Ini cerita lama banget yang kutulis 2018, jadi maafkanlah kalau labil banget aku nulis ini, wkwk. Ini aku share biar gak numpuk aja di draft jadi cerita ini buat menghibur kalian dan minim konflik kok tenang, hehe. Jangan lupa dibaca ya, like, komen, vote, sama hadiahnya ditunggu.
Bagi Isabella hidupnya sudah lebih dari cukup dikatakan sempurna. Memiliki keluarga yang begitu menyayanginya dan seorang suami tampan yang begitu mencintainya, ia sudah berada dalam lingkup impian orang lain di luar sana. Di usianya yang baru menginjak 21 tahun ia sudah harus menyandang status istri. Memiliki keluarga yang posessife terkadang membuat wanita itu merasa dikekang. Tidak bisa beraktivitas dengan bebas. Tidak jarang ia sering merasa kesal dan marah, baik pada suaminya maupun keluarganya. Entahlah ia juga tidak tahu kenapa keluarganya seposesife itu.
Benda-benda berjatuhan memenuhi heningnya dapur rumah megah itu. Wanita itu tampak bergegas memunguti benda-benda yang ia jatuhkan.
"Keras kepala," ujar suara bariton itu menghentikan aktivitas wanita tadi.
"Hehehe ...," cengir wanita itu memperlihatkan deretan giginya.
"Sudah berapa kali aku katakan ... jangan berurusan dengan dapur!"
Pria itu menarik pinggang ramping sang wanita. Menatap tajam mata cokelat wanitanya.
"Aku cuma mau buat sarapan untuk kamu," ucap wanita itu lirih.
"Untuk apa aku membayar mereka kalau kamu masih mau bekerja." Pria itu menuntun wanita itu menuju meja makan.
"Biar aku yang masak!"
Pria itu menggerakkan tangannya lincah memotong wortel dan sayur lainnya. Wanita itu bahkan takjub melihat kelihaian suaminya. Dirinya saja masih kaku memegang pisau, sedangkan pria itu begitu lihainya. Wanita itu merasa dirinya tidak berguna sebagai seorang istri. Tidak bisa apa-apa, bahkan menyapu pun tidak pernah bersih, masih meninggalkan debu di lantai.
"Harusnya aku yang melayani suami, bukan sebaliknya." Wanita itu melingkarkan tangan mungilnya ke pinggang suaminya. Menyenderkan kepalanya ke punggung lebar itu.
"Hei, tidak begitu!"
Pria itu membalikkan badannya. Merangkum pipi chuby wanita di hadapannya.
"Kak Leon pasti nyesel 'kan menikah sama aku?" tanya wanita itu lirih. Ia menundukkan kepalanya malu. Malu pada dirinya sendiri, wanita manja yang tidak bisa apa-apa.
"Tidak pernah ada kata menyesal saat Kakak menikahimu!"
Pria itu mendekap tubuh mungil wanitanya. Mengecup ubun-ubun wanita itu dengan sayang.
"Uhuk ... uhuk ...."
Suara itu mengalihkan pandangan kedua manusia yang tadi asik berpelukan. Pasangan itu mengurai pelukan mereka.
"Duh panas banget, ya?"
Lelaki yang dari tadi memperhatikan aktivitas keduanya mengibaskan tangannya. Mengipasi wajahnya yang tidak panas.
"Kak Kevin, ngapain kesini?" Isabella melepaskan pelukan mereka. Menghampiri orang yang tadi ia panggil kakak. Mengecup pipi lelaki itu tanda sayangnya, sedangkan Leon kembali melanjutkan acara memasaknya.
"Memangnya tidak boleh seorang kakak ingin menemui adiknya?" Lelaki itu balas mengecup kening Isabella.
"Bukan gitu. Kak Kevin jarang-jarang banget main ke sini, yang sering itu si penyu menyebalkan," jawab Isabella terkekeh mengingat tingkah kakak keduanya yang jika mampir menemuinya selalu ia kerjai.
"Kakak cuma mau cubit pipi chuby kamu ini." Lelaki bernama Kevin itu mencubit gemas pipi sang adik, membuat wanita itu mencibirkan bibirnya cemberut. Kenapa semua orang senang sekali mencubit pipinya?
"Kevin Alison, nyebelin!" Isabel memekik kesal ke arah kakaknya yang malah terkekeh melihat wajah cemberutnya.
"Udah Vin, nanti tambah melar itu pipi," tutur Leon sembari menyiapkan makanan ke atas meja.
"Eh, kok lo yang masak? Pembantu pada kemana?"
"Pada disuruh kerjaan yang lain sama Ibel. Niatnya tadi dia yang mau masak, tapi tidak jadi, karena gue larang," jawab Leon santai.
Isabella masih cemberut. Tidak menyentuh sarapannya sama sekali, sedangkan, kedua makhluk berjenis kelamin laki-laki itu masih sibuk dengan sarapannya. Menghiraukan wajah cemberut Isabella.
"Minta di cium itu bibir, Le!" Kevin melirik adiknya dengan terkekeh. Princes kecilnya itu masih saja sama seperti dulu, manja.
Leon menolehkan kepalanya ke arah Isabella yang cemberut. Dilihatnya sarapan wanita itu masih utuh.
"Kenapa?" Leon meletakkan sendoknya. Menyudahi sarapannya yang tersisa sedikit lagi.
"Kak Kevin nyebelin! Kamu juga!" pekik Isabella, membuat kedua laki-laki itu menutup telinga mereka mendengar suara cempreng wanita itu.
"Nyebelin kenapa?" Leon bertanya. Sedangkan, Kevin sibuk dengan ponselnya.
"Kalian cuekin aku," jawab Isabella kesal.
"Cuma itu?" tanya pria itu kembali. Perempuan mengangguk menjawabnya.
"Manja!" Kevin langsung berlari begitu melihat wajah tak bersahabat adiknya.
"Kak Kevin, nyebelin banget awas kalau ke sini lagi!" teriak Isabella. Kevin yang sudah berada di depan rumah menggelengkan kepala mendengar suara toa adiknya itu.
Kebiasaan!
...
"Ngapain kasih dasi ke Ibel, Kak?" Isabella menatap bingung Leon dengan dasi berwarna merah di tangannya.
"Pakein, Sayang!" Leon menarik pinggang wanita itu mendekat kepadanya.
Isabella menggeleng. Bukan tidak mau, tapi ia tidak bisa.
"Ibel tidak bisa, Kak!" Perempuan itu menunduk. Dia memang wanita manja, tidak tahu apa-apa!
"Kakak ajarin." Leon mengangkat dagu Isabella. Mengarahkan tangan wanita itu menuju kerah bajunya. Menuntun dengan pelan tangan wanita itu membuat simpulan hingga dasinya terpasang rapi.
"Terima kasih, sayang." Leon mengecup kening wanita itu dalam. Memberi senyum manisnya membuat wanita itu jatuh ke pelukannya.
"Ibel yang harusnya berterima kasih, Kakak mau terima aku yang manja ini." Isabella menyandarkan kepalanya ke dada bidang Leon. Bersyukur bisa memiliki pria ini. Mau menerima dirinya apa adanya. Tidak memandang semua kekurangan yang ada di dirinya.
To Be Continue....
Cinta itu tidak menuntut apapun. Ia akan menerima apa adanya. Benar kata orang, kalau cinta itu buta. Leon sudah siap dengan setelan kantornya. Diliriknya wanitanyanya itu masih meringkuk di tempat tidur.
"Bangun, sayang!" Pria itu berbisik di telinga wanita yang masih memejamkan matanya itu.
"Masih ngantuk, Kak," jawab wanita itu masih dengan mata terpejam.
"Mau bangun sekarang atau Kakak ambilin air." Leon mengancam wanita itu agar cepat bangkit dari berbaringnya. Wanita itu langsung bangkit begitu mendengar kalimat 'ambilin air'. Padahal ia masih ingin bergelung dalam selimutnya. Akhir-akhir ini ia memang susah tidur dan selalu tidur larut malam.
"Ibel masih ngantuk, Kak." Wanita itu duduk sambil mengucek matanya.
"Kakak mau kerja. Kamu nggak mau temenin Kakak sarapan?" Leon mengelus pipi chuby wanita itu.
"Aku mandi dulu. Kakak duluan saja." Isabella bangkit menuju kamar mandi. Leon menggelengkan kepala melihat kelakuan wanita itu.
¤¤¤
"Jangan nakal di rumah!"
"Iya, Kak. Jangan bawel deh." Isabella memutar matanya jengah. Leon begitu berlebihan kepadanya.
"Nggak boleh ngebantah suami!" Leon mencubit hidung mancung wanita itu. Gemas sendiri dengan wanitanya itu.
"Hemm ...."
"Ingat pesan kakak!" kembali Leon mengingatkan Isabella tentang larangan-larangannya. Wanita itu kadang lupa jika tidak diingatkan.
"Iya, Ibel ingat. Tidak boleh urusin dapur kalau sendirian, kalau mau keluar minta anter sopir. Jangan lupa makan, vitaminnya juga di minum, dan jangan ngelakuin hal-hal yang membahayakan." Isabella menyebutkan serentetan larangan yang selalu dikatakan Leon. Sampai-sampai ia hapal apa saja larangan yang diberikan pria itu.
"Pinter. Jadi kalau ngelanggar siap-siap terima hukuman." Leon mengusap ubun-ubun wanita itu.
"Yes, My darling," ucap Isabella bergelayut manja di lengan suaminya itu.
"Hati-hati di rumah!"
Kecupan di kening wanita itu mengakhiri sesi pagi keduanya. Isabella tersenyum memandang mobil Leon yang sudah keluar dari pekarangan mansion mereka.
♡♡♡
Isabella menatap kesal kakak keduanya itu. Ingin sekali rasanya ia mengambil handphone di genggaman kakaknya itu, dari tadi kakaknya itu menghiraukannya.
"Kak Sean!" panggil Isabella mengguncang tangan kakaknya itu. Diam. Lelaki itu masih sibuk dengan benda pipih berbentuk persegi panjang itu.
"Kakak!" teriak Isabella kesal di telinga lelaki itu.
"Astaga! Apa sih, Princess?"
Lelaki bernama Sean itu. Lengkapnya Sean Alison, menatap adiknya kesal. Bayangkan saja suara cempreng adiknya itu membuat telingannya berdengung. Isabella menatap kakaknya dengan cengiran begitu melihat wajah tidak bersahabat sang kakak.
"Temenin Ibel main raket, Kak." Lily bergelayut di lengan kakaknya. Menatap kakaknya dengan tatapan polos memohonnya.
"Tidak mau. Kalau kamu jatuh lagi, habis kakak diomelin suami kamu." Sean kembali mengalihkan tatapannya pada handphone di genggamannya.
"Ihh, sama Kak Leon saja takut. Nanti Ibel yang tanggung jawab deh, please!" Isabella mengedip-ngedipkan matanya berharap sang kakak bisa luluh dengan tatapannya.
"Tidak. Tidak mau dan tidak boleh main raket!" Sean menjawab tanpa menoleh ke arah Isabella yang kini wajahnya sudah cemberut kesal.
"Aku sudah besar, Kak. Bukan anak kecil lagi," sungut Isabella kesal.
"Tetap tidak boleh!"
"Nyebelin! Ibel main sama Pak Dadang saja kalau Kakak tidak mau." Wanita itu pergi meninggalkan kakaknya. Mencari keberadaan Pak Dadang si tukang kebun untuk bermain raket dengannya.
"Pak, sini sebentar deh." Isabella memanggil pria paruh baya yang sedang memangkas rumput di taman belakang itu.
"Ada apa, Non?" pria paruh baya itu bertanya sopan.
"Temenin Ibel main raket ya, Pak?" Perempuan itu menampilkan wajah memohonnya kepada pria paruh baya di hadapannya.
"Jangan mau, Pak!" suara lelaki itu membuat Isabella dan Pak Dadang menolehkan kepala mereka. Isabella memberengut kesal melihat kakaknya itu. Kenapa kakaknya yang satu ini juga menyebalkan sih?
"Kak Sean ganggu saja. Pulang sana!" Isabella memberengut kepada kakaknya.
"Main sama yang lain saja ya, Non. Bapak banyak kerjaan." Pak Dadang langsung berlalu dari hadapan Isabella dan Sean. Isabella menatap kakaknya itu dengan tatapan permusuhan. Dirinya kesal sekali. Masa main raket saja tidak boleh. Dia bosan jika tidak melakukan apapun. Akh, menyebalkan!
"Ibel, mau kemana?" Sean berteriak ketika adiknya itu berlari menjauh darinya.
"Kalian semua ngeselin! Aku bukan anak kecil lagi!" teriak Isabella berlari menuju kamarnya. Sean menghela napasnya kasar. Kenapa adiknya itu mudah sekali ngambek? Wanita kecil itu memang masih labil. Sean melangkahkan kakinya menuju kamar adiknya. Bisa gawat kalau adiknya itu tidak mau keluar dari kamar. Dan bisa-bisa dia dihajar Leon. Oh tidak!
"Princes, buka pintunya!" Sean mengetuk pintu kamar bercat putih di hadapannya. Hening. Tidak ada jawaban dari sang pemilik kamar.
"Princes ...."
"Aku tidak mau ketemu kalau Kakak tidak mau temenin aku main raket!"
...To Be Continue .......
"Aku tidak mau ketemu Kakak kalau Kak Sean tidak mau temenin Ibel main raket," ujar Isabella dari dalam kamar.
"Huh, ok," jawab Sean pasrah. Adiknya itu benar-benar keras kepala.
Tidak lama pintu di hadapannya itu terbuka. Menampilkan sosok Isabella yang kini mengembangkan senyum manisnya. Wanita itu langsung menarik tangan kakaknya dengan semangat menuju halaman belakang mansion itu.
"Ih Kak Sean, Kenapa ngopernya begitu, sih?" Isabella menggerutu kesal karena kakaknya itu mengoper bolanya rendah sekali. Sean tidak menanggapi ucapan adiknya itu. Akh, ia benar-benar malas, dengan kesal lelaki itu mengoperkan bolanya dengan pukulan keras sehingga bolanya melambung tinggi. Isabella yang ingin menggapai bola itu melompat agar raketnya menyampai bola. Namun, bukannya raketnya yang menyentuh bola, malah lututnya yang kini mencium lapangan itu.
"Aduh!" Wanita itu mengadu kesakitan. Bisa dilihat lututnya sobek karena berbenturan dengan lapangan semen itu. Sean yang tersadar begitu melihat adiknya telah berjongkok memegangi lututnya itu bergegas menghampirinya.
"Duh Dek, kenapa bisa gini, sih?" tanya lelaki itu antara cemas dan bingung. Isabella yang mendapatkan pertanyaan bodoh dari kakaknya itu menatap kesal sang kakak.
"Pakai nanya lagi. Kakak saja yang ngoper bolanya ketinggian," ucap Isabella kesal. Masih meniup-niup lututnya itu yang berdarah. Sean langsung bergerak mengangkat tubuh adiknya itu masuk ke dalam mansion. Mendudukkannya di sofa ruang tengah.
"Lho, Den, Nyonya Ibel kenapa?" tanya Bu Grey salah satu pelayan di mansion itu.
"Tolong ambilin kotak obat, Bu!" perintah Sean berjongkok meniup-niup lutut adiknya yang berdarah itu. Isabella menatap haru perhatian yang kakaknya itu berikan.
"Sakit tidak, Dek?" tanya Sean begitu mulai membersihkan darah di lutut Isabella dengan cairan alkohol. Isabella hanya menggigit bibir bawahnya menahan perih di lututnya itu. Meski ia manja, bukan berarti ia perempuan yang cengeng. Bahkan luka sebesar pun ia tidak pernah menangis.
"Kakak tadi sudah bilang jangan main raket, kamunya bandel," celoteh Sean begitu selesai mengobati lutut Isabella. Lelaki itu ikut duduk di sofa samping adiknya itu. Menyandarkan tubuhnya menepis pusing yang tiba-tiba datang. Ini pasti karena ia melihat darah di lutut Isabella tadi.
"Kak ...." Isabella menyenggol lengan kakaknya itu yang sedang memejamkan mata.
"Ada apa?" tanya Sean tanpa membuka matanya.
"Maaf," ucap Isabella pelan. Kakaknya itu pasti sedang pusing. Kakaknya yang satu ini memang tidak bisa melihat darah sedikitpun, karena ia akan pusing.
"Tidak ada acara main raket lagi setelah ini!" seru Sean menegakkan tubuhnya. Menatap adiknya itu penuh peringatan, sedangkan Isabella yang menerima peringatan itu menghela napas kasar. Akh, berlebihan!
***
Malam mulai menyelami peraduan. Wanita itu nampak nyenyak tidur di kasurnya. Tidak peduli jika awan biru telah berganti hitam. Tidak lama pintu kamar itu terbuka, menampilkan sosok pria dengan kemeja yang sudah ia gulung sampai lengan. Jas hitamnya tersampir di bahunya. Ia mengukir senyum begitu melihat wanitanya itu tidur damai. Dihampirinya ranjang tempat wanita itu meringkuk. Diusapnya pelan pelipis wanita itu. Lalu dikecupnya lama kening wanita itu. Wanita itu nampak terusik, hingga mata indahnya itu terbuka perlahan. Netranya langsung menangkap wajah tampan yang sedang menatapnya itu dengan senyuman.
"Kapan Kakak pulangnya?" tanya wanita itu khas orang baru bangun tidur.
"Baru saja," jawab Leon membenarkan rambut wanita itu yang nampak berantakan. Isabella bergerak membantu pria itu untuk melepaskan kemejanya. Ya, setidaknya ia mampu untuk melakukan ini.
"Kamu sudah makan?" tanya Leon memperhatikan wajah istri kecilnya itu yang nampak serius.
Isabella menjawab dengan gelengan kepala. Leon menatap tajam istri kecilnya itu. Akh, wanita ini sering sekali melupakan makannya.
"Maaf, Ibel ketiduran," jawab wanita itu sesekali meringis begitu ia melangkahkan kakinya menuju tempat pakaian kotor. Tentu saja ia meringis, tadi siang lututnya terluka.
"Kenapa sama kaki kamu?" tanya Leon begitu melihat cara berjalan Roshni yang kesulitan.
"Tidak apa-apa kok, cuma keram biasa," jawab Isabella sedikit gugup. Takut-takut kalau pria itu tahu apa yang terjadi dengan lututnya, habislah dia diomelin pria itu. Leon mengendikkan bahunya, berlalu masuk ke kamar mandi. Isabella menghela napas lega karena Leon tidak curiga. Ia duduk di pinggir ranjang, menyingkap sedikit dress yang ia gunakan. Dilihatnya lututnya itu membiru. Ia bergidik ngeri, kenapa bengkak gini? Dia pasti akan susah berjalan untuk beberapa hari ini. Huh! Kalau saja ia lebih berhati-hati mungkin lututnya masih sehat-sehat saja.
Leon keluar dari kamar mandi dengan wajah yang lebih segar. Tidak didapatinya Isabella di kamar. Mungkin wanita itu sudah turun menuju dapur. Leon melangkahkan kakinya itu menuruni tangga. Berjalan menuju dapur mencari keberadaan istrinya. Dapat dilihatnya wanitanya itu duduk anteng di kursi menunggunya.
"Maaf, lama!" Dikecupnya pipi chubby wanita itu. Menarik kursi di samping wanita itu. Isabella mengambilkan nasi untuk Leon. Ditahannya sakit di lututnya karena harus berdiri menjangkau lauk yang berada sedikit jauh.
"Terima kasih, Sayang." Leon menerima piring yang disodorkan Isabella. Isabella menghela napasnya kasar, langsung mendudukkan kembali dirinya di kursi.
Sepuluh menit dihabiskan keduanya menyantap makan malam mereka. Isabella bergerak ingin membereskan piring bekas mereka makan, tapi Leon sudah menghentikannya.
"Tidak usah, biar pelayan saja yang beresin." Belum sempat Isabella mejawab pria itu telah menggendong wanita itu menaiki tangga menuju kamar.
"Kak, Ibel bisa jalan sendiri," gerutu wanita itu meminta diturunkan, tetapi Leon tidak mempedulikannya, terus menaiki tangga menuju kamar mereka. Begitu sampai di kamar, ia mendudukkan Isabella di pinggir ranjang. Menyingkap dress wanita itu membuat Isabella memekik karena kaget dengan apa yang Leon lalukan. Hati Leon mencelos begitu melihat lutut putih wanita itu kini membiru. Kenapa wanita ini tidak jujur dengannya? Antara marah dan cemas melanda dirinya.
"Kenapa bisa seperti ini?" tanya Leon dingin.
"Ehmm ... tadi jatuh waktu main raket," jawab Isabella menunduk. Takut dengan aura yang dikeluarkan pria itu. Leon mendengus kasar, berlalu dari kamar.
Isabella membaringkan tubuhnya. Menatap langit-langit kamar. Huh, pria itu pasti akan mendiamkannya karena ia sudah tidak mau jujur. Bodoh! Kenapa tidak jujur saja tadi? Tidak lama mata wanita itu terpejam karena ngantuk menguasainya. Padahal wanita itu baru bangun tidur 1 jam lalu dan sekarang ia sudah tertidur lagi.
Leon masuk ke kamar mereka setelah usai menelepon dokter untuk datang ke mansionnya. Ia mengernyitkan dahi begitu mendapati Isabella yang sudah memejamkan matanya. Napasnya teratur, benar-benar tidur rupanya. Tapi cepat sekali ia tidur. Perasaan ia hanya meninggalkan wanita itu 10 menit.
...To Be Continue .......
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!