Pagi itu.
Seorang gadis muda baru saja memasuki kamarnya dengan raut wajah kesal, ia membanting tasnya, sesekali menggerutu dan merutuk dalam hati.
"Kenapa sih dia selalu saja melarangku melakukan apapun yang ku mau!" dengus si gadis muda itu yang bernama Mei Chen.
Tak berapa lama kemudian, seorang pria mengenakan jas rapih memasuki kamar gadis tersebut dengan raut wajah garangnya.
"Mau apa kesini? Bukankah kau harus segera pergi ke kantor!" sergah Mei Chen mengusir.
"Ya, tapi setelah aku mengantarmu ke kampus," balas Yuan.
"Tidak perlu, aku bisa pergi sendiri!" ketus Mei Chen.
"Pergi sendiri atau pergi bersama dengan teman pria mu itu?" cecar Yuan tidak senang.
"Berisik! Dengan siapa aku pergi, itu bukan urusanmu!" balas Mei Chen galak.
"Mei, jangan mulai lagi. Sudah berapa kali aku katakan, kau tidak boleh pergi bersama dengan Nicole!" larang Yuan gusar.
Mei Chen menatap Yuan tajam. "Nicole itu pacar aku Yuan! Terserah aku dong mau pergi sama dia kemanapun juga!" tekannya.
"Tidak boleh! Nicole itu bukanlah pria yang baik, karena dia selalu saja membawa pengaruh buruk untukmu! Jadi Mei, aku melarangmu untuk tidak berhubungan lagi dengan pria itu!" kecam Yuan menasehati.
"Kau selalu saja melarangku melakukan apapun yang aku mau dan kau seperti orang yang tidak suka saja jika aku dan Nicole bersenang-senang. Apa sih yang sebenarnya kau inginkan?" tanya Mei Chen tidak suka dinasehati.
"Aku ingin kau memutuskan hubunganmu dengan Nicole!" tegas Yuan penuh penekanan.
Mei Chen yang tidak terima dengan nasehat Yuan dan kesal karena Yuan selalu saja ikut campur dengan masalah pribadinya pun akhirnya mengusir Yuan dengan mendorongnya keluar dari kamar pribadinya.
"Pergi dari sini dan keluarlah dari kamarku pria breng-sek!" usir Mei Chen marah, sesekali mengumpat kasar. Bahkan ia tidak segan mendaratkan beberapa pukulan pada dada Yuan sebagai bentuk protes.
Yuan tentu berubah murka, ketika saudari tirinya itu telah berani mengatainya dengan kata-kata kasar, bahkan terus saja memukulinya.
Dengan cepat pria itu mencekal kedua pergelangan tangan Mei Chen agar berhenti mendorongnya.
"Berhenti melakukan itu padaku Mei! Aku melarangmu agar tidak berhubungan lagi dengannya itu semua demi kebaikanmu sendiri!" jelas Yuan membujuk Mei Chen agar mengerti.
"Apa yang baik untukku, Yuan? Kau bukan Daddy, bahkan kau bukan kakak kandungku! Jadi ku mohon berhentilah mengurusi urusanku dan jangan pernah ikut campur masalah pribadiku lagi!" sentak Mei Chen emosi.
Yuan mengeraskan rahangnya dan menatap tajam Mei Chen yang tidak kalah tajam menatap dirinya. "Apa kau lupa dengan perkataan Daddy sebelum dia berangkat ke luar negeri untuk mengurus bisnisnya hem?" tanya Yuan. "Daddy telah mempercayaiku untuk menjagamu selama ia pergi," ucapnya mengingatkan.
"Lalu? Apa dengan perintah Daddy seperti itu kau bisa bersikap seenaknya padaku, hah? Kau selalu saja ikut campur masalah pribadiku dan juga merusak kesenanganku bersama dengan Nicole. Kau sama sekali tidak berhak!" tekan Mei Chen.
"Mei, aku tidak melarangmu untuk bersenang-senang. Tapi Daddy sendiri yang melarangmu agar tidak berhubungan lagi dengan Nicole, karena pria itu lah yang selalu membuatmu bolos kuliah dan akibatnya kau belum juga jadi sarjana hingga saat ini!" jelas Yuan.
"Jangan pakai alasan itu untuk melarangku Yuan, buktinya Daddy tidak pernah melarangku untuk bergaul dengan siapapun!" balas Mei Chen mendorong Yuan agar menyingkir dari jalan. Lalu berhenti sejenak untuk melihat saudara tirinya itu sebelum pergi.
"Oh iya, daripada sibuk mengurusi urusanku, lebih baik kau urus dirimu sendiri. Bukankah kau akan menikah dengan wanita seksii di kantornya Daddy? Bagaimana kalau kau urusi saja dia agar tidak di ambil orang lain," ketus Mei Chen lalu pergi.
Yuan menghembus nafasnya kasar, lalu menyusul Mei Chen dan menarik pergelangan tangannya agar ikut.
"Lepaskan aku!" sergah Mei Chen tidak suka.
Namun Yuan tidak peduli, ia terus menarik lengan Mei Chen hingga masuk ke dalam mobil. "Biar aku yang mengantarmu ke kampus! Diam dan jangan bertingkah!" tegasnya.
Mei Chen memukul pintu mobil Yuan sekuat mungkin karena emosinya yang meledak, akan tetapi Yuan terus mengendarai mobilnya dan berlalu melewati seorang pria yang sedang menunggu dirinya di depan pintu gerbang mansion sejak dari tadi.
"Breng-sek!" umpat pria itu yang bernama Nicole. Lalu memutar balik motor besarnya untuk mengejar mobil yang membawa kekasihnya itu pergi.
...***...
"Berhenti Yuan! Aku ingin turun disini!" titah Mei Chen terus menerus.
"Kau belum sampai di kampus, bagaimana aku bisa menurunkanmu di tengah jalan seperti ini?" balas Yuan enggan menuruti.
Mei Chen mendengus kesal. "Aku bisa pergi ke kampus bersama Nicole, lihatlah dia mengejar kita!" tunjuknya.
"Kalau begitu kita naikkan kecepatannya," balas Yuan memacu gas pada mobilnya hingga melaju kencang.
Sontak hal tersebut membuat Mei Chen berteriak, kedua lengannya menggenggam erat apapun yang berada disekitarnya.
"Akh Yuan! Jangan mengebut! Aku belum mau mati!" pekik Mei Chen ketakutan.
Yuan berdecih geli. "Kalau begitu berdoa saja semoga kita berdua selamat sampai tujuan," balasnya tanpa takut.
"Akh Yuan! Aku akan membunuhmu setelah ini!" pekik Mei Chen memaki dan merutuk sikap buruk Yuan padanya.
...***...
Tak berselang lama kemudian, Mei Chen dan Yuan telah tiba di kampus. Begitu pula dengan Nicole yang ternyata menyusul mereka dengan cara mengebut.
Mei Chen keluar dari mobil Yuan dan membanting pintu sekuat tenaga.
BRAK!!
"Lain kali jangan coba-coba mengantar aku lagi!" kecam Mei Chen tidak main-main.
Yuan hanya tersenyum tipis, ia tidak menghiraukan amarah Mei Chen kepadanya. Karena yang terpenting baginya adalah ia telah berhasil mengantar saudari tiri lebih muda 8 bulan darinya itu sampai ke kampus dengan selamat.
"Masuklah ke dalam, aku tidak bisa pergi dari sini sebelum kau benar-benar masuk ke kelas!" titah Yuan kemudian turun dari mobilnya, sambil melirik tajam kearah Nicole yang mendekati mereka.
Mei Chen membuang wajahnya kasar dan berlalu begitu saja tanpa bisa menyapa Nicole, karena Yuan membuat penghalang diantara mereka berdua.
"Pria breng-sek! Kau sangat menjengkelkan, aku menyesal karena punya saudara tiri menyebalkan sepertimu!" sergah Mei Chen melayangkan protesnya dan pergi masuk ke dalam kampus.
Sementara itu Nicole merasa kesal, karena keinginan untuk membawa Mei Chen ke club miliknya harus gagal lagi akibat ulah Yuan yang selalu saja mendahului dirinya.
"Aku tidak akan pernah memaafkanmu Yuan, lihat saja. Aku akan membuat perhitungan denganmu!" kecam Nicole geram. Lalu meninggalkan Yuan yang tak gentar menatap dirinya.
Setelah Nicole pergi meninggalkan kampus, Yuan baru bisa merasa tenang. Karena bukan tanpa sebab ia melakukan hal tersebut, Nicole bisa saja berbuat buruk kepada Mei Chen.
Apalagi sang ayah telah mempercayakan dirinya untuk menjaga serta mengawasi Mei Chen, selama ia mengerjakan bisnisnya di luar negeri.
...~ Bersambung ~...
PT Meitama.
Yuan menghempas raganya diatas kursi dan menghela nafas panjang sesudahnya, perilaku kasar Mei Chen kepadanya setiap hari. Membuat dirinya harus ekstra bersabar dan juga menahan emosi, serta harus pandai-pandai menekan amarahnya agar tidak berkelahi seperti yang sudah-sudah.
Pria itu tidak mengerti, kenapa perdebatan dan perkelahian selalu saja terjadi sejak mereka tinggal bersama sebagai satu keluarga. Dari umur mereka masih kecil dan pertikaian tersebut terus berlangsung hingga mereka tumbuh besar sekarang ini.
"Kenapa dia selalu bertingkah dan kenapa dia juga selalu saja membuatku emosi," gumam Yuan menghembus nafasnya kasar jika mengingat tingkah Mei Chen yang membuatnya harus ekstra bersabar.
Namun bagaimana pun sikap kasar Mei Chen kepadanya, ia tetap akan melindungi dan menjaga saudari tirinya itu dari tangan-tangan orang jahat seperti Nicolas atau yang kerap dipanggil Nicole oleh Mei Chen, sesuai dengan janjinya kepada sang ayah dan ibu sebelum mereka pergi ke luar negeri untuk menemui rekan bisnis disana.
Yuan menyandarkan punggungnya sambil memejamkan kedua mata, ia mendesis karena merasakan sakit di kepala jika memikirkan Mei Chen yang selalu saja memberontak dan tidak menurut.
Akan tetapi bukan itu saja yang membuatnya sakit kepala, melainkan sikap Mei Chen yang tidak pernah memandangnya seperti saudara sendiri, bahkan tidak memandang dirinya sebagai orang penting dalam kehidupannya.
Sehingga rasa sakit dihatinya itu melebihi rasa sakit di kepalanya saat ini.
"Aku melarangmu itu demi kebaikanmu sendiri Mei, jadi ku mohon mengertilah!" gumam Yuan pada bayang-bayang wajah Mei Chen dalam pikirannya.
Bersamaan dengan hal tersebut, seorang gadis cantik dan sekssi masuk ke dalam ruangan Yuan tanpa mengetuk pintu. Lalu melangkah menghampiri Yuan yang masih menyandarkan punggungnya pada kepala kursi dengan kedua mata terpejam.
Wanita itu tersenyum miring dan tiba-tiba saja mendekatkan wajahnya untuk mendaratkan sebuah kecupan hangat di bibir Yuan sebelum membuka mata.
Namun Yuan segera membuka kedua matanya, ketika merasakan ada hembusan nafas yang menampar wajahnya. Ia menatap datar wanita yang kini wajahnya berada dihadapannya itu dan bergegas memalingkan wajahnya sebelum bibir wanita tersebut berhasil menyentuh bibirnya.
"Caroline ... " ucap Yuan jengah. "Kenapa tidak ketuk pintu dan meminta ijin dulu sebelum masuk?" tegurnya.
Caroline tersenyum dan membelai rambut Yuan lembut. "Untuk apa ketuk pintu dan meminta ijin segala? Kau kan calon suami aku, jadi aku rasa itu tidak perlu," balasnya tidak peduli.
"Walau aku calon suamimu, tapi pikirkan juga privasiku. Aku ingin pikiranku tenang walau hanya sejenak!" tekan Yuan mengingatkan.
"Memangnya kau sedang memikirkan apa sampai pikiranmu tidak tenang begini, sayang? Apa kau sedang memikirkan aku?" tanya Caroline percaya diri.
Yuan mendorong Caroline agar menjauh dari pandangannya, lalu membenarkan posisi duduknya terlebih dahulu. "Aku sedang memikirkan pekerjaan," balasnya berdusta.
"Memikirkan pekerjaan? Jangan bohong Yuan. Aku tahu kamu pasti sedang memikirkan seseorang tadi. Katakan padaku, siapa orang beruntung yang sedang kau pikirkan?" cecar Caroline yakin dan ingin tahu.
"Sebenarnya banyak sekali yang sedang aku pikirkan, Carol. Aku memikirkan pekerjaan dan aku juga memikirkan semua anggota keluargaku," balas Yuan.
"Jadi kau tidak memikirkan aku?" tanya Caroline sedikit kecewa.
"Tentu saja aku memikirkanmu," balas Yuan berdusta karena enggan berdebat hari ini.
Caroline mendesah panjang dan memilih untuk tidak melanjutkan percakapan tersebut, setelah melihat raut wajah Yuan yang tiba-tiba saja berubah dingin.
"Ini masih pagi tapi kau sudah terlihat seperti orang yang sedang lembur seharian, apa pekerjaan pak Hendrik begitu berat sampai membuatmu terlihat berantakan seperti ini?" tanya Caroline mengubah topik pembicaraan.
Yuan mengangguk. "Kau benar, Carol. Pekerjaan Daddy yang dilimpahkan kepadaku sangatlah rumit dan berat sekali," balasnya. "Tapi itu tidak seberapa jika dibandingkan dengan pekerjaan mengurus putri kandungnya yang tidak menurut," batinnya kemudian.
"Bagaimana kalau aku membantumu mengerjakan semua ini, dengan begitu kau bisa mempunyai waktu untuk beristirahat," ucap Caroline menawarkan bantuan.
"Terima kasih, tapi itu tidak perlu, karena aku masih sanggup mengurus semua pekerjaan ini seorang diri. Lebih baik kau urus pekerjaanmu agar cepat selesai," balas Yuan menolak.
Karena ia tahu, Caroline pasti akan meminta imbalan jika ia menerima bantuan tersebut.
Seperti yang sudah-sudah sebelumnya, wanita itu benar-benar memanfaatkan kebaikan yang pernah diberikan, dengan menuruti setiap keinginannya melakukan apapun.
Contohnya saja Caroline pernah meminta Yuan untuk mencium mesra bibirnya itu sebagai imbalan karena telah membantunya mengerjakan pekerjaan.
Entah apa keinginannya kali ini berbaik hati seperti itu, namun satu hal yang pasti. Yuan tidak akan menuruti dan tidak mau hal tersebut sampai terjadi lagi.
Caroline mendengus kesal, karena kali ini ia tidak berhasil merayu Yuan untuk memenuhi keinginannya. "Ya sudah lah kalau begitu, aku mau kembali saja."
"Ya," balas Yuan datar.
Caroline berdecih, lalu keluar dari ruangan kerja Yuan dalam kondisi kecewa. Karena dalam pikirannya saat ini, ia ingin sekali mengajak Yuan untuk pergi berdua dan makan malam bersama.
Tak berselang lama kemudian, Yuan mendapatkan panggilan dari luar negeri. Ia pun segera membuka laptopnya untuk melakukan panggilan video agar dapat melihat wajah orang yang meneleponnya lebih jelas.
Dan kedua matanya seketika berkaca-kaca saat melihat ibunya yang sedang menelepon.
"Hallo Ma," sapa Yuan senang.
"Kokoh, lagi sibuk ya?" tanya Alin.
"Kokoh udah sarapan tadi, Enggak kok Mah, Kokoh lagi enggak sibuk," balas Yuan.
"Sudah sarapan belum?" tanya Alin kembali.
"Sudah sarapan tadi sebelum pergi," balas Yuan layaknya anak kecil.
"Syukurlah kalau begitu, bagaimana dengan Marlina dan Michael? Apa mereka belajar dengan benar?" tanya Alin ingin tahu.
"Mereka penurut, jadi Kokoh tidak terlalu kerepotan. Oh iya, ada apa Mama telepon?" tanya Yuan.
"Mama cuma mau tahu keadaan kalian saja, sebenernya Papa kamu sih yang mau telepon. Cuma Papa lagi mandi, katanya bagaimana sikap Mei disana, apa dia berulah lagi?" tanya Alin cemas. Takut putra dan putrinya berkelahi lagi seperti yang sudah-sudah.
Yuan menghela nafas kasar, mendengar nama Mei membuat kepalanya sakit kembali. "Ya Mei seperti biasa, dia masih belum bisa melepas Nicole."
"Apa! Dia masih berhubungan sama si pria kepa-rat itu!" serobot Hendrik yang baru saja keluar dari kamar mandi dan masih mengenakan handuk kecil yang melilit pada pinggangnya.
"Sayang, apa-apaan sih kamu. Pakai baju dulu lah!" tegur Alin mendorong suaminya untuk tidak berdiri tepat dihadapan kamera, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Seperti handuk melorot.
Yuan terkekeh, walau hatinya masih sakit sejak hubungannya dengan Mei Chen memburuk. Namun melihat kemesraan kedua orang tuanya, Yuan merasa terobati.
"Yuan, bilang pada Mei. Kalau dia masih berhubungan dengan pria itu, maka jangan salahkan Daddy nanti menikahkan dia dengan pria pilihan Daddy!" ucap Hendrik menyampaikan ancamannya untuk Mei Chen.
"Baiklah Daddy," balas Yuan patuh sambil memijat pelipisnya yang berdenyut.
Beban pikirannya semakin bertambah dan entah perang apa lagi yang akan terjadi bila ia menyampaikan hal tersebut kepada Mei Chen.
"Hem bagus, kalau gitu kita mulai bahas pekerjaan sekarang!" ucap Hendrik. Lalu membahas pekerjaan kantor melalui laptop mereka masing-masing.
...~ Bersambung ~...
Kampus.
Disisi lain, selama jam pelajaran Mei Chen selalu saja tidak fokus mendengarkan materi yang disampaikan oleh dosen karena rasa kesalnya pada Yuan.
Akan tetapi ia hanya bisa pasrah dan tidak bisa kemana-kemana, karena didalam kampusnya itu terdapat mata-mata, teman Yuan sendiri saat satu kelas dahulu.
Sehingga mau tidak mau, gadis cantik itu pun harus duduk diam dan mengikuti semua pelajaran agar tidak diadukan.
"Ini semua gara-gara dia, aku jadi terjebak di kelas bersama dosen membosankan ini!" ketus Mei Chen dalam hati.
Kekesalannya bertambah ketika Nicole selalu saja mencoba menghubungi dan mengajaknya untuk pergi dari kelas, padahal ia sendiri sudah memberitahu kalau dirinya tidak bisa diganggu barang sesaat.
"Ck! Nicole, berhentilah menghubungiku!" geram Mei Chen mematikan ponsel pada akhirnya. "Kenapa semua lelaki selalu saja bertingkah seenaknya!" gerutunya kemudian.
Mei Chen berdecak kesal dan ingin sekali rasanya kabur dari tempat tersebut, agar bisa menenangkan diri sejenak. Namun lagi-lagi ia gagal karena cctv hidup selalu memantau gerak geriknya.
...***...
Beberapa jam kemudian, semua mata pelajaran telah habis dibahas untuk hari ini dan Mei Chen bergegas membuka kembali ponselnya yang telah ia matikan.
Seketika ia merutuk dalam hati, karena kesal ketika mendapat pesan dari seseorang yang sudah ia kenal sejak masih kecil.
Setelah selesai kuliah, jangan pergi kemana-mana, karena aku akan menjemputmu dan kita akan pulang bersama. Jangan menemui Nicole atau coba-coba pergi bersamanya!
"Argh Yuan! Kau memang pria menyebalkan!" gemas Mei Chen sambil terus melangkah maju ke depan.
Dan seketika langkah kakinya terhenti, saat kedua netranya tidak sengaja menangkap sesosok pria yang sedang berdiri di depan pintu gerbang kampus dari kejauhan.
Mei Chen sontak tertegun dan berdiri mematung cukup lama memandangi saudara tirinya itu, ada perasaan kagum saat melihat pria tersebut nampak tampan dalam balutan kemeja berlengan panjang dan tergulung sampai ke sikut.
Akan tetapi, rasa kagumnya itu masih kalah besar daripada rasa kesalnya terhadap Yuan.
"Memangnya aku anak kecil harus dijemput segala," gerutu Mei Chen setibanya disebelah Yuan.
"Kau memang seperti anak kecil," balas Yuan.
Mei Chen mendengus. "Daripada kau yang sok dewasa!" cibirnya sengit.
Yuan menghela nafas panjang, tidak ingin melanjutkan perdebatan itu ia pun akhirnya mengalah. "Ayo cepat masuklah ke dalam, kita harus segera pulang!"
"Tidak perlu disuruh, aku sudah tahu!" ketus Mei Chen lalu masuk ke dalam mobil.
Setelah Mei Chen masuk duduk tenang didalam, Yuan bergegas melajukan kendaraannya menuju rumah. Dan selama perjalanan pulang, Yuan selalu saja mencuri pandangan kearah wanita cantik disebelahnya itu, yang sedang asyik memandangi ruas jalan.
Kemudian ia berpikir, ingin mentraktir saudari tirinya itu makan bersama dan berharap agar hubungan mereka sedikit membaik.
"Bagaimana kalau kita makan dulu sebelum pulang ke rumah?" ucap Yuan berinisiatif.
"Tidak perlu, aku ingin pulang saja!" balas Mei Chen menolak.
"Apa kau yakin? Padahal aku ingin mentraktirmu makan sepuasnya," balas Yuan menyayangkan.
Mei Chen terdiam dan berpikir ulang, "Apa salahnya kalau aku menerima ajakan itu? Lagipula dia sudah punya banyak uang sekarang," batinya menimbang-nimbang.
"Baiklah," balas Mei Chen setuju.
Yuan menarik senyumnya, lalu memutar kemudi untuk menuju rumah makan terdekat yang berada disekitar mereka.
...***...
Setibanya di rumah makan, Yuan segera memesan beberapa menu. Ia juga mempersilahkan Mei Chen agar memilih menu makanan yang disukai.
"Pilih saja, aku yang bayar!" ucapnya serius.
Mei Chen berdecih. "Sombong sekali," balasnya. "Baiklah, kalau begitu aku mau pesen kelapa kopyor sama steaknya 1," pesannya kemudian. Lalu mencari tempat duduk yang kosong tanpa menunggu Yuan selesai memesan makanan.
"Samakan pesananku dengan dia," ucap Yuan pada sang pelayan rumah makan. Lalu menyusul Mei Chen dan duduk bersama.
"Bagaimana dengan pelajaranmu hari ini? Apa ada tugas sulit?" tanya Yuan mencoba mencairkan suasana.
Mei Chen menggeleng. "Tidak ada tugas yang sulit, yang sulit adalah menjauhkanmu dariku!"
"Jangan berkata seperti itu, aku hanya sedang menjalankan perintah daddy saja. Jadi kuharap kamu mengerti," balas Yuan.
"Kenapa kau selalu saja menuruti perintah daddy? Apa kau tidak bosan dengan semua peraturan yang ia buat untuk mengekangku?" tanya Mei Chen.
"Menuruti perintah orang tua itu termasuk tindakan terpuji, jadi kenapa aku harus keberatan dan merasa bosan?" balas Yuan.
"Kau sangat aneh, dia bukan ayah kandungmu, tapi kau selalu saja menganggap dia sebagai ayah kandungmu sendiri," cibir Mei Chen.
"Kenapa? Apa yang salah dari semua itu? Bukankah itu bagus kalau aku bersikap berbakti kepada ayah tiriku sendiri, daripada anak kandungnya sendiri yang tidak mau menuruti bahkan enggan mematuhi perintah ayah kandungnya," balas Yuan mencibir balik.
Mei Chen tersedak ludahnya sendiri ketika mendapat balasan menohok dari Yuan, namun ia terus berusaha menghasut pria itu agar berhenti menuruti perintah sang ayah yang selalu saja melarangnya.
"Itu karena aku sangat berbeda denganmu, aku menyukai kebebasan, hidup tanpa aturan, tanpa perintah maupun larangan. Tidak seperti dirimu yang selalu saja patuh, bahkan kau sudi menjalankan bisnis Daddy padahal kau sendiri sudah tahu kalau perusahaan itu akan diwariskan kepada Michael," ucap Mei Chen tidak mengerti.
"Hidup bebas tanpa aturan hanya akan membuat orang menjadi hilang arah, seperti hidup tanpa tujuan yang tidak jelas ingin menjadi apa nantinya. Aku sudah jelas ingin membahagiakan kedua orang tuaku dan aku selalu siap melakukan apapun saat mereka membutuhkanku."
"Dan mengenai bisnis, daddy belum bisa mengandalkan Michael, karena Michael masih terlalu kecil dan dia juga masih sekolah. Jadi daddy membutuhkanku untuk membantunya dan setelah itu aku akan membantu daddy mengajari Michael jika ia sudah siap," tutur Yuan menjelaskan.
Mei Chen seketika terkesiap, ia tidak menyangka jika pria yang bukan anak kandung dari ayahnya sendiri itu lebih berbakti daripada dirinya. Ia berubah malu dan merasa tidak enak hati jika membahas masalah keluarga lagi.
"Sudahlah jangan dibahas lagi, lebih baik kita makan saja. Setelah itu aku ingin kita pulang," ucap Mei Chen menyantap menu yang baeu saja datang. Sesekali melirik kearah Yuan yang sedang tersenyum kepadanya.
"Oh iya Mei, daddy dan mommy akan tiba di rumah nanti malam. Jadi aku harap kita bisa menyambutnya dengan baik," ucap Yuan memberitahu.
"Hem, baiklah." Mei Chen mengangguk patuh dan terdiam setelahnya.
Dalam pikiran gadis itu entah bagaimana jika sudah malam nanti, karena ia sudah terlanjur membuat janji dengan Nicole ingin jalan-jalan bersama ke suatu tempat.
"Kenapa diam saja? Apa kau merencanakan sesuatu?" tanya Yuan curiga.
Mei Chen menggeleng. "T-tidak, aku tidak merencanakan apapun," balasnya berdusta.
"Mei, jangan bohong padaku. Sekarang jawab pertanyaanku ini, apa kau akan pergi dengan Nicole nanti malam?" cecar Yuan menuntut.
"Aku tidak bohong Yuan!" jawab Mei Chen dengan nada penekanan.
"Baiklah, anggap saja aku percaya padamu. Tapi ingatlah satu hal ini Mei, Daddy tidak akan memaafkanmu jika kau sampai ketahuan masih berhubungan dengan Nicole dan daddy sudah memberi peringatan untukmu melalui diriku. Daddy akan menikahkanmu dengan pria pilihannya apabila kau masih tidak menurut padanya!" kecam Yuan menekankan. Lalu menyantap lauk sisa di piring hingga habis.
Mei Chen meneguk ludahnya kasar, mendengar kecaman tersebut membuat hatinya gelisah. Akan tetapi bagaimana kalau ia sampai menolak ajakan Nicole?
Nicole pasti tidak akan melepaskannya.
...~ Bersambung ~...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!