiapkan makan, hari akan gelap. Belum ada listrik di daerah mereka. Maka malam hari hanya rumah mereka yang memiliki uang atau punya minyak tanah yang akan terlihat ada cahaya sentir atau sebuah obor dari bambu diberi sumbu kain lalu diberikan minyak lampu.

Bima dan Abi saling pandang menatap makanan di piringnya.

"Kapan kita bisa makan nasi ya Mak?" Tanya Abi yang masih berusia 6 tahun. Ya, satu tahun sudah mereka disana. Hanya oyek singkong yang bisa Rubi sajikan untuk makan sehari-hari keluarganya. Hanya satu atau dua kepala keluarga yang memiliki beras, dan itu bukan keluarga Rubi. (Oyek adalah Bahan dasar nasi yang terbuat dari ketela pohon/ubi kayu/singkong, yang berbentuk butiran bulat sebesar biji kacang hijau dan berwarna coklat kekuning-kuningan.)

"Hust, tidak boleh bilang begitu. Katanya Abi mau jadi Tentara. Jendral Sudirman makannya juga Oyek. Iya kan Pak?" Nasihat Rubi pada putranya yang mulai protes, karena ia mendengar satu temannya yang merupakan anak Mbok Jum, setiap hari makan nasi jagung.

"Iya, makan apa saja yang penting Halal. Itu yang diajarkan Jendral Sudirman pada prajuritnya ketika akan bergerilya." Kenang Surya.

Malam hari saat anak-anak mereka tertidur, Surya membuka obrolan dengan Rubi. Tanpa cahaya, karena malam ini Bulan masih malu untuk menunjukkan sinarnya.

"Mas ikut gesek kayu saja ya Dik? Biar bisa beli beras dan beli baju lebaran Abi dan Bima nanti pas lebaran." Suara Surya pelan.

Digenggamnya erat tangan suaminya.

"Lah nanti mas makannya apa? Di dapur tidak ada apa-apa mas. Cuma ada garam." jawab Rubi.

"Insyaallah, bukankah Tuhan menjamin hambanya di dunia ini. Hewan saja bisa makan setiap hari tanpa membawa keranjang. Kenapa kita manusia justru khawatir mati kelaparan. Selama mas berusaha, kamu berdoa. Insyaallah kita bisa melewati ini." Ucap Surya pada sang istri.

"Baiklah, doaku akan selalu bersama mu Mas. Aku akan ikut berjuang disini untuk membuka lahan. Karena kemarin Kolonel bilang, seberapa lebar lahan yang kita buka. Maka itu akan menjadi milik kita. Bulan depan mulai pembagian bibit karet." Ucap Rubi yang mencoba menahan kantuknya.

"Kamu berani ke hutan sendiri?" Tanya Surya.

"Ada Bima dan Abimanyu... Maka apa yang akan membuat aku takut... Hehehe..." Tawa Rubi ia paksakan. Sebenarnya ada rasa khawatir jika suaminya pergi merantau. Tetapi, bertahan disini membuat mereka justru semakin sulit, ia melihat banyak orang yang ikut menggesek kayu ke hutan lain dan membawa nya ke kota dengan di pikul, akan membawa pulang beras, dan anekah kebutuhan.

'Demi anak-anak mu, jadilah Rubiyati yang kuat... Kamu bisa Rubi... Demi anak-anak mu...' Cicit Rubi sebelum ia tenggelam dalam mimpinya.

Bab 2 Rubi di Hutan

BUMI TRANSMIGRAN, 1952.

Di ufuk timur matahari belum tampak. Udara dingin menusuk ke sembilu. Disaat Bima dan Abimanyu masih terlelap diatas tikar anyaman bambu hasil buah tangan Rubi, ia justru sudah sibuk di belakang rumah. Tangan perempuan yang masih berusia 22 tahun itu sibuk dengan parang dan sebuah kayu yang ia belah dari tadi. Ia akan menyalakan api. Namun semua kayu basah, sehingga Rubi memotong kayu yang setengah basah itu menjadi kecil-kecil. Setelah di tumpuk diatas tungku, Rubi bergegas menumpangkan oyek yang akan menjadi sarapan kedua putranya juga sang suami yang akan berangkat merantau.

Saat satu tungku sudah menyala, cepat Rubi menumpangi nya dengan ceret kecil yang berwana hitam. Ceret itu dulu berwarna hijau loreng putih, namun karena sering di pakai untuk memasak air, sehingga warnanya berubah menjadi hitam.

"Minum dulu Pak." Rubi menyodorkan secangkir air hangat yang telah diberikan daun teh dan di tepi cangkir itu ada sebongkah gula batu. Ya, zaman serba susah, tak ada gula pasir. Hanya ada gula batu. Maka untuk mengecap rasa manis, para transmigran harus memakan sedikit demi sedikit gula batu setelah meneguk air teh.

Surya meneguk air hangat yang disajikan istrinya. Bahkan ia 'ngerikiti' sedikit sekali gula batu itu.

"Kamu juga minum..." Ucap Surya seraya mendorong lepek (piring kecil) yang terdapat cangkir loreng biru dan putih ke arah sang istri.

"Ndak Usah mas, aku sudah minum secangkir air hangat. Dulu mbok pesan, kalau bangun tidur isi dulu perut dengan air hangat kuku." Tolak Rubi. Padahal Rubi sudah memikirkan jika sebongkah gula batu kecil itu akan ia bungkus bersama perlengkapan untuk Surya pergi merantau.

"Itu alasan indah dari orang tua, agar mereka tahu bahwa orang tua mengganjal rasa lapar sebelum beraktivitas disaat di dapur tak ada apa-apa. Kini kita pun mengalami hal yang sama." Tatapan Surya mengarah kepada dua buah hati mereka yang masih terlelap di atas tikar.

Rumah Surya dan Rubi lebih pantas disebut gubuk. Bangunan itu hanya terdiri dari kayu sebagai tiang, dan dinding bambu gedek sebagai penghalang angin dan sinar matahari masuk. Atapnya pun hanya terbuat dari sirap. Sirap adalah kayu yang dibelah lalu dijadikan atap. Rumah mereka hanya memiliki satu ruangan. Ruang itu yang menjadi tempat istirahat, di sudut ruang itu juga yang menjadi tempat memasak, ada tungku yang terbuat dari debok (batang) pisang. Tak ada barang mewah, semua peralatan makan hanya terbuat dari bahan seng yang khas dengan corak loreng-loreng.

Matahari sudah terlihat muncul, dari celah-celah dinding rumah Rubi telah memberikan sinar, Bima mengerjabkan matanya. Rubi membangunkan Abimanyu yang masih meringkuk di balik selendang hitam yang menjadi penghangat dirinya dan Bima di setiap malam.

"Le... Bangun... Ndang ados... " Rubi menggerakkan kaki Abi yang masih meringkuk.

(Nak... Bangun... Cepat mandi)

"Dilit....meneh Mak...Jek adem...." Abimanyu tak membuka kedua matanya. Ia justru merapatkan selimut itu.

Rubi bergegas memindahkan dandang yang diatas tungku ke sisi tungku. Ia lorot kayu yang masih bisa ia gunakan untuk masak nanti sore. Ia sadar mulai hari ini semua harus berhemat dan prihatin. Beberapa bulan ke depan tak ada Surya, sang suami. Maka siapa yang akan mencari kayu. Masih sulit mencari kayu bakar. Hanya mengandalkan kayu-kayu ranting yang berjatuhan jika tak ada lelaki di rumah itu.

"Abi...." Suara tegas dari Surya yang berpangkat Parjurit Satu ketika melihat putra bungsunya masih tak juga beranjak dari tikar. Dinginnya tanah terhalang karena anyaman tikar yang di buat oleh Rubi. Ada sebuah tikar rotan, itu hanya di pakai Rubi untuk menyambut tamu atau untuk ketika hari raya. Maka untuk duduk atau tidur sehar-hari mereka menggunakan tikar buatan Rubi dari bambu. Rumah mereka hanya berlantaikan tanah, tapi Rubi begitu rajin menyiram dengan air setelah menyapu lantai rumah mereka. Maka tanah di dalam rumah sangat dingin dan padat.

"Iya Pak." Abi cepat duduk. Bima sudah bersiap pergi ke 'Belik' (sungai kecil atau anakan sungai). Ia sudah menenteng ember yang berisi handuk yang sudah berapa kali di jahit oleh Rubi.

"Ayo... Tak tinggal nanti." Panggil Bima pada sang adik. Dengan malas-malasan Abi menyeret kakinya mengikuti Bima. Ia bergelayut di lengan sang kakak.

"Bima... Adiknya di tuntun Nak... Mak mau menyiapkan bontot Bapak. Ndak main air. Cepat langsung pulang." Titah Rubi pada si Sulung.

"Nggeh Mak." Ucap Bima patuh.

Anak tertua Rubi itu sesuai dengan namanya, Bima. Tubuhnya besar, perutnya buncit, kaki dan tangannya besar. Sedangkan Abi, tubuhnya kurus, ia sangat kecil. Usia mereka hanya terpaut satu tahun.

Saat dua bocah itu sudah kembali dari belik, mereka menatap Surya yang sudah siap dengan sebuah kain yang di ikat seperti sebuah bungkusan. Di dalamnya ada 2 setel baju, dua c e l a n a d a la m dan handuk kecil. Handuk itu memang khusus untuk Surya. Rubi dan kedua anaknya menggunakan satu handuk. Rubi memberikan satu bungkusan lagi di dalam bungkusan kain tadi, oyek yang belum dimasak dan satu bungkus kecil juga sebuah garam batang yang ia belah menjadi dua. Satu untuk Surya di tempat rantau, satu untuk dirinya dirumah. Bahkan Gula Baru pagi tadi ia bungkus untuk dibawa Surya.'mas Surya merantau. Aku bisa disini makan seadanya.'. Batin Rubi saat berniat untuk membagi dua gula batu itu. Ia akhirnya mengurungkan niatnya.

"Bapak mau kemana?" Tanya Bima yang berusia 7 tahun.

"Bapak mau pergi ikut kerja nggesek kayu. Bima sama Abi dirumah jaga Mak ya..." Ucap Surya dengan berat hati. Sulit rasanya ia berpisah dari anak dan istri, namun apalagi yang harus ia lakukan. Mereka butuh perubahan dalam hal ekonomi. Mereka melihat peluang itu ada jika salah satu dari mereka pergi merantau.

"Abi ikut pak..." Abimanyu sudah meloncat dan duduk di pelukan Surya.

Usapan lembut pada punggung Abimanyu.

"Loh... Katanya mau jadi Tentara. Kalau mau jadi tentara, harus sekolah dulu... Bapak pergi buat cari uang.. Nanti kalau bapak pulang, bapak belikan beras. Biar Abi dan Bima tidak makan oyek lagi.. Dan, lebaran nanti bisa pakai baju baru... Gimana? Masih mau ikut Bapak?" Surya menenangkan Abimanyu, bungsunya itu memang dekat dan lengket pada dirinya.

"Lama perginya?" Tanya Abi.

"Ya ndak tahu, bisa lama. Bisa sebentar. Tapi, bapak janji.. Nanti bapak pulang bawa sekaleng susu.. Hadiah untuk Abi dan Bima." Janji Surya.

"Pak... Ndak baik janji-janji. Lah wong disana juga belum pasti menghasilkan." Rubi mengingatkan sang suami. Namun Pratu Surya tersenyum simetris.

"Yo ndak Janji.. Tapi buat semangat kerja Bapak disana, dan buat semangat Abi dan Bima belajar. Kalian harus rajin sekolah. Dan manut sama Mak selama bapak merantau? Paham?" Surya menatap Bima yang melahap oyek, makanan yang tidak disukai Abi. Ia tak suka baunya. Berbeda dengan Bima, apapun itu asal makanan maka ia tak ragu untuk melahapnya.

"Jangan bertengkar ya selama Bapak tidak dirumah?" Ucap Surya ketika berpamitan kepada dua buah hatinya. Rombongan yang akan berangkat ke daerah Jambi telah datang. Mereka harus berjalan kaki selama satu hari satu malam untuk tiba di sebuah simpang agar bisa naik truk ke lokasi kerja, kabarnya di Jambi ada banyak kayu yang sedang di tebang dan akan dijual ke Kota.

Bima dan Abi mengangguk cepat. Tak ada pelukan dari Surya kepada sang istri. Hanya ada usapan lembut pada lengan Rubi juga satu kecupan di dahi sang istri.

"Titip anak-anak ya... Jaga kesehatan mu..." Pesan Surya sebelum meninggalkan sang istri. Rubi mengangguk dan menahan butiran hangat yang akan jatuh.

'Doaku selalu menyertai mu Mas....Paringi lancar urusan suami kulo Gusti...' Rubi bermunajat pada pemilik kehidupan.

(Berikan lancar urusan suami ku ya Allah).

Selepas kepergian Surya, Rubi memberikan pesan pada dua putranya.

"Bima, nanti kalau pulang baju mu dan Abi di gantung. Lalu pakaian di jemuran diangkat. Dan jangan lupa ambil air untuk minum besok. Jangan mandi hujan jika ada kilat atau guntur,jangan mandi di Sungai? Mak akan menggantikan bapak ke hutan." Pesan Rubi pada anak tertuanya. Ia mulai hari ini akan ke hutan, membuka lahan untuk dijadikan kebun karet. Sebentar lagi bibit dari pemerintah akan datang. Ia dan suaminya baru berhasil membuka lahan sekitar satu hektar. Hanya bermodalkan parang dan arit serta Kampak, mereka berharap bisa memiliki kebun yang kelak bisa dijadikan sumber mata pencarian dan juga untuk anak cucu mereka. Namun tanpa seorang suami di tengah hutan sendirian, minimnya ilmu tentang hutan. Membuat Rubi justru menemukan pengalaman yang tak terduga.

Saat Rubi menebas repuh yang setinggi 2 meter. Tiba-tiba kedua mulut Rubi menganga. Ia tak sengaja menebas repuh yang di dalamnya ternyata terdapat sarang tawon.

Nguunggg... Nguunggg...

Suara para tawon itu yang terbang dan menyebar karena merasa terganggu. Rubi cepat melempar parangnya ke sembarang arah. Ia berlari sekencang-kencangnya. Ia menjauh dari kumpulan tawon itu. Namun saat satu tawon itu menyengat bagian leher, Rubi mem b u n u h tawon itu. Sehingga Rubi menjadi target dari ratusan tawon yang mengejar Rubi.

"Toloooooonnng!" Teriak Rubi.

Ketika ia melihat tawon itu semakin dekat. Beberapa orang yang juga sedang membuka ladang tak berani membantu, mereka juga takut tersengat tawon itu.

"Masuk sungai... Masuk Sungai!" Teriak beberapa dari mereka.

Byuuuur.

Akhirnya semua yang berada disekitar sana masuk sungai dan mengikuti arah sungai dengan kondisi menyelam. Termasuk Rubi, ia juga mengikuti arah air tanpa menyembulkan kepala ke permukaan.

Namun apalah daya, setengah jam menyelam membuat Rubi tak mampu bertahan. Ia khawatir pingsan di dalam air justru membuat nyawa melayang. Ia akhirnya keluar dan melihat ke sekitar. Namun bahaya masih mengintainya. Bau keringat Rubi karena sengatan tawon masih ada yang menempel pada lehernya membuat gerombolan tawon tadi kembali terbang ke arah Rubi berlari sekuat tenaga, ia tak hiraukan sengatan yang datang bertubi-tubi. Dari kepala, kaki, leher, punggung. Bahkan wajahnya penuh dengan tawon.

Saat hampir tiba di kamp, Rubi tak mampu lagi berlari. Ia terjatuh di sebuah tebing. Ia pasrah, para tawon itu bahkan tak berhenti menyerangnya. Rubi hanya menutup wajahnya dengan kedua belah tangan dengan merintih kesakitan. .

"Tolong... Tolong... Sakit.... Bima... Abi...Mas Surya..." Rintih Rubi yang sudah lemah di atas tanah, tubuhnya bahkan menempel tanah merah karena berguling-guling ketika mengibaskan serangan tawon.

Bab 3. Perkelahian

Sebuah rumah yang berdindingkan bambu terlihat ramai, para warga membawa pulang Rubi ke rumahnya. Ia di baringkan di tikar. Kondisinya begitu memprihatinkan, ia bahkan tidak sadarkan diri karena sengatan tawon hutan yang menyerang hampir sekujur tubuhnya.

Seorang tetangga Rubi yang bernama Masriah, ia sibuk mengambil sengat yang tertinggal di wajah Rubi. Beberapa tetangga yang lain juga mencari sengat yang berada di tangan dan bagian leher Rubi. Ada yang menggunakan sepotong triplek yang berukuran kecil, ada yang menggunakan alat seperti angkup, ada juga yang menggunakan tangan kosong. Satu persatu mereka ambil sengat yang tertinggal di tubuh Rubi. Bima dan Abimanyu hanya bisa menangisi kondisi Mak mereka.

Wajah rubi bengkak, bibirnya bahkan begitu besar, begitu pula dengan kelopak matanya.

Hampir setengah hari Rubi terbaring dengan kondisi tak sadar, saat menjelang sore hari Rubi sadarkan diri. Masriah yang sedari tadi bolak-balik dari rumahnya ke rumah Rubi, kini setengah berlari seraya menggendong buah hatinya kala suara teriakan Bima begitu memanggil namanya.

"Bik Masriah! Bik.... Mak Sadar Bik!" Teriak Bima dari jarak 20 meter. Bocah bertubuh tambun itu berlari-lari. Masriah pun segera berlari dan menuju rumah Rubi. Tiba di dalam rumah, Masriah memberikan minum pada Rubi.

"Minum Ru..." Ucap Masriah.

Rubi menenggak setengah kelas air hangat yang diberikan Masriah.

"Asi... Mas..." Ucap Rubi dengan suara yang tak jelas karena kedua bibirnya sudah bengkak. tubuhnya bahkan terasa seperti terbakar, pinggang nya juga terasa sakit mungkin karena ia berlari tadi. Entah berapa hektar yang ia lalui hutan tadi karena menjauhi serangan tawon, namun semua sudah menjadi musibah bagi Rubi. Ia harus menyerah saat menanjak satu tebing.

Masriah menyerahkan Kuntum, putrinya yang berusia 3 tahun ke Bima.

"Adiknya di gendong dulu. Bibik mau menyuapi Mak mu." Ucap Masriah. Ia menyuapi Rubi dengan oyek yang sudah tak hangat lagi. Namun saat baru satu suap. Rubi tak membuka mulutnya untuk suapan kedua.

"Mas... " Tatapan Rubi melirik kearah Abi dan Bima.

"Makanlah Ru. Aku sudah memasak oyek cukup banyak. Bima dan Abi sudah makan tadi. Kamu harus makan agar cepat sehat, kasihan anak-anak mu kalau kamu kenapa-kenapa." Bujuk Masriah.

Rubi tahu betul jika kondisi ekonomi dan dapur Masriah sama seperti dirinya. Masriah asli orang Palembang yang menikah dengan salah satu dari para transmigran. Ia bertemu suaminya kala sang suami ikut menjadi buruh upah menggesek kayu di daerah Pagaralam. Kulitnya putih, hidungnya mancung. Tetapi semua mulai pudar karena kerasnya hidup sebagai perintis di wilayah yang belum terbuka akses jalan dan pembangunan.

Saat matahari hampir terbenam, Masriah pulang. Karena ia sama dengan Rubi, tak punya minyak lampu untuk dijadikan obor atau sentir (sebuah lampu kecil yang diberikan sumbu kain dan minyak lampu) untuk menerangi malamnya. Mereka hanya mengandalkan cahaya bulan atau menghidupkan api di dekat rumah agar hangat dan juga ada cahaya.

"Terimakasih Mas." Ucap Rubi saat tetangganya itu pamit pulang.

Malam hari, Bima dan Abimanyu justru terlibat perselisihan karena sang kakak tak mau mengantarkan adiknya untuk ke belik.

"Mas... Perut ku sakit..." Ucap Abi seraya menggerakkan lengan Bima.

"Opo toh...!! Aku ngantuk." Ucap Bima. Sebenarnya bukan karena ia mengantuk tetapi ia takut kegelapan. Belum lagi cerita-cerita horor tentang makhluk genderuwo yang menghuni pohon kapuk di tepi belik membuat Bima tak mau mengantarkan adiknya untuk buang hajat malam-malam.

Satu sentuhan dari Rubi pada lengan sulungnya dan suara Rubi walau tak jelas membuat Bima bangkit dari tempatnya.

"Bima... Antar adik mu nak... Mak belum kuat jalan." Ucap Rubi. Telapak kakinya masih nyeri karena terluka menginjak akar dan semak belukar yang berduri. Ia tak memiliki sepatu l, hanya sandal jepit yang tali nya disambung dengan tali rapiah yang menjadi pelindung kakinya.

"Ayo! Ganggu wae!" Gerutu Bima kesal. Ia bahkan menghentakkan kakinya. Sekalipun ia takut, atau ia tak mau. Titah Mak nya adalah sebuah perintah yang tak berani ia ingkari.

"Bima..." Suara lirih Rubi dengan bibir yang terasa perih ketika digerakkan.

Bima diam, beruntung cahaya api dari tungku tak menunjukkan wajah yang ditekuk oleh Bima. Kakak beradik itu akhirnya pergi ke belik yang jaraknya dari rumah kira-kira 250m. Bermodalkan sebuah kayu yang terdapat apinya, Bima menuntun Abi. Ia pun menunggu tepat di sisi sang adik yang sedang buang hajat, ia tak berani jauh-jauh, ia takut dimakan genderuwo.

"Sudah belum?" Tanya Bima yang memunggungi Abi, seraya menutup hidungnya dengan leher baju.

"E... Ben..tar lagi..." Ucap Abi terbata-bata.

"Is.... Makan opo toh...!" Gerutu Bima lagi, karena ia merasa sudah rapat menutup hidungnya namun aroma busuk masih saja berhasil melewati rongga hidungnya.

Setelah beberapa menit selesai, saat di perjalanan pulang Bima berlari meninggalkan Abi jauh sendirian di belakang.

"Awas Bi... Ada Genderuwo...Ih....." Teriak Bima yang sudah jauh meninggalkan Abi seorang diri dalam gelap.

"Mas Bimaaaa! Hiks... Hiks..." Teriak Abi. Umumnya bocah, maka Bima menganggap itu hanya bercanda. Ia berlari meninggalkan Abi di belakangnya. Saat tiba dirumah, ia tertawa karena puas mengerjai adiknya. Tiba dirumah, Abimanyu langsung menindih tubuh Bima.

"Mas Bima jahat!!" Teriak Abi seraya memukul tubuh Bima bertubi-tubi. Merasa tak terima di pukul. Bima membalas pukulan itu pada adiknya. Jika tadi Abi berada diatas tubuh gempal nya. Kini ia duduk di perut Adi.

"Buughh!

Buuuggjh!

Saling balas pukulan terjadi antara dua bocah itu. Rubi yang merasa sedih sekuat tenaga ingin berjalan, baru mau duduk namun kakinya sakit sekali.

"Bima... Uwes to leh... "

Tak ada yang mau mengalah.

"Bi... Uwes toh Leh... Uwes... " Lerai Rubi. Namun dua anak laki-laki yang merasa sama-sama benar dan kesal tak mengindahkan panggilan Rubi. Akhirnya ia berteriak dan membuat dua buah hatinya berhenti berkelahi.

"Berhenti....! Bima! Abi...!" Teriakan itu membuat bibir, tenggorokan dan leher Rubi sangat sakit.

Dua bocah yang tak pernah melihat Mak nya berteriak akhirnya duduk dan diam. Tak ada yang berani berucap atau bergerak.

"Hiks...Hiks... Kalian sayang ndak sama Mak?" Ucap Rubi yang duduk tanpa bersandar. Karena dari tadi ia tidur dalam posisi bersandar di dinding rumah.

"Sayang Mak.." Ucap dua bocah itu bersamaan.

"Mbok Seng akur... Kalian itu saudara... Kalau kalian begitu sama saja kalian itu nyakitin Mak. Mak ndak pernah ngajarin Kalian untuk nyakitin siapapun, lah kok sekarang berkelahi sama kakak dan adik." Lirih suara Rubi, namun kedua buah hatinya sama-sama mendengar isi hati Rubi. Bima merasa bersalah. Ia cepat merangkak ke arah Rubi.

"Maafkan Bima Mak, Bima yang salah. Mak tidur lagi saja." Sesal Bima. Di bantunya Rubi untuk bersandar pada dinding. Abi sudah terisak namun tak berani untuk mengeluarkan suara tangisannya. Ia meringkuk dan kembali memejamkan matanya. Rubi tidur diapit dua anak lelakinya. Ia bisa tahu dari napas Bima jika sang anak belum tertidur.

"Bima, tahu kenapa kamu di beri nama oleh Bapak, Bima?" Tanya Rubi dengan intonasi pelan.

"Bapak bilang biar kalau bapak lagi tidak dirumah, Bima bisa jaga Mak dan adik." Jawab Bima seraya mengenang ucapan Surya, bapaknya.

"Lalu kenapa berkelahi dengan Abi?" Tanya Rubi penasaran.

"Bima tadi main-main Mak." Ucap Bima jujur.

"Besok lagi main-main ada waktunya Le... Kamu tahu disini kadang ada babi, kadang ada gajah, bagaimana kalau Abi diganggu sedangkan dia tidak bawa apa-apa." Rubi memberikan nasihat kepada Bima seraya menggenggam erat tangan sulungnya.

"Iya Mak..Bima janji tidak akan main-main lagi kalau lagi berdua seperti tadi." Janji Bima pada Rubi. Bima bisa merasakan suhu tubuh Maknya panas.

"Mak... Badan Mak panas sekali...." Ucap Bima.

"Hem..." Hanya deheman dari Rubi yang di dengar Bima.

'Maafkan Bima Mak..Bima janji akan jadi kakak yang baik dan anak yang baik. Sesuai janji Bima pada Bapak.' Batin Bima yang merasakan bahwa Maknya sedang demam tinggil. Ia kompres Rubi semalaman. Saat fajar tiba, Bima cepat ke arah belakang rumah, dicabutnya ubi kayu. Ia sudah menumpangkan Oyek, ia membakar ubi agar oyek yang ia masak bisa sampai sore, ia akan makan ubi bakar saja agar bisa hemat.

Pagi hari ia bahkan mengajak Abi mandi dan menyuapi Rubi sepiring oyek.

"Mak... Oyeknya tinggal sedikit, Bima ajarkan bikin oyek ya. Hari ini, bima tidak usah berangkat ke sekolah." Ucap Bima.

"Jangan, kamu harus sekolah biar pintar. Mak sudah sehat." Ucap Rubi untuk menyemangati anaknya. Hari ini sebenarnya tubuh Rubi seperti habis di lindas kereta api, linu, perih dan nyeri. Namun rasa sayang pada dua anaknya membuat ia tak bisa hanya tergeletak di tikar. Ia harus membuat oyek lagi.

Saat sinar matahari sudah berada tepat diatas kepala. Masriah datang dan membawa secangkir cairan berwarna kuning.

"Ru... Ini aku dapatkan dari Abah Manan." Ucap Masriah seraya menuangkan air dang mengambil satu sendok cairan kuning tadi. Ia berikan pada rubi.

"Minum Ru, ini madu katanya Abah Manan." Ucap Masriah.

"Madu?" Tanya Rubi tak percaya. Ia baru kali ini melihat wujud madu dan mencicipinya.

"Enak Ru?" tanya Masriah. Rubi mengangguk.

"Panis, terimakasih Mas."

"Kamu sudah mirip Nyonya Menir, Londo... Hehehe..." Goda Masriah karena melihat kedua mata Rubi yang terbuka sedikit sekali karena bengkak akibat sengatan.

Sedang tertawa senang seperti itu. Tiba-tiba terdengar suara aneh.

"Duuuuk.....Duuukkk... Duuuk... Tretektek... Tek... Duuuk... Duukkk..." Suara itu seperti suara genderang perang.

"Opo iku Mas?" Tanya Rubi khawatir karena baru kali ini suara seperti itu terdengar.

"Opo yo? Yang jelas bukan mariam Ru..." Dua perempuan itu saling rangkul ketakutan.

Rubi justru khawatir dua anaknya sedang bermain entah dimana, Bima beralasan akan mengambil air di belik. Namun ia biasanya akan bermain lebih dulu dengan teman-temannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!