15 Januari 2001 menjadi hari kelahiran seorang bayi perempuan bernama Ananta Putri Soehadi.Ia dilahirkan di kota metropolitan yang jauh dari desa, Ibunya memilih melahirkan untuk jauh dari orang tuanya karena malu. Ayah dari bayi itu entah kemana, sehingga setelah melahirkan ibunya memilih untuk tidak merawat putri kecilnya, dan akan ia jual kepada orang lain yang belum punya keturunan.
Namun Tuhan berkata lain, kakek dan nenek dari bayi itu mendengar berita kelahirannya.
Sebisa mungkin mereka mencari cara untuk bisa sampai di kota agar bisa melihat cucu perempuan satu-satunya yang mereka punya.
Genap satu bulan usia bayi itu, namun sang ibu belum menemukan orang yang mau membeli anaknya, sampai pada akhirnya kakek dan neneknya datang. Kegembiraan yang dirasakan pasangan lansia itu tidak dirasakan oleh ibu dari bayi itu.Suli melihat orang tuanya begitu bahagia dengan kehadiran anak perempuannya, namun tidak dengan dirinya.
Dengan berat hati dan perasaan gugup yang bercampur takut kena amarah dari ayahnya, Suli akhirnya mengutarakan perasaanya dan niatnya untuk menjual bayi itu.
"Pak, buk. Aku mau ngomong sesuatu" ucap Suli ragu-ragu.
"Mau ngomong apa nduk, masalah selapanan anakmu?
kamu jangan khawatir nanti bapak sama ibu yang nanggung biayanya, yang penting cucuku ini sehat"
jawab nenek imah dengan tersenyum sambil memangku ananta.
"Bukan itu buk, a.. aku, aku fikir lebih baik kalo anak ini dikasih aja sama orang, terus kita minta imbalan, biar bisa buat modal usaha di kampung"
"Apa?!" Kakek Adi melotot mendengar perkataan anaknya.
Nenek imah pun tak kalah terkejutnya mendengar itu, dekapannya pada ananta semakin ia eratkan seolah-olah tidak ingin kehilangan cucu perempuannya.
"Kamu ini waras apa enggak sebenernya Suli? ini anak kamu masih merah, masih butuh kamu ibunya, butuh asi kamu, dimana otak kamu sampai-sampai kamu berfikir buat jual anak kamu sendiri apalagi buat modal usaha? punya hati nggak sih kamu!"
Amarah Kakek Adi memuncak, kentara dari urat-urat dilehernya yang tercetak jelas saat dia bicara.
"Tapi pak, ayah dari anak ini aja nggak tau kemana. Terus kalo aku harus hidupin dia sendirian aku nggak bakal sanggup pak, biaya hidup disini itu banyak" Suli memberikan alasan dengan bibir bergetar lantaran takut dengan amarah ayahnya.
"Kalo itu yang jadi masalah, kamu tinggal pulang ke kampung biar bapak sama ibuk yang cari uang buat biaya hidup kalian.
Nggak ada acara jual anak segala! " jawab Kakek Adi
"Tapi.. Aku malu pak, Aku malu kalo sampai aku pulang bawa bayi sedangkan ayahnya nggak tahu kemana,
apa kata orang kampung nanti?? aku pasti bakal jadi bahan omongan orang gara-gara bayi itu!"
Suli mencoba memberikan alasan sebisa mungkin sambil bercucuran air mata, berharap orang tuanya akan mengerti posisinya.
"Itulah kenapa dulu bapak ngelarang kamu untuk kerja di kota, ya karena ini Suli, kehidupan kota itu nggak seindah yang ada dibayangan kamu! Sekarang kalau sudah seperti ini kamu malah mau jual anak kamu yang nggak ngerti apa-apa ini? Bahkan hewan pun nggak ada yang setega kamu ke anaknya!" Kakek Adi meraup wajahnya kasar, ia merasa frustasi dengan tingkah anak perempuannya.
Flashback on
"Pak aku mau pamit kerja ke kota besok, biar bisa bantu ekonomi keluarga" ucap Suli tiba-tiba ketika ayahnya sedang mengasah arit untuk mencari pakan sapi.
"Lho kok tiba-tiba si sul, kamu emang mau kerja apa nanti, terus uang buat sangu ke kota dapet dari mana? " tanya kakek adi bingung dengan keputusan anaknya.
"Bapak tenang aja, aku ada temen kok nanti yang bakal jemput ke rumah sini terus nanti juga dia yang bayarin kendaraan sama makan aku selama perjalanan ke kota, kalo masalah kerjaan nanti aku sama dia cari bareng-bareng pak" terang Suli.
"Teman kamu laki apa perempuan? "
"Laki-laki pak, dia orang kecamatan sebelah biasa kerja dipasar besar"
"Jadi apa dia dipasar? kalo udah kerja dipasar kenapa harus ke kota, sekarang itu cari kerja sulit apalagi di kota. " selidik Kakek Adi ingin tau.
"Emmm... dia jadi preman pasar sih pak yang jaga keamanan pasar, mangkanya dia mau merantau ke kota buat cari pekerjaan yang lebih bagus lagi" Suli memberi jawaban terbaik agar ayahnya memperbolehkan dia pergi ke kota. "Preman pasar?? kamu mau pergi sama preman? Enggak bapak nggak ijinin kamu pergi kemanapun. Apalagi sama preman, kamu anak perempuan Suli dan nggak ada jaminan preman itu nggak akan berbuat jahat ke kamu" putus Kakek Adi.
"Tapi pak dia baik kok, dia nggak seperti apa yang bapak bayangin, dia selama kenal aku juga jaga aku banget bahkan dia nggak berani sentuh aku sembarangan. " jawab Suli kukuh. "keputusan bapak sudah yang terbaik, kamu nggak bapak ijinin pergi kemana-mana, tetap dirumah dan kerja di kebun seperti biasanya, lagian apa yang kurang dari hidup kita yang sekarang. Kita nggak pernah kekurangan makan, kita punya rumah sendiri seenggaknya kita nggak numpang di orang. " Sembarai berlalu Kakek Adi menjawab, tak ingin memperpanjang perdebatan dengan anak perempuannya Kakek Adi memilih untuk pergi mencari pakan sapi.
Flashback off
"Terus aku harus gimana pak? aku kerja sambil bawa bayi juga ribet, nggak bisa. Lebih baik memang anak ini dijual aja, toh uangnya juga bisa buat bapak sama ibuk modal dikampung kan? " Entah apa yang Suli pikirkan, dia tetap ingin menjual anaknya meskipun ayahnya sudah marah. "Sudah Suli! cukup! Kalo kamu nggak mau rawat bayi ini biar ibuk sama bapak bawa dia pulang ke kampung, kamu bisa kerja di sini dan kirim uang buat anak kamu dikampung nantinya" Nenek imah akhirnya angkat bicara setelah cukup lama mendengar perdebatan antara anak dan suaminya.
Dilihatnya Suli masih diam sambil menimbang-nimbang keputusan mana yang akan perempuan itu ambil. Pada akhirnya Suli setuju untuk menyerahkan anaknya pada orangtuanya agar dirawat dikampung, masalah kiriman uang urusan gampang nantinya pikir Suli, yang penting dia bisa lepas dari belenggu anak itu. Karena sebulan lamanya mengurus anak itu sendirian rasanya ia tidak tahan, belum lagi uang kontrakan yang belum ia bayar. Memang pemilik kontrakan memberi kelonggaran waktu untuk Suli telat membayar uang sewa, namun kedepannya jika terus seperti ini bisa-bisa ia akan diusir dari kontrakan dan akan sulit mencari kerja nantinya. Biarlah urusan anak itu menjadi urusan orang tuanya, Suli akan mencoba mencari hidup baru lagi, dan mencari keberadaan laki-laki yang sudah menghamili dan meninggalkannya pergi seorang diri sampai hari ini.
___
Sesampainya di desa kedatangan Kakek Adi dan Nenek Imah yang membawa bayi menjadi perbincangan para tetangga, bayi siapa yang dibawa pulang, padahal dari kabar yang didengar Kakek Adi dan Nenek Imah pergi ke kota hanya untuk menjenguk Suli yang sedang sakit. Tapi kenapa sekarang pulang-pulang malah membawa bayi. Pertanyaan-pertanyaan itu berani di utarakan dalam hati saja oleh para tetangga, mengingat Kakek Adi dan Nenek imah adalah orang yang dituakan di kampung itu.
Sejurus kemudian, Nur yang merupakan anak bungsu laki-laki Nenek Imah yang berarti dia adalah adiknya Suli, datang dan menanyakan perihal bayi itu, "Bayi siapa ini pak buk? kok dibawa kesini" tanya Nur penasaran, "Ini anaknya Suli, cantikkan? dia perempuan lo Nur, akhirnya ibuk punya cucu perempuan juga" jawab Nenek Imah dengan sumringah. "Anaknya Mbak Suli? kapan Mbak Suli nikahnya buk? Kalopun nikah kok aku ngga ada denger kabar apa-apa, terus orang tua bayi ini mana?" Nur yang kaget mendengar jawaban Nenek Imah memberondong orang tuanya dengan pertanyaan.
Pasalnya yang dia tahu, kakak perempuannya itu berangkat ke kota untuk mencari kerja, dan sampai hari ini ia belum mendengar kabar apapun lagi dari kakaknya. Tapi setelah orangtuanya berkunjung kesana mereka pulang membawa bayi dan mereka bilang ini bayi dari Suli, kakaknya. "Mbakmu nggak bisa ikut pulang Nur, kerjaannya nggak bisa ditinggal, jadi biar ibuk bawa bayinya aja. Kasian kalo harus ditinggal sendirian dikontrakan sementara mbakmu kerja" jawab Nenek Imah. Namun bukannya puas dengan jawaban ibunya, Nur malah dibuat semakin bingung. Kakek Adi yang tau kalau anak laki-lakinya ini masih bingung kemudian menimpali "Gini Nur nanti bapak jelasin semuanya, sekarang mintain pisang susu ke istrimu biar ananta bisa makan, kasian dia pasti lapar"
Dengan rasa penasaran yang belum habis Nur pun pulang kerumahnya mencari pisang susu kepunyaan anaknya yang juga masih bayi untuk diberikan kepada bayi yang katanya anak dari kakaknya itu. Setelah memberikan pisang Nur kemudian menuntut penjelasan kepada ayahnya "Sekarang bapak jelaskan, itu anak siapa, bapaknya dimana dan kenapa malah sekarang bapak sama ibuk yang bawa pulang? " cecar Nur kepada Kakek Adi, "Kamu duduk dulu.. " Kakek Adi kemudian menjelaskan semuanya mulai dari awal keberangkatan Suli ke kota lalu siapa ayah dari bayi itu dan bagaimana keadaan Suli di kota. Serta alasan kenapa Kakek Adi dan Nenek Imah membawa bayi itu pulang.
Mendengar penjelasan dari sang ayah, bukannya Nur merasa lega justru ia malah berang dan tersulut emosi, "Apa-apaan, nggak bisa gini pak. Itu anaknya Mbak Suli sama laki-laki itu kenapa harus bapak sama ibuk yang rawat. Selama ini aja ibuk nggak pernah mau aku mintain tolong buat jagain Aji sama Ardi kalo wati lagi sibuk, sekarang kalian malah mau rawat anak nggak jelas kayak gitu? Pak, bapak udah tua ibuk juga udah tua. Kalian cuma bakal direpotin dengan adanya anak nggak jelas itu! " Kemarahan Nur bahkan sampai memancing atensi tetangga sekitarnya, mereka yang mendengar keributan dari rumah Kakek Adi mencoba mendekat untuk mencari tahu apa yang terjadi.
"Kamu sabar dulu Nur, nanti setiap bulan Mbakmu bakalan rutin kirim uang kok buat anaknya. jadi biaya hidupnya ngga semuanya bapak sama ibuk yang tanggung" jawab Kakek Adi mencoba meredam amarah putranya. "Pokoknya aku nggak mau ya pak kalo sampai anak itu ada disini, nanti dia cuma bisa ngerepotin aja. Mana anaknya biar aku buang ke kali" Dengan emosi Nur mencari keberadaan bayi itu di dalam rumah, ia ingin agar bayi itu pergi dari rumah ini. Karena tidak adil baginya ketika orang tuanya lebih sayang kepada anak yang asal-usulnya tidak jelas seperti itu, daripada kepada anak-anaknya. Melihat Nenek Imah yang sedang menyuapi bayi itu dengan pisang susu, seketika Nur merebut bayi itu dari gendongan Nenek Imah "Loh Nur mau kamu apakan anak itu, kembalikan ke Ibuk!!! " Nenek Imah terkejut bukan main ketika bayi dalam gendongannya direbut paksa oleh Nur.
"Ini anak pembawa sial! biar aku buang dia ke kali, supaya kita semua nggak apes gara-gara ada dia" jawab Nur masih diliputi emosi. "Jangan gila kamu Nur, dia anak ngga berdosa nggak tau apa-apa, kembalikan Nur!!" teriak Kakek Adi mengejar Nur yang sudah berlari keluar rumah. Salah seorang tetangga yang baru pulang dari sawah yang notabenenya masih saudara Kakek Adi segera berlari merebut bayi itu, dan membawanya lari dari Nur, tak pelak itu kejadian itu membuat ananta kecil menangis sekencanng-kencangnya. "Mak Turah kembalikan bayi itu, biar aku buang!! itu bayi pembawa sial!" tanpa diduga-duga dari arah belakang Kakek Adi menarik marah baju Nur lalu melepaskan pukulan ke arah wajahnya yang membuat Nur terhuyung ke belakang.
"Sudah gila kamu ya!! anak itu bapak yang bawa jauh-jauh dari kota supaya dia bisa hidup dengan aman dan tenang, karena dia satu-satunya cucu perempuan yang bapak punya. Tapi kamu malah mau buang dia!!" Kakek Adi merasa geram dengan anaknya yang satu ini. Nenek Imah yang melihat itu segera berlari menghampiri Nur yang masih terduduk ditanah merasakan sakit akibat pukulan ayahnya "Nur sudah Nur.. biarkan anak itu hidup, ibuk janji nggak akan ngerepotin kamu sama wati. Akan ibuk rawat sendiri, asalkan kamu nggak nyakitin anak itu, ibuk mohon Nur" Nenek Imah berbicara sambil menangis, memohon pengertian dari anak sulungnya.
Dari dalam rumah Mak Turah muncul Riani, anak Nenek Imah yang lain, kakak dari Nur, sambil menggendong ananta yang sudah tenang, ia berjalan kearah Nur. "Kamu kalo nggak mau bapak sama ibuk kerepotan ngerawat anak ini, biar aku yang ngerawat dia sampai dia dewasa! jangan pernah kamu berfikiran untuk melenyapkan nyawa manusia yang nggak berdosa!"kemudian Riani membawa pulang ananta tanpa mempedulikan tatapan orang di sekitarnya
...****************...
Hai readers 👋 Salam kenal ya, ini karya pertama author. Mohon bantuan kritik dan sarannya yaa, semoga kalian semua suka sama karya perdana author, thank u 🤗🤗
Lima tahun berlalu, bukan waktu yang lama untuk membesarkan seorang anak. Meskipun banyak hal yang sudah dilalui Kakek Adi dan Nenek Imah dalam membesarkan Ananta, rasanya baru kemarin mereka menggendong dan menimang-niman cucu kesayangan mereka itu.
Banyak hal buruk yang menimpa Ananta pada tumbuh kembangnya, dia sering terkena penyakit kulit karena dampak dari sanitasi yang kurang baik.
Maklumlah hidup di desa apalagi dibawah asuhan orangtua yang sudah sepuh dan minim pengetahuan tentang pengasuhan bayi yang baik.
Tidak hanya itu, Ananta juga tidak seprti anak-anak seumurannya. Jika anak-anak lain diusia 1 tahun atau 1 tahun lebih sedikit sudah bisa berjalan, berbeda dengan Ananta.
Dia baru bisa berjalan diusia 2 tahun lebih, itu juga karena faktor nutrisi yang dia dapatkan kurang banyak, dan makanan yang dia makan kurang bergizi.
Tapi Nenek Imah bersyukur, Ananta tumbuh menjadi anak yang penurut dan mengerti dengan keadaan kakek neneknya. Meskipun baru berusia 5 tahun, tak jarang Ananta ikut Nenek Imah atau Budhe Riani ke ladang mencari kayu bakar, yang nantinya akan digunakan untuk memasak.
Seperti pagi ini, disaat anak-anak lain sudah dipersiapkan oleh orang tuanya untuk pergi bersekolah di TK, Ananta dengan langkah kecilnya berjalan riang mengikuti Budhe Riani ke ladang orang untuk mencari kayu bakar.
Sampai pukul 9 mereka baru pulang dari ladang, bertepatan dengan anak-anak pulang sekolah. Budhe Riani bukan tidak ingin menyekolahkan Ananta, tapi dia tidak punya biaya untuk itu.
Selama ini apa yang dikatakan Suli bohong, dia bilang akan rutin mengirim uang untuk Ananta tapi sampai hari ini, sepeserpun tidak pernah ada uang yang diterima Ananta dari ibunya.
Setelah lelah mencari kayu dengan budhenya, Ananta beristirahat sambil menemani Nenek Imah membersihkan beras yang baru digiling tadi.
Sementara Budhe Riani pergi ke warung untuk membeli tempe dan minyak goreng, sepulangnya dari warung Ia memilih untuk istirahat di rumah Nenek Imah.
Setelah hari cukup sore Nenek Imah membangunkan Budhe Rianai, tujuannya agar Budhe Riani segera memasak untuk makan malam nanti.
"Ni, Riani, sudah sore bangun nggak jadi masak kamu. Tadi kayaknya beli tempe" ujar Nenek Imah membangunkan anaknya, tapi yang dibangunkan diam tidak bergeming.
"Ni bangun nanti kesorean kamu bikin makannya" tetap tidak ada sahutan.
Ditaruhnya tampah yang digunakan Nenek Imah untuk membersihkan beras lalu berjalan ke dipan diruang tamu untuk membangunkan anaknya. "Ni bangun, sudah sore ini lo. Ya Allah Riani!!!" Betapa terkejutnya nenek Imah saat membalikkan tubuh anaknya yang saat itu posisinya tidur miring, darah bercampur nanah keluar dari hidung, mulut, dan juga telinga Riani.
"Bangun nduk!! Riani bangun!!! kamu kenapaa!!!"
Sontak saja teriakan Nenek Imah membuat orang-orang berdatangan ke rumahnya untuk melihat apa yang terjadi, Nur yang melihat kondisi kakak perempuannya begitu syok.
Dia segera menghubungi petugas kesehatan terdekat untuk memastikan bagaimana kondisi kakanya. "Innalillahi wainnailaihi roji'un, Bu Riani sudah tidak ada pak" ucap petugas kesehatan itu.
"Tidak Riani!!!"
Seru Nenek Imah seketika Ia pingsan diatas jasad anaknya. Ananta yang saat itu masih belum mengerti arti dari kematian hanya bisa menangis lantaran melihat neneknya menangis.
___
Kejadian yang menimpa Budhe Riani tentu menjadi musibah yang tidak bisa diterima oleh keluarga besar Nenek Imah terutama anak-anak budhe Riani. Mereka tidak percaya jika ibunya sudah tiada.
Bagaimana tidak, Selama ini Budhe Riani tidak pernah mengeluh sakit apapun, bahkan sebelum kematiannya sempat mencari kayu bakar dan mempersiapkan bahan makanan.
Siapa yang mengira wanita yang usianya belum mencapai 50 an tahun itu akan meninggal secepat ini bahkan tanpa meninggalkan firasat apapun.
Setelah tujuh hari kematian budhe Riani, Nur mengumpulkan anggota keluarga kecuali ayah dan ibunya, yaitu Kakek Adi dan Nenek Imah.
Tujuannya kali ini adalah untuk menghasut saudara-saudaranya agar membenci Ananta.
"Kematian mbak Riani bukan hal yang wajar, mana ada orang sehat bugar tiba-tiba dia meninggal mendadak. Ini pasti ada hubungannya dengan anak pembawa sial ini!" tunjuk Nur kepada Ananta kecil.
Ananta hanya mendengarkan saja apapun yang mereka omongkan sambil bermain kertas bekas bungkus bawang, dia tidak mengerti sama sekali bahwa dari sinilah nantinya semua anggota keluarga akan membencinya mati-matian.
"Mulai hari ini jangan ada yang membantu anak ini dalam hal apapun, benci anak ini karena dia yang sudah menjadi sebab kematian mbak Riani, dan dia cuma beban yang ditinggalkan orang tuanya untuk kita." ucap Nur menggebu-gebu.
"Kamu benar Nur, kalau orang tuanya saja tidak mau merawat dia kenapa harus kita yang kesusahan membantu hidupnya" Pakdhe yuri yang sedari tadi diam ikut menimpali.
Tahun berlalu Ananta sudah bersekolah di jenjang sekolah dasar, dia tumbuh menjadi murid yang cerdas dan memiliki jiwa sosial yang tinggi. Semakin hari pula Ananta semakin mengerti bagaimana dirinya dimata keluarganya yang lain.
Dia sadar tidak ada yang menyukainya kecuali hanya Nenek Imah dan Kakek Adi. Karena itu Ia bertekad untuk bisa bersekolah dengan baik selalu berprestasi agar dia bisa membuat kakek dan neneknya bangga.
Selama ini, banyak sekali percobaan yang Nur lakukan untuk melenyapkan nyawa Ananta ketika anak itu sedang sendirian dirumah, tapi selalu gagal.
Kakek Adi mengetahui rencana Nur anaknya, oleh karena itu kemanapun Kakek Adi pergi, Ananta akan selalu dibawa, dia tidak mau terjadi sesuatu yang buruk pada cucu kesayangannya.
Di penghujung tahun Ananta menempuh pendidikan sekolah dasar, yaitu kelas 6. Dia bercita-cita bisa melanjutkan ke sekolah favorit di kecamatan, namun dia juga sadar akan kondisi perekonomian kakek neneknya.
Bersekolah di sekolah favorit tentu dia harus menempuh perjalanan jauh, dan membutuhkan kendaraan. sedangkan saat ini jangankan untuk membeli kendaraan untuk makan saja susah.
Bahkan kadang tidak jarang Ananta dan kakek juga neneknya hanya makan ubi dari hasil menggarap ladang orang. Sapi yang dulu sempat dipelihara sudah dijual untuk melunasi biaya pemakaman dan segala macam keperluan kematian budhe Riani sampai tujuh hari.
Untuk bersikap egois rasanya Ananta tidak tega, meskipun para guru disekolahnya mewanti-wanti agar Ananta meneruskan ke sekolah favorit, karena sayang jika kecerdasan Ananta tidak didukung dengan sarana belajar yang memadai.
Pernah suatu hari Ananta mengutarakan keinginannya untuk melanjutkan sekolah ke sekolah favorit "Mbah nanti kalo Danem aku udah keluar kita coba seleksi masuk SMP favorit ya mbah, aku pingin banget ngerasain sekolah di sekolahan yang bagus"
Kakek Adi yang mendengarnya hanya bisa diam termenung, sementara Ardi anak Nur yang juga kebetulan ada disana menjawab
"Haduh bisanya cuma nyusahin aja, orang tuamu itu suruh pulang ngurusin kamu jangan cuma nyusahin kakek sama nenekku aja. Emang dasar anak pembawa sial!"
Deg..
Seperti dihantam batu rasanya, sakit hati Ananta mendengar penuturan Ardi, selama ini Ia kira Ardi bisa menerima dia sebagai saudara karena sikap Ardi tidak sedingin saudara-saudaranya yang lain, namun anggapannya kali ini salah.
"Aku bukan anak pembawa sial!!"
Lantang Ananta mengucapkan kalimat itu kemudian dia berlari masuk kedalam kamarnya, menangis sesenggukan sambil memanggil-manggil ibunya.
"Kenapa buk, kenapa harus aku? Aku salah apa? Kenapa ibu ngga pulang dan bawa aku pergi dari sini, aku kangen sama ibu" sambil menelungkupkan wajahnya, Ananta mengeluarkan unek-unek yang Ia rasakan.
Pada akhirnya Ananta memilih untuk bersekolah di sekolah swasta dikampungnya,
"Ya udah mbah aku sekolah di SMP sini aja ngga papa, kan deket bisa jalan kaki berangkat sama pulangnya, irit ongkos.Sekolah dimana aja juga sama mbah, mau sekolah di kecamatan ataupun disini juga sama aja, tinggal gimana niatnya aja, nanti udah sekolah jauh-jauh malah nggak niat cari ilmu kan percuma buang-buang uang" tutur Ananta kepada Kakek Adi
"Bener nduk, mbah minta maaf ya nggak bisa kasih kamu pendidikan terbaik. Mbah cuma bisa berdoa supaya nanti kamu pinter sekolah sama ngajinya biar bisa bikin bangga mbah sama mbok" jawab Kakek Adi, sebenarnya Ia merasa kasihan pada cucunya.
Dia anak yang baik, penurut dan juga cerdas, tapi tidak mendapat kehidupan yang layak. Bahkan makan saja, tak jarang Kakek Adi harus menahan lapar demi bisa melihat Ananta makan. Setiap malam hanya doa yang bisa orang tua itu panjatkan untuk cucunya, harapaannya semoga kelak dia bisa bertemu lagi dengan orang tuanya dan mendapat kehidupan yang lebih baik dari sekarang.
...****************...
Awal tahun pelajaran baru bagi Ananta, kini Ia sudah memasuki jenjang pendidikan SMP, seperti keputusannya sebelumnya, Ia melanjutkan bersekolah di sekolah swasta dikampungnya.
Beruntung Ia punya teman-teman yang selalu mengerti kondisinya, fita dan eva selalu berangkat bersama-sama dengan Ananta, mereka sengaja jalan kaki dan tidak mau diantar orang tuanya naik motor, agar bisa menemani Ananta jalan kaki ke sekolah.
Alasan yang mereka berikan cukup masuk akal, sekalian olahraga katanya supaya tidak mengantuk sewaktu pelajaran.
Padahal mereka bertiga seringkali bolos jam pelajaran, hanya untuk tidur dimushola sekolah yang dekat dengan kantin.
Tapi bukan Ananta namanya jika tidak bisa mengukir prestasi, dia selalu bisa mendapat juara umum setiap tahunnya sampai ia lulus kelas 3 dengan nilai ujian sekolah dan ujian nasional paling tinggi di semua kelas.
Hari wisuda sudah ditentukan, dan para murid diwajibkan untuk membawa orang tua masing-masing, diutamakan ibu mereka untuk bisa turut serta hadir di acara wisuda.
Karena nantinya akan diadakan acara sungkem dan pemberian bunga ke orang tua, sebagai tanda terimakasih karena telah mendidik dan merawat serta membesarkan mereka sampai hari ini.
Para murid sangat antusias menanti hari itu datang, para siswi bahkan ada yang merencakan untuk menggunakan warna baju senada dengan ibu mereka.
Namun euforia menyambut hari wisuda itu justru menjadi masalah yang saat ini dibingungkan oleh Ananta, Wisuda kurang lebih tinggal 12 hari lagi, dan Kakek Adi dalam keadaan sakit, bahkan untuk bangun saja susah.
Beberapa hari lalu Kakek Adi sempat tidak sadarkan diri dan dilarikan ke rumah sakit terdekat, beliau harus menjalani perawatan selama 6 hari lamanya lantaran pembuluh darahnya mengalami kerusakan. Hal itu yang menyebabkan Kakek Adi sampai stroke dan hanya bisa berbaring dikasur.
Setiap harinya Ananta lah yang akan merawat Kakek Adi, mulai dari membersihkan tubuhnya, menyuapi makanan dan memberikan obat, semua Ia lakukan sendirian sebelum berangkat sekolah.
Tak jarang Ananta menangis ketika membersihkan tubuh kakeknya, karena terlalu lama berbaring punggung Kakek Adi sampai lecet, ada juga yang lukanya lebih parah.
Ananta menangis, Ia takut kehilangan laki-laki tua pelindungnya itu, tidak bisa dia bayangkan akan seperti apa hidupnya nanti jika kakeknya dipanggil oleh yang maha kuasa.
Disaat keadaan kakeknya yang seperti itu, Ananta bingung harus membawa siapa keacara wisudanya nanti. Membawa Nenek Imah tentu tidak bisa, neneknya tidak mengerti baca tulis.
Yang ditakutkan nanti kalau wali murid diminta untuk menuliskan apa-apa sebelum proses wisuda, selain itu juga wanita itu selalu menolak jika harus menggantikan suaminya menghadiri acara wali murid disekolah cucunya.
Sepulang sekolah, dengan memberanikan diri Ananta mencoba untuk menemui bulek wati, istri paklek Nur yang sangat membencinya.
Ananta sudah tau pasti apa nanti jawaban pasutri itu ketika dimintai tolong olehnya, namun dia tidak mau mendahului takdir Tuhan, siapa tau ada malaikat yang meniupkan hawa dingin kehati paman dan bibinya sehingga mereka mau membantu Ananta.
"Bulek, permisi, bulek" seru Ananta memanggil wati dari pintu dapur rumah wati.
"Ada apa, mau nyusahin apalagi kamu ha?" belum apa-apa jawaban wati sudah menusuk telinga Ananta.
"Anu bulek, emm..nanti mau minta tolong buat gantiin mbah wali murid pas wisuda bisa nggak bulek" ujar Ananta sembari menunduk takut untuk mengangkat wajahnya.
"Kan udah dibilangin ngga usah sekolah, nyusahin aja kan sekarang bisanya" Ardi yang kebetulan sedang makan di dapur menjawab perkataan Ananta dengan kalimat pedasnya.
"Hus!! udah makan aja kamu, jangan ikut-ikut" sanggah bulek wati.
"Sekarang gini deh kamu telpon aja ibu kamu suruh pulang bisa nggak? sekalian suruh rawat itu bapaknya yang udah sakit-sakitan. dari kecil digedein udah gede ngga tau diri, ya ibu kamu itu. tunggu disini kamu!" sejurus kemudian wati berlalu kedalam rumahnya mengambil sesuatu.
"Nih nomor telpon ibu kamu, kamu telpon sendiri terserah mau pake HP siapa, yang jelas kamu suruh dia pulang. Nanti kalo H-1 ibu kamu ngga juga pulang, saya gantiin wali muridnya", setelah mengatakan itu, wati menutup pintu dapurnya cukup keras sampai Ananta terhenyak.
Dilihatnya sobekan kertas bertuliskan nomor telpon yang katanya milik ibunya itu. Tiba-tiba hatinya bergemuruh senang bercampur ingin marah.
Ia senang karena akhirnya punya nomor telpon ibunya dan sebentar lagi bisa mendengar suara wanita yang selama ini dirindukannya, namun Ia juga marah jika teringat ibunya yang tidak pernah pulang, seolah-olah tidak pernah ada dirinya dihidup wanita itu.
Gegas Ananta pergi kerumah fita, sahabatnya, karena hanya dia yang punya HP pribadi, diantara dia fita dan eva memang fita lah yang paling berada, tak heran jika fita punya ponsel pribadi sedangkan teman-teman yang lain belum ada yang punya.
Ananta bersyukur fita adalah teman yang baik, Ia mau meminjamkan HP nya kepada Ananta untuk telfon.
Percobaan pertama tidak ada tanda-tanda panggilannya diterima oleh ibunya, Ananta mencoba lagi, berharap ibunya akan mengangkat telfonnya kali ini.
"Ya halo siapa ini? " Dan benar saja, suara seorang wanita terdengar dari seberang sana.
"Halo buk, ibuk ini aku ananta buk. Ini ber ibuk Suli kan, ibuk aku?" dengan senyum terkembang ananta menjawab pertanyaan ibunya.
"Ooh.. iya iya ini Ananta ya? Kamu kok bisa tau nomor ibuk dari siapa? terus pakek HP siapa kamu?" Jawaban Suli diseberang sana terdengar tidak seantusias Ananta.
Padahal sudah belasan tahun Ia tidak pulang dan tidak mendengar kabar anaknya, tapi kali ini dia terdengar biasa saja.
"Tadi aku dikasih bulek wati buk, aku pinjem HP tetangga. Buk ibuk pulang ya, kakek sakit keras nggak bisa ngapa-ngapain. Sebentar lagi aku juga mau wisuda sekolah, aku pingin banget ibu bisa ada dihari wisuda aku"
Suara Ananta terdengar gemetar namun bercampur bahagia, matanya bahkan sampai berkaca-kaca, baru kali ini Ia mendengar suara ibunya. Dan bisa bercengkrama untuk pertama kalinya sepanjang ini.
"Mbahmu sakit? sakit apa, kok baru ngabarin ibuk sekarang?" ada rasa khawatir yang mendera dihati Suli ketika mendengar kabar bahwa ayahnya sakit.
"Mbah sakit stroke buk, kemarin dirawat dirumah sakit. sekarang dirawat dirumah. Ibuk pulang ya buk"
"Ya nanti ibuk pulang. Kapan emangnya hari wisuda kamu?"
"Sebentar lagi buk, 12 hari lagi. Ibuk beneran pulang kan? aku kangen banget sama ibuk" sambil tersenyum senang Ananta memberitahukan kapan tanggal wisudanya akan dilaksanakan.
"Iya, iya nanti ibuk pulang. Udah ya kapan-kapan telpon lagi. Ibuk udah harus kerja lagi"
Tuuutt.. tuuutt...
Panggilan diputuskan sepihak oleh Suli, bahkan sebelum Ananta mengucapkan salam dan mendoakan keselamatannya. Namun bagi Ananta mendengar kabar bahwa ibunya akan pulang dihari wisudanya itu sudah sangat membuat hatinya bahagia.
"Fit, terimakasih ya. Akhirnya ibu aku bisa pulang fit, aku seneng bangettt" sembari mengusap air matanya Ananta bercerita kepada fita tentang kabar gembiranya.
"Waah mbak aku ikut seneng dengernya, nanti aku juga pingin tau ah ibunya mbak Ananta kayak apa, kita kan belum pernah tau".
"Iya, kalo gitu aku pulang dulu ya, mau makan laper."
"Oke mbak".
___
Hari ini adalah H-1 pelaksanaan wisuda, disekolah Ananta sudah disiapkan panggung dan juga pernak-pernik lainya yang akan digunakan untuk pelaksanaan wisuda besok.
Para siswa-siswi adik kelas tingkat yang ikut menyumbang penampilan dihari wisuda, hari ini juga berlatih untuk yang terakhir kalinya sebelum besok mereka tampil secara langsung didepan banyak wali murid.
Ngomong-ngomong soal wali murid, sampai hari ini Ananta tidak menerima kabar lagi tentang kepulangan ibunya.
Bahkan ketika Ananta mencoba menghubungi nomor wanita itu, nomornya sudah tidak aktif. Ananta merasa dibohongi, dia kembali bingung harus membawa siapa nanti ke acara wisuda.
Dan lagi, dia tidak punya uang untuk menyewa baju kebaya dan berdandan di salon seperti teman-temannya yang lain.
Disaat teman-temannya sedang sibuk gladiresik untuk wisuda besok, Ananta merenungi nasibnya dibelakang gedung sekolah.
Sambil menangis Ia menyalahkan takdir.
"Kenapa Gusti Allah, kenapa harus aku? Kenapa harus ibuku yang jadi sumber luka utama dihidupku ?Apa nggak bisa aku minta dilahikan kembali tapi dari seorang ibu yang baik hati!"
Putus asa rasanya, seolah dari dulu dunia tak pernah berpihak kepadanya..
"Hei.. ngapain kamu disini, ngga ikut latihan sama teman-teman kamu yang lain?"
Sebuah tepukan dipundak dan suara lembut seorang wanita, membuat Ananta melongokkan kepalanya untuk melihat siapa orang itu.
...****************...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!