Ini jam pelajaran ke tujuh, hampir tiba di penghujung kegiatan belajar mengajar di sekolah. Entah kenapa justru pelajaran matematika yang ada di jam ini. Bukankah itu menjadi pemicu murid-murid makin mengantuk dan di serang rasa malas yang besar? Yang membuat jadwal pelajaran sungguh sangat lucu.
Ruang kelas kosong sejenak ketika pergantian jam pelajaran. Mia sudah menguap ke lima kali sejak guru pelajaran sebelumnya keluar kelas.
"Habis begadang?" tegur Shana yang duduk satu bangku dengannya.
"Iya. Bantuin emak bikin wajik." Mia menjawab dengan menidurkan kepalanya di atas meja.
"Emang ada acara apa?" tanya Bebi yang duduk terpisah dari mereka. Gadis itu duduk sama temennya yang sangat rajin dan kalem.
"Enggak ada. Emak ada pesenan. Jadinya semua orang di rumah di kerahkan untuk membantu. Whoamm ..." Mia menguap lagi. Karena ini sudah ke enam kalinya, mau tak mau Shana akhirnya tertular juga. Ia pun ikut menguap.
"Whoamm ..."
Di pintu, Cowok-cowok yang berniat keluar untuk mencari makan di kantin tiba-tiba berhamburan masuk lagi ke dalam kelas serentak.
"Ayo cepat duduk. Duduk." Mereka panik. Semua anak di dalam kelas menoleh bersamaan karena hebohnya cowok-cowok yang panik itu. Saat itu masuklah seseorang dari pintu.
"Selamat siang," sapa guru pembimbing pria dengan suara rendah yang tegas.
"Wahh ...," bisik Mia takjub. Dia pun menganga di buatnya. Bebi yang ada di bangku sebelah pun sama. Bukan hanya mereka berdua, semua murid perempuan juga terpana ketika guru pembimbing itu melangkah masuk dan menghampiri kursi guru. Tak salah, pria ini adalah guru dengan wajah yang tampan. Apalagi postur tubuhnya yang tegap dan berdada bidang, membuat penampilan pria ini bak model yang sedang melewati catwalk.
"Karena Pak Ilham tidak bisa datang dikarenakan beliau ada kepentingan, saya Regas datang sebagai pengganti untuk mengisi pelajaran matematika di jam terakhir ini," ujar guru ini dengan tenang.
Regas? Guru yang terkenal killer itu? Semua saling pandang sesaat. Jika di awal tadi murid cewek sempat kesenangan dapat guru pengganti yang tampan, kini mendadak ikutan tegang.
Regas? Kenapa nama itu tidak asing? tanya Shana dalam hati. Dia mencoba memperhatikan guru itu.
Dari jam pelajaran siang yang penuh dengan rasa kantuk, jenuh, dan lelah ... kini berubah menjadi mata cengar karena tegang yang mendera. Meskipun begitu, pikiran beberapa anak terlihat bahagia. Terutama murid cewek, meskipun Pak Regas terkenal killer mereka tak berhenti melebarkan mata untuk menatap takjub guru pembimbing yang tampaknya masih muda itu.
"Shan, dia tampan ya," bisik Mia begitu pelan dengan alis naik turun. Shana tidak bergeming. Dia merasa ada di dunia lain. Dia sedang mengamati guru di depan kelas itu. "Shan ..." tegur Mia karena tidak mendapat respon. Kepala Shana mengangguk untuk menghentikan towelan tangan Mia karena ingin di perhatikan.
"Jika tidak ingin mengikuti pelajaran ini, tolong keluar saja." Tiba-tiba beliau memberi ultimatum pada Mia yang berbisik dengan tegas. Ini membuat bangku Mia mendapat sorotan dari banyak anak lain. Mia menggerutu dalam hati. Bebi tergelak ringan seraya menutupi bibirnya.
Tidak. Ini tidak mungkin! pekik Shana dalam hati. Sangat tidak mungkin. Shana masih bicara sendiri dalam hati.
Guru itu kembali menjelaskan materi pelajaran yang seakan membius murid wanita untuk memperhatikan. Rupanya, guru pembimbing itu punya wajah dan nama yang mirip dengan pria di kencan milik bibinya. Sesaat ketika guru itu masih dalam proses menjelaskan, Shana merasa tatapan mata pria itu tengah tertuju padanya. Set! Tanpa sadar ... Shana menurunkan pandangan. Ia mengerjap panik.
Tidak mungkin dia pria itu. Pria yang datang ke kencan yang di buat oleh bibi Raisa, pekik Shana lagi. Semoga apa yang aku pikirkan tidak benar, harap Shana cemas.
******
Teeeettt!!!
Bel jam pelajaran berakhir telah berbunyi. Ini adalah bunyi-bunyian yang paling di damba seluruh murid sekolah, yaitu bel jam pulang.
"Saya harap kalian mengerjakan tugas yang saya berikan meski saya hanya sebagai pengganti. Jadi ketika pak Ilham sudah bisa mengajar lagi, kalian semua harus mengumpulkannya," kata pak guru Regas.
"Ya Paaaaakkkk," sahut mereka serentak.
Shana langsung menutup bukunya dan memasukkan ke dalam tas. Hhhh ... ia menghela napas lega setelah guru itu keluar. Jangan sampai pria itu adalah pria yang sama dengan yang di cafe itu. Shana cemas. Saat gadis ini mencemaskan dirinya, dua temannya lagi sibuk membicarakan guru itu.
"Eh, Gilak. Guru tadi cakep banget." Mia berseru kagum.
"Kamu baru tahu, Mia?" tanya Bebi yang memang lebih tenang daripada gadis ini. Padahal biasanya dia juga sama seperti Mia ketika melihat pria tampan. Histeris.
"Iya, aku baru tahu ada guru tampan, muda seperti dia di sekolah kita." Mia masih takjub.
"Padahal guru itu enggak baru-baru amat lho." Bebi menunjukkan bahwa ia tahu lebih dulu.
"Jadi kamu sudah tahu?" tanya Mia merasa Bebi menakjubkan.
"Ya iyalah. Masak orang tampan gitu aku baru tahu." Bebi menggerakkan alisnya.
"Hah? Serius? Kok aku ketinggalan?" Mia terkejut.
"Dia kan emang enggak ngajar kelas kita, tapi di sebelah. Dia juga masih single lho makanya jadi idola kakak kelas kita." Rupanya Bebi punya banyak informasi. Dia penggemar sejati. "Namun ingat, dia di kenal killer."
"Tapi dia tetap tampan," imbuh Mia. Bebi tergelak.
Sementara itu Shana tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Dia membiarkan kedua temannya membicarakan pria itu tanpa melibatkannya. Karena apa, karena dia panik. Pak guru itu sangat mirip dengan pria yang dia temui karena bibinya. Sangat bahaya jika memang pria itu adalah pria yang sama. Karena itu artinya dia akan ketahuan kalau dia bohong. Pun dia sudah mempermainkan pria yang ternyata gurunya di sekolah itu.
"Hei, kenapa diam aja?" tegur Mia.
"Eh, iya," sahut Shana singkat.
"Lagi pms apa kelaparan nih?" tanya Bebi yang juga heran gadis ini bungkam terus.
"Lapar," sahut Shana langsung menemukan alasan.
"Oh, lapar ya. Sama, aku juga. Kita nongkrong di cafe kampus yuk sekalian makan," ajak Mia semangat.
"Wah boleh," sahut Bebi setuju.
"Gimana Shan?" Karena Shana diam, Mia menowel lengan gadis ini agak keras.
"Eh, ya." Shana gugup.
"Kamu kenapa sih? Seperti lagi di dunia sendiri. Mikir apaan?" tegur Mia mulai sebal.
"Enggak ada. Biasa ... orang lapar sering blank. Ayo deh ke kampus, tapi aku ke toilet dulu kalian ambil motor deh." Shana masih tidak mau mengungkap soal pertemuan dengan pria yang mirip dengan guru matematika tadi. Dia masih belum yakin. Mia dan Bebi setuju. Hari ini Shana memang tidak membawa motor sendiri. Ia nebeng pada Mia yang menjemputnya dari rumah bibinya tadi pagi.
...----------------...
Shana membetulkan seragam abu-abunya ketika sudah keluar dari toilet. Lalu berjalan di lorong yang sepertinya masih ada beberapa anak yang tinggal. Mungkin mereka ikut ekskul atau nongkrong saja.
Pikiran Shana yang tadinya tenang setelah dari toilet, kini kembali tegang ketika melihat guru matematika yang jadi guru pengganti tadi ada di lorong. Mata pria itu tengah tertambat padanya. Ini bukan hanya perasaannya saja. Pria itu memang sedang melihat dirinya.
Shana makin panik ketika pria itu justru berjalan ke arahnya. Kenapa aku panik sih? Mungkin saja dia bukan menghampiriku kan? Mungkin saja dia memang ada urusan ke arah yang sama. Shana berusaha menenangkan dirinya. Ya, dia tidak mungkin tahu kalau perempuan yang ia temui di cafe itu adalah bocah seperti aku. Lagipula waktu itu aku kan sudah di sulap seperti perempuan dewasa. Ya. Seperti itu.
Shana berusaha bersikap biasa. Kakinya mulai bergerak untuk melangkah menuju ke teman-temannya dan bergegas ke kampus mencari makan. Namun nyatanya dia tidak bisa bergerak karena pria itu sudah ada di depannya. Kali ini sangat jelas kalau pria itu tengah menatapnya. Pria ini berhenti melangkah dan berdiri di depannya.
Tidaaaak!
Glek! Shana menelan saliva-nya sendiri. Ia benar-benar merasa sedang dalam ujung tanduk meskipun pria itu belum mengatakan apa-apa.
"S-selamat siang Pak." Karena gugup dan panik, Shana justru lebih dulu menyapa pria ini.
"Siang," sahut Regas dengan singkat. Shana kembali diam karena rasa tegang, panik, dan takut campur aduk jadi satu. "Itu kamu bukan, yang bertemu aku di cafe malam itu?" tanya Regas dengan suara rendah yang mengintimidasi. Langsug tanpa ba-bi-bu!
Duarr!!! Bagai petir menyambar. Shana menelan saliva-nya sekali lagi. Benar dugaannya. Pria ini adalah pria yang sama seperti di cafe waktu itu.
***
Kemarin malam.
Shana duduk di sebuah cafe menunggu seseorang. Ia menunduk melihat high heels yang terpasang pada kakinya dengan tatapan tidak percaya.
"Kenapa kamu memakai high heels yang melelahkan itu, kaki ku sayang?" tanya Shana seraya mendengus. Itu sebuah cibiran pada kakinya, karena ia tidak pernah memakai high heels seumur hidupnya. Mungkin hanya kali ini saja dia terpaksa memakai seperti ini. Semuanya bermula dari Bibi Raisa yang tiba-tiba saja menarik lengannya ketika ia berjalan santai melewati lorong kamar. Itu sebelum ia akhirnya ada di cafe ini sendirian.
"Hei Shana, ikut Bibi yuk."
"Ada apa, Bi?" tanya Shana terkejut.
"Udah, ikut aja." Bibi terus saja menarik lengan Shana menuju ke kamarnya. Dia adalah adik ayahnya. Berumur 24 tahun. Berjarak sekitar tujuh tahun darinya. Meskipun sudah berumur segitu, beliau belum menikah. Bibi Raisa masih lajang.
Kaki Shana mengikuti langkah bibinya menuju ke dalam kamar.
"Ada apa nih, Bi?" tanya Shana kesal. "Aku mau makan nih, lapar ..." Shana memang baru pulang sekolah meski hari sudah petang. Dia termasuk gadis yang cukup rajin mengikuti ekskul meskipun tidak giat dalam pelajaran.
"Iya sebentar lagi. Bibi ada permintaan." Setelah mengatakan itu, Bibi menutup pintu kamarnya. Gadis ini memang tinggal dengan adik ayah-nya di rumah yang di beli beliau dengan mengangsur lima belas tahun. Rumah KPR. "Ayo duduk." Bibi mendorong pundak Shana untuk duduk di kursi rias.
"Apaan, Bi? Cepetan dong," rengek Shana.
"Tante akan kasih kamu jatah uang saku tambahan kalau kamu mau menuruti perintah Bibi," ujar Bibi Raisa serius. Meskipun sudah mengubah raut wajah menjadi serius, Shana tidak dengan cepat menanggapi dengan serius juga.
"Jokes baru, ya?" ledek Shana.
"Ini serius," sanggah Bibi Raisa cepat.
"Itu kan mustahil. Bibi kan orang pelit nomor satu dalam keluarga bapak."
"Pelit gundul mu. Kamu tinggal di rumah ini karena siapa?" Bibi Raisa mendelik.
"Kan aku tinggal di sini karena bapak kirim uang untuk Bibi," tandas Shana tepat.
"Eh, iya juga sih." Bibi Raisa merasa kalah. "Tapi kan kamu tinggal di rumah ini juga tanpa bayar sewa atau kost." Bi Raisa merasa punya kartu as. Shana menipiskan bibir. "Kamu mau dapat uang saku tambahan apa enggak? Di kasih penawaran bagus malah nyerang segala." Bibi Raisa menggerutu.
"Jadi beneran nih?" selidik Shana antara ragu dan ingin.
"Bener. Kamu mau enggak?"
"Lihat dulu perintahnya apaan. Kok terdengar mencurigakan sampai Bibi mau kasih uang saku tambahan segala."
"Enggak mencurigakan. Hanya sekedar menemui seseorang saja."
"Menemui seseorang, siapa?"
"Ada. Pria." Bibi membuat raut wajahnya jadi masam.
"Kenapa mukanya kusut begitu? Wahh ... ini pasti ada hal yang enggak baik nih." Shana merasa dapat angin buat meledek bibinya.
"Hal enggak baik apaan?" protes Raisa.
"Bibi kan jomlo. Kalau urusan menemui seorang pria, kenapa justru aku yang di suruh? Kan bibi juga bisa. Malah dapat rejeki tuh karena akhirnya bisa dapat gebetan."
"Mulutmu. Aku ini bukan jomlo tahu." Bibi Raisa mengatakannya dengan bangga.
"Emang iya? Kok Bapak enggak tahu ya ... Apa Bibi pacaran sama orang yang enggak boleh di pacari?" Shana menginterogasi bibinya.
"Dasar bocah." Raisa gemas mencubit keponakannya.
"Aw, sakit."
"Biarin," cibir Raisa. Shana menggerutu. "Sebenarnya bibi ini punya pacar, tapi belum ada waktu aja untuk di kenalkan ke Bapak kamu dan nenek." Raisa mulai cerita.
"Lha, terus kalau sudah punya pacar, kenapa ada cerita mau temui pria lain ... Bibi lagi curang nih?" Shana menggoda lagi.
"Bukaaannn. Dasar keponakan dodol. Gini, bibi mau di kenalin sama teman. Cuma kenalan, tapi bibi enggak mau."
"Ya udah bilang aja enggak mau."
"Stop. Dengerin dulu kupingnya saat bibi cerita." Raisa mencondongkan tangannya ke depan menghentikan kalimat keponakannya.
"Oke."
"Dia teman baik bibi. Jadi bibi enggak enak nolak."
"Karena?" kejar Shana ingin tahu.
"Karena bibi punya pacar dong."
"Lha iya, terus kenapa enggak bilang aja kalau bibi punya pacar."
"Enggak bisa," potong Raisa cepat.
"Kenapa?"
"Ughh ... ngomong sama ponakan kaya ngomong sama host acara gosip," geram Raisa.
"Hehehe ..." Shana terkekeh. "Aku enggak mau dong dapat perintah, tapi enggak jelas."
"Itu karena ... karena ..." Bibi Raisa tampak sulit buat menjawab dengan sebenarnya. Ini makin membuat Shana penasaran. Dia dengan sabar menunggu kalimat itu rampung.
"Iya, karena ..."
"Orang yang menjalin hubungan dengan Bibi itu adalah atasan bibi."
"Iya atasan bibi, lalu?" kejar Shana.
"Dan itu rahasia." Raisa mengatakan itu dengan cepat. Shana mengerjapkan mata. Merasa heran.
"Dia bukan suami orang bukan?" Shana bertanya ini dengan takut-takut.
"Jelas bukaaann." Raisa mendelik lagi.
"Hhh ... syukurlah." Shana menghela napas lega. Ia mengelus dada mirip orang tua.
"Ih, lagak kamu Shan," dengus Raisa kesal dan geregetan dengan keponakannya.
...----------------...
"Kan aku enggak terima juga kalau bibi pacaran sama pria yang sudah beristri," ujar Shana ketus. "Bukannya apa. Bibi kan punya banyak hal yang bisa di banggakan untuk memilih pria tampan dan baik. Jadi kenapa harus pacaran sama pria beristri."
Bibir Raisa tersenyum. Dia senang keponakannya begitu bangga padanya.
"Ih, kamu ini bisa aja nih merayunya." Raisa merunduk untuk memeluk tubuh keponakannya dengan erat. Shana ikut memeluk tubuh bibinya.
"Aku bukan merayu Bi. Itu kenyataan. Bibi ku adalah kebanggan ku. Meskipun belum menikah ketika usia sudah hampir dua puluh lima, tapi bibi memang wanita hebat."
"Di balik kalimat manis mu, ada kalimat pahitnya juga. Dasar bocah kunyuk nih ...," ujar Bibi seraya mendengus lucu. Keduanya pun tertawa bersama. "Yang ngenalin itu senior yang akrab sama bibi. Enggak enak kalau nolak, soalnya orangnya maksa juga. Karena di sana bibi di kenal jomlo, dia kasihan mungkin. Jadi bibi janji mau temui pria itu sebentar dan bilang kalau bukan berarti harus pacaran. Orang itu setuju. Hanya kenalan saja ceritanya."
Shana menganggukkan kepalanya.
"Jadi ... bibi ingin mengabulkan permintaan teman yang mau mengenalkan bibi pada pria itu tanpa harus menolaknya?"
"Ya."
"Dengan itu bibi menggunakan aku untuk bertemu dengannya."
"Benar."
"Padahal bibi bisa lho, ketemu sama pria itu terus bilang maaf kalau sudah punya pacar."
"Enggak bisa. Pacar bibi bisa mengamuk hebat kalau tahu bibi ada kencan buta begitu." Raut wajah Bibi Raisa terlihat jelas sangat ketakutan ketahuan.
"Ya tutup mulutlah ..."
"Enggak bisa," pungkas Raisa yakin. "Dia punya banyak mata-mata."
Shana mengerjapkan mata. "Hhh ... okelah. Namun gimana nanti kalau dia tetap ingin berhubungan ketika kenalan dengan ku yang menyamar jadi bibi? Kan aku bisa dikejar-kejar tuh." Shana takut juga.
"Enggak mungkin. Katanya dia orang baik. Kalau kamu bilang kamu punya pacar, pasti dia enggak mau bertemu lagi."
"Kenapa orang baik harus kencan buta? Kan dia bisa dapat wanita baik disekitarnya?" tanya Shana tidak habis pikir.
"Sudah, jangan banyak tanya. Mau enggak, dapat uang saku tambahan?" potong Raisa menghentikan pertanyaan keponakannya yang tidak ada habisnya.
"Mau dong," sahut Shana cepat. Dia juga ingin dapat uang saku tambahan. Maka dari itu dia akhirnya ada di cafe ini sendirian.
.
.
.
"Dengan Raisa?" tegur sebuah suara membuyarkan lamunan Shana tentang kejadian sebelum berangkat ke cafe ini tadi. Kini ia harus sadar bahwa dirinya sedang berada di cafe tempat janji temu dengan seorang pria. Perlahan Shana yang memainkan handphone mendongak.
"Ya," sahut Shana masih duduk. Di depannya muncul seorang pria tinggi dengan dada bidang. Gadis ini tampak mengerjap sekilas.
"Regas," ujar pria itu seraya mengulurkan tangannya. Shana segera menghentikan permainan di ponselnya dan meletakkannya di atas meja dan berdiri. Dia harus bisa bersikap dewasa dan sopan. Tangannya terulur untuk menyambut tangan pria ini.
"Raisa." Shana menyambut dengan senyum di bibirnya yang sudah di poles oleh lipstik warna nude. Ya, gadis ini sudah dirias oleh bibinya untuk menjadi karakter seorang perempuan dewasa yang lembut. Itu berbeda jauh dengan dirinya yang amburadul.
Setelah berjabat tangan, mereka duduk lagi.
"Maaf, sudah terlambat datang." Pria bernama Regas itu ternyata sangat sopan.
"Tidak apa-apa. Saya juga tidak lama duduk di sini." Shana berusaha tampak anggun. Dia berperan dengan baik malam ini.
"Belum memesan?" tanya pria itu melihat meja masih kosong.
"Ya, begitulah." Shana memang sengaja tidak memesan karena tidak ingin mengeluarkan sepeserpun uang dari kantongnya. Pria itu pun memanggil pelayan cafe dan memesan minuman.
"Jadi ... Anda adalah teman Merta?" Regas menyebut nama seorang perempuan yang jadi senior di tempat bibinya bekerja.
"Ya benar. Kita satu perusahaan." Shana menjawab dengan penuh keyakinan. Dia sudah di briefing dengan baik oleh bibi Raisa. Selain itu, Shana menjadi tenang karena aura positif yang muncul dari pria ini. Tidak lama pelayan cafe datang membawakan dua minuman untuk mereka.
"Silakan di minum," ujar pria bernama Regas mempersilakan.
"Baik." Shana yang sebenarnya sejak tadi haus, segera meneguk minuman itu. Meskipun begitu, ia harus tetap menjaga diri untuk terlihat anggun dan elegan. Demi citra bibi Raisa tetap terjaga.
"Maaf, kalau Merta memaksa Anda untuk bertemu dengan saya."
"Ya?" Shana merasa aneh.
"Saya tahu pasti Merta yang ingin mengenalkan Anda pada saya," ujar pria ini pengertian. Benar kata bibi Raisa, dia pria baik. Jadi tidak ada yang perlu di khawatirkan kedepannya. Shana hanya tersenyum tipis menanggapi. "Dia sepupu saya yang bawel."
"Oh, ya itu benar," ujar Shana dengan gelak tawa ringan. Dia hanya mengikuti saja apa yang di katakan pria ini. Namun sesaat dia merasa tidak asing dengan pria ini. Ketika pria ini menoleh ke samping sebentar. Matanya mengerjap. Masa aku kenal? Enggak mungkin. Shana menepis pikirannya.
Tidak banyak perbicangan yang terjadi. Jadi pekerjaan Shana begitu mudah hingga tiba waktunya mereka berpisah.
"Maaf, sudah mengganggu waktu Anda," ujar Regas begitu sopan.
"Tidak apa-apa. Ini juga demi Merta."
"Karena Anda teman Merta, pasti lain waktu kita tidak sengaja bertemu lagi. Jadi semoga itu waktu yang tepat."
Tidak. Kita tidak perlu bertemu lagi.
"Benar. Karena Anda sepupu Merta, kita pasti jadi teman yang baik," kata Shana menimpali. Dia hanya ikut-ikutan saja. Sebenarnya ia tidak ingin bertemu setelahnya. Karena itu akan membuatnya kerepotan. Dia setuju akhir dari pertemuan yang di paksakan ini menjadi baik. Jadi tugasnya selesai dengan mudah dan dia akan mendapat uang dari hasil kerjanya. Sip lah ....
********
Dugaannya kalau pertemuan waktu itu akan berhenti sampai disana adalah, salah. Salah besar. Buktinya sekarang ia bertemu lagi dengan pria ini. Bukan sebagai teman, melainkan sebagai guru dan murid. Bahkan guru yang terkenal killer meski belum pernah menjadi guru pembimbing di kelas Shana. Itu pertemuan yang menakutkan yang tidak pernah terbayang dalam benak Shana.
"Itu kamu bukan, yang bertemu aku di cafe waktu itu?" tanya pria ini dengan suara rendah yang mengintimidasi. Pertanyaan yang jelas mengarah pada pertemuan mereka di cafe malam itu.
"S-saya tidak tahu apa yang Bapak maksud." Meski dengan menunduk dan terbata, Shana berusaha keras untuk menyangkal. Penyamarannya jangan sampai terbongkar. Dia harus sekuat tenaga untuk menyangkal.
"Jadi kamu tidak tahu apa yang aku katakan?" tanya Regas masih dengan nada yang sama.
"Y-ya Pak."
"Kita bertemu di cafe itu."
Berbeda dengan waktu itu. Kali ini kalimat Pak Regas terdengar lebih kasual, tapi tegas. Jika dalam pertemuan itu pria ini terdengar bersahabat dan sopan, kali ini begitu berbeda. Shana merasakan tekanan yang besar. Tangannya meremas ujung rok-nya dengan gelisah.
...----------------...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!