001
Rindu
Rindu itu seperti air laut, ada saatnya pasang dan ada saatnya untuk surut.
......
London adalah kota yang terletak di benua Eropa, lebih tepatnya di negara Inggris. London bisa menjadi kota impian bagi siapa saja, terlebih kecanggihan teknologi dan juga bagunan-bagunan megah yang begitu indah dapat membuat kita betah. Siapa coba yang tidak ingin ke sana? Meski hanya berlibur dapat dipastikan tidak ada yang bisa menolak London.
Namun berbeda dengan Elvan, pemuda yang berhasil mendapatkan keberuntungan karena dapat tinggal disana. Dia justru memandang kosong kota yang selama tiga tahun ini dia tempati. Dari balkon kamarnya, hiruk-priuk kota London terlihat jelas, padat dan tidak pernah sepi. Tiga tahun sudah dia ada di sini bersama dengan sang mama juga papanya. Selama tiga tahun ini pula dia mendampingi papanya bolak-balik keluar rumah sakit. Istri papanya benar-benar pergi entah ke mana, dan semenjak satu tahun lalu papa dan mamanya rujuk.
"Masuk, Van," tegur Dara dari dalam kamar pemuda itu. Wanita paruh baya itu memandang Elvan tak tega. Ini bukanlah sekali dua kali putranya melamun di saat senja tiba. Dia tahu putranya tersiksa di sini, mungkin raga Elvan memang di depannya bersama dia dan Antonio. Namun, hati Elvan jelas tertinggal jauh di sana, di tempat di mana Elvan di besarkan.
Elvan menoleh dan tersenyum lembut. Pemuda itu mendekati sang mama dengan pelan.
"Ada apa, Ma?" tanya Elvan.
"Sudah hampir malam, gak baik di luar terus."
Elvan kembali menoleh ke belakang, memperhatikan kembali senja di ujung sana, kemudian kembali menatap sang mama. "Elvan rindu," katanya pelan.
Dara mengangguk mengerti, tangannya yang mulai ringkih menarik putranya pelan agar masuk ke dalam. Keduanya keluar kamar dan menuruni tangga menuju ruang keluarga. Di sana telah duduk seorang pria paruh baya bersama sesosok gadis cantik berambut pirang. Mereka tertawa seolah yang mereka bahas adalah hal menyenangkan.
Dara dan Elvan sampai di depan keduanya. Mereka ikut duduk bergabung pada sofa yang sama, Dara di dekat sang suami dan Elvan di dekat gadis itu.
"Pa," sapa Dara lembut.
Antonio menoleh menatap istrinya dengan penuh sayang. "Ada apa?"
Dara menatap putranya sebentar sebelum berbicara. "Elvan ingin kembali ke Indonesia," ucapnya membuat semua terkejut termasuk Elvan.
Pemuda itu tidak merasa berbicara begitu kepada mamanya. Dia memang ingin, tapi tidak berani mengatakan secara gamblang. Terlebih dia tak tega dengan kondisi Antonio, meski sudah membaik dan hampir sembuh, tetap saja sebagai anak dia khawatir jikalau sang papa kembali drop.
Antonio menatap putranya heran. "Gak betah di sini?" tanya dengan nada terdengar sedih.
Elvan menggeleng. "Bukan begitu, Pa. Elvan rindu teman-teman dan ... seseorang."
Dara mengelus pundak Antonio pelan, pria paruh baya itu tampak ingin meledakan emosinya. Antonio adalah pria emosional, di mana jiwa itu sedikit menurun kepada sang putra.
"Bukankah di sini juga punya teman? Lalu seseorang siapa maksud kamu Elvan? Clarisa bagaimana? Kamu tidak memikirkan dia?" tanya Antonio dingin dan tangannya menunjuk gadis di sebelahnya saat berkata tentang Clarisa.
"Pa, Elvan dari kecil di Indonesia. Wajar kalau Elvan rindu temannya, wajar juga Elvan masih meninggalkan hatinya di sana," bela Dara. Dia tidak mungkin membiarkan putranya tersiksa secara batin. Mungkin Elvan diam dan terlihat baik secara fisik, namun sebagai ibu dia tetap bisa merasakan bahwa sang putra tersiksa berada jauh dari gadis yang dia cinta.
"Lagian, Pa, masih syukur dia mau ikut Mama ke sini."
Antonio mengembuskan napasnya kasar. Iya Dara benar, masih untung putranya mau membantu dirinya untuk sembuh. Coba kalau Elvan tidak sabar menemaninya? Pasti dia tidak seperti sekarang. Bisa saja nyawanya telah melayang sedari tiga tahun lalu.
"Kapan kamu mau ke Indonesia?"
Elvan menatap Antonio terkejut, begitupun dengan Dara dan Clarisa.
"Boleh, Pa?" tanya Elvan memastikan. Dalam hati pun dia berharap Antonio memberikan restunya.
Antonio mengangguk dengan senyum, kemudian dia menatap Clarisa lembut. "Are you okay, Clarisa?"
Clarisa tampak mengangguk menyetujui. " Boleh, tapi kembalilah jika sudah selesai," kata Antonio tenang.
"Pasti!" jawab Elvan mantap, dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini!
.....
"AKSA!!"
Jeritan dari gadis berambut sebahu itu berhasil membuat beberapa orang menatapnya. Gadis berbaju flanel merah dengan kaos putih di dalamnya dan juga celana jeans biru tua itu berlari dengan kencang.
"KEJAR GUE KALAU BISA!" tantang Aksa, pemuda dengan kulit sawo matangnya itu.
"Ta, gak capek ngejar Aksa?" tanya Marco, laki-laki yang menjadi anggota baru The Charmer 3 tahun lalu.
Aleta masih terenggah-enggah dengan kedua telapak tangannya diletakan di lutut. Gadis itu menggeleng dan tersenyum manis kepada Marco.
"Masih kuat, anak itu harus dikasih pelajaran!"
Marco terkekeh geli, dia pun berjongkok di depan Aleta sambil menepuk-nepuk punggungnya. "Naik. Gue kasih tumpangan buat kejar Aksa."
Aleta tersenyum lebar langsung menerima tawaran Marco. Mengabaikan sorak serta jeritan iri dari beberapa orang yang menatap mereka, Aleta meloncat begitu saja ke atas punggung lebar Marco.
Marco berusaha berdiri, cowok imut itu tersenyum lebar menatap beberapa mahasiswa di sana. Seolah dia berkata bahwa sang primadona BEM Antariksa ada di punggungnya sekarang.
"Siap?"
"Udah cepet, keburu Aksa jauh!"
"Iya. Pegangan yang kuat!" perintah Marco sebelum dia berlari. Namun, Aleta justru mencekik leher Marco.
"Astaga, gak dicekik juga dong, Ta!" gerutu Marco membuat Aleta tertawa renyah.
"Gue cuma nurut aja ko," elaknya masih dengan tawa. Tangannya pun melonggar agar tidak mencekik leher Marco.
"Dasar!" kata Marco pelan lalu berlari menyusuri lorong kampus itu dengan mudah. Seperti tanpa beban walaupun di punggungnya ada Aleta yang tertawa girang bukan main.
.....
Di ruang keluarga itu kini hanya tersisa Elvan dan juga Antonio. Clarisa serta Dara sedang di dapur memasak makanan untuk makan malam.
Ruang keluarga milik Antonio ini didesain cukup apik dan nyaman. Sofa panjang bermuatan 5 orang di letakkan berhadapan dengan tv besar yang menempel di tembok. Karpet bulu berwarna abu juga tergelar indah di bawah kaki mereka. Benar-benar memberi kesan nyaman saat sedang berkumpul bersama keluarga.
"Kamu yakin dengan keputusan ini?" tanya Antonio lagi kepada Elvan. Pria paruh baya itu masih enggan kembali jauh dengan sang putra. Ada rasa rindu meskipun mereka sudah bersama sejak tiga tahun lalu. Dan juga sedikit rasa takut kalau-kalau Elvan tak ingin kembali kemari untuk menemaninya.
"Elvan rindu dia, Pa."
"Lalu bagaimana dengan Clarisa? Kamu tidak mungkin meninggalkan dia 'kan?" tanya Antonio dengan penuh harap.
Elvan menggeleng. Dia tidak tahu akan meninggalkan gadis blasteran itu atau tidak. Tapi bagi Antonio itu adalah jawaban bahwa Elvan tidak akan meninggalkan gadis itu.
"Kapan akan ke Indonesia?"
"Seminggu lagi, setelah kepindahan Elvan sudah resmi."
"Kuliah di mana? Jangan sembarangan pilih tempat, kamu penerus Papa besok."
"Antariksa." Sekolah yang sama dengan Aleta.
"Bagus. Beri kabar rutin kepada kami."
"Iya, Pa, pasti."
Setelah itu hening. Keduanya memperhatikan Clarisa yang menurunkan 4 gelas sirup dingin di meja kecil sebelah kiri sofa. Gadis pirang dengan mata coklat muda itu begitu cantik dengan kulit seputih porselen. Badannya kurus tinggi hampir menyamai Elvan. Rambutnya pirang bergelombang indah dengan sedikit warna hitam. Dia juga menawan, hidungnya kecil runcing dengan bibir mungil semerah apel.
"Clarisa cantik, mirip Mamanya," gumam Antonio pelan, namun masih dapat Elvan dengar. Pemuda itu semakin terdiam membisu memperhatikan Clarisa lekat.
"Ada yang lebih cantik dari Clarisa," kata Elvan saat gadis itu kembali ke dapur.
Antonio terkejut menatap sang putra. Ia pikir gumamannya cukup pelan, ternyata tidak.
"Ngomong apa kamu, Van?" tanyanya pura-pura heran dan tertawa.
"Aku kenal cewek cantik, Pa. Melebihi Clarisa. Dia cantik dengan semua yang dia punya."
"Ngaco kamu ngomongnya! Anak orang jangan sembarangan dibayangin," kata Antonio tertawa renyah.
Elvan mendengus menatap Antonio kesal. "Clarisa juga anak orang, Pa."
.....
002
Akan Pulang
Cita-cita gue adalah membahagiakan lo, meski gue harus egois sedikit tentang keluarga.
.....
"Seminggu lagi gue ke sana," kata Elvan kepada orang di seberang sana. Matanya melirik tipis kepada Clarisa yang sedang menatapnya.
Saat ini dirinya sedang berada di kamar Elvan, mereka sengaja diperintahkan oleh Antonio untuk menghabiskan waktu bersama. Meski hanya sekadar menonton tv katanya.
"Jangan kasih tahu apa-apa tentang gue, biar gue kasih dia kejutan."
"..."
"Gue gak akan terkejut- APA?! Lo bilang apa?" teriaknya terkejut.
Elvan yang sadar ada Clarisa di sana langsung tersenyum canggung menatap gadis itu yang heran karena dia berteriak. Ini semua karena berita mengejutkan dari seseorang itu. Menyebalkan memang.
"Jangan ngibul lo!"
"..."
"Sialan! Gue pastiin Aleta kembali sama gue!"
"..."
"Kenapa sih lo pada diem aja dari kemarin sampai-sampai mereka deket?" gerutu kesal. Kini Elvan berjalan mendekati Clarisa, dia kemudian ikut duduk di sebelah gadis itu dan merangkulnya.
"Why?" tanya Clarisa menatap Elvan.
Elvan menurunkan ponselnya, menutup lubang spiker pada benda pipih itu sebelum menjawab pertanyaan Clarisa.
"Nothing."
"But you-"
"Hust ... just kidding." Elvan memberi sedikit alasan. Clarisa pun akhirnya percaya.
Elvan kembali menempelkan ponselnya di telinga. "Gue harap lo siapin semua," kata Elvan lagi kepada orang di seberang sana.
.....
"Ta makan yuk, laper nih!" rengek Aksa kepada Aleta. Gadis itu sibuk memindah catatan tentang apa yang dosen tadi jelaskan tanpa menjawab rengekan Aksa.
"Sama Marco gih, gue masih sibuk!"
"Ta, Marco 'kan ada kelas kata lo."
"Hmm."
"Kok lo cuma hmm doang?" kesal Aksa.
Aleta meletakan pulpennya keras dan menatap Aksa tajam. "Gue bentar lagi kelar, sabar!"
Aksa meringis, takut juga merasa sedikit lucu. Sahabatnya ini masih sama, sedikit emosional, manis, cantik, dan sangat profesional. Meski sudah 10 tahun mereka bersama, tak ada yang berubah dari Aleta. Sikap gadis itu masih tetap sama, kalau soal penampilan itu memang semakin waktu akan semakin berubah menjadi lebih baik dan menarik tentunya.
"Gue tungguin deh," kata Aksa akhirnya mengalah. Laki-laki itu kini bersandar pada kursi yang ada di dekat Aleta. Matanya menatap datar papan tulis di depannya yang berisi sedikit rumus dan cuplikan dari penjelasan sang dosen.
"Ta," panggilnya pelan saat sudah hampir 5 menit dirinya diam.
"Hmm?" respons gadis itu.
Aksa sedikit ragu saat ingin bersuara, tapi dia juga butuh sesuatu untuk meyakinkan keraguannya. Dia ingin memastikan sesuatu, sesuatu sejak tiga tahun lalu.
"Gimana hati lo?" tanya Aksa pelan namun menimbulkan efek tak biasa bagi Aleta.
Gadis itu menegang dan berhenti menulis.
"Entah."
"Lo masih nunggu?"
Hening sejenak saat Aleta memilih diam tak menjawab. Gadis itu menerawang jauh seolah menyelam ke dalam isi hatinya sendiri. Mencari jawaban atas pertanyaan Aksa yang selalu dan selalu tak pernah bisa ia jawab dengan perasaan mantap.
"Lo tahu gue juga masih nunggu?" Lagi, Aksa kembali bersuara lagi. Kalimat yang sebenarnya enggan Aleta dengar dan enggan ia bahas.
"Sa, lo tahu gimana isi hati gue. Lo ngerti 'kan kalau gue gak mungkin balas perasaan lo?"
Aksa terkekeh pelan. Sedangkan Aleta mengigit bibir bawahnya dengan cemas. Kenapa suasana menjadi tak enak begini? Kenapa harus ada bahasan tentang perasaan di saat seperti ini?
"Lo gak bisa balas perasaan gue, dan lo ... kasih kesempatan buat Marco?"
"Sa-"
"Gue cukup paham kalau lo gak mau kehilangan gue saat kita pacaran lalu putus dan berjauhan. Tapi Ta, gue gak paham maksud lo ngasih harapan dan peluang buat Marco sedangkan lo-"
"STOP! Stop buat bilang dan bahas ini, Sa. Gue capek."
"Capek kenapa? Semua akan mudah kalau lo gak mempersulit keadaan. Lo sendiri yang buat hal ini semakin berputar tanpa ujung."
"Sa, please don't-"
"Gimana kalau seandainya dia kembali? Lo bakalan apain perasaan Marco?"
.....
"How?" Clarisa bertanya pada Elvan. Laki-laki berambut secoklat susu itu tersenyum.
"I will be back," kata Elvan mantap.
Clarisa kini ikut tersenyum. Gadis berambut pirang yang tampaknya tidak ikhlas saat Elvan berkata seperti itu.
"How about daddy?" tanya gadis itu khawatir.
"I don't know. I will still be back."
"Selfish!" cibir gadis itu.
"There is nothing selfish about love."
"Elvan!"
"Why?"
Napas Clarisa memburu menatap Elvan dengan mata nyalang. Entah kenapa dia tidak suka. Tidak suka dengan keputusan Elvan yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Tidak suka dengan Elvan yang tidak memikirkan ayahnya ataupun dirinya. Intinya dia tidak suka dengan apa yang Elvan lakukan sekarang!
"You don't need to interfere. About anything about me."
"But-"
"Stop it. Okay?"
Setelah itu Elvan meninggalkan Clarisa yang masih tampak emosi. Gadis itu terduduk lesu menatap Elvan yang semakin menjauh dari dirinya.
.....
"Gimana? Sudah siap?"
Semua yang ada di sana mengangguk berkata siap. Laki-laki manis itu tersenyum puas menatap semua anggotanya dengan bangga.
"Mungkin jabatan gue bakalan turun lagi. But it's okay. Yang kita harapkan memang ini."
"Lo yakin dia mau?" tanya seorang dari mereka penuh selidik.
Sang pemimpin tersenyum simpul dan mengangguk mantap.
"Kalaupun dia gak mau, gue ada sedikit cara biar dia mau."
"Tapi ... gimana soal Marco?"
"Bukan urusan gue. Urusan kita itu mereka kembali bersama."
"Vin!"
"Apa?" Gavin menjawab dengan nada tak kalah tinggi.
"Gue gak ngerti sama cara pikir lo. Marco itu bagian dari kita!The Charmer. Harusnya lo bersikap adil!"
Semua anggota terdiam. Membiarkan kedua pimpinan mereka berdebat sengit. Kavin si bule menatap Gavin yang kini tak kalah sinis menatapnya. Keduanya saling beradu pandang mengisyaratkan ketidakselarasan pendapat mereka.
"Gue cuma berusaha ngembaliin apa yang seharusnya bersatu," ucap Gavin tenang. Laki-laki itu tersenyum tipis menatap Kavin.
"Tiga tahun udah berlalu, Vin! Gak ada yang gak mungkin terjadi. Bisa aja mereka sudah saling suka. Maksud gue-- gimana kalau ternyata-"
"Itu yang gue maksud. Gak ada yang gak mungkin terjadi. Bisa aja dia masih nunggu."
Kavin kembali mendengus kasar. Dia sulit berbicara tentang hal ini bersama Gavin. Keduanya pasti akan berdebat sengit tanpa ujung karena mereka berasumsi berbeda.
"Vin, lo pemimpin. Lo harusnya adil sekalipun dengan Elvan."
"Gue yakin perasaannya masih sama."
"Gak ada yang bisa jamin itu!" teriak Kavin emosi. Laki-laki itu sedikit bersyukur karena Marco tidak ada di markas. Marco, dia pasti sedang bersama Aksa menemani sang tuan putri kemanapun ia pergi. Itu sudah menjadi kebiasaannya selama tiga tahun ini. Terlebih awal mereka kenal, saat Aleta masih butuh perawatan dan latihan agar bisa berjalan dengan normal.
"Gue yang jamin. Dia pasti nunggu. Gue pastiin mereka kembali bersatu."
"Vin-"
"Rapat selesai. Kalian bisa membubarkan diri dan berkeliaran sesuka hati!"
.....
003
Terkejut
Meskipun gue cinta sama lo, tapi kenangan buruk itu masih ada di sini, tepat di dalam hati dan otak gue!
.....
Pagi ini cukup cerah untuk memulai hari. Senyum yang tak kalah cerah dari sang mentari pun tersungging di ujung bibir Aleta. Gadis itu melambaikan tangan mendekat kepada sosok laki-laki berjaket hitam. Laki-laki itu juga tersenyum lebar menyambut senyum Aleta.
"Marco!" teriak gadis itu saat beberapa meter lagi akan sampai di depan Marco.
Marco tersenyum semakin lebar, terlebih saat melihat beberapa mahasiswa dan mahasiswi yang menatap mereka. Dia merasa bangga.
"Harus ya teriak sambil lari?" tanya laki-laki itu saat Aleta tiba di depannya.
Aleta menyengir lebar kemudian menggeleng cepat. "Gak bisa. Soalnya pagi ini cerah!"
"Apa hubungannya cerah sama lo yang lari-lari?"
"Ada, pokoknya ada!" kekeh Aleta.
Marco kembali tersenyum, tangannya menggapai pucuk kepala Aleta dan memeluknya pelan. "Ikut Tuan Putri aja deh!"
"HARUS!" sahut Aleta sambil tertawa renyah, tawa yang berhasil menular kepada Marco.
"Heh, lo berdua!"
Keduanya berhenti tertawa. Secara bersamaan menoleh ke si pemanggil dengan tatapan heran.
"Kenapa?" tanya Marco tidak santai sama sekali. Sedangkan laki-laki di seberang sana terkekeh pelan.
"Mau gabung!"
"GAK BOLEH!" teriak Aleta cepat. Gadis itu langsung menarik Marco agar menjauh. Dia masih marah dengan Aksa yang menyebalkan. Terlebih Aksa kemarin bertanya hal sensitif juga marah-marah kepadanya.
"Loh, beneran gak boleh?" gumam Aksa dengan wajah cengo menatap Aleta yang berlari semakin menjauh bersama Marco.
......
"Kenapa sih, Ta?" heran Marco saat dirinya dan Aleta sudah cukup jauh dari Aksa.
Gadis di depan Marco tetap melangkah. Dirinya bahkan tak acuh terhadap pertanyaan laki-laki di belakangnya. Mungkin bagi Aleta alasan kenapa untuk urusannya dengan Aksa tidak perlu Marco ketahui. Mungkin bagi Aleta, Marco tidak perlu banyak ikut campur terhadap urusannya.
Mereka akhirnya sampai di kantin sebelah utara kampus. Matanya menjelajah seluruh sisi kantin tanpa melepaskan pegangan tangannya dengan Marco.
"Mau makan?" tanya Marco sedikit tidak yakin.
"Hm." Hanya itu sahutan yang Aleta berikan. Setelahnya, gadis itu menarik kembali laki-laki di sebelahnya.
"Lo duduk ya. Gue mau pesen bentar!"
"He-" Aleta lebih dulu pergi sebelum Marco berhasil menyelesaikan satu kata saja.
.....
Aska sibuk menggerutu menatap beberapa buku di depannya dengan sebal. Ini adalah kali ketiga dirinya harus duduk manis di depan setumpuk buku demi tugas. Kalau saja dia tidak ingat dengan biaya yang cukup mahal untuk kuliah, sudah dipastikan bahwa dia akan membiarkan tugas itu selesai tanpa disentuh.
Suara kursi bergeser mengganggu fokus Aska. Laki-laki itu pun mendongak menatap si pengganggu.
"Ada apa?"
"Kenapa biarin Marco sama Aleta deket?"
Aksa mengembuskan napasnya panjang. "Gue udah nyoba bikin Aleta jauh sama Marco, gak bisa."
"Elvan tahu."
Dua kalimat itu terucap dengan tenang. Namun, efek yang ditimbulkan tak setenang itu. Akas dibuat terkejut bukan main, setelah itu dia mendadak panik meraih ponselnya yang tergeletak.
"Mau apa?" Seseorang itu mencegah Aksa.
"Telepon Aleta."
"Buat apa? Gue yakin cewek itu masih keras kepala."
"Setidaknya dia-"
"Biar Elvan yang ngasih tahu dia."
Akas mengernyit bingung. "Maksudnya?"
"Elvan balik ke Indonesia."
Brak. Kaki Aksa tak sengaja nendang meja kosong di sebelahnya. Laki-laki itu menatap lawan bicaranya penuh selidik.
"Ngibul ni pasti!" katanya sambil mencoba tertawa, berharap sang lawan bicara ikut tertawa dan berkata iya.
"Gue gak bohong, Sa. Jangan sampe mereka jadian."
"Vin, kalau gue bisa gue udah dari dulu jauhin mereka. Jangankan Elvan, gue aja mau loh jadian sama Aleta!"
Gavin tertawa renyah. Bahkan mereka berdua tak merasa bersalah membuat gaduh perpustakaan. " Lo masih suka dia?"
Aksa menatap Gavin kesal. "Baru kemarin lo tanya dan gue juga jawabnya iya."
"Ah, iya juga!" Gavin menganggukan kepalanya seolah ingat.
"Lo jangan cuma perintah gue dong, Vin."
"Terus? Gue 'kan gak bisa deket Aleta, Sa. Dia itu sama anak The Charmer udah kaya musuh, kecuali sama Marco."
"Ya terus gimana?"
Gavin mengangkat kedua bahunya santai. "Lo yang mikir."
"Marco anak buah lo. Kasih tahulah dia kalau pawang Aleta mau balik."
"Pawang-pawang, lo pikir main kuda lumping?" gerutu Gavin.
"Hehehe, terus apa dong? Pacar juga udah bukan."
"Oke, ntar gue coba ngomong sama Marco."
Setelah itu Gavin berdiri, kembali meninggalkan Aksa sendiri di dalam perpustakaan.
"Aneh, jawabannya aneh," gumam Aksa sambil menggelengkan kepala.
......
Aleta dan Marco dekat karena mereka memang satu jurusan. Keduanya bahkan banyak mengambil jam kelas yang sama agar selalu bertemu. Begitu pula Aksa, anak itu juga tidak ingin lepas dari Aleta, jadilah dia mengambil fakultas dan jam yang sama dengan jurusan berbeda.
Saat ini pukul 9 pagi, kelas Aleta akan dimulai sekitar 15 menit lagi. Gadis itu sudah duduk siap bersama Marco di depannya. Mereka bersendau gurau mengisi waktu luang menunggu kedatangan sang dosen yang bisa dipastikan akan telat karena katanya, akan ada mahasiswa baru hari ini.
"Gue denger sih dari London."
"Ganteng, tajir juga."
"Moga jomblo deh, 'kan lumayan nambah incaran."
"Tapi gue rasa dia ada misi deh!"
"Maksudnya?"
"Gak tahu juga sih. Tapi aneh aja, dia ngapain coba pindah kalau di London aja lebih enak."
"Ada anak baru?" tanya Aleta penasaran gadis itu pun bertanya pada Marco.
Marco menggeleng dan tak peduli tentang gosip dari kerumunan gadis di sebelahnya.
"Gue gak tahu dan gak peduli."
"Dasar! Pasti karena cowok 'kan?"
Marco terkekeh. "Nah itu tahu."
Aleta pun menabok lengan Marco keras. "Playboy!"
"Playboy di mananya coba? Selama ini juga deket cuma sama lo."
"Masa? Gak percaya."
Marco sedikit gemas melihat Aleta saat ini. Ah, dia jadi teringat percakapannya dengan Gavin kemarin. Haruskah dia menjauh dari Aleta? Masa sih Elvan akan kembali? Marco masih belum percaya.
"Ko, kok bengong sih?!" kesal Aleta menabok pipi Marco.
Marco tersadar kemudian tersenyum lembut menatap Aleta. "Maaf, sedikit kepikiran."
"The Charmer lagi ya?" tanya Aleta hati-hati.
"Iya."
"Mereka suruh lo jauhin gue lagi?" tanya Aleta membuat Marco terdiam.
Haruskah dia jujur? Memberitahu Aleta bahwa Elvan akan kembali lalu membiarkan Aleta bersama laki-laki itu lagi? Atau lebih baik diam dan membiarkan Aleta tahu dengan sendirinya?
"Mar-"
"Selamat pagi!" ucapan Aleta terpotong. Pak Budi lebih dulu memasuki kelas dan telah berdiri tegap di depan sana.
"Hari ini ada mahasiswa baru, dia pindahan dari London."
London. Aleta baru menyadari kata itu. Mahasiswa pindahan dari London. Ganteng. Mungkinkah? Tapi kenapa pula harus ada perkenalan seperti ini? Bukankah ini bangku perkuliahan? Aneh dan Aleta tidak dapat menemukan jawaban dari keanehan ini.
"Silahkan masuk!"
Seketika ia menatap pintu menunggu sosok itu memasuki kelas. Dalan hati Aleta berharap agar jangan dia. Jangan orang itu yang ada di sana. Lagi pula seperti tidak mungkin dia. Dari sekian banyak jurusan yang ada tidak mungkin dia memilih jurusan ini, Manajemen.
Tap. Tap. Tap. Langkahnya begitu nyaring terdengar di telinga Aleta. Gadis bersurai sebahu itu tidak sabar menunggu pemuda itu memasuki kelas.
Entah kenapa dada Aleta mendadak bergemuruh hebat, berdetak tak karuan dan kembali menimbulkan rasa mulas. Aneh. Sudah lama dia tak merasakan hal seperti ini.
Tap. Kaki panjang bersepatu hitam berhasil memasuki ruang kelas. Cepat-cepat Aleta menatap wajah si pemilik kaki. Gadis itu mendadak seperti mati saat si pemuda juga menatapnya. Tersenyum manis dengan wajah sendu. Bibir pemuda itu terbuka kemudian bergumam hai tanpa suara.
.....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!