MWM Part. 1
Mentari hampir tenggelam di ufuk barat. Nisa yang baru saja memasuki kamarnya, hendak mengistirahatkan raga lelahnya harus bangkit dari tempat tidur ketika ponselnya berdering.
“Iya, Mi,” sapanya tak bersemangat lantaran penat yang teramat memeluk raga rapuhnya.
Sudah seminggu Nisa bekerja sebagai seorang office girl demi memenuhi kebutuhan hidup. Pergi pagi pulang petang itu sudah menjadi hal biasa baginya. Sehingga raga penat dan lelah seperti ini senantiasa menghampirinya.
“Nisa sayang, kamu pergi ke Hotel Horizon kamar 107 sekarang juga ya sayang. Klien sedang menunggu. Jangan sampai kamu telat. Bayarannya sudah mami transfer ke rekening kamu. Ingat, berhati-hatilah. Kepuasan pelanggan adalah yang utama. Mami tunggu kabar dari kamu secepatnya, ya? Bye sayang.” Panggilan telepon diputus.
Nisa menghela napas panjang. Sekarang tidak ada waktu lagi untuknya rehat. Raga lelahnya harus ia paksa bekerja kembali demi pundi-pundi rupiah yang tengah ia kumpulkan. Ia punya alasan mengapa ia mengambil pekerjaan sampingan ini.
Usai membersihkan diri, Nisa segera berganti pakaian dengan pakaian santai. Tetapi wajahnya telah ia rias sedemikian cantik sampai hampir tak bisa dikenali jika ia adalah Nisa Ardina, seorang office girl yang sehari-harinya tampil natural bahkan terkesan kusam. Ia telah siap hendak pergi menunaikan tugasnya. Tak bisa ia menolak ketika Mami Serly sudah memberi perintah. Apalagi bayaran telah masuk ke rekeningnya.
“Aku titip ibu sebentar ya Mbak Lela. Tolong jaga ibu baik-baik. Kalau ada apa-apa, Mbak Lela langsung hubungi aku.” Nisa berkata kepada wanita paruh baya yang sering ia mintai tolong untuk menjaga ibunya yang sedang sakit ketika ia pergi bekerja.
Tentu saja jasa Nurlela itu tidak gratis. Ia selalu memberi bayaran kepada wanita yang ia panggil Mbak Lela untuk menghargai kebaikan serta ketersediaan waktunya untuk menjaga sang ibu.
Lagipula hanya Mbak Lela yang bisa ia percaya karena wanita itu jarang berkumpul bersama tetangga kalau hanya untuk bergosip.
“Iya. Mbak akan jaga baik-baik. Tapi kamu cepat pulang ya? Takut Bu Salma nanyain terus.”
Nisa mengulum senyum sembari mengangguk. Usai memastikan keadaan ibunya yang tengah terlelap, Nisa segera pergi. Di depan rumah sudah menunggu mobil jemputan yang dikirim Mami Serly.
Mobil melaju di jalanan. Di dalam mobil itu Nisa segera mengganti pakaiannya dengan pakaian terbuka, mengganti sepatu bututnya dengan heels sebagai penunjang penampilannya. Tak lupa ia mengenakan soft lense untuk menghindari kemungkinan ada pelanggan yang akan mengenali wajahnya ketika ia sedang tak bekerja sebagai wanita malam.
Arif, pria yang menyupiri Nisa langsung memutar spion di atas dashboard. Pemandangan seperti itu hampir setiap hari tersaji di depan matanya. Sebagai lelaki normal tentu saja hasratnya terpantik. Karenanya dengan cepat ia memutar spion agar tak menyaksikan pemandangan indah itu dengan sengaja.
Mobil yang dikendarai Arif menepi di depan pintu masuk Hotel Horizon. Nisa membenahi penampilannya sejenak, kemudian turun dan bergegas menuju kamar 107 yang terletak di lantai 4.
Ting tong
Nisa menekan bel pintu. Tak lama pintu kamar hotel itu pun terbuka dan menampakkan seorang pria paruh baya yang hampir seusia ibunya.
“Malam Om? Saya Jelita.” Nisa menyapa dengan menyunggingkan senyum manisnya kepada pelanggan yang sudah ia kenali wajahnya dari sebuah foto yang dikirimkan Mami Serly ke ponselnya lengkap dengan identitasnya.
Daus, pria paruh baya yang telah membooking Nisa itu tersenyum, menatap Nisa penuh minat dari kaki sampai kepala. Rupanya tak salah ia memilih perempuan di hadapannya ini. Hanya dengan sekali melihat fotonya saja ia sudah tertarik. Perempuan di hadapannya ini sungguh memikat hati juga hasratnya.
“Silahkan masuk, Jelita.” Daus mempersilahkan, sedikit menggeser tubuhnya.
Dengan anggunnya Nisa masuk, menaruh tas kecilnya di atas meja TV. Ia bukan lagi anak baru dalam dunia malam seperti ini, sehingga ia tahu apa yang harus ia lakukan.
Pria hidung belang itu, Daus, datang mendekat selepas mengunci pintu kamar. Langsung saja ia merengkuh pinggang ramping Nisa. Bokkong membusung Nisa yang ditatapnya penuh minat dari arah belakang itu membuat Daus tak bisa menahan lagi. Hasratnya sudah memuncak, tak sanggup ia bendung.
“Sabar, Om.” Nisa memutar tubuhnya. Otomatis menghentikan aksi Daus yang tengah menciumi ceruk lehernya.
“Kamu cantik sekali, Jelita. Saya sangat tertarik sama kamu,” kata Daus menyentuh dagu Nisa, menekannya pelan sampai wajah Nisa mendongak. Daus hendak mengecup bibir merekah Nisa, namun cepat Nisa menempelkan telunjuknya pada bibir Daus, pria hidung belang berusia paruh baya itu.
“Tahan dulu, Om. Beri saya waktu membuka pakaian.” Nisa tersenyum manja, melirik nakal pada pakaian minim yang dikenakan. Tangannya pun mulai bergerak menanggalkan pakaian yang melekat di tubuhnya itu.
Daus menelan ludahnya. Jakunnya terlihat naik turun, kentara amat haus gairrah.
Daus adalah seorang pengusaha batu bara. Berkantong tebal dan gemar bermain perempuan. Begitu melihat foto Nisa yang diperlihatkan Mami Serly kepadanya, ia langsung tertarik dan membooking Nisa. Masalah harga ia tak peduli.
Hal itu pun dimanfaatkan Mami Serly sebaik mungkin dengan mematok harga tinggi dari biasanya. Daus tidak keberatan asalkan service memuaskan.
“Ayolah, sayang. Saya sudah tidak tahan lagi.” Tak kuasa menahan lagi, Daus langsung menarik Nisa, mengajaknya ke tempat tidur. Pria bertubuh tambun itu pun langsung mengungkung Nisa di bawahnya.
****
“Nisa sayang, anak kesayangan Mami. Sini, sayang. Duduk dekat Mami.” Mami Serly menyapa semringah ketika Nisa datang menemuinya pagi ini di kediaman pribadinya, sekaligus tempat berkumpul anak-anak asuhnya.
Nisa tersenyum hambar, mengambil duduk di sebelah Mami Serly yang tengah berpangku kaki sambil menikmati sebatang rokok. Begitu Nisa duduk, wanita paruh baya dengan tampilan glamor dalam kesehariannya itu menyodorkan sebuah amplop kepadanya.
“Itu bonus dari Pak Daus untuk kamu,” ujar Mami Serly selepas meniupkan asap rokok ke udara.
“Makasih, Mami.”
“Pak Daus mau booking kamu lagi, tapi setelah dia pulang dari Kalimantan.”
“No repeat order Mam. Tapi, kalau dia tetap ngotot, harga naik dua kali lipat. Mami sudah memberitahu dia soal itu kan?”
“Tenang saja, Nisa sayang. Mami selalu memberitahu peraturan kamu kepada setiap pelanggan yang mau booking kamu. Dan Pak Daus tidak keberatan dengan itu. Kamu bisa lihat sendiri, malahan dia ngasih kamu bonus.”
Nisa mengembuskan napasnya berat. Sejak bergabung ke dalam asuhan Mami Serly, sejak itu pula Nisa membuat peraturannya sendiri. Ia tak ingin menerima bookingan untuk kedua kalinya dari orang yang sama.
Namun, jika orang itu tetap ngotot ingin menggunakan jasanya untuk kedua kalinya, maka harganya naik menjadi dua kali lipat. Hal itu sengaja Nisa lakukan agar si pem-booking mundur begitu mendengar harga naik dua kali lipat. Order ketiga kalinya, maka harga pun naik tiga kali lipat. Dan hal itu berlaku sampai seterusnya, harga naik setiap order berikutnya.
Banyak yang sudah mundur ketika ingin membooking Nisa untuk kedua kalinya. Sebab untuk pertama kalinya saja, harga yang ditawarkan sudah membumbung tinggi. Tentu sudah bisa dibayangkan berapa harganya jika naik menjadi dua kali lipat.
“Itu pelanggan kamu malam ini,” ujar Mami Serly ketika menyodorkan sebuah kertas berisi biodata lengkap dengan foto seorang pria muda kepada Nisa.
Namun, Nisa terkejut luar biasa, begitu menemui pelanggannya malam harinya di sebuah hotel berbintang. Pria yang berdiri membukakan pintu untuknya itu justru pria yang berbeda. Bukan pria yang diperlihatkan Mami Serly kepadanya pagi tadi.
Jantung Nisa berdegup kencang kala menatap pria di hadapannya ini, yang menatapnya dengan dahi berkerut seolah mengenali siapa dirinya. Wanita yang dahulu dicampakkannya.
“Jefry?” gumam Nisa membatin. Pria yang pernah menjalin hubungannya dengannya tiga tahun lalu itu tampak kebingungan.
“Kamu siapa?” tanya pria itu.
Nisa menelan ludah. “Aku Nisa, Jef. Perempuan yang kamu campakkan dulu,” sahutnya dalam hati. Mana mungkin ia menyuarakan itu kepada tamunya malam ini.
“Saya, Jelita. Bukankah Anda sudah membooking saya melalui Mami Serly?”
Pria itu, Jefry, malah semakin berkerut dahi bingung.
★
MWM Part. 2
“Jelita?” Jefry masih bingung dengan kedatangan seorang wanita dalam balutan busana minim itu ke kamarnya, yang mengaku wanita bookingan.
Nisa melempar senyum manisnya meski ada sedikit nyeri di dada kala teringat bagaimana pahitnya masa lalu diantara dirinya dan pria di hadapannya ini.
“Boleh saya masuk? By the way, kita ngobrol dulu atau mau langsung main?” tanya Nisa dengan berani meski pria di hadapan ini adalah mantan kekasihnya dulu. Toh, ia dalam penampilan yang berbeda. Mungkin saja Jefry tidak akan mengenalinya.
Semoga!
“Tunggu, tunggu. Kamu bilang, aku yang membooking kamu?” Jefry memastikan, menyapukan pandangan anehnya dari kaki sampai kepala Nisa.
Anggukan pelan Nisa membuat Jefry terkekeh. Pria berparas tampan itu lantas mengusap wajahnya gusar. Ia baru mengerti sekarang mengapa ia diminta datang ke hotel ini.
Seminggu ia berada di luar kota menemui klien yang tak bisa hadir menghadiri pertemuan penting yang telah mereka sepakati bersama dikarenakan sakit.
Sebetulnya Jefry hendak membatalkan kerja sama. Akan tetapi, klien yang satu ini telah terlanjur menyukai kinerja JP Production dalam mengiklankan produk-produk yang bekerja sama dengan mereka. Sehingga tak ingin kehilangan kerja sama, maka si klien pun mengusulkan agar Jefry berkunjung ke kotanya.
Mengingat perusahaan yang dikepalainya adalah perusahaan rintisan yang ia bangun susah payah dati awal dan masih membutuhkan banyak jalinan kerja sama agar semakin tumbuh dan berkembang lagi, maka Jefry pun tidak keberatan dan menerima usulan tersebut.
Sepulangnya dari luar kota, Raka memintanya datang ke sebuah kamar hotel sebab ada sesuatu hal penting yang ingin dibicarakan. Tiba di kamar hotel ini Jefry malah tak menemukan keberadaan Raka. Ia langsung menghubungi Raka, dan Raka memintanya menunggu sebentar. Tak disangkanya setelah menunggu beberapa saat, bukannya Raka justru seorang wanita malam yang datang ke kamar hotel ini.
Jefry tak habis pikir mengapa Raka menipunya seperti ini. Ia tahu Raka suka bercanda, namun situasi ini benar-benar tak pantas dijadikan bahan candaan.
Jefry menghela napas frustasi. Entah apa pula yang ada dalam pikiran Raka. Bisa-bisanya sahabat laknatnya itu menyewa seorang wanita malam untuknya.
“Berapa lama saya harus menunggu di luar?” tanya Nisa, membuyarkan isi kepala Jefry.
Jefry terhenyak. Ia baru menyadari sesuatu sekarang. Suara itu ... Suara wanita malam itu mengapa serasa tak asing di telinganya?
“Bagaimana, Tuan? Boleh saya masuk dan menyelesaikan tugas saya?” tanya Nisa lagi. Walau sebetulnya ia ragu apakah ia sanggup melayani pria yang satu ini.
Gemuruh di dadanya susah payah ia redam. Kenangan masa lalu yang telah ia kubur dalam-dalam itu terkuak kembali ke permukaan setelah perjumpaan ini. Jujur saja Nisa ingin pergi.
Namun, mengingat Jefry adalah pelanggannya malam ini, dengan sangat terpaksa ia menekan perasaannya sendiri demi profesionalitas dalam pekerjaan. Lagipula ia tak ingin terkena amukan Mami Serly sebab lalai dalam menjalankan tugas. Bayaran sudah masuk ke rekeningnya. Mau tak mau, suka tak suka, ia dipaksa menyingkirkan egonya dan harus menyelesaikan tugasnya malam ini. Yaitu memuaskan pelanggan.
Jefry menoleh, menatap Nisa lekat-lekat. Tak hanya suara, bahkan wajah itu, sorot mata itu, senyuman itu. Mengapa ia merasa wanita di hadapannya ini mirip seseorang di masa lalunya? Seseorang yang telah menorehkan luka teramat dalam di hatinya. Seseorang yang telah membuatnya sulit membuka hati kembali untuk wanita lain.
“Ehem ...” Nisa berdehem, membuyarkan berbagai prasangka yang berkecamuk dalam kepala Jefry. Pria itu masih saja membiarkannya berdiri di depan pintu. Tak sedikit pun memperlihatkan ketertarikannya kepada wanita cantik yang berada di depan matanya saat ini.
Nisa tak menyangka, pria yang dulu pernah mengisi relung hatinya itu ternyata gemar bermain perempuan. Pantas saja tiga tahun lalu tanpa sebab Jefry tiba-tiba menghilang. Tanpa alasan Jefry membiarkannya menanggung malu di depan banyak orang, membuat dirinya menjadi bahan cemoohan orang-orang.
Tiga tahun lalu, Nisa dan Jefry hampir saja menikah. Namun entah ada angin apa sampai Jefry tidak datang di hari pelaksanaan akad nikah mereka. Jefry hanya mengirimkan sebuah pesan bahwa dia tidak akan menikahi wanita seperti Nisa yang tidak pandai menjaga harga dirinya.
Nisa yang tidak tahu menahu maksud Jefry hanya bisa menangis. Jefry membatalkan pernikahan secara sepihak tanpa merundingkannya terlebih dahulu. Nisa kala itu seperti orang bodoh. Nisa hanya bisa menangis dalam pelukan ibunya yang sakit-sakitan. Sejak saat itu pula Jefry tak bisa dihubungi lagi. Jefry benar-benar telah memutus hubungan dengan Nisa.
Masih segar dalam ingatan Nisa bagaimana ia dan ibunya harus menanggung malu saat itu. Penghulu sudah siap menikahkan mereka, tamu undangan bahkan sudah hadir, tetapi Jefry malah tak datang. Dengan alasan Nisa telah mengkhianatinya. Alasan yang sungguh tak masuk akal bagi Nisa.
Sejak saat itu Nisa telah mengubur dalam-dalam kenangan diantara mereka. Perasaan cinta di hatinya telah ia ganti dengan kebencian. Benci diperlakukan Jefry seperti itu.
“Tuan kalau tidak ingin menggunakan jasa saya, silahkan Tuan lakukan pembatalan dengan Mami Serly. Bayaran yang sudah ditransfer akan saya kembalikan secepatnya. Maaf jika saya sudah mengganggu waktu Tuan.” Tak kunjung ada respon dari Jefry, Nisa pun memutuskan hendak meninggalkan tempat itu. Atau mungkin memang ia salah orang. Sebab foto yang diperlihatkan Mami Serly kepadanya pagi tadi bukan Jefry.
“Tunggu.”
Namun, agaknya Nisa harus mengurungkan niatnya. Sebab Jefry tiba-tiba mencegahnya pergi. Ia yang telah memutar tubuh hendak beranjak itu pun terpaksa menarik kembali ayunan langkahnya. Ia lantas menoleh, masih dalam posisi membelakangi Jefry.
“Bukankah Tuan tidak ingin menggunakan jasa saya? Kalau begitu saya pamit. Tuan silahkan hubungi Mami Serly. Katakan padanya Tuan sendiri yang ingin membatalkan bookingan. Karena saya tidak ingin Mami Serly menyalahkan saya,” ujar Nisa.
“Kamu bilang aku yang membooking kamu bukan? Lalu kenapa kamu malah ingin pergi? Aku tidak mau rugi.” Jefry menatap punggung Nisa yang terbuka sebab Nisa mengenakan gaun merah selutut yang terbuka pada bagian punggungnya.
Jujur saja, wanita itu sangat cantik dan menarik, sama seperti namanya. Jelita. Akan tetapi desir dalam darahnya, degup di jantungnya seolah membenarkan jika Jelita adalah wanita yang sama. Wanita yang pernah dicintainya dahulu.
Mendengar kalimat Jefry, Nisa lantas memutar kembali tubuhnya. Kali ini entah mengapa Nisa merasa ada yang berbeda dari tatapan Jefry. Tatapan yang membuat dadanya bergemuruh. Tatapan tajam Jefry itu seolah mendamba namun terselip kebencian.
Nisa paham maksud kalimat Jefry, sehingga dengan penuh percaya diri ia membawa langkahnya memasuki kamar itu. Lalu menaruh tasnya pada meja kecil.
Klek.
Suara pintu yang dikunci itu malah membuat dada Nisa semakin bergemuruh. Bagaimana bisa ia akan melayani pria yang pernah hadir dalam hidupnya. Walaupun mereka pernah melakukannya sekali di masa lalu, tetapi kini mereka berada dalam situasi yang berbeda.
Jefry mungkin melakukan hal ini karena kebutuhan biologisnya ingin terpenuhi. Berbeda dengan Nisa, yang melakukan ini dengan sangat terpaksa lantaran didesak keadaan.
Tap tap tap
Terdengar suara langkah Jefry mendekat. Jantung Nisa semakin berdegup kencang. Ia bahkan susah payah menelan ludah. Demi profesionalitas, sebisa mungkin ia harus menekan perasaannya.
“Bisa kita langsung mulai saja?” tanya Nisa masih dalam posisi memunggungi Jefry. Tangannya mulai menanggalkan pakaian minim yang membalut tubuhnya.
“Nisa.”
Namun gerakan tangannya harus terhenti ketika namanya disebut. Membuat dada Nisa terasa sesak detik itu juga.
“Nisa.” Sekali lagi Jefry memanggil namanya. Nisa membeku di tempatnya. Lalu tiba-tiba saja sebuah sentuhan menyentuh pundaknya. Membuat aliran napas Nisa serasa terhenti saat itu juga.
★
Ingin melihat visual Nisa dan jefry, follow akun facebook author dengan nama yang sama, Fhatt Trah ☺️
MWM Part. 3
“Nisa.” Sekali lagi Jefry memanggil namanya. Nisa membeku di tempatnya. Lalu tiba-tiba saja sebuah sentuhan menyentuh pundaknya. Membuat aliran napas Nisa serasa terhenti saat itu juga.
Padahal Nisa sudah merias wajahnya sedemikian rupa, berubah 180 derajat dari wajah naturalnya dalam kesehariannya. Mustahil akan ada yang mengenalinya. Tapi bagaimana bisa Jefry mengenalinya?
Bahkan cara bicaranya pun ia buat se-elegan mungkin, jauh berbeda dari dirinya yang seperti biasanya. Bagaimana bisa Jefry begitu jeli mengenali suaranya? Bukankah sudah tiga tahun lamanya mereka tidak bertemu?
Selama tiga tahun itu pula Nisa kehilangan kontak Jefry. Sejak saat itu Jefry mengganti nomor ponselnya. Hanya sebuah kabar yang sempat Nisa dengar dari beberapa teman Jefry jika pria itu pindah ke luar kota. Selama tiga tahun Nisa benar-benar tidak tahu menahu tentang Jefry. Dan kini, pria itu berada dekat dengannya. Bisa dibayangkan seperti apa perasaannya saat ini.
Ada sakit, amarah yang terpendam, bahkan benci yang mengendap di dasar hati.
Namun, demi rupiah ia rela menahan semua rasa yang berjejal dalam dadanya. Demi ibunya ia rela memainkan perannya sebagai pemuas nafsu pria-pria hidung belang. Yang tak ia sangka Jefry adalah salah satu diantara mereka.
Menghela napas sejenak, Nisa urung melepas pakaiannya. Ia lalu memutar tubuhnya. Ia beranikan diri membalas tatapan Jefry, lekat pada kedua matanya.
“Saya Jelita, Tuan. Bukan Nisa.” Nisa mengulum senyuman. Jantungnya berdegup kencang, berharap Jefry percaya.
“Kamu pikir aku percaya? Kamu Nisa kan? Sepandai apapun kamu merubah penampilanmu, aku bisa mengenalimu.” Wajah tampan Jefry tampak datar tanpa ekspresi. Tatapannya serius, meyakini penglihatannya. Di matanya, wanita di hadapannya ini adalah Nisa. Ia yakin itu. Mana mungkin ia salah mengenali orang.
“Apa yang membuat Tuan yakin kalau saya adalah Nisa?” Nisa mencoba menantang Jefry. Ia ingin melihat apakah Jefry masih mengingat tentangnya.
“Semuanya. Semua yang ada dalam dirimu. Wajahmu, suaramu, tatapanmu. Kamu adalah Nisa. Jangan coba-coba membohongi aku. Aku tahu kamu Nisa. Nisaku.”
Nisaku?
Dia bilang apa tadi?
Nisaku?
Bukankah Jefry sendiri yang pergi meninggalkannya? Lalu bagaimana bisa pria itu mengakui dirinya adalah Nisaku?
Nisa menjerit dalam hatinya. Luka lama yang hampir mengering itu tersirami air garam. Sungguh pedih, perih menyiksa batinnya. Ditinggalkan masih dalam balutan kebaya pengantin itu bukan lelucon yang bisa ia terima begitu saja. Ada harga dirinya yang dipertaruhkan. Ada perasaannya yang dipermainkan. Lalu bagaimana bisa Jefry malah mengakui jika dirinya ini masih miliknya?
Nisa mengulum senyuman. Ia bersusah payah menekan perasaannya dalam kebisuan. Ada sakit yang ia sembunyikan dibalik senyuman itu.
“Apakah Tuan sedang berhalusinasi? Kenapa Tuan yakin kalau saya adalah Nisa. Padahal jelas saya adalah Jelita. Bukan Nisa.”
“Mana mungkin aku salah. Aku sangat yakin.” Bukan hanya sekedar meyakini penglihatannya saja. Tetapi Jefry lebih meyakini kata hatinya. Hati kecilnya terus berbisik jika wanita di hadapannya ini adalah Nisa. Wanita yang pernah ia cintai. Bahkan mungkin perasaan itu masih tersisa.
Nisa menghela napas sejenak. Diliriknya arloji di pergelangan kirinya.
“Tuan sudah membuang waktu saya. Saya punya pelanggan lain yang sedang menunggu. Jika Tuan tidak serius ingin menggunakan jasa saya, silahkan Tuan lakukan pembatalan dengan Mami Serly. Kalau begitu saya permisi dulu. Selamat malam.” Lekas meraih tas di atas meja, Nisa lantas mengayunkan langkahnya hendak meninggalkan tempat itu.
Namun kalimat Jefry yang terdengar kembali menghentikan langkahnya.
“Jika kamu benar bukan Nisa, kalau begitu layani aku!” Jefry berkata lantang mempertegas setiap katanya. Tatapannya serius tak terlihat main-main. Jika benar perempuan itu bukan Nisa, maka ia ingin memastikannya di atas ranjang. Dulu mereka pernah melakukannya sekali. Dan ia menjadi orang pertama yang merenggut kesucian Nisa. Ia ingin melihat apakah perempuan itu sanggup melayaninya di atas ranjang.
“Aku sudah membayarmu. Aku tidak mau rugi. Sekarang layani aku.” Jefry kemudian naik ke atas tempat tidur. Duduk bersandar pada head board, menunggu si wanita jallang itu datang memuaskannya.
Helaan napas berat Nisa menjadi pertanda sesungguhnya Nisa tak sanggup melakukan ini. Setiap pelanggan yang menggunakan jasanya selalu puas. Bahkan tak jarang ada yang memberi bonus. Seperti Daus pengusaha batu bara itu. Tak jarang pula ada yang sampai tergila-gila padanya, rela menghamburkan rupiah demi bisa tidur bersamanya. Itulah sebabnya mengapa ia diistimewakan oleh Mami Serly.
Akan tetapi, untuk pelanggan yang satu ini, ada rasa berat dalam hatinya. Jika saja tak teringat kondisi ibunya yang membutuhkan biaya untuk pengobatannya secara rutin, maka sebisa mungkin ia harus melayaninya, memuaskan dahaga pria itu di atas ranjang. Yang mirisnya, pria itu adalah mantan kekasihnya.
Mengulum senyuman, Nisa kemudian memutar tubuhnya. Perasaannya yang sesungguhnya ia sembunyikan dibalik senyuman itu.
“Baiklah kalau itu yang Tuan mau.” Nisa mendekati tempat tidur usai menaruh tas di atas meja. Tatapan dan senyumannya ia buat memikat agar Jefry tidak melihat Nisa lagi dalam dirinya.
Berdiri di tepian tempat tidur, Nisa mulai melepas pakaian yang melekat di tubuhnya, menyisakan si pakaian berenda atas dan bawahnya saja. Nisa lalu naik ke tempat tidur, merangkak mendekati tubuh Jefry. Tak ia pedulikan tatapan tajam pria itu yang serasa menusuk sampai ke jantungnya.
Jefry melipat kedua tangan di belakang kepala, menjadikannya sebagai tumpuan. Ia biarkan Nisa mulai melakukan tugasnya, membuka tautan kancing kemejanya satu persatu. Kedua matanya terus mengawasi pergerakan Nisa. Ia ingin melihat sehebat apa perempuan ini memuaskan pelanggannya.
Masih dengan senyuman terkulum di bibirnya, Nisa membuka kancing kemeja Jefry yang terakhir. Ia terlihat santai dan seperti menikmati perannya. Padahal yang terjadi tidak seperti itu. Di dalam dadanya, jantungnya bergemuruh hebat. Ia harus mati-matian menahan sejuta rasa yang bergejolak dalam dadanya.
Susah payah Nisa membuat dirinya senyaman mungkin. Kancing kemeja Jefry sudah terlepas semuanya. Kemeja itu kemudian ia lepaskan dari tubuh Jefry. Sebisa mungkin ia menghindari bersitatap dengan pria itu. Sebab bisa saja pendiriannya runtuh dalam sekejap. Dan identitas dirinya yang sebenarnya akan diketahui Jefry.
“Wow, kamu mempunyai tubuh yang bagus, Tuan.” Untuk menyamarkan kegugupannya, Nisa mencoba berkelakar sembari menyusuri dada bidang Jefry dengan sapuan jemarinya. Lalu jemari itu terhenti pada ikat pinggang yang membelit pada pinggang pria itu. Ia kemudian mencoba membuka ikat pinggang itu.
“Hanya seperti ini pelayananmu? Kalau begini, aku jadi ragu apakah kamu bisa memuaskan aku atau tidak,” kata Jefry dengan wajah datarnya. Bola matanya bergulir menyusuri setiap lekuk tubuh Nisa. Masih sama seperti dulu. Hanya saja, kini tubuh itu dijajakan kepada banyak lelaki hidung belang. Entah sudah berapa banyak lelaki bejatt yang telah menikmati tubuh itu.
Tidak!
Rasanya Jefry tak bisa menerima itu. Mengapa setelah tiga tahun tak bertemu, Nisa malah terjerumus ke dalam lembah nista seperti ini?
Sungguh miris. Apa sebenarnya yang terjadi padamu Nisa? Batin Jefry menjerit.
“Kamu tenang saja, Tuan. Aku bisa melakukan tugasku dengan baik. Tuan hanya perlu menikmatinya,” kata Nisa.
Nisa sudah berhasil membuka ikat pinggang Jefry. Ia hendak menanggalkan celana panjang Jefry saat tiba-tiba ia dikejutkan oleh tangan kekar Jefry yang meraih tengkuknya. Tangan itu menekan tengkuknya, sembari perlahan wajah Jefry mendekat, mengikis jarak diantara mereka.
“Kamu pikir aku percaya dengan sandiwaramu?” Dalam sekejap mata Jefry membalik keadaan. Dalam sekali gerakan ia merubah posisi mengungkung tubuh Nisa di bawahnya. Tatapan tajamnya tak lepas menghunus, menghujam sampai ke jantung Nisa. Sampai-sampai jantung Nisa berdetak kencang.
Nisa bahkan harus menahan napasnya kuat. Ia terkejut bukan kepalang dengan sikap mendadak Jefry ini. Berada di bawah kungkungan Jefry, membuat ingatan Nisa kembali melambung ke masa lalu. Perasaan rindu dan benci saling berseteru di dalam dadanya.
“Tuan, biarkan aku yang melayanimu,” ujar Nisa mencoba mencairkan ketegangan dalam dirinya. Biar bagaimanapun Jefry adalah pelanggannya malam ini.
Tak ada jawaban dari Jefry. Pria itu membisu sambil menatap lekat wajah Nisa.
“Tuan, hmmpt ...” Nisa ingin mengingatkan, namun mulutnya terlanjur dibungkam oleh mulut Jefry tiba-tiba. Sampai ia tak bisa menghindar.
★
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!