1
PLAK!
"Dasar anak j*l*ng!" maki seorang wanita kepada gadis remaja berusia 16 tahun.
Gadis remaja itu sampai tersungkur akibat kerasnya tamparan di pipi mulusnya.
Risha yang baru saja pulang dari tempat kerja pun terkejut melihat Milda menampar adiknya.
Ia sampai membuang beg lusuhnya asalan dan langsung memeluk adik semata wayangnya.
Risha menyingkirkan tangan Risma dari pipinya, dan terlihatlah pipi adiknya yang membiru.
Risma menangis tersedu sedu menahan perih di pipinya dalam pelukan sang kakak.
Risha menatap tajam Milda "kenapa bibi tega sekali menampar adik saya? Apa salahnya bibi?" ucapnya tajam.
Risha berusaha menahan amarahnya supaya tidak memaki kembali Milda.
"Hah! Kakak dan adik sama saja! Seharusnya kau ajari adikmu itu sopan santun, berani sekali dia menampar tamu pentingku!" Bentak Milda.
Risha kaget dan langsung menatap Risma.
"Apakah itu benar?" Tanya Risha lembut.
Dia sangat mengenal adiknya, Risma tidak mungkin melakukan hal itu jika tidak ada sebabnya.
Risma menggeleng keras, tidak mampu berkata kata karena berusaha menahan tangisnya yang semakin mengeras.
"Alaahh!, Bilang saja kamu memang sengaja supaya aku terlihat buruk di mata Tuan ander, iya kan?!" Bentaknya lagi.
"Bibi, aku mohon berhenti menyalahkan adik saya mungkin tamu bibi sudah kurang ajar sama adik saya makanya Risma berani menamparnya saya sangat mengenal adik saya seperti apa," bela Risha, membuat Milda semakin geram.
"Tahu apa kamu? memangnya kamu tahu apa yang sudah adik kamu lakukan? dia mempermalukan aku dengan sikap lancangnya itu, bisa bisa Tuan Ander membatalkan kerja sama kami gara gara dia!," tunjuk Milda ke Risma.
Risha ingin sekali membantah perkataan bibinya, jika saja tidak memikirkan mereka masih bergantung hidup di rumah wanita itu, dan lagi Risha tidak mau Risma hidup sengsara, cukup dirinya saja yang menanggung penderitaan ini.
Risha memejamkan mata sesaat "maafkan Risma, bibi. dia mungkin tidak sengaja melakukannya dan aku berjanji akan mewakilinya untuk meminta maaf pada Tuan Ander," ucap Risha Pasrah.
"Huh! baguslah, pastikan Tuan Ander menerima permintaan maafmu jangan sampai tidak, karena aku ingin kerja sama kami berjalan lancar, ngerti kamu!." bentak Milda dan pergi begitu saja.
Melihat Milda pergi, Risha segera membawa Risma ke kamar sempit mereka, yang berada didekat dapur, kamar itu cuma berisi satu ranjang single dengan tilam usang dan dua bantal, dua selimut untuk mereka berdua.
Satu meja kecil untuk belajar, rak baju dan buku buku mereka.
Rumah Milda besar tapi hanya memberi satu kamar kecil untuk mereka tidur berdua.
Risha mendudukan Risma diranjang, ia ingin mengambilkan kompres tapi Risma menahan tangannya.
"Kak Risha gak marah sama aku? aku kan sudah membuat bibi marah besar," ucap Risma masih dengan sisa tangisnya.
Risha tersenyum manis menatap wajah polos adik semata wayangnya "aku percaya sama kamu, kamu adik kakak yang paling lembut tidak mungkin melakukan hal itu jika tak ada sebabnya," Risha mengelus kepala Risma.
Mata Risma kembali berkaca kaca karena terharu, dia memeluk Risha dengan erat.
Baginya Risha sudah seperti Ibu dan Ayah, karena ia tidak pernah melihat atau mengenal siapa orang tua mereka, Ibu mereka pun meninggal saat ia berumur lapan bulan akibat kanker payudarah, dan Ayah mereka pun pergi meninggalkan mereka berdua, itu lah kenapa Risha sangat sensitif jika dia mulai bertanya siapa dan dimana Ayah mereka.
Risha melepas pelukan mereka, ia pergi ke dapur lalu kembali dengan kompres berisi ais batu.
"Argh! sakit, kak." rintihnya.
"Tahanlah, bengkaknya akan menurun jika di kompres terus seperti ini," ujar Risha terus mengompres pelan pipi kanan Risma.
"Kak, apa besok wajahku tidak membiru? aku malu ke sekolah jika ini masih membekas," rengeknya.
"Haish, diamlah, kau ingin sembuh atau tidak!" seru Risha mulai kesal jika Risma terus bawel.
Risma cemberut, melihat itu Risha pun terdiam menatap lamat lamat wajah adiknya.
Merasa tidak ada pergerakan dipipinya membuat Risma menoleh, ia bisa melihat tatapan sedih dan penuh tanda tanya dimata Risha.
Risma membuang muka, tidak ingin menjawab apa yang kakaknya mau ketahui tentang baru saja yang terjadi.
"Risma, jawab pertanyaan kakak, apa yang sudah Tuan Ander lakuin sama kamu sehingga kamu berani menamparnya," tanya Risha.
Risma terdiam tidak mampu menjawab, ia merasa malu dan tak ingin kakaknya marah jika mengetahui pria itu sudah berusaha ingin melecehkannya.
Risha memegang kedua bahu adiknya, tapi Risma justru menunduk.
"Lihat kakak, kakak tidak mau ada rahasia diantara kita, bukan kah kita sudah sepakat soal itu?" desak Risha.
"Kak Risha, aku mohon beri aku waktu aku akan memberi tahumu tapi bukan sekarang, aku mohon.." ujar Risma pelan.
Risha melepas pegangannya lalu memeluk kepala Risma erat, dia sangat takut kehilangan adik satu satunya, karena Risma lah ia bisa bertahan hingga saat ini.
"Istirahatlah, biar kakak yang urus sisanya," ucap Risha.
"Tapi kakak pasti cape, aku gak apa apa kok," Risma ingin beranjak, tapi Risha menahan bahunya.
"Jangan keras kepala, dengarkan kakak kali ini," Risha bersikeras.
Risma yang tidak bisa membantah hanya bisa cemberut, perasaannya tidak apa apa tapi kakaknya sungguh keras kepala sama seperti dirinya.
"Kak, tunggu," Risma menarik tangan kakaknya.
"Apa lagi, Risma?.." gemas Risha, niatnya mau keluar terhalang lagi.
"Hmm, apa kakak akan meminta maaf pada Tuan Ander?" ucapnya pelan tapi masih bisa Risha dengar.
"Huh, mau bagaimana lagi? kamu dengar sendirikan apa kata bibi jika kakak tidak segera mewakilimu meminta maaf maka Tuan Ander akan membatalkan proyek kerja sama mereka dan bibi Milda yang akan menanggung semua kerugian proyek itu," ucap Risha pasrah.
Risma tertunduk sedih, dia merasa bersalah kepada kakaknya, karena sudah menambah beban kakaknya lagi.
Ia merasa tidak berguna dan hanya bisa menyusahkan kakaknya.
Risha menepuk kepala Risma, dan mengelusnya, Risha bisa merasakan Risma mulai menyalahkan diri sendiri.
"Sudah.. jangan di fikirkan, masalah bisa datang kapan saja jadi jangan menyalahkan dirimu sendiri, sebagai kakak sudah tugasku melindungimu, fokuslah dengan pelajaranmu." Setelah berkata seperti itu Risha berjalan keluar kamar.
Risma menatap kepergian kakaknya dengan tatapan terharu.
Elusan tangan Risha di kepalanya seperti magic, dia langsung merasa tenang.
Mulai sekarang Risma berjanji pada dirinya sendiri, kalau dia akan belajar lebih rajin lagi, supayah dia bisa membuat kakaknya bahagia dan tidak perlu bergantung hidup pada bibi Milda lagi.
Dia berbaring di kasur usangnya dan mulai memejamkan mata sambil tersenyum, baginya tidak masalah tidak mempunyai orang tua, asalkan kak Risha selalu ada disampingnya.
2
Risha menatap gedung tinggi dihadapannya, dengan berbekal alamat dari bibinya ia bisa sampai di gedung mewah ini.
Risha menguatkan tekad sebelum melangkah masuk ke dalam gedung tersebut.
"Permisi, apa Tuan Ander ada di ruangannya?" ucap Risha sopan.
Wanita resepsionis itu menatap gadis didepannya dari ujung kepala sampai kaki dengan tatapan meremehkan.
Gadis dihadapannya sungguh terlihat kampungan sekali, lihatlah baju koas lengan panjangnya beserta celana jeans tak lupa tas selempangnya yang usang.
"Maaf anda siapanya Tuan Ander? dan ada perlu apa sama Tuan besar?" ucapnya ketus.
Dalam hati Risha merasa kesal setengah mati, bukan hanya Tuannya yang sombong tapi resepsioninya juga.
Risha berusaha tersenyum sopan, jika bukan karena permintaan maaf mana sudi ia menginjakkan kakinya disini.
"Saya keponakan nyonya Milda rekan bisnisnya Tuan Ander, bisa anda memberi tahunya kalau saya ingin bertemu sebentar?" kata Risha.
Wanita itu tersenyum meremehkan, dia sudah menduga hal ini. para wanita maupun gadis sering datang kemari dengan tujuan yang sama, iaitu memuaskan bos mereka yang kaya raya itu demi segempok uang dan barang mewah dari Tuan Ander.
Risha kesal melihat senyuman wanita itu yang seperti meremehkan dirinya.
Wanita itu akhirnya menelepon sang atasan, dan memberitahu kalau keponakan Nyonya Milda sedang mencarinya.
Risha hanya melihat wanita itu menganggukkan kepala lalu mematikan teleponnya.
"Tuan Ander menyuruh anda keruangannya di lantai 17." ucap wanita itu masih dengan nada yang sama ketusnya.
Risha tersenyum dipaksakan, lalu pergi ke lift yang membawanya ke lantai 17 seperti wanita itu sebutkan.
Dalam lift bukannya lega, detak jantungnya bertambah kencang, karena sebentar lagi dia akan bertemu dengan pria yang sudah adiknya tampar.
Entah apa yang akan ia katakan nanti, ia teringat tadi Risma seperti tidak mau dia datang kesini, ia jadi penasaran seperti apa Tuan Ander itu.
Ting.
Akibat terlalu serius berfikir, tak terasa ia sudah sampai di lantai 17, Risha segera keluar dari lift, dilantai ini terlihat lebih mewah dari lantai lainnya.
Belum sempat dia berbicara, wanita yang berada dilantai itu sudah menyuruhnya masuk, sepertinya itu sekertaris Tuan Ander.
Tok. Tok.
"Masuk."
Risha bertambah gugup mendengar suara pria itu, dia mencoba menenangkan perasaannya sebelum masuk ke ruangan Tuan Ander.
Dan terlihatlah ruangan mewah dengan dinding kaca tebal disekelilingnya, dia juga melihat seorang pria duduk di kursi kebesarannya, dan didepannya tertulis rapi, Direktur Ander.J.
Yang ia tebak telah berusia 40 tahun lebih, pria itu tersenyum kepadanya, dan baginya senyuman itu terlihat menakutkan.
"Silakan duduk jangan gugup begitu santai saja," kata pria itu alias Tuan Ander.
Risha tersenyum di paksakan lagi, wajahnya pasti terlihat aneh di mata Tuan Ander, tapi siapa yang perduli.
Saat ini yang harus dia fikirkan bagaimana caranya meminta maaf kepada pria itu.
Risha duduk dengan perlahan sambil menatap isi ruangan mewah itu, terlihat tidak sopan memang tapi itu lah dirinya, dia suka menatap apa saja yang ingin dilihatnya.
Tanpa Risha sadari tatapan Tuan Ander mulai menelusuri dari kepala sampai batas dada Risha, dia menatap lama bagian itu, walau payudarah gadis itu tidak terlalu menonjol akibat bajunya yang kebesaran.
Tapi tatapan matanya tidak bisa berbohong, kalau dia sangat tertarik dengan gadis manis itu.
"Ehem! perkenalkan saya Risha kakak dari Risma, kami keponakan bibi Milda," dengan cepat Risha memperkenalkan diri, dia tidak mau sampai diseret keluar dari gedung karena mengganggu di waktu kerja, itu sangat memalukan.
"Ander Joby," ucap Tuan Ander sambil menghulurkan tangan ingin menjabatnya.
Risha menyambut tangan itu dengan ragu ragu, dan melepasnya cepat.
Entah kenapa dia kurang nyaman berada diruangan itu, lebih baik berbicara pada wanita ketus tadi daripada berada dalam ruangan ini bersama Tuan Ander yang selalu menatapnya dengan tatapan aneh.
"Langsung saja Tuan," Risha menghela nafas pelan sebelum menatap mata pria itu, "saya datang kemari mewakili adik saya Risma untuk meminta maaf soal kejadian kemarin, mohon maafkan adik saya, Tuan Ander," ucap Risha bersungguh sungguh.
Tuan Ander bersidekap dada sambil berpura pura berfikir, sangat disayangkan jika gadis semenarik ini di lepaskan begitu saja, dia sudah gagal mendapatkan adik dari gadis ini, bahkan mendapatkan tamparan di depan orang ramai.
Mereka sama sama terlihat cantik, tapi kakaknya terlihat lebih menarik karena badannya lebih mungil dari sang adik.
Tuan Ander seperti tidak pernah merasa puas sudah mempunyai tiga istri dan tiga anak.
Dia malah masih menginginkan gadis didepannya untuk di jadikan istri.
"Aku sebenarnya tidak terlalu permasalahkan hal ini, tapi mau bagaimana lagi aku sudah terlanjur malu didepan orang ramai, mereka pasti berfikir aku sudah berbuat hal buruk kepada adikmu," ucapnya pura pura memasang raut wajah sedih.
Risha masih terdiam, tenggelam dalam pemikirannya sendiri, tentang hal apa yang Tuan Ander inginkan supayah mau menerima permintaa maaf darinya.
"Apa yang harus saya lakukan?" Ucap Risha tanpa keraguan.
Tuan Ander tersenyum licik, ini lah saat yang ia tunggu tunggu.
*****
Risha berjalan keluar dari gedung mewah itu dengan raut wajah yang susah di tebak.
Tersimpan sejuta emosi di wajahnya, Risha berjalan sambil berfikir.
Risha juga tidak perduli orang disekeliling melihat dirinya dengan pandangan aneh karena berjalan sambil melamun.
Wanita resepsionis itu pun ia lewati begitu saja tanpa menoleh sedikit pun.
Melihat gadis tadi sudah keluar dengan raut wajah melamun, membuat wanita resepsionis itu berfikir macam macam, dia tersenyum meremehkan tanpa Risha sadari.
Dia mengira kalau gadis itu habis bermain dengan Tuan Ander seperti wanita lainnya, jika datang kesini.
Huh! Mukanya saja terlihat polos tapi ternyata wanita murahan, batin sinis wanita resepsionis itu.
Risha sampai di tempat berhenti bus, ia duduk dan menghela nafas keras.
Mengingat pembicaraannya tadi bersama Tuan Ander, sukses membuat Risha hampir gila. ini keputusan yang sangat berat, dia harus pergi keluar kota untuk sebuah pekerjaan, yang entah kapan dia akan kembali lagi ke kota kelahirannya.
Apa lagi harus berpisah lama dan jauh dari adiknya, memang tadi Tuan Ander sudah memberi jaminan, kalau dia akan menanggung semua biaya sekolah termasuk menjaga adiknya.
Tapi ini sungguh berat, alasan apa yang harus dia beritahu kepada Risma jika dia harus pergi lama dan jauh, pasti adiknya akan sedih mengingat Risma tidak bisa berpisah darinya.
"Kenapa Tuan Ander harus memilih saya yang tidak pernah bekerja di perusahaan dan bahkan tidak tahu apa pun tentang perusahaan?" lirih Risha. dia menutup wajahnya dengan kedua tangan mungilnya, terbayang lagi wajah adiknya yang menatapnya sedih jika ia pergi nanti.
Tadi setelah mendengar Tuan Ander menyelesaikan bicaranya, sempat membuat Risha protes keras.
Dia protes kenapa bukan orang kepercayaan pria itu yang dia suruh membuat semua pekerjaan itu, yang memang sudah pekerjaan mereka dan sudah biasa melakukannya.
Kenapa harus dia yang tidak tahu apapun, tapi Tuan Ander memang licik, pria itu beralasan menganggap ini sebagai bentuk penerimaan maaf dari pria itu.
Risha berdiri ketika bus mulai mendekat, selama di perjalanan dia sudah membuat keputusan. ini juga demi kebaikan Risma adiknya.
Apapun akan dia lakukan demi membuat adiknya bahagia.
Seperti yang Risha duga. Risma tidak mau dia
pergi, apalagi keluar kota.
Risma tidak berhenti menangis dan merengek seperti anak kecil yang tidak mau ditinggal kerja ibunya.
Risha hampir goyah melihat adiknya terus bersedih karena mau ditinggal pergi jauh.
Walau Risha terus beralasan kalau ini demi kebaikan mereka, supaya tidak bergantung lagi sama bibi Milda, tapi Risma tetap tidak rela jika kakaknya pergi jauh darinya.
"Kakak, bawa aku bersamamu juga.." rengek Risma.
Saat ini mereka berada di bandara, Milda tidak ikut ke bandara bersama mereka, baginya itu tidak penting.
"Tidak Risma, bukankah ini demi kebaikanmu juga, kakak hanya ingin kamu belajarlah dengan rajin kejar cita citamu dan bersikaplah lebih dewasa lagi, mengerti?" pinta Risha.
Tersirat raut khawatir di wajah cantiknya, dia berharap bibi Milda tidak semena mena memperlakukan adiknya, itu lah janji yang ia buat bersama Milda sebelum ia menyetujui menerima pekerjaan ini.
Bosnya bahkan tidak percaya kalau dia akan berhenti bekerja sebagai koki masak direstoran, bosnya menghargai keputusannya, dan memberi bonus lebih, dia juga memberi beberapa nasihat sebelum Risha keluar dari restoran.
Bosnya memang selalu baik padanya, sikap baiknya secantik wajah wanita itu.
Risma menganggukkan kepala, dia tidak mau kakaknya terlalu mengkhawatirkan dirinya, Risma mencoba tersenyum pada kakaknya.
"Jaga dirimu baik baik jangan buat bibi marah dan jangan suka keluyuran bersama teman temanmu hmm!" nasihat Risha sebelum dia berangkat.
"Iya kak, jaga dirimu juga sering seringlah bagi kabar, ok?" Pinta Risma.
Mereka berpelukan sebelum berpisah, rasanya begitu berat melepaskan pelukan ini, walau sekuat apapun menahan airmatanya, Risma tetap terisak.
Beda dengan Risha, dia malah mendongak supaya airmatanya tidak menetes.
Dua orang berbeda gender menghampiri mereka, satu laki laki dewasa dan satu perempuan dewasa sekitar tiga puluhan.
"Nona, saatnya kita berangkat," ucap wanita itu.
Risha melepas pelukan mereka, "aku pergi dulu." pamit Risha.
Risma melambai tangan sambil mengusap airmatanya.
Risha pergi tanpa menoleh lagi, karena dia tidak mau terlalu larut dalam kesedihan jika melihat adiknya lagi.
*****
Mereka sampai di jepang sudah pukul 8 malam, dan langsung menuju apartemen yang sudah Tuan Ander sediakan untuk mereka selama berada di kota itu.
Risha melihat pemandangan kota tokyo pada malam hari, terlihat sangat indah, tapi tidak bisa melupakan raut wajah sedih adiknya beberapa jam yang lalu.
Risha bukan wanita bodoh, dia bukan orang yang mudah saja tertipu dengan iming iming uang yang banyak, hanya demi bisa hidup enak.
Kehidupan keras yang ia lalui sedari kecil mengajarkan Risha banyak hal, bahwa tidak ada yang gratis di dunia ini. dia teringatan pembicaraannya bersama Tuan Ander.
FLASHBACK.
"Aku ingin kau menjalankan proyek yang baru saja aku kelola di jepang," ucap Tuan Ander.
Risha mengerutkan dahinya. mereka baru saja bertemu dan berkenalan, tapi kenapa pria itu malah bicara bisnis seolah olah berbicara pada klien kerjanya.
Dia kan hanya seorang koki di sebuah restoran kecil, bukan pembisnis.
Bukan ini yang dia harapkan akan keluar dari mulut pria itu.
"Maaf Tuan, sepertinya anda salah orang saya tidak tahu menahu soal bisnis tapi anda menawarkan saya sebuah proyek? anda pasti sedang bercanda," kata Risha mengira ini hanya sebuah lelucon.
Tuan Ander menggeleng, "tidak Nona Risha, saya serius," ucapnya lagi.
Wajahnya menunjukkan bahwa pria itu tidak main main dengan perkataannya.
Risha terdiam menatap lama mata pria itu, mungkin saja Tuan Ander sedang mempermainkannya, karena adiknya sudah menamparnya.
Tapi Risha tidak menemukan kebohongan di mata pria itu. dia segera mengalihkan tatapannya.
"Saya harus pergi, permisi," Risha sudah memegang gagang pintu tapi suara Tuan Ander menahannya pergi.
"Aku akan melupakan kejadian kemarin dan tidak akan membatalkan kerja sama dengan Nyonya Milda jika kau bersedia melakukan kerja ini," ujar Tuan Ander cepat.
Tangan Risha terhenti, dia tidak berbalik, tapi masih mendengar apa yang akan pria itu katakan lagi.
Tuan Ander tersenyum tipis melihat gadis itu masih mau mendengarkannya.
"Bukankah ini tawaran menarik, Nona Risha? kau bisa mengubah hidupmu lebih baik lagi tanpa bergantung pada Nyonya Milda," ucapnya lagi.
"bagaimana aku tahu kalau ini bukan sebuah jebakan dari anda? bukankah Risma telah menampar anda kemarin?" sela Risha cepat. wajahnya sampai memerah menahan emosi.
Tuan Ander bersandar di kursi kebesarannya dengan raut wajah tenang.
Dia tidak menyangkah kalau gadis itu tidak mudah dibohongi, dia mengira gadis itu seperti wanita lain yang rela melakukan apa saja demi uang.
"Begini saja, kita buat kesepakatan jika kau takut aku menjebakmu," Tuan Ander memanggil sekertarisnya.
Risha masih berdiri didekat pintu masuk ketika sekertaris pria itu muncul dari balik pintu, dan membawa beberapa berkas lalu memberikan pada Tuannya.
Setelah sekertarisnya keluar. Tuan Ander menaruh tanda tangannya di dokumen itu lalu menggesernya ke hadapan Risha.
"Bacalah, tanda tangani jika kau setuju apa yang tertulis dalam dokumen ini," ujarnya.
Risha mengambil dokumen itu lalu membacanya. Dia sedikit tertarik setelah membaca isi surat itu.
Melihat gadis itu mulai tertarik, membuat Tuan Ander menyeringai.
"Bagaimana Nona Risha, apa itu bisa membuat anda percaya? kita akan sama sama untung dalam bisnis ini dan kau tak perlu lagi khawatir soal biaya, adikmu pun akan terjamin masa depannya" ujarnya lagi.
Risha dilema, ini sungguh tawaran menarik tapi dia juga takut pria itu hanya menjebak dirinya.
Apa lagi sekarang penipuan sedang merajarela dimana mana. Risha takut menjadi salah satunya yang tertipu, bagaimana nasib adiknya jika hal itu sampai terjadi pada dirinya.
"Jika aku gagal?" tanya Risha, dia harus memastikan dirinya tidak akan dirugikan apa apa jika dia gagal menjalankan bisnis ini.
"Kau akan pulang dengan selamat tanpa kekurangan apapun dan berkumpul bersama adikmu lagi," ucapan Tuan Ander terdengar begitu meyakinkan, "aku akan memberikan kau waktu sampai besok, fikirkan baik baik Nona Risha ini tawaran yang sangat menguntungkan."
OFF FLASHBACK.
Risha membuka matanya, dia melihat banyak sekali pepohonan, sepertinya apartemen yang akan mereka tempati agak jauh dari kota.
BRAKK!!!
Sebuah mobil menabrak mobil mereka dengan keras, hingga terguling dijalan raya.
Nafas Risha tersengal sengal menahan sakit di seluruh tubuhnya.
Sebelum dia hilang kesadaran, Risha masih sempat melihat seseorang membuka pintu mobil mereka.
Matanya agak buram, dia tidak bisa melihat dengan jelas wajah pria berbaju hitam itu.
Risha juga bisa merasakan, pria itu membawanya keluar dari mobil, setelah itu penglihatannya menggelap dia tidak kuat lagi menahan rasa sakit, dan akhirnya hilang kesadaran.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!