Setelah berkendaraan selama tiga jam lamanya, aku pun kian dekat dengan rumah eyang yang diwariskan kepadaku. Bukan hanya itu, musabab tahu kalau aku mengambil jurusan pertanian sewaktu kuliah, beliau turut mewariskan beberapa petak sawah padaku. Terlebih, ibuku adalah anak tunggal dan aku pun merupakan anak tunggal juga. Wajar saja jika eyang memberikan warisan padaku selain untuk ibuku dan sekarang, tinggal dua ratus meter lagi, aku kan sampai di sana.
"Jangan sampai terlewat loh Zal rumahnya!" seru ibuku mengingatkan.
"Iya buk, masak iya Rizal lupa?"
"Ya kali kamu gak fokus terus kebablasan kita."
Kuulas senyum disusul tawa kecil. Setelah sampai, aku, ibu dan ayah Lekas turun. Ibu membuka kunci rumah sementara ayah mengamati halaman sembari bergumam kalau beberapa sudut dihalaman, perlu dirapikan.
"Iya yah. Mungkin besok, Rizal mulai berbanah tapi kayaknya, beresin dalam rumah dulu deh ya, baru kemudian halaman dan pekarangan belakang."
"Begitu juga boleh."
Begitulah hari pertama kami kembali ke desa. Desa tempat ibuku dilahirkan dan tumbuh besar sebelum kemudian merantau di kota dan bertemu dengan ayah. Ketika aku dan ayahku sibuk berbenah, ibu sudah pergi entah ke mana. Sepertinya, ibu mengunjungi teman-teman masa kecilnya yang juga merupakan tetangga kami sekarang. Ya, setelah aku menerima warisan ini dan memutuskan untuk tinggal di sini, kedua orang tuaku pun mengikutiku.
🌟🌟🌟
Waktu berlalu dengan cepat dan malam pun menjelang. Ibu mulai menutup jendela meski gorden belum ditarik. Suara jangkrik bersautan menegaskan malam kian pekat. Sepi, tentu saja sepi. Meski motor masih seliweran tapi suasananya sangat berbeda. Bukan hal baru bagiku sebab biasanya, aku mengalami hal ini juga ketika mudik ketika eyang masih ada tapi kali ini, aku akan tinggal lama di sini.
"Ah sudahlah, pasti akan menyenangkan jika aku sudah beradaptasi," gumamku dalam hati.
"Wah, enak nih," ucap ayahku sembari membawa segelas kopi dan duduk di teras rumah.
Aku mengikutinya seraya duduk di sebelahnya.
"Ini Zal yang paling ayah suka lakukan saat mudik ke sini."
"Terasa damai ya yah?"
"Iya."
Setelahnya, kami mengobrol ngalor ngidul hingga banyak hal yang telah kami bahas dan tanpa terasa waktu telah menunjukkan pukul sepuluh. Kopi ayah pun telah habis dua gelas dengan rokok yang entah habis berapa.
"Jangan lupa kunci pintu Zal, ayah mau tidur dulu!"
"Iya yah."
Aku masih di teras, merogoh ponselku sembari membawa beberapa notifikasi pesan yang sedari tadi kuabaikan. Ya, kuabaikan sebab belum ada seorang gadis yang teristimewa yang harus kuberikan kabar di setiap saat. Setelah membalas satu persatu pesan, kubuka akun You Tube untuk menonton podcast comedy yang tak ayal membuatkan tertawa cekikikan. Sebenarnya, aku sempat merasa kalau ada suara lain yang juga ikut tertawa tapi tak kuhiraukan hingga kemudian, suara itu kian kentara. Kumulai siaga, menajamkan pendengaran dan benar, ada suara tawa lain di dekatku tapi jelas, bukan suara dari ayah dan ibuku.
"Lantas, suara siapakah itu?" tanyaku di dalam hati.
Munafik jika kukatakan kalau aku tidak takut. Meski tidak sampai ngacir tapi bulu kuduk, merinding. Di saat yang bersamaan, muncul rasa penasaran. Alhasil, sesekali kulirik ke kiri dan ke kanan. Perlahan dan seolah sedang mengintai cemceman tapi dengan degup jantung yang terasa berbeda.
"Kiri aman, gak ada apa-apa. Kanan, aman juga Alhamdulillah," benakku merasa sedikit lega.
"Ah sudahlah, sudah malam juga. Lebih baik aku tidur saja," gumamku seraya bangkit dan berjalan masuk ke dalam rumah.
Namun, baru juga sebelah kaki yang melangkah ke dalam, kurasakan Kaskus ditarik seseorang.
Deg.. Seharusnya aku menoleh tapi entah kenapa, hatiku seolah menahan. Namun, meski aku terdiam, tarikan itu masih belum ia lepaskan. Alhasil, kuberanikan diri untuk menoleh ke belakang dan lekas membuatku keheranan. Seorang gadis berambut lurus sebahu dengan wajah lusuh berdiri di belakangku. Kubalikkan perlahan badanku lalu bertanya perihal maksud kedatangannya. Sayangnya, gadis itu hanya diam. Yang lebih aneh lagi, dia seolah melihat ke sosok lain di dekatku. Sorot matanya tidak terfokus padaku.
"Mbak, mohon maaf! Mbak ini siapa? Ada perlu apa ke rumah saya.. Eh, maksud saya ke rumah eyang saya. Dulunya rumah eyang, sekarang saya dan orang tua saya yang menempatinya."
Lagi dan lagi dia diam. Aku bingung harus berbuat apa. Akhirnya, kupanggil ibu untuk membantuku.
"Ada apa Zal? Ibuk sudah mimpi ketemu Shahrukhan malah buyar dengar kamu teriak."
"Ini buk, mbak ini sempat narik kaos Rizal pelan tapi Rizal tanyain cuma diam."
Ibuku memasang wajah keheranan lalu mulai melontarkan pertanyaan yang hasilnya sama seperti yang kudapati tadi. Gadis itu hanya diam seribu bahasa dan tanpa ekspresi. Ibuku pun berbisik untuk masuk saja ke dalam karena lama kelamaan, ibu takut juga.
"Ya sudah Bu ayo! Mbak, maaf ya mbak! kalau memang tidak ada keperluan, kami masuk dulu mau istirahat. Mbak silakan pulang juga, sudah malam," ucapku sesopan mungkin lalu berjalan mundur seraya hendak menutup pintu.
Namun, dengan cepat gadis itu menahan pintu membuatku berhenti sejenak, menatap diam ke arahnya. Merasa Lian janggal, ibu mendorong paksa agar pintu dapat tertutup dan lekas menguncinya.
"Buk..."
"Ibuk takut Zal, malam-malam begini muncul perempuan aneh begitu. Ngeri Zal!"
Aku diam.
"Jangan diintipin loh! takutnya dia masih di situ. Mama ngeri Zal, ada tuh film-film luar negeri tentang psikopat yang kelakuan kayang perempuan di luar."
"Buk.. Ibuk mikirnya kejauhan."
"Biarin jauh pokoknya serem. Ayo tidur!" titah ibuku sembari menarik lenganku lalu menyuruhkan masuk ke kamarku.
Sejujurnya, aku masih merasa penasaran tapi keraguan mulai datang. Keberanian sedikit menciut dan kuputuskan untuk tetap berada di kamar. Kurebahkan diri seraya kupejamkan mata mencoba untuk memasuki alam mimpi. Rasanya baru sebentar terlelap, aku merasa kalau ada yang sedang mengawasi. Kubuka sipit mataku yang lekas terbelalak ketika kulihat, gadis yang tadi berada di luar, kini telah berada di samping ranjang. Aku terjingkat, bangun dengan gelagapan disertai napas tersengal. Mata mengedar hingga akhirnya kutersadar kalau yang kuamali barusan adalah mimpi semata.
"Astagfirullah! Mimpi ya? Gila! kerasa kayak nyata."
Belum sempat menstabilkan napas, sesosok perempuan jatuh menembus tubuhku hingga ranjangku yang sontak membuatku berteriak.
"Waaaaa !!!!"
🌟 BERSAMBUNG 🌟
Hallo Readers, Saya Kembali di Tahun Baru 2024 nih.
Mencoba Menulis lagi di Tahun 2024.
Biar gak kosong sama sekali dan mencoba menyalurkan ide² yang berkeliaran dengan berharap semoga NT ada gebrakan baru untuk menyunggingkan senyum untuk para penulis amatir seperti saya ini.
Salam Rindu untuk semua pembaca karyaku.
Miss You All Gaes.. 💕
Aku berlari tunggang langgang keluar kamar. Tanpa sadar membuat keributan hingga membuat kedua orang tuaku turut bangun panik dan gelagapan.
"Ada apa Zal?" tanya ibu sembari menggenggam lenganku.
Ayah hanya diam dengan tatapan serius menanti ceritaku. Sementara aku, masih berusaha menenangkan diri dengan wajah ketakutan.
"Ada cewek jatuh dari atas nembus badan Rizal Sampek nembus ranjang."
Akhirnya kubisa bercerita dengan napas yang tersengal. Ayah coba melihat keadaan kamar meski jelas, tidak mendapati apa-apa.
"Kamu yakin lihat cewek di kamar atau kamu ngigo kebawa mimpi habis ketemu cewek di depan tadi?"
"Em..."
Aku terdiam sebentar, memang biasanya hal-hal yang dialami atau dipikirkan menjelang tidur bisa terbawa ke alam mimpi kita tapi.. Untuk sosok yang jatuh tadi, aku yakin itu nyata.
"Sosok tadi nyata Bu, memang Rizal baru kebangun karena mimpi tapi tadi, Rizal lihat dengan sangat jelas," tegasku yang sudah bisa mengendalikan deru napas.
"Sini duduk sini! Buk, tolong ambilkan air putih untuk Rizal!" sela ayahku.
"Iya yah."
"Ayah sudah periksa ke kamar dan semuanya normal. Intinya, sudah tidak ada apa-apa tapi kalau kamu masih takut, kita berdua tidur di ruang tengah saja, bagaimana? Setidaknya, untuk malam ini."
Kupikir, ide ayah cukup baik. Aku pun mengangguk, menyetujui usul yang beliau sampaikan.
"Baru juga sampai, kenapa sudah semencekam ini?" pikirku.
🌟🌟🌟
Keesokan harinya, aku demam, meriang tak tertahan. Semenjak pagi sampai siang, sudah dua butir obat kulahap. Pikirku, hanya kecapean tapi dua obat tidak dapat membantu. Alhasil, selepas Maghrib, ayah mengantarku ke klinik untuk memeriksakan kondisiku dan setelah diberikan obat, kami pun pulang.
Sesampainya di rumah, kulihat ibu tengah berbincang di ruang tamu bersama salah seorang tetangga. Melihat kedatanganku, ibu bangkit seraya menanyakan beberapa pertanyaan sembari membuatkan teh hangat untukku. Kusapa tetangga kami juga sebelum pamit untuk beristirahat di kamar. Ibu menemaniku sebentar untuk minum obat setelah itu, memberiku ruang untuk beristirahat.
"Rizal baik-baik saja kan yah?" tanya ibuku.
"Tidak apa-apa kok dia, tenang saja! Sudah biarkan Rizal istirahat, kita keluar!"
"Iya."
"Yah!" panggilku menahan langkah keduanya.
"Iya?"
"Nanti, kita tetap tidur di ruang tengah ya!"
"Iya, kalau begitu, kamu pindah ke ruang tengah sekarang saja! ayah temani sambil minum kopi!"
Aku menganggu.
Entahlah, rasanya keberanianku belum kembali untuk bisa tidur sendiri lagi.
...🌟🌟🌟...
Ketika aku sedang berusaha untuk tidur, lamat-lamat kudengar ibu bercerita pada tetangga yang sekarang mengobrol bersamanya, bu Suji namanya. Ibu menceritakan perihal seorang gadis yang kemarin malam datang ke rumah hingga rentetan kejadian lanjutan yang akhirnya berujung pada sakitku. Kudengar, bu Suju malah balik bertanya perihal ciri-ciri gadis yang ibu ceritakan. Ibu pun menjelaskan dan perbincangan menjadi kian seru. Tanpa sadar, aku turut menunggu yang sayangnya, beliau tidak dapat memberikan jawaban akurat terkait cerita yang ibu tanyakan.
"Kalau gadis, memang ada beberapa di sini. Seusia anakmu juga ada beberapa tapi tentang siapa yang ke sini, aku harus lihat orangnya, baru bisa jawab," jelas Bu Suji.
Mendengar hal itu, kulonggarkan tajam telingaku dan kuputuskan untuk lanjut tidur. Namun, sesaat kemudian, terdengar ketukan pintu.
"Tok.. Tok.. Tok.. Tok... Tok.. ToK.."
Ketukan pintu ini menggangguku sebab diketuk secara berulang. Kudengar ibu telah menyahut dan berjalan keluar tapi pintu masih terus diketuk.
"Kamu lagi? Ini loh Ji, gadis ini yang kemarin datang, kamu kenal?"
Mendengar hal itu, segera kubangun seraya berjalan ke luar. Memang benar, gadis yang sama seperti kemarin malam. Saat aku datang, gadis itu kembali melihatku sesaat lalu fokus sesuatu yang lain lagi. Entah perasaanku atau memang benar seperti itu tapi memang aneh gadis ini. Ayah mengekor di belakangku tanpa mengatakan apa-apa.
"Oalah ini toh? Ini tuh Sulasti, anak tetangga di sini."
"Tapi kok dia..."
Merasa tidak enak, ibu lantas mendekat lalu berbisik di telinga Bu Suji.
"Tapi aneh Ji, tuh lihat! Dia cuma diam, ditanyai juga diam."
"Iya memang begitu dia. Jangan heran kalian, mas Rizal juga jangan heran. Sulastri ini, memang sudah mengalami gangguan mental sejak kecil. Keluarganya juga tertutup jadi sedikit misterius tapi untuk selebihnya, tidak ada keanehan. Dia (Sulastri) juga gak pernah ngamuk kayak orang gila kok atau melukai warga. Cuma suka berkeliaran dan bicara sendirian."
"Hemm begitu.." desah ibuku.
"Begini saja, kalian istirahat! Aku antar Sulastri untuk pulang! Sudah malam juga, biar ibunya (ibu Sulastri) tidak kebingungan."
"Begitu juga boleh Ji, terima kasih ya!"
"Iya. Saya pamit ya! Assalamu'alaikum!"
"Waalaikumsalam!"
Akhirnya, rasa penasaranku terobati tapi bukannya lega malah muncul penasaran yang baru lagi. Tentang keluarganya yang misterius dan juga penyebab Sulastri mengalami gangguan sedari kecil.
"Kasihan juga Sulastri itu ya? Kalau jaman ibu muda dulu, seusia dia sudah memikirkan pernikahan dan rasanya, usianya tidak terpaut jauh dari kamu Zal. Sayang sekali.." celetuk ibuku sembari mengunci pintu dan kemudian mematikan lampu ruang tamu.
Malam itu, aku beristirahat dengan sangat nyenyak meski ada pertanyaan baru yang kini muncul dalam otakku.
...🌟 BERSAMBUNG 🌟...
Hai, jangan lupa dukung karya penulis dengan membubuhkan like, vote dan juga komentar ya...
Terima Kasih 💕
Keesokan harinya, badanku terasa jauh lebih baik. Ibu membuatkan nasi goreng dengan telur dadar yang rasanya mirip dengan buatan eyang. Kuulas lengkung senyum kala otak kembali bernostalgia. Di sini, di rumah ini akan riuh ketika aku versi kecil datang dan eyang akan kembali mengeluh sepi ketika aku kembali pulang. Ya, setelah dewasa, aku jadi paham.
"Makan yang banyak lalu minum obat!" pinta ibu yang lekas kujawab dengan anggukan kepala.
"Nanti ayah bantu beresin halaman depan Zal! banyak rerumputan."
"Iya yah."
Sekitar pukul sembilan, kegiatan pembersihan dan perapian halaman kami mulai. Meski belum benar-benar sehat, aku tetap membantu ayah. Selain itu, ibu juga mengajak untuk berkeliling ke tetangga sekitar. Kupikir, ada sesuatu yang penting ternyata sekedar berbincang sebentar lalu meminta bibit tanaman ke para tetangga sekitar.
"Buk.. Rizal malu," keluhku pelan.
"Ngapain malu? Ini tuh di desa. Semua warga baik ke sesama. Jangankan bibit tanaman kecil begini, panen apa pun sering dibagi. Kamu belum pernah tinggal di desa makanya merasa tidak enak," kilah ibuku dengan serentetan pembelaan.
Ah sudahlah, enggan berdebat dan tidak enak juga kalau dilihat. Kuputuskan untuk mengimbangi ibuk, berjabat tangan berkenalan, mengulas senyum saat ibuku berbincang hingga kemudian muncul sebuah pertanyaan yang tanpa pikir panjang, aku lontarkan.
"Bude, apa bude tahu rumah Sulastri? Gadis yang pendiam dan terlihat tertutup gitu bude."
"Oh Sulastri, anaknya mbak War itu. Rumahnya di sana! (sembari menunjukkan arah) kenapa nanyain dia? Kamu kenal?"
"Bukan kenal sih bude tapi sempat datang ke rumah," jawabku.
"Iya tuh kata si Suji, Sulastri gila ya?" timpal ibuku.
"Ya, bisa dibilang begitu."
"Awal mulanya gimana sih?"
"Awalnya, em.. Dulu, dia lahir normal, tumbuh normal juga seperti bayi dan balita pada umumnya tapi lambat Laun dia mulai aneh, suka bicara sendiri. Kalau orang di sini nyebutnya sih, dia itu bisa ngomong sama demit (setan). Punya kelebihan khusus gitu tapi sayangnya, kayaknya badannya gak kuat jadi gila sekarang," jelas Bu Tanah, salah seorang tetangga yang kupanggil bude.
"Oh, bisa jadi gitu ya kalau gak kuat? Untung anakku gak bisa lihat yang begituan."
"Iya alhamdulilah."
...🌟🌟🌟...
Setelah membawa beberapa bibit tanaman, kami kembali ke rumah dan bergegas menanamnya. Halaman depan telah rapi dan tanpa pemberitahuan lebih dulu, ayah telah membeli beberapa puluh blok paving untuk mendekorasi taman agar lebih aestetik lagi.
"Bakalan sibuk sekali ini," benakku di dalam hati.
...🌟🌟🌟...
Keesokan harinya, ibu masak besar. Sedari pagi, sudah ada beberapa tetangga yang membantunya memasak. Kutanya ada apa? Ibu menjawab kalau hari itu, ibu ingin membagikan nasi kotak ke tetangga sebagai tasyakuran kecil-kecilan, pertanda kalau kamu akan tinggal lama di sana. Hemm.. ibu memang suka seperti ini. Apa yang ada di otaknya, lekas direalisasikan mesti tanpa persiapan yang matang.
"Ya sudah, Rizal bantu ayah dulu ya buk di depan!"
"Iya."
Saat berjalan ke depan, masih sempat kudengar kalau salah seorang dari tetangg menyarankan ibu untuk membuat acara kirim doa dan mengaitkan sakitku dengan penampakan hantu perempuan yang jatuh menembus tubuhku. Katanya, aku sakit karena energiku terkuras setelah melihat penampakan. Entahlah, ibuku percaya atau tidak dan tidak tahu juga, ibu akan mengikuti saran kirim doa atau tidak. Aku sibuk membantu ayah di depan.
...🌟🌟🌟...
Sekitar pukul sebelas siang, semua nasi kotak telah selesai dipacking. Kami semua makan siang sebelum kemudian mulai membaginya ke para tetangga. Saat itulah aku berinisiatif untuk mengantarkan nasi kotak ke rumah Sulastri.
"Kamu masih penasaran Zal sama dia?" tanya ibu.
"Iya buk masih, Rizal pengen tahu rumahnya, pengen tahu orang tuanya dan gimana ya? Seperti ada yang mengganjal gitu."
Ibu menghela napas lalu menyerahkan satu kantong berisi nasi kotak padaku.
"Ingat ya! Jangan bicara macam-macam apalagi yang menyinggung perasaan! Jaga pandangan juga, Jangan menunjukkan tatapan yang seolah mengejek!" pesan ibu.
"Iya Bu Rizal tahu."
...🌟🌟🌟...
Kulangkahkan kaki menuju rumah Sulastri. Tentu saja dengan bertanya ke tetangga juga biar tidak salah rumah. Ternyata, rumah Sulastri tidak seberapa jauh. Rumahnya sudah permanen dengan ubin yang belum dikeramik. Halaman rumah terdapat dua buah pohon belimbing dan beberapa bunga. Aku mendekat seraya mengucapkan salam. Lama sekali tapi tidak ada menyahuti.
Sebenarnya tidak boleh tapi aku, mulai celingukan. Mencuri pandang mencari si empunya rumah. Aku juga berjalan berkeliling hingga ke halaman belakang juga. Masih belum menemukan siapa-siapa. Namun, tidak sepenuhnya tak ada apa pun sebab di sana, aku sempat menyandung sebuah batu yang setelah kuperhatikan, itu adalah nisan.
Deg..
"Nisan?"
Kuperhatikan seksama tapi tidak terbaca jelas nama siapa yang tertulis di nisan tersebut.
"Ada apa mas?"
"Eh.."
Aku terjingkat seraya lekas membalikkan badan.
"Maaf buk! Saya Rizal, bermaksud mengantarkan makanan ke pemilik rumah ini."
"Acara apa?"
"Saya beserta keluarga memutuskan untuk tinggal di sini, menempati rumah eyang Sari yang sudah meninggal."
"Oh iya-iya saya ingat, kamu cucunya ya?'
"Iya benar."
"Baiklah saya terima, ini rumah saya, terima kasih ya!"
"Oh iya buk, sama-sama. Em, kalau boleh tahu, apa ibu tinggal sendiri di sini?"
"Tinggal berdua dengan anak saya. Terima makasih ya!" ucap si ibu sembari berbalik badan seraya berjalan masuk ke dalam rumah.
Seolah ingin segera mengusirku agar aku tidak bertanya lebih banyak. Kuhela napas dalam-dalam, melirik sesaat ke nisan yang tadi sempat kulihat sebelum kemudian berjalan kembali ke rumah. Ya, kuingat pesan ibu agar aku menjaga sikap, aku pun pulang.
"Nisan siapa itu ya? Hanya tinggal dengan anaknya? lalu itu.. makam siapa? Suaminya? Ya kalau suaminya sudah meninggal kalau belum? Tapi.. Di mana suaminya sekarang? Hemm..."
Semakin banyak pertanyaan yang bermunculan.
...🌟 BERSAMBUNG 🌟...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!