"Jae, Rae, kenalin ini saudara baru kalian, keluarga baru kita, Auzora."
Keempat mata itu hanya memandang sinis dengan bibir terlipat rapat ke dalam.
"Zora, kenalin, mereka kakak baru kamu. Si Kembar Jaeha dan Raeha."
Mata malu namun dengan senyum ramahnya, Auzora menyapa gugup kedua lelaki yang berdiri di hadapannya.
Auzora Misora, gadis remaja yang hidup sebatang kara. Bertemu dan mengenal Chardika Wijaya, ayah dari saudara kembar Jaeha Wijaya dan Raeha Wijaya, merupakan sebuah takdir terhebat dalam perjalanan hidupnya.
"Salam kenal, Kak. Auzora Misora, biasa dipanggil Auzora."
Tanpa membalas sapaan hangatnya, wajah mereka juga tak menampakkan sedikit senyuman.
"Zora, kamu masuk ke kamar, istirahat, ya. Besok kamu juga harus sekolah. Ayo, Ayah antar," ucap lelaki paruh baya itu sambil mengelus lembut kepala Auzora.
Gadis berambut panjang dengan poni belah tengah itu, tampak begitu canggung dan kaku berdiri di tengah-tengah keluarga barunya.
"Om ...."
"Apa? Coba ulangi sekali lagi?"
"Maaf, Yah."
Panggilan yang mendadak berubah setelah Auzora dia angkat sebagai putrinya.
"Kenapa mereka kelihatan gak suka sama aku, Yah?"
Jiwa yang penuh kelembutan itu memeluk hangat putri gadisnya, hanya diam dan mengelus kepalanya untuk beberapa saat. Mungkin dia sedang memikirkan jawaban yang tepat.
"Kamu istirahat, besok harus sekolah, ya. Jangan mikir macem-macem, Ayah ada di sini. Jangan takut."
"Tidur, ya. Selamat malam, sampai jumpa besok, Sayang," lanjutnya sebelum melangkah pergi meninggalkan kamar Auzora.
Sementara di depan TV, kedua putranya masih sibuk dengan tontonan favorit mereka. Chardika meraih remote TV di depan mereka dan dengan tegas mematikannya.
"Kalian bisa jaga sikap, gak? Bukannya Ayah udah bilang dari awal, perlakukan Zora seperti saudara kandung kalian sendiri," ucapnya mulai dengan wajah memerah.
"Kenapa Ayah maksa kita buat nerima dia, Yah? Siapa yang mau nerima anak haram yang ngancurin keluarga dia sendiri? SIAPA!"
Suara Jaeha yang meninggi memejamkan mata Chardika. Kamar Auzora yang berada tak jauh dari ruang tengah, tentu turut mendengar teriakan kasar kakak tirinya itu.
"Ayah bisa berlemah lembut, Ayah bisa berbelas kasih. Tapi kami enggak, Yah. Dan gak akan pernah," dengan tegas Rae mengatakannya.
Chardika hanya terdiam dalam pejaman matanya, menarik napas perlahan dan menahan air matanya.
"Nak, Ayah tau kalian terluka, tapi di sini, Ayah juga terluka hebat. Dan Auzora, dia sama sekali tidak mengerti apapun."
Kedua putranya hanya terduduk diam, Auzora mendekat, menghampiri suara keributan yang dia rasa sedang membicarakan dirinya tersebut.
“Apa yang Zora gak ngerti, Yah?"
Ucapan itu menyadarkan ketiga lelaki tersebut, wajah yang awalnya tertunduk mulai terangkat. Wajah yang awalnya begitu serius mendadak datar. Mereka seolah lupa, orang yang mereka bicarakan sedang ada di antara mereka.
"Siapa yang Kak Jae maksud anak haram? Luka apa yang bicarakan? Dan apa yang Zora belum mengerti sampai sekarang?" wajah polos Auzora yang sama sekali tidak mengerti.
Jae menukar posisinya dengan Rae yang berada lebih dekat dekat dengan Auzora. Lelaki bertubuh tinggi itu berdiri tegak menghadap Auzora dengan tatapan mengerikan.
"Anak haram itu, lo. Lo belum ngerti? Mau gue jelasin mulai akar sampai pucuk?"
"Jae, Ayah mohon, cukup," pinta Chardika dengan wajah yang mulai pasrah.
"Gak usah kamu jelasin, perlahan aku yakin, waktu akan menjelaskan dengan sendirinya," tambah Rae tenang.
...
Malam pertama di rumah keluarga baru, yang cukup memutar keras otaknya telah berlalu. Pagi ini, Auzora harus segera bersiap untuk ke sekolah barunya juga.
"Yah, hari ini aku naik motor sendiri aja, ya? Boncengan sama Rae," pinta Jae mendadak di meja makan pagi ini.
"Tumben, biasanya bareng Ayah?"
"Alergi sama keturunan perusak keharmonisan keluarga orang." Lirikan tajam Rae tepat tertangkap oleh Auzora.
"Gak! Sama kayak biasanya, kalian Ayah antar, kalian semua!"
"Gak, Yah! Kita berangkat berdua."
Jae dan Rae yang mulai melangkah pergi meninggalkan meja makan. Yang bahkan, makanan di piring mereka belum mereka sentuh sama sekali.
"ATM kalian Ayah sita kalau kalian tetap berangkat sendiri!" ucap Chardika mulai tegas pada putra kembarnya.
Tak punya pilihan lain, mereka memutar balik langkah mereka dan melanjutkan sarapan.
...
Sesampainya di sekolah, tentu mereka yang keluar dari satu mobil yang sama, menjadi pusat perhatian para siswa. Terlebih lagi, si Kembar merupakan siswa populer di sekolahnya.
"Oh, itu adik tirinya? Cantik banget."
"Beruntung banget dia diangkat anak sama ayah mereka."
"Lucu banget, iri banget sama adik perempuannya."
Beragam pujian dan sapaan hangat mulai mengiringi langkah Auzora yang berjalan di belakang Jae dan Rae.
"Kelas 11 IPA 3, itu kelas, lo!" ucap sinis Rae sambil mendorong tubuh Auzora.
"Kak, kenapa semua ngeliatin aku kayak gini? Aku takut banget," ucap gugup Auzora.
"Gak usah ke-PDan, lo! Mau manja? Minta diantar ke kelas?"
"Nggak, Kak Rae," jawab Auzora tertunduk.
Seisi kelas menerima kedatangan gadis lembut itu dengan baik. Tak sedikit juga, para lelaki yang mulai mendekati bangkunya dengan alasan sekedar berkenalan.
"Jangan macam-macam kalian! Adiknya kak Jae, kak Rae itu. Habis kalian sama mereka," sahut Ketua Kelas yang baru saja masuk kelas.
"Karena dia adiknya kak Kembar, makannya kita punya kesempatan bagus ini."
Memiliki kakak yang begitu disegani dan populer di kalangan banyak siswa, juga bukan keberuntungan bagi Auzora. Pada jam istirahat pertama ini, seorang wanita dengan kedua temannya datang ke kelasnya dengan maksud dan tujuan yang Auzora sendiri tidak mengerti.
"Oh, ini adik angkat Jae? Ini anak haram itu?"
Auzora hanya menatap diam, seisi ruang kelas juga hanya tampak diam mendengarnya.
"Cantik, tapi sayang, perusak." Segelas es yang ada di genggaman tangannya tertumpah di meja Auzora, hingga membasahi seragamnya.
Tanpa rasa bersalah, tanpa sepatah kata maaf, dia pergi setelah merasa puas. Tak ada yang berani mendekat setelah kelas menjadi kaku selain Ketua Kelas.
"Dia kakak kelas kita, satu angkatan sama kakak kamu. Sahabat dekat juga mereka."
"Rok kamu basah, ganti pakai celana olah raga aku dulu. Tenang, ini bersih, belum aku pakai. Jam olahraga kosong kemarin."
"Kamar mandi cewek tinggal lurus, belok kiri."
Sifatnya yang dingin, anti basa-basi, anti ribet, dan realistis. Tanpa sedikit bertanya, Auzora segera pergi ke kamar mandi dan mengganti roknya.
Wajah salah satu teman perempuannya yang tampak kesal, entah karena apa.
Keluar dari kamar mandi. Di seberang, tampak kedua kakaknya yang sedang bertanding basket melawan antar kelas. Si Kembar yang tampak tampan dengan rambut yang terkibas bersama langkah larinya.
"Keren banget, Kak."
Auzora mendekat ke lapangan, sejak dia mulai ditangkap oleh mata para siswa yang duduk di pinggir lapangan, hingga dia duduk bersama mereka. Auzora tak lepas dari pandangan para siswa.
Gadis dengan rambut terikat itu, dengan santai duduk dan menyaksikan Kakaknya.
"Oi, adiknya Kembar mau join, nih."
Seseorang menarik paksa tangan Zora ke tengah lapangan, mungkin karena Zora memakai celana olahraga sekarang.
"Oke, satu team."
Seluruh pemain yang menerima dia bergabung dan sorakan para penonton, hanya membuat Auzora kaku, walau hanya untuk sekedar menolaknya.
…
Mata Ketua Kelas yang mulai khawatir, berulang kali memandangi pintu kelas, mungkin dia menanti Auzora kembali.
"Aduh," teriak Auzora.
Sebuah bola basket tepat mengenai kepalanya. Hidungnya seketika mengalirkan darah, tak tampak cemas, Jae dan Rae justru tertawa puas.
"Ayo ikut aku ke UKS," ajak si Ketua Kelas memegangi bahu Auzora.
"Selama ini kalian disegani, dikenal memiliki sikap yang sangat baik. Aku gak nyangka kalian bisa setega ini," ucap beraninya saat melewati kedua kakak Auzora.
Zyan Jhuana namanya, lelaki dengan jiwa keberaniannya. Ucapannya yang juga didengar banyak siswa lain yang ada di sekitarnya, menciptakan perbincangan hangat pada kalangan siswa.
Belum sampai Zyan kembali ke kelasnya, kabar tentang hal itu sudah sampai lebih dulu.
"Dasar emang, gatel banget murid baru itu," kesal salah satu teman perempuannya yang menangkap dari kejauhan, Zyan dan Auzora yang berjalan beriringan.
~Itu tuh, yang kesel pas Zyan ngasih celananya ke Zora di chapter 1.
"Zy, kamu serius berani ngomong gitu ke mereka?" desak salah satu temannya saat mereka baru saja masuk.
"Apaan?"
"Eh, kamu rame dibicarain kakel, ngawur emang kamu."
"Biarin, biar terkenal," jawab Zyan enteng.
Si Kembar tampak berjalan mendekati kelas mereka, kelas mendadak berubah seolah didatangi seorang selebriti, terlebih lagi para siswi.
Rae mendekat dan benar-benar berdiri di hadapan Auzora, perlahan tangannya mulai mendekap.
"Astaga, Kak Rae manis banget," histeris seisi kelas.
~Histeris yang kayak "Aaaaa, ASTAGAAA." Heboh gituu.
Dalam dekapan yang tampak begitu memberi kehangatan, Rae berbisik lirih pada telinga kanan Auzora.
"Sakit? Gue lebih sakit!" Tangan kanan yang mendekap hangat, namun dengan bisikan yang menusuk tepat.
"Manis? Ragaku dipeluk, jiwaku ditusuk," batin Auzora dengan mata terpejam.
"Gila sih, si Zyan. Bisa-bisanya nuduh mereka yang sengaja ngelempar bola ke adiknya."
"Ngada-ngada lo Zy ...."
Mata Zyan yang merekam jelas, bagaimana kedua kakak Auzora berbisik menyusun rencana. Melempar bola tepat mengenai sasaran mereka. Tertawa puas setelahnya, dan berlagak tak bersalah untuk menutupinya.
"Anda salah target," ucap lirih Zyan merapatkan kedua bibirnya dengan lirikan mata tajam, pada langkah pergi Jae dan Rae.
...
Jam pulang sekolah tiba, pembelajaran telah berakhir hari ini. Seperti biasa, si Kembar Jae dan Rae dijemput oleh supir pribadi mereka yang sudah standby di depan sekolah.
"Ra, kamu kok belum pulang? Bukannya bareng supir yang biasa jemput kakak kamu?" tanya Zyan yang kembali ke kelas karena barangnya yang tertinggal.
"Iya, tadi pagi kak Jae bilang, gak boleh keluar kelas kalau dia belum nyusul."
"Astaga, Auzora. Kamu dikadalin, mereka udah pulang, baru aja pas aku balik ke sini," balas Zyan yang mulai tampak kesal.
"Oh, oke makasih."
"Hah?"
Zyan hanya menatap bingung langkah Auzora yang meninggalkan kelas dengan begitu tenangnya, bahkan masih dengan senyum yang tergambar nyata. Tanpa berkeluh kesah, Auzora hanya tampak tenang keluar dari gerbang sekolah.
Zyan yang mengkhawatirkan gadis malang itu, mengikuti Auzora tanpa sepengetahuannya.
Matahari senja menjadi saksi tangis bisu remaja dengan mata sayu tersebut. Di taman samping sekolah, Auzora memandangi langit jingga itu dengan deraian air mata.
"Ma, dunia Zora hancur setelah mama pergi, dunia Zora hanya mama. Zora kehilangan dunia Zora, ma ...."
"Dunia gak adil buat Zora, ma. Zora salah apa, ma? Kenapa akhir-akhir ini Zora juga sering mendapat julukan anak haram?" rintihnya lirih dalam hati, meremas kerah baju seragamnya.
"Tuhan, tolong kembalikan mama atau bawa aku bersama mama ...."
Zyan yang tak kuasa memandangi gadis rapuh itu dari kejauhan, perlahan dia mendekat dengan langkah pelan.
Mendapati Zyan yang datang, Auzora merubah wajahnya, menghapus air matanya, membohongi Zyan seolah semua sedang baik-baik saja.
"Ra, kamu gak perlu kok pergi ke sini cuma buat nangis, kamu boleh nangis di kelas detik itu juga."
"Kamu juga gak perlu hapus air mata kamu, senyum dan nyapa aku setelah aku datang. Kamu gak perlu berpura-pura baik-baik aja, kamu boleh nunjukin sisi lemah kamu. Bukan, bukan sisi lemah, tapi sisi yang membuat kamu tumbuh lebih kuat."
"Nangis aja, Ra. Lanjutin, aku kesini bukan untuk menyumbat air mata kamu."
Seolah menjadi manusia yang paling mengerti tentangnya, air matanya juga tak lagi sungkan untuk terus mengalir deras. Isaknya juga tak lagi canggung untuk terdengar.
Zyan hanya duduk diam tanpa bertindak sedikit pun, menunggu Auzora meluapkan emosionalnya.
"Udah?"
"Kamu kenapa disini kalau cuma diem?"
"Seenggaknya kamu gak merasa sendirian."
Sementara di rumah, petang ini Chardika baru saja pulang setelah sibuk dengan pekerjaannya. Belum sampai dia masuk ke dalam rumah, kedua putranya sudah tampak rapi akan pergi.
"Mau ke mana?"
"Ngumpul sama temen, Yah. Gak lama kok, Yah."
"Adik kalian?"
Keduanya hanya tampak bungkam, kebingungan menjawab pertanyaan sederhana itu.
"Malam, Yah," sapaan yang mencairkan suasana.
Si Kembar yang tampak lega. Auzora datang tepat waktu dengan senyum palsunya, dia menutupi semua luka, terpaksa membohongi Ayahnya.
"Baru pulang? Kenapa?" tanya Ayahnya khawatir.
"Aku mampir ke taman deket sekolah, Yah. Cantik banget, Zora nyaman di sana, sampai kemalaman."
"Kenapa gak pulang dulu baru main? Sama siapa tadi? Sendirian?"
"Nggak, Yah. Ada temennya kok."
"Oke, sekarang masuk, bersih-bersih, terus makan. Kalian jangan malam-malam pulangnya."
"Iya, Yah," jawab si Kembar serentak.
Berkumpul dengan beberapa temannya hanya untuk membahas suatu pembahasan yang sebenarnya tidak penting untuk diperpanjang.
"Adik kamu emang ngeselin banget, Vie. Aku yakin sih, Zora ditemenin adik kamu di taman tadi."
"Iya, Jae. Zyan tadi juga pulang malaman, kayaknya dia nemenin Zora."
"Lucu gak, sih? Bayangin nih, kita kemusuhan banget sama Zora. Eeh, adiknya Stevie malah deket sama Zora," tambah Juna.
"Jangan ngacok, lo. Kita purak porandakan kalau gitu," celetuk Jihan tak terima.
"Weehh, gak terima banget, Han?"
~Aku kenalin nih, circle mahalnya si Kembar. Semua dari mereka anak orkay semua, orang kaya.
Jae, Rae, Juna, Stevie, dan Jihan. Umumnya anak sekolah, mereka pasti mempunyai beberapa teman dekat, teman berbagi cerita, dan teman segalanya. Biasa disebut 'Sahabat'.
~Inget gak? Kakel yang numpahin es di meja Auzora, itu Stevie, kakaknya Zyan.
"Buat Zora ngerasa gak betah, biar dia pergi dengan sendirinya, itu tujuan kita," ucap Jae melirik ke arah Rae.
"Kita bantuin, tenang aja."
...
Sesampainya di rumah, rumah sudah dalam kondisi gelap tanpa lampu penerangan, karena mereka pulang sangat larut malam.
"Ngapain ke kamar Zora?" tanya bingung Jae pada Rae yang menarik lengan panjang bajunya menuju kamar Auzora.
"Semoga gak dikunci ...."
"Aman, kita bisa masuk," tanpa menjawab pertanyaan Jae, Rae hanya fokus pada tujuannya.
"Ra, bangun ...." Tangannya mengguncang tubuh Auzora dengan kasar.
"Kita tidur di kamar kamu, besok kalau kita kena marah ayah, kamu harus ngomong kalau kita gak pulang larut dan nemenin kamu tidur!" tambah Rae setelah melihat mata Auzora yang telah terbuka.
Auzora yang sama sekali tidak mampu menangkap ucapan kakaknya tersebut, hanya diam dengan tatapan kosong dan membiarkan kedua kakaknya tidur di sofa panjang kamarnya. Lanjut memejamkan mata setelahnya.
"Kak, tolong berhenti ikut campur masalah Auzora. Kakak ngapain kemarin numpahin es di meja dia? Maksud Kakak apa?"
"Kenapa kamu belain dia? Kamu suka?"
"Ini bukan masalah siapa yang aku bela, tapi siapa yang benar."
Pagi-pagi sekali, Zyan pergi ke kamar kakaknya dan beradu mulut dengannya. Masih dengan masalah yang sama, yaitu, Auzora.
"Jadi, kakak salah?"
"Kak, Zora gak seburuk yang kalian lihat. Dan berbicara tentang masalah keluarga kak Kembar, itu murni masalah orang tua mereka. Zora gak tau apa-apa," bela Zyan keras.
"Mending kamu ngejauh dari dia! Energi negatifnya nyalur."
"Oh, ya. Kemarin kamu nemenin dia di taman? ngapain? Kakak gak suka kamu deket-deket sama dia," lanjut Stevie dengan mata sinisnya.
"Emang urusan kakak? Zyan bebas deket sama siapapun!" bantah Zyan yang kemudian pergi setelahnya.
...
"Astaga, jadi pada tidur di sini?" ucap lega Chardika membuka pintu kamar Auzora dan melihat kedua putranya tertidur pulas di sofa.
"Ayo, bangun! Kalian sekolah, bangun! Jae, Rae, Zora. Bangun!"
Chardika memandang ketiga anaknya yang baru saja membuka mata dengan senyum indah pagi ini.
"Kayaknya mereka mulai bisa nerima Zora," ucapnya lirih di balik senyum indahnya.
Menjadi ayah sekaligus ibu untuk mereka. Sama halnya dengan kebiasaan para ibu di luar sana, Chardika menyiapkan sarapan pagi untuk ketiga anaknya.
"Kalian semalam pulang jam berapa?" tanya Chardika di meja makan.
Jae dan Rae hanya saling menatap dan melirik Auzora, berharap Auzora menjawab pertanyaan ayahnya. Namun, apa bisa dikata, Auzora justru sibuk dengan sarapan paginya tanpa menghiraukan keduanya.
Rae menginjak kaki Auzora dari bawah meja, tentu Auzora reflek berteriak kesakitan karenanya.
"Kenapa, Ra?" tanya Chardika.
"Kenapa, Kak?" tanya Auzora melihat mata Rae yang tertuju padanya.
"Kalian kenapa?" tanya ulang Chardika.
"Kamu kenapa?" tanya Rae balik pada Auzora.
"Kak Rae kenapa nginjek kaki aku?"
Senyum Chardika yang kembali tampak, dia menilai ini adalah awal hubungan akrab mereka dimulai.
"Udah, makan!"
Kembali ke sekolah, kembali menemui masalah. Mungkin kata itu yang cocok untuk Auzora saat ini.
"Katanya, Zora itu anak hasil selingkuhan, dan gara-gara perselingkuhan itu, orang tua kak Kembar pisah."
"Ayahnya bodoh banget, bisa-bisanya ngangkat Zora jadi anaknya, padahal itu anak hasil perselingkuhan istrinya."
~Dateng pagi-pagi ke sekolah buat ngegosip. Kalau aku dulu buat piket, ngerjain tugas karena keteteran. Kalian karena apa? Ngegosip juga?
TIDAK MENERIMA MURID BARU.
Tulisan yang jelas terpampang di pintu kelas. Auzora yang merasa bahwa dirinya adalah murid baru, mengambil dua langkah mundur dari pintu.
"Itu aku? Salah apalagi aku?"
Auzora berlari mengejar kedua kakaknya dan menghentikan mereka.
"Kak, aku kemarin salah kelas?"
"Enggak, kenapa?"
Auzora pergi setelahnya, dia duduk di bangku tepi lapangan basket sendirian, menjulurkan kakinya, mengangkat kepalanya menghadap langit dan memejamkan matanya.
"Semesta, apa aku punya salah kepadamu? Jika iya, tolong maafkan aku. Kenapa kamu tidak pernah berpihak kepadaku?"
"Astaga!"
Setelah menurunkan kepalanya dan membuka matanya, tubuhnya bergerak mundur karena rasa terkejutnya.
Zyan duduk di sampingnya dengan wajah yang datar, namun terlihat sangat bijaksana.
"Kenapa? Balik ke kelas!" Gerak kepalanya turut tegas memberikan perintah.
"Apa aku pantas?" tanya Auzora lemah.
"Go!" tas ransel Auzora tertarik, membuatnya berdiri dan terpaksa kembali.
Matanya menangkap kertas tulisan tadi berada di genggaman tangan Zyan. Teremas kuat dan berubah lusuh.
"Mampus, Zyan nemuin Zora," gelisah sang pelaku.
~Tau kan pelakunya siapa? Coba tebak! .... Yap, benar, cewek yang kesel ngeliat Zyan sama Zora sejak chapter 1.
"Siapapun yang nulis ini dan nempelin ini di pintu kelas, kalian gak lucu dan ini GAK GUNA," tegas Zyan setelah masuk ke kelas.
"Kalian mau ikut-ikutan benci? Kata gue, kalian manusia gak BERKUALITAS. Kalian gak punya mata, sampai harus menilai orang dengan telinga?"
"Zy, udah. Gak perlu kayak gitu," ucap Auzora sambil menarik tas Zyan.
"Kamu kenapa segitunya sama Zora? Kamu suka?" sahut sang pelaku.
Zyan dibuat bungkam dengan pertanyaan tersebut.
"Peduli, hanya itu," jawab singkat Auzora.
"Gak diragukan lagi, Zyan suka sama Zora," batin gadis tersebut dengan wajah masam.
Kegiatan di sekolah seperti biasa, pembelajaran, istirahat, dan pulang. Kali ini Auzora tidak ditinggal oleh kedua kakaknya, karena Auzora lebih dulu masuk ke dalam mobil.
Sesampainya di rumah dan berganti pakaian, Jae dan Rae panik mencari kunci motor mereka yang terlupa.
"Zora, kamu kemanain kunci motor kita?" tuduh Jae.
"Aku gak tau, Kak."
"Jangan bohong! Kita pulang langsung ke kamar kamu, pasti kamu umpetin."
"Berani sumpah, Zora gak tau, Kak."
Terbawa kesal, Jae menarik tangan Auzora dengan genggaman kuat.
"Kamu taruh mana?" tegas Jae.
"Zora gak tau, Kak," jawabnya sambil menahan sakit.
"Jae, ada di motor, masih ngegantung," sela Rae yang berhasil menemukan kunci motornya.
Tanpa kata maaf, Jae melepas tangan Auzora yang memerah. Auzora hanya mengelus lembut dengan tangan kirinya dan membiarkan rasa sakitnya hilang dengan sendirinya.
"Oh, ya. Kenapa lo tadi pagi gak bilang apa yang Rae bilang semalam?" tanya Jae yang kembali menemui Auzora.
"Emang Kak Rae bilang apa?"
"Lo bodoh apa gimana?"
"Serius, Kak. Zora gak tau," jawab Zora polos.
"Udah, biarin aja, yang penting ayah gak marahin kita. Ayo pergi!"
~Yang salah siapa, yang dimarahi siapa. Udah tau baru buka mata, nyawa belum terkumpul malah diajakin ngomong serius.
...
Singkat cerita, hari demi hari, bulan demi bulan terlewati. Ujian semester juga telah terselesaikan. Menjadi murid baru dan merasa kesulitan dengan adaptasi pembelajaran, bukan menjadi alasan untuk tidak mampu mengejar materi pembelajaran.
"Peringkat terbaik di kelas kita semester ini adalah Auzora."
Tidak ada jam pelajaran, hari ini siswa bebas melakukan apapun asal tidak keluar sekolah. Semua sibuk menentukan tujuan mereka, sementara Auzora, hanya sibuk menentukan posisi tidur yang nyaman di atas mejanya.
Si Kembar, idola para siswi-siswi di sekolahnya. Kembali mendatangi kelas Auzora dan membuat mereka histeris.
"Auzora mana?" tanya Rae pada segerombol teman-teman Auzora.
"Ada di dalam, Kak." jawab mereka girang.
"Zora, bangun!"
"Kenapa, Kak?"
"Tanding basket, kita kekurangan 1 personil."
"Zora males, Kak. Zora ngantuk. Temen Kakak banyak, kenapa harus Zora?"
Rae menarik paksa tangan Auzora dan membawanya pergi. Zyan yang juga ada di dalam kelas tampak kesal dan mengikuti mereka.
"Zyan kayak jadi orang pertama yang paling gak rela Zora diapa-apain," ucap salah satu temannya.
Sorakan seisi lapangan begitu melihat Jae menggandeng tangan Auzora.
"Cukup, Zora seteam sama aku."
Dengan rambut yang terikat rapi, poni yang tidak menghalangi. Meski dengan rok tepat di atas lutut, Auzora tampak terampil memainkan pertandingannya.
"Gila, keren parah adiknya kak Kembar," puji salah satu siswa yang duduk di sebelah Zyan.
"Mata lo jaga!" celetuk Zyan sinis.
"Apaan? Orang gue muji dia."
~Cemburu bilang, Bang. Tinggi banget gengsinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!