Aku suka banget nonton film. Setiap peran dalam karakter selalu memikat dan membuatku berkhayal. Kalau saja hidupku seindah kisah dalam salah satu film yang aku tonton. Tapi aku sering juga harus menerima kenyataan kalau hidup para idola tidak seindah yang kubayangkan. Kalau hidup nyata mereka saja tidak indah, aku juga gak akan berharap banyak sama hidupku. Aku tidak mempunyai petualangan yang menegangkan dan bertemu cowok super cute. Aku juga merasa tidak seorangpun yang mau melirikku ketika berjalan dan sekadar menyapa padaku dengan senyum hangat yang tidak dibuat - buat.
Tapi baru saja, beberapa saat yang lalu aku benar – benar sadar kalau aku punya cerita sendiri untuk dimainkan. Dan aku harap kalian semua siap menerima kenyataan ini. Dalam cerita hidup kita masing-masing, kita ini adalah tokoh utamanya. Kita sendiri yang menentukan hidup kita akan jungkir balik macam roller coaster atau malah biasa – biasa saja. Aku adalah pemegang kunci untuk cerita kehidupanku sendiri. Hidupku tidak biasa – biasa saja dan tidak super membosankan. Kebahagiaanku adalah tanggung jawabku sendiri, bukan orang lain.
Lalu tibalah waktunya buat kalian untuk tahu lebih banyak tentang diriku. Namaku Matahari, Papa memanggilku May, sedikit mirip dengan namaku dan lebih banyak mirip dengan bulan lahirku apabila diucapkan dalam Bahasa Inggris. Kalau kalian pikir namaku aneh, kalian bukan orang pertama yang berpikir begitu. Just take it easy. Setidaknya aku juga pernah berpikir kalau namaku juga aneh. Pernah aku lihat di History Channel kalau ada seorang mata-mata perempuan yang hidup pada masa perang dunia dua, juga bernama Matahari. Dia adalah agen ganda yang juga berprofesi sebagai penari eksotis. Bisa kupastikan Papaku tidak terinspirasi olehnya. Papa bilang, ketika aku lahir, Papa tidak bisa memikirkan nama lain selain Matahari. Yah begitulah jadinya. Papaku memberi nama bukan dari hasil perenungannya, tapi karena memang dia tidak punya cukup persediaan nama. Tidak seperti nama lain yang punya arti indah dengan berbagai harapan serta doa, aku diberi nama karena aku harus punya nama. Itu saja. aku bersyukur Papa berpikir tentang matahari, bukannya kaleng ataupun gayung.
Setelah tahu namaku aku harap kalian tidak mengira aku adalah seorang lelaki meskipun rambutku tidak pernah lebih rendah dari bahuku. Sampai saat ini, aku masih tinggal di kota Malang dan aku tidak pernah berniat meninggalkannya. Kecuali kalau nanti aku berumur dua puluh sekian tahun dan aku mendapat pekerjaan yang bagus di Jakarta, aku pasti akan pergi ke sana. Aku sekarang masih kelas dua SMU. SMU tempatku belajar terletak di seberang pusat pemerintahan kota Malang. Di tempat yang mempunyai banyak sekali pohon besar sebagai penyaring CO2 di waktu siang.
Aku punya dua pasang sepatu untuk sekolah, sepasang sepatu yang pantas dipakai untuk acara – acara formal. Berwarna hitam dengan tumit sekitar 3 cm. Sebuah sandal gunung dan sandal jepit berwarna biru yang sudah berulang kali kuganti talinya. Sebagian alas kaki dan sepatu itu aku dapat hampir dua tahun yang lalu. Kalau keadaannya tidak benar – benar menyedihkan atau aku bisa membeli sendiri sepatu baru (dengan uang sendiri maksudku), Papa tidak akan pernah memberi aku uang untuk membeli yang baru.
Papaku adalah tipe pria yang membuat kopi sendiri. Sangat mandiri dan tidak tergantung pada siapapun walaupun berjuta – juta kali dia berkata dia tidak akan sanggup hidup tanpa adanya aku di dunia ini. Dia sangat menyayangi aku. Begitu juga sebaliknya aku. Andai saja aku diujung maut, Papa adalah orang yang aku harapkan untuk ada di sisiku.
Tapi saat ini, Papa sedang tidak ada di sisiku. Papa lagi kerja. Papa adalah seorang wartawan yang suka pergi – pergi. Aku membuka pagar kecil di depan rumahku. Siang begini, kotaku yang katanya dijuluki kota dingin tetap saja panas. Aku ambil kunci di bawah salah satu pot bunga di depan jendela rumah. Tempat itu benar – benar aman. Paling tidak selama ini kami, aku dan Papaku, tidak pernah mendapati rumah kami dibobol maling atau orang iseng yang maunya tahu isi rumah orang lain.
Kumasukkan kunci dan kubuka pintu. Aku sekarang sudah benar – benar ada di rumahku. Salah satu tempat favoritku di dunia ini. Aku menyebutnya dunia karena paling tidak di antara tempat – tempat lain yang pernah aku kunjungi, rumahkulah yang paling nyaman. Kalau kalian pikir tempat – tempat yang pernah kukunjungi adalah berbagai tempat menakjubkan di luar negeri, kalian semua salah. Bahkan untuk ke Jakarta saja aku harus menabung paling tidak sampai umurku Sembilan belas tahun nanti (kecuali Papa berbaik hati mengajak aku ke sana dalam salah satu tugasnya suatu saat sebelum umurku Sembilan belas) Tempat – tempat yang pernah aku kunjungi adalah sekolah, rumah nenek, (aku baru tahu kalau aku punya nenek sekitar lima tahun lalu ketika aku masih kelas satu SMP), rumah – rumah temanku dan beberapa camping ground yang sering aku kunjungi dengan Papa atau teman – teman sekolahku selain Bali dan Jogja.
Kalau upacara atau acara lain yang melibatkan baris berbaris, aku selalu ditaruh dibelakang. Yang tinggi di belakang, kata Pak Guru. Ya sudah, aku ngikut saja. enak juga di belakang karena bisa ngobrol ke sana ke mari sama cowok – cowok sekelas yang sama sekali tidak hobi membicarakan orang lain. Ukuran sepatuku 40. Kulitku coklat terang dan bukan kuning langsat atau putih bersinar. Paling suka aku mengenakan celana pendek dan kaos tanpa lengan menikmati angin lembut menghantam wajahku ketika aku ber’patroli’ melihat – lihat keadaan kota dengan sepedaku. Walaupun aku tidak mempunyai masalah berat badan dan tidak terlalu sering memikirkannya, seperti gadis – gadis yang lain, aku juga merasa kalau kegemukan adalah juga suatu hal yang menakutkan. Saking takutnya aku sampai pernah mimpi buruk.
Dalam mimpiku aku ingin naik becak ke suatu tempat. Setiap kali aku menghampiri abang becak, pastilah abang becak itu menolak. Setelah beberapa kali ditolak abang becak, ada juga aku bertemu abang becak yang mau mengantarku. Waktu aku ingin duduk di kursinya, eh ternyata pantatku tidak muat di kursinya yang cukup untuk dua orang itu. Badanku ternyata sudah membengkak tak karuan besarnya. Pantas saja abang – abang becak sebelumnya menolak aku. Lalu tiba – tiba aku bangun dari tidurku, melihat jarum jam pendek yang menunjuk angka dua, memeriksa tanganku. Meraba – raba pinggangku dan aku sangat bersyukur karena tubuhku masih ada dalam ukuran normal.
Aku punya kura – kura kecil sebesar biskuit bulat yang kuletakkan dalam aquarium berisi pasir tanpa air terbuat dari kaca berbentuk lingkaran di dalam kamarku. Beberapa temanku berebut memberi kura – kura kecil itu nama ketika pertama kali aku membelinya. Ada yang ingin memanggilnya Michelangelo, Leonardo, (dua yang pertama ini pasti terinspirasi Ninja Turtles) Julius, Brutus (menurutku nama itu lebih cocok untuk anjing) dan yang terakhir Imelda (ini usul Trisakti, salah satu sahabatku). Yang terakhir inilah yang aku pilih untuk menjadi nama kura – kura kecilku.
Aku suka membaca dan bersepeda. Kesukaan membacaku mungkin adalah warisan Papa yang bekerja di salah satu penerbitan besar di Surabaya. Sepedaku bukan model terbaru, tapi tidak pernah membuatku malu di hadapan teman – temanku. Setiap ulang tahun, aku bertharap Papa memberi hadiah motor. Tapi Papa bilang kalau aku mendapatkan hadiah motor kalau sudah kuliah. Aku pasrah.
Satu tempat yang paling aku suka datangi dengan sepedaku adalah salah satu daerah tinggi di kota Malang, di sebelah timur. Kalau kalian pergi ke sana, kalian pasti akan menemukan sebuah tempat yang mempunyai pemandangan cukup luas untuk melihat seluruh kota Malang. Di situ, kalian akan lihat kalau sebenarnya kota Malang itu seperti mangkok. Cekungan di dasar mangkok adalah kota yang padat dengan rumah, jalan dan ruko, dan dinding mangkoknya adalah gunung – gunung yang mengelilinginya. Aku tidak tahu bagaimana imajinasi kalian jadinya. Tapi aku harap semuanya itu indah.
Aku sama sekali tidak mengenal Mamaku atau dalam kalimat lain kalau aku tidak mempunyai Mama bukanlah fakta yang menyakitkan untukku. Satu hal yang membuatku bertahan selama ini adalah adanya fakta bahwa aku lahir dari rahim seorang perempuan, bukan dari batu. Aku tidak pernah tahu secara langsung rupa mamaku. Aku hanya tahu dia dari selembar foto kecil yang disimpan Papa di salah satu kantong dompetnya. Sebuah foto hitam putih, mirip yang kalian punyai di ijazah kalian, ukuran 3 x 4. Gambarnya sudah kabur dan hampir menguning. Pinggir – pinggirnya seperti berukir. Menurutku, dia itu sangat cantik. Aku harap dia tinggi langsing dan aku harap dia lemah lembut. Pernah aku tanya Papa tentang Mamaku, tapi dia hanya bilang,
“Apa Papa tidak memberi kamu cukup kasih sayang May ?” Mata Papa selalu terlihat sedih kalau aku bertanya tentang Mama.
“Tidak Pa. Aku hanya merasa ingin tahu. Semua gadis di Negara ini tahu Mama mereka kecuali aku” aku berkilah meskipun aku tahu banyak juga cewek cowok di negara ini yang tidak mengenal mamanya.
“Kecuali Papa tidak bisa mencukupi kebutuhanmu, baru Papa akan memberi tahumu semua tentang Mamamu,” dari mata yang sedih, mata Papa berubah menjadi tegas. Tidak diktator seperti beberapa pemimpin dunia, tapi cukuplah untuk membungkam mulutku beberapa minggu atau beberapa bulan. Aku mungkin akan bertahan sampai aku merasa bosan dan merasa tidak ada gunanya. Sekarangpun sebenarnya belum ada gunanya kecuali untuk memenuhi rasa penasaranku. Kadang aku tidak puas dengan jawaban Papa dan mengejarnya dengan pertanyaan, “Papa tidak mengambilku dari panti asuhan bukan ?”
“Jangan pernah lagi perkataan seperti itu keluar dari mulutmu May.”
“Kalau Papa tidak ingin perkataan seperti itu keluar dari mulutku, ceritakan saja tentang Mamaku”
“Kalau kau sudah dewasa May …”
“Enam belas tahun belum cukup Papa?” dan Papa memandangiku dengan perasaan bersalah yang membuatku kasihan dan menyesal telah mengatakan itu semua kepadanya. Tapi bagaimanapun juga, aku berhak mendapatkan jawaban bukan?
“Papa hanya bisa bilang kalau kau lahir karena cinta May. Mama sama Papa menunggu – nunggu kelahiranmu. Kamu adalah anak yang kami nantikan. Juga camkan, Papa tidak pernah mengambilmu dari Panti Asuhan. Jauhkan pikiran seperti itu dari pikiranmu”
Aku jadi tambah menyesal. Papa adalah orang yang paling dekat denganku dan aku sering meyakitinya. Tapi rasa penasaran sering kali mengalahkan rasa bersalah. Tidak apa – apa, aku akan tanggung.
“Papa, May sorry yah Pa. tapi selama May gak tahu, May akan tetap tanya”
“Papa ngerti May. Kadang – kadang Papa pikir ini bukan karena May. Ini karena Papa sendiri. Bersabarlah sebentar lagi. Papa akan beri tahu May” dan kami selalu berpelukan dalam situasi seperti itu. Biasanya sih Papa kemudian akan mentraktirku makan ice cream dan salad buah di Confetti, kedai ice cream dan salad kesukaan kami. Dia akan membawaku pergi dibonceng sepeda motornya yang besar. Tapi aku tidak akan menggunakan pertanyaan tentang Mamaku pada Papa kalau aku benar – benar ingin pergi makan di Confetti.
Sudah cukup kukira bercerita tentang diriku karena dengan berjalannya waktu, kalian pasti akan mengenal aku.
Masuk ke dalam rumah hawa gerah berangsur sirna meskipun tidak seluruhnya. Aku tutup pintu dan langsung menuju kamarku.
“Hallo Imelda !!!” Mata Imelda berkedip – kedip seperti kalau Papa habis bangun tidur. “Kau menangkap nyamuk untuk kau makan pagi ini ?” Imelda masih berkedip – kedip dengan menjulurkan kepalanya. Mungkin dia berkata “Aku ingin jalan – jalan!”
“Oh … maaf. Kamu pasti bosan seharian di dalam akuarium yah.” Aku letakkan Imelda di lantai supaya bisa berjalan – jalan di tempat yang lebih luas. Ekornya di keluarkan. Begitu itu tingkahnya kalau sedang gembira.
“Ada nyamuk !!!!” Imelda kalau melihat nyamuk persis seperti kalau aku melihat ayam goreng (sayang aku harus membuang kulitnya yang pasti digoreng sangat renyah). Pasti dia berlari menyerbu dengan kecepatan maksimal yang dia punya. Tapi kali ini, belum lagi dia sempat berjalan, nyamuk yang dia incar keburu melayang.
“Haha … makanya jangan gemuk – gemuk. Jadi gak bisa lari khan ? Sebentar aku ambil kan nasi.” Aku berkata kepada Imelda yang matanya kelihatan sedih.
“Gak apa – apalah. Tidak ada nyamuk, nasi pun jadi,” Imelda berkata dalam hati. Aku pergi ke dapur membuka tudung saji. tidak ada nasi di tempat nasi. Aku buka magic jar, ternyata bersih. Jadi aku cepat – cepat kembali ke kamar untuk memberi tahu Imelda. “Imelda. Aku tahu kamu pasti lapar. Aku juga lapar. Jadi posisi kita sama. Tapi kamu harus ngerti kalau nasi kita sekarang habis. Tunggulah paling lama satu jam. Pasti nasi hangat sudah aku hantar buat kamu,” Aku berkata sambil menunjuk – nunjukkan telunjuk kananku dan tangan kiriku tepat di samping pinggangku. Kata Papa aku seperti teapot kalau begitu.
“Yah sudahlah. Tidak ada pilihan B, C, atau D khan ?” Imelda mendongakkan kepalanya. “Itu tadi pilihan A. Tapi aku juga masih punya E.”
“Tolong katakan padaku … “
“Ngomong yang baik dong …”
“May manis. Apa pilihan yang E?”
“Berdoa dalam hati supaya ada nyamuk yang dengan senang hati masuk dalam mulutmu …”
“Wah, kalau itu sih ibarat mengharap bulan jatuh. Tapi tidak ada salahnya juga dicoba …”
“Sudah selesai kau berbicara Imelda ? Semakin lama kita berbicara, semakin lama kau harus menunggu nasi matang.”
“OK bos,” Imelda menundukkan kepalanya dan kembali berjalan – jalan menjelajahi kamarku. Aku berlari – lari ke dapur. Mengambil beras, mencucinya sampai bersih dan memasukkanya dalam rice cooker. Tidak afdol kalau hanya makan dengan nasi, aku membuka lemari es. Kukeluarkan telur, sosis dan brokoli. Kusiapkan semua bumbu. Garam! Mana garam? Kok tidak ada garam ? Bukan pertama kalinya sih rumah ini kekurangan garam. “Imelda ! Bisa tidak belikan aku garam di warung sebelah ?” Aku berteriak dari dapur berharap Imelda bisa mendengarnya.
“Gak bisa. Aku khan kura – kura !” Suaranya terdengar kesal. “Sudah gak ada nasi … disuruh beli garam lagi …” Imelda masih terus menggerutu. Tidak bisa mengandalkan Imelda aku langsung lari ke warung di seberang rumah.
“Garam bu …” Tante Claudia, yang punya warung itu, ambil uangku dan berikan garam yang aku mau tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Seakan – akan aku ini kura – kura. Imelda saja aku ajak berbincang – bincang. Kalau aku tidak amat kepepet, tidak akan aku mau membeli di sini karena selalu bonus tatapan mata yang tidak pernah aku suka selalu aku dapatkan.
“Terimakasih,” aku berkata sambil berlari. Masih tidak berbicara Tante Claudia cepat – cepat ambil tissue, mulai melap tangannya dan uang yang aku berikan sampai bersih. Mirip kalau kalian mencuci piring dan ada noda lemak disana……
Aku bekerja lebih dari satu jam di dapur. Memasak nasi dan lauk, mencuci perabotan yang aku pakai dan aku tiba pada bagian yang paling aku suka. Makan!
“Silakan makan Imelda …” Aku suapkan nasi dan lauk ke dalam mulutku. Imelda mengunyah nasi yang aku berikan padanya dan makan dengan lahap. Selesai makan aku rasakan tubuhku sangat lelah. Aku rindu tempat tidurku. Aku ingin tidur. Tidak perlu menunggu dua jam sesudah makan untuk tidur seperti yang pernah aku baca di salah satu majalah wanita karena aku sudah sangat lelah. Aku hanya ingin beristirahat. Dengan tenang … tanpa ada ganguan … bahkan dari Imelda … aku mau tidur siang …
Selamat tidur siang, Matahari …
“Bangun May …” Papa mengguncang – guncangkan badanku. Salah satu hal yang tidak aku sukai dari Papa adalah dia tidak pernah lembut kalau membangunkan aku. Mataku terbuka sedikit melihat Papa yang berkeringat dengan bau yang tidak bisa dibilang sedap. Bau ‘jalan’ yang Papa dapatkan karena setiap hari harus pulang balik Malang – Surabaya dengan sepeda motor besarnya. “Ngantuk Pa, capek banget …” Aku hendak menutup mata lagi.
“Jangan dipelihara itu ngantuk sama capek. Hidup itu harus berusaha May. Tidak akan ada tempat yang tersisa untuk pemalas dan Papa harap kamu bukan salah satu diantaranya….” Papa mulai lagi dengan kotbahnya.
“Kamu masih belum benar – benar merasakan betapa beratnya hidup orang di luar sana. Kamu harus banyak bersyukur karena masih punya Papa. Orang lain yang tidak seberuntung dirimu malah tidak mengetahui wajah dua orang tua mereka “ Papa selalu marah selepas dia pulang bekerja. Apalagi kalau rumah tidak dalam keadaan bersih alias amburadul. Pasti deh Papa meledak tidak karuan. Tapi setelah dia mandi, membuat kopi untuk dirinya sendiri dan meluangkan waktu bersamaku sambil melihat salah satu episode Discovery Channel, pasti Papa berubah lembut.
“May ?!!” Papa berteriak seperti tidak percaya. “Bisa – bisanya kamu tidur lagi. Hari ini khan kamu harus kasih les. Papa ngomong banyak tadi tidak kamu dengarkan ?“
Begitu mendengar kata ‘les’ aku langsung bangun. Kulihat jam di dinding sudah menunjukkan jam enam lewat sekian menit. Di layar HP, aku lihat sebuah pesan masuk. Dari Tonia, murid lesku.
Mbak May, kasih les khan hari ini?
“Kenapa Papa gak mau bangunkan May ?” aku cepat – cepat ke kamar mandi. Mengguyur badanku sekenanya. Menyabun badanku dan sikat gigi hampir pada saat bersamaan. Rumit memang, tapi selalu berhasil dengan Matahari.
“Papa tidak bangunkan kamu ?” Papa benar – benar jengkel kalau didengar dari suaranya. “Ngapain Papa ngomel – ngomel gak karuan May. Ngomel itu membutuhkan tenaga.”
“Iya, tapi Papa khan bisa langsung bilang kalau ini waktu les tanpa diberi pendahuluan bermacam – macam,” Aku keluar dari kamar mandi sambil melilitkan handuk di rambutku.
“Apa yang harus Papa katakan supaya bisa benar di depanmu May ?” aku dengar suara Papa dari balik pintu kamarku. Aku cepat – cepat pakai celana jeans dan menyambar t-shirt apa saja yang sempat aku raih dengan tanganku. Pakai bedak sedikit, menyisir rambut seadanya dan pergi cepat – cepat dengan sepeda tuaku.
“Berangkat Pa” Aku kayuh sepedaku cepat – cepat. Untung saja rumah Tonia hanya beberapa blok dari dari rumahku.
“Maaf, ada sedikit masalah dengan sepeda saya tadi,” aku berkata kepada Mama Tonia sesampainya aku di rumah Tonia.
“Gak pa pa kok Mbak May,” kata Mama Tonia. Syukur, Mama Tonia tidak memberikan tampang masam sungguhpun aku percaya kalau kalimat ‘gak apa – apa Mbak May’ juga belum tentu gak apa – apa. Pasti masih ada bonus kesel dan mangkel yang dia tak nyatakan dengan kata – katanya. Aku seringt berpikir kalau orang – orang di sekitarku bisa dengan leluasa mengatakan apa yang ada di hati dan pikiran mereka, mungkin akan terjadi kebaikan dan mungkin juga akan terjadi hal yang tidak diinginkan. Seperti uang logam yang mempunyai wajah di kedua bagian sisinya. Aku pernah berangan – angan andai saja semua orang bisa didebat tanpa perasaan marah seperti yang ada di film – film Amerika. Seorang murid meminta penjelasan masuk akal dari guru dengan leluasa dan bebas, dan guru juga menganggap itu sebagai suatu proses belajar. Bukannya sebagai tindakan kurang ajar.
Aku cepat – cepat masuk ke kamar Tonia dan menyapanya dengan senyum yang aku poles sedemikian rupa sehingga tampak ramah dan hangat. Aku harus tampak selalu senang dan tanpa beban ketika memberi les. Tidak peduli bagaimana perasaanku atau masalah apa yang aku hadapi, aku harus tampak sabar, menyenangkan dan siap menghadapi segala kemungkinan. Itulah yang namanya sikap professional. Kata – kata itu tidak berasal dari pikiranku sendiri. Tapi karena Papa yang berulang – ulang mengatakannya padaku.
Aku memberi les Bahasa Inggris dua kali seminggu untuk Antonia setiap senin dan kamis. Bukan hanya Antonia saja murid lesku, tapi ada seorang yang lain, Dodo yang les setiap selasa dan jum’at. Dengan uang tabunganku dari memberi les, mungkin aku akan bisa memberli motor sebelum umur 21. Dari memberi les juga, aku bisa membeli HP dengan subsidi Papa tentunya. Untuk setiap barang yang aku beli, harus ada sebagian yang ebrasal dari usahaku sendiri. Sebelum punya HP, selalu saja aku berdebat sama Papa tentang hal ini.
“Kenapa Papa gak mau belikan aku HP?”
“Kamu masih belum perlu.”
“Papa, teman – temanku hampir semuanya punya HP. Orang sekarang tidak harus membeli sebuah barang hanya karena keperluan” Aku mendebatnya. Aku tidak boleh menyerah. Hanya perlu argumentasi tepat, Papa pasti mau mengerti.
“Papa tidak membesarkanmu untuk menjadi orang yang seperti itu” Papa bilang.
“Papa, aku ini cewek 17 tahun. Aku adalah mahluk sosial, maka aku tidak bisa menutup mata dengan apa yang dimiliki dan dilakukan oleh remaja – remaja lain seusiaku. Apalagi kalau sampai ada yang memandang dan berbicara padaku ‘oh, kamu tidak punya HP yah? Maaf…” dengan pandangan haru penuh penyesalan.
“Yah, May tahu Papa. Tapi setidaknya Papa pernah berumur 17 tahun dan Papa perlu barang – barang tertentu untuk tampil penuh percaya diri”
“Papa tahu dan sejalan dengan waktu, Papa hanya membutuhkan otak dan diri sendiri untuk bisa tampil percaya diri”
“Papa perlu waktu. Berarti ada proses bukan ?”
“Benar” Papa menjawab tidak rela. Seakan – akan dia sudah tahu apa yang akan keluar dari mulutku.
“Biarkan May melalui proses seperti yang pernah Papa alami sehingga suatu saat nanti May benar – benar sadar apa yang May butuhkan untuk bisa tampil percaya diri”
Papa menarik nafas dalam – dalam. Mengurut – urut pertemuan antara pangkal hidung dan keningnya. Mencoba menimbang – nimbang sesuatu. Melihat baik dan buruknya.
“Kamu harus berusaha kalau kamu benar – benar ingin Hp May” Ada titik cerah timbul dalam perkataan Papa.
“Maksud Papa ?”
“Papa akan berikan uang” Aku tersenyum senang …
“Eit … eit … jangan senang dulu. Dengarkan Papa,” Aku mengangguk.
“Papa akan beri kamu uang. Tapi tidak seluruhnya. Hanya sebagian. Sisanya harus kamu cari sendiri dan Papa tidak mau diributkan masalah mengisi pulsa HP mu setiap bulannya. Hanya itu yang bisa Papa tawarkan. Bagaimana ?” Mata Papa sangat serius sehingga aku tidak berani tersenyum walaupun aku sebenarnya ingin.
“Papa, itu sudah lebih cukup …” aku memeluk Papa. Mungkin tidak banyak gadis yang memeluk Papanya tanpa rasa risih di lingkunganku, dan aku senang karena aku termasuk salah satu di antaranya.
Jawaban Papa seperti itu sudah aku duga sebenarnya. Karena dari aku kecil, setiap aku ingin sesuatu, aku harus berusaha sebisanya dan Papa membayar kekurangannya.
Kuhadapi Tonia yang sedang mengerjakan soal latihan yang aku berikan. Anak ini tidak pernah mengeluh dan selalu bergairah untuk belajar. Kalau aku amati benar – benar, sebenarnya Tonia tidak membutuhkan tambahan les Bahasa Inggris. Hanya orang tuanya saja yang memaksa dia mendapat tambahan les ini dan itu. Hanya untuk meyakinkan diri mereka sendiri bahwa anaknya pintar. Aku sih kurang ambil peduli dengan itu. Selama Tonia sendiri tidak keberatan dan aku bisa membiayai sebagian hidupku dengan itu … apanya yang salah ???
Setelah satu jam baru aku meraih minuman yang sudah disiapkan Mama Tonia. Dan aku pulang, terbebas untuk tugas hari ini.
Perihal sampai orang tua Tonia percaya aku yang masih kelas dua SMU ini memberi les anaknya karena di kota tempat tinggalku aku cukup disegani dalam hal bahasa Inggris. Beberapa kali aku menjuarai lomba debat dan pidato di daerah kota dan propinsi sampai – sampai ketika aku ingin mengikuti kompetisi lagi, aku tidak diijinkan oleh sekolahku. Alasan mereka adalah supaya aku memberi kesempatan pada teman – teman yang lain. Meskipun agak tidak terima, rasanya tidak sopan kalau aku mendebat keputusan itu. Aku memang tidak hidup di hutan sehingga harus banyak bertenggang rasa.
Aku mengayuh sepedaku tidak seberapa kuat. Membiarkan angin malam yang lumayan dingin memberikan rasa tenang dalam diriku. Aku sangat menikmati bersepeda. Melewati jalan – jalan yang tidak begitu bising. Melihat warung – warung kecil, sawah – sawah yang membentang seperti kasur yang sangat empuk dan segudang pemandangan lain yang tidak akan bisa didapatkan teman- temanku yang terbiasa dengan AC mobil. Tidak berapa lama aku sampai sudah di depan rumah. Membuka pintu dan kulihat Papa sudah asyik dengan Discovery Channel. Hawa di dalam rumah lebih tinggi beberapa derajat hinggat terasa hangat. Papa terlihat sangat santai dengan celana pendeknya. Celana pendek itu – itu saja yang dia pakai. Seakan – akan tidak ada lagi yang lain. Aku masuk kamar mengganti pakaian kemudian berkumpul bersama Papa. Menyaksikan ikan paus kecil yang berenang di sekitar induknya yang besar setelah persalinan.
“Papa … “
“Hmmm ?”
“Ceritain ke May dong waktu dulu May dilahirkan ?”
Papa menghela nafas kemudian menjawab, “meskipun kamu tidak punya Mama tapi setidaknya kamu tahu sangat mustahil kalau Papa melahirkanmu. Papa ini laki – laki khan May”
“Tapi bukan berarti Papa tidak tahu bagaimana May dilahirkan khan Pa? atau, jangan – jangan … memang benar kalau …. “
“Ingat May. Papa pernah bilang kalau jangan ada kata – kata yang tidak perlu keluar dari mulut Matahari“
“Yah, untuk itulah Ndaru Pambudi harus bercerita” Aku menyebutkan nama lengkap Papa. Tidak tahu hanya perasaanku saja atau bagimana, tapi aku merasa kalau Papa harus bercerita tentang sesuatu yang melinatkan Mama itu sama saja dengan menorehkan luka di hatinya.
“Kamu tahu khan kalau kamu dilahirkan karena cinta?”
“Satu kali Papa kasih tahu dulu. Tapi May tidak tahu bagaimana rupa cinta itu?”
“Rupanya seperti, ice cream”
“Ice cream?” Aku mengangkat sebelah alisku. Suatu tanda kalau aku tidak mengerti. “Apa maksudnya?”
“Papa juga tidak tahu. Kita suka makan ice cream ketika kita merasa bahagia. Tapi kadang kala kita juga makan ice cream kalau kita sedang kesal. Tapi anggap saja ice cream yang Papa ceritakan kamu makan ketika kamu sedang merasa bahagia. Apa yang kamu rasakan ?”
“Nikmat?” aku sedikit ragu – ragu.
“Sangat tepat May. Sangat nikmat. Kamu ingin mengulanginya lagi?”
“Asalkan perutku tetap bisa muat dan aku tidak merasa mual, aku kira saat – saat aku makan ice cream tidak akan aku inginkan berkahir”
“Betul May. Begitulah Papa ketika Papa menantikan kelahiranmu. Rasanya sangat nikmat. Bercampur gelisah tidak karuan, nikmat dan apalah rasa yang lain. Tidak bisa Papa gambarkan.”
“Bagaimana Mamaku ?”
“Papa sudah tahu kalau pertanyaanmu akan menyambung kearah itu”
“Iya Papa. Tapi khan aku ingin tahu”
“Dan kamu tahu jawaban Papa bukan?”
“Ceritakan sedikit saja Pa”
“Yang bisa Papa bilang hanyalah saat itu fasilitas yang ada tidak sebagus sekarang. Hidup kami berdua sangat sulit. Untuk membeli beras saja harus berhutang kesana – kemari. Beberapa lama kami berdua tidak bisa ‘menebus’ kamu dari Rumah Sakit karena kami tidak punya uang. Karena kamu lahir premature May, maka kamu harus masuk ke dalam incubator. Baru sekitar beberapa hari kemudian seorang kenalan Papa bersedia meminjamkan uang yang baru Papa bisa lunasi ketika kamu berumur sekitar satu tahun. Masuk ke dalam incubator saat itu sangat tidak bisa dibilang murah. Kalau seorang bayi harus masuk dalam incubator, sudah terbayang akan berapa uang yang harus dikeluarkan orang tua bayi. Termasuk kami saat itu”
“Lalu”
“Karena kami berdua sadar kalau kamu lebih lama di rumah sakit maka akan lebih banyak uang yang kami keluarkan, maka kami memutuskan membawa kamu pulang. Setiap hari, Mamamu dan Papa bergantian menjaga kamu. Tubuhmu sangat kecil dan kulitmu berkeriput saat itu. Seperti kulit Nenek kamu sekarang.”
“Masak seperti itu Pa ?” Aku tidak percaya kalau kulit bayi yang baru lahir memang keriput.
“Memang seperti itu May. Setiap kali kami berdua harus menidurkanmu di ranjang yang ke dua sisinya kami beri botol yang diisi air panas supaya kamu tetap merasa hangat seperti di incubator. Kalau airnya dingin, kami beri lagi yang baru. Begitu seterusnya …”
Aku diam mendengar Papa bercerita.
“Kami tidak sanggup membelikanmu bubur. Tapi Mama kamu tidak kekurangan akal. Dia membuat nasi lunak yang dia campur dengan pisang. Kadang kalau ada uang berlebih, Papa belikan kamu kacang hijau untuk dibuat bubur. Begitu itu awal – awal kamu ada di dunia ini May. Sangat penuh perjuangan. Meskipun keadaan serba sulit, tapi kamu adalah hadih dari surga buat kami berdua. Kamu lahir dikelilingi cinta “
“Kenapa Pap …?” aku ingin bertanya sesuatu, tapi aku putuskan untuk menyimpan saja pertanyaan itu sampai waktu yang belum aku tentukan kapan.
“Papa, May pingin tidur dulu “ Aku mengecup pipi kiri Papa menuju ke tempat tidurku membayangkan betapa sulitnya kehidupan orang tuaku saat itu. Umur Papa sekarang tiga puluh tujuh. Berarti Papa mendapatkan aku ketika dia berumur sekitar dua puluh tahun. Lebih tua sepuluh atau sebelas tahun dari aku sekarang dan dia sudah harus bertanggungjawab terhadap seorang anak yang baru lahir dan seorang istri, Mamaku. Ajaib kalau melihat diriku sekarang. Aku bisa tidur dengan di kamar yang paling nyaman di seluruh dunia tanpa mendapat kesulitan yang berarti. Aku juga bersyukur kalau Tuhan sudah menciptakan beras, susu dan kacang hijau sehingga aku bisa hidup. Aku tidak kekurangan gizi ataupun zat – zat lain yang berguna bagi pertumbuhan otak dan tubuhku karena semua bahan itu diambil dari alam. Sama seperti aku tidak pernah malu dengan sepeda tuaku maka aku tidak akan malu memakan salah satu makanan dari singkong. Alam memang telah menyediakan segalanya. Hari sudah malam. Suara TV masih terdengar di ruang tengah. Tidak ada suara jangkrik terdengar seperti di rumah Nenek karena rumahku juga dikelilingi rumah, tidak ada tanah lapang. Kupandang Imelda masih bergerak – gerak di dalam aquarium.
“Sudah malam Imelda. Waktunya tidur …”
“Aku mau begadang malam ini “
“Kau akan kesiangan besok pagi”
“Aku khan tidak sekolah besok May”
“Ooops, maaf aku lupa Imelda. Selamat malam”
“Selamat malam Matahari”
Aku menutup mataku, berharap tidak lagi bermimpi tubuhku berubah menjadi super gemuk.
Find me on IG @eveningtea81 for daily quote and short stories
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!