NovelToon NovelToon

Menaklukkan Suamiku

Bab 1 Khawatir membawa petaka

Hana dengan terburu-buru mengemasi beberapa pakaiannya masuk ke dalam tas. Kabar yang barusan ia dengar berhasil membuatnya panik dan bergegas untuk berangkat pulang ke kampung halamannya.

"Kamu ada masalah apa, Hana? Kok terlihat panik banget." Alia merupakan teman sekos Hana. Ia memperhatikan temannya yang sedang terburu-buru itu dari bibir pintu kamar.

"Aku mau pulang, Lia. Bokap gue lagi sakit tenat," jawab Hana tanpa menoleh.

"Gue khawatir lihat Lo panik gitu. Tenangkan pikiran Lo dulu, Ok," saran Alia penuh perhatian.

"Lo tenang aja, Lia. Gue baik-baik aja kok. Gue cuma khawatir dengan bokap gue." Dari wajah nya masih terlihat jelas kepanikannya. Semua persediaannya sudah lengkap masuk ke dalam tas. Hana mengambil ponselnya dan kunci motor miliknya di atas meja dan bergegas pergi.

"Lo hati-hati tapi." Alia masih setia memperhatikan kepergian temannya.

"Gue pergi dulu," pamit Hana sambil menutup pintu kamar miliknya.

Melajukan motor butut satu-satunya harta yang ia miliki dengan kecepatan tinggi. Meskipun ada sesuatu yang mengganjal di hatinya tapi ia tetap fokus agar selamat sampai tujuan.

Sepanjang jalan Hana terus memikirkan bagaimana keadaan ayahnya sekarang. Tidak dapat dipungkiri perasaan Hana saat ini bercampur aduk, sama ada ingin percaya atau tidak apa yang telah di sampaikan oleh ibunya tadi sebab dari beberapa hari yang lalu ia di minta pulang tapi ia selalu memberi alasan agar tidak memenuhi keinginan ibunya itu. Tapi apabila bersangkutan dengan ayahnya, ia langsung panik sebab ayahnya itu lah satu-satunya orang yang tidak pernah kasar padanya.

"Semoga ayah baik-baik saja."

Sekitar empat jam perjalanan mengendarai motor, juga beberapa kali berhenti beristirahat sejenak sambil makan siang, sekarang akhirnya Hana tiba di gapura kampung halamannya. Sudah dua tahun ia tidak pulang menginjakkan kaki di tanah masa kecilnya ini karena tuntutan keluarga untuk bekerja.

Pemandangan di kampung tidak jauh berbeda dari beberapa tahun lalu tapi bukan itu yang menjadi pusat pikiran Hana saat ini. Yang ia inginkan segera sampai di rumahnya dan memeriksa keadaan ayahnya.

"Kok halaman rumah ada tenda biru? Siapa yang akan melangsungkan pernikahan?" bingung Hana. Dalam panggilan tadi ibunya sama sekali tidak mengatakan apapun jika akan mengadakan majlis pernikahan. Lagipula mustahil milik tetangga karena tenda yang sudah dihias itu tepat berada di depan rumah kedua orang tuanya.

saat memasuki halaman rumah, Hana memarkir motornya dengan perasaan yang berubah was-was. Tapi ia tetap berpikiran positif dan mencoba fokus pada memastikan kondisi ayahnya. saat ia berjalan memasuki rumah, semua mata tetangga yang datang menatap aneh ke arahnya.

"Kok penampilannya begitu yah? Nggak ada ayu-ayunya sama sekali," bisik Bu Susi salah satu tetangga julit di kampungnya.

"Iya toh besti, padahal besok udah mau nikah." Teman di sampingnya turut menjeling tajam.

"Aku yakin nih bakal di cerain di malam pertama," tebak Bu Susi dengan yakin.

"Kenapa pula Bu Susi?" bingung Bu Juna.

"Ya iya lah, aku yakin dengan penampilannya yang seperti itu hanya untuk menutupi kalau dia di kota itu nakal. Makanya si Yanti aku nggak bolehin ke kota takut jadi gadis nakal kayak si Hana itu." Dengan memanyunkan bibirnya tidak suka pada Hana.

Hana tidak memperdulikan semua bisik-bisik tetangga yang dari dulu tidak menyukainya. Lagi pula ia juga tidak terlalu jelas mendengarkan apa yang mereka bicarakan.

"Kamu sudah sampai, Hana?" Aisyah terkejut melihat Hana sudah berada di depan matanya, dengan cepat menarik tangan Hana masuk ke dalam kamar. Hana yang masih tampak bingung hanya pasrah di tarik oleh sang ibu.

Dalam kamar sudah berkumpul semua ahli keluarga ada Ardi ayahnya Hana, Alisya adiknya Hana dan Wati neneknya Hana.

Melihat anaknya sudah ada di depan mata Ardi langsung memeluk anaknya dengan hangat. "Ayah rindu sama kamu nak, kenapa tidak pernah pulang?" tanya Ardi sambil membelai rambut Hana lembut.

"Maafkan, Hana. Ayah baik-baik saja kan? Kata ibu, ayah sedang sakit parah," lirih Hana sambil meneteskan air mata sedih bercampur haru.

Ardi menatap istrinya dengan tatapan marah. "Apa maksud kamu menipu Hana, Aisyah? Kamu menginginkan aku sakit parah!" bentak Ardi.

"Jika aku tidak mengatakan kamu sedang sakit, dia mana mungkin akan pulang ke sini," jawab Aisyah jengah. "Lihat di luar! Semua persiapan sudah selesai tapi dia tetap ngotot nggak mau pulang. Kalau aku mengatakan yang sejujurnya mana mungkin dia akan muncul di hadapan kamu sekarang. Makanya sebelum ngomong itu di pikir!"

Bukannya takut pada bentakan suaminya, Aisyah malah balik membentak suaminya kembali.

"Sudah-sudah. Jangan bertengkar lagi, jangan teriak-teriak nanti tetangga pada dengar masalah keluarga kita. Mau diletak di mana muka mama ini." Wati mencoba meleraikan anak dan menantunya.

"Hana, mari nak kita duduk dulu, kamu pasti capek dari perjalanan jauh," tawar Wati pada Hana yang hanya berdiri mematung melihat pertengkaran kedua orang tuanya tadi.

Meskipun merasa aneh pada sikap neneknya yang tiba-tiba berubah baik padanya, Hana tetap memberanikan diri bertanya tentang apa yang sebenarnya terjuadi. "Siapa yang akan menikah, nek? Alisya kan belum tamat kuliah."

"Ya emang bukan aku yang akan menikah," ketus Alisya sambil memainkan ponselnya malas.

"Terus siapa? Di rumah ini hanya kita berdua anak ayah. Takkan nenek yang akan menikah?" tanya Hana benar-benar kebingungan.

"Kok nenek, sih. Gawur kamu. Yang akan menikah besok itu kamu," jawab Wati keceplosan.

Hana langsung tercengang tapi beberapa saat kemudian dia langsung berusaha menyadarkan dirinya agar tetap tenang. "Nenek sudah pintar ngelawak sekarang yah." Hana berusaha mencairkan suasana.

"Nenek nggak ngelawak ... Ini kenyataannya. tanya saja pada ayah kamu." Wati tidak ingin menutup-nutupinya lagi.

Hana semakin gelisah dalam duduk nya. Ia menatap sang ayah untuk mencari penjelasan tapi yang ada hanya kekecewaan yang ia rasakan. Walaupun ia masih belum mendengar penjelasan apapun tapi hati nya sudah tahu kebenarannya.

Ardi hanya bisa tertunduk lesu, bingung harus mengatakan apa pada Hana agar anaknya itu tidak sedih tapi tetap pasrah dengan keinginannya.

"Kalau kamu nggak bisa mengatakan yang sejujurnya pada Hana. Biar aku saja." Aisyah sama sekali tidak memikirkan perasaan Hana berbeda dengan suaminya yang sedikit takut membuat anak gadisnya bersedih.

"Dengar sini ya, Hana. Besok kamu harus menikah dengan pria kaya raya untuk menebus hutang keluarga ini. Kalau tidak maka ayah kamu yang tercinta ini akan mati di tangan mereka." Aisyah paling tahu kelemahan Hana.

Hana tercengang. Hatinya bagaikan dihantam ribuan batu kerikil yang berhasil menghancurkan perasaannya sampai tidak berbentuk. Dari kecil ia selalu di tuntut untuk pasrah dan harus mengutamakan keluarga dari dirinya sendiri.

"Tapi kenapa harus aku, ibu? Kenapa tidak Alisya aja? Selama ini aku selalu mengalah tapi aku mohon jangan paksa aku menikah dengan pria yang tidak aku cintai." Hana sudah larut dalam tangisnya.

"Hei! Kok aku sih? Aku kan masih banyak impian yang harus aku gapai, sedangkan kamu hanya beban orang tua yang tidak ada harganya." Alisyah menghampiri Hana lalu menunjuk-tunjuk jidatnya. "Harusnya kamu bersyukur dong karena selepas ini kamu pasti akan hidup enak nggak perlu susah payah kerja lagi."

"Betul apa yang di katakan Alisya. Lagian kamu tidak akan mendapatkan pria yang lebih baik dari orang kaya itu di luar sana, lihat penampilan kamu seperti ini siapa yang akan suka." Lalu merangkul Alisya. "Lain lah, Alisya. dia cantik, putih dan berpendidikan tinggi pasti banyak pria tampan kaya di luar sana yang akan antri," dukung Aisyah sambil memeluk anak kesayangannya itu.

Hana beralih pada Ardi yang setia tertunduk lesu tak berdaya. "Ayah, Hana belum ingin menikah," lirih Hana sambil menggenggam tangan ayahnya itu dengan harapan ia tidak akan dijadikan penebus hutang keluarga.

"Maafkan ayah, nak. Kamu tetap harus menikah dengan pria itu besok." Ardi sudah tidak lagi memperdulikan perasaan Hana demi kelangsungan hidup keluarganya.

Gadis dengan penampilan tertutup itu seketika lemas tak percaya dengan apa yang ia dengar. Pria yang menjadi harapan satu-satunya malah turut memintanya menikah.

Bab 2 Ardi ketar-ketir

Hana berpikir keras. Ia tidak ingin dijadikan alat untuk melunasi hutang keluarganya. Sudah cukup selama ini dia berkorban demi mereka demi membahagiakan keluarganya. Impiannya satu-satunya yang tersisa hanya lah hidup bahagia bersama pria yang ia cintai dan sebaliknya.

"Nggak, yah. Aku nggak mau menikah dengan pria yang aku nggak cinta bahkan kenal pun tidak. Kalian nggak bisa paksa aku, sama aja kalian menjualku pada pria kaya raya itu demi melunasi hutang kalian." Hana berusaha membujuk dengan linangan air mata sesekali ia mengusap wajahnya yang sudah basah tapi usahanya hanya akan sia-sia karena keluarganya sama sekali tidak peduli padanya.

Aisyah mendekat dan mencengkram dagu Hana dengan kuat. "Kamu jangan coba melawan, Hana. Kamu harus nikah dengan pak Bram kalau tidak kami semua akan mati di tangannya. Ingat Hana, siapa yang sudah membesarkan dan merawat kamu dari kecil sampai sekarang. Kamu jangan tidak tahu balas budi kayak gini!" geram Aisyah membuang wajah Hana. Paling tidak suka melihat anak sulungnya itu menangis dan memohon.

Hati Hana semakin teriris. Seingatnya dari dulu ia hanya dianaktirikan oleh keluarganya sedangkan adiknya Alisya dimanjakan. Waktu kecil sama sekali tidak memiliki mainan manakala Alisya pasti mendapatkan apapun mainan yang dia inginkan. Hana semasa SD hingga tamat SMP sudah menjadi tukang cuci pakaian tetangga sementara Alisya hanya asik bermain bersama teman-temannya.

Bukan itu saja, Hana juga tidak melanjutkan pendidikannya lagi setelah tamat SMP karena harus membantu ayahnya mencari nafkah untuk keluarganya. Masih terngiang diingatannya ...

Flashback on:

"Tapi Hana juga mau sekolah, Bu," lirih Hana dengan deraian air mata membasahi pipinya. Begitu sakit mendengar permintaan ayahnya agar ia tidak melanjutkan pendidikannya.

"Ayah kamu itu sudah tidak kuat lagi jadi buruh bangunan. Jadi kamu sebagai anak pertama harus membantu keuangan keluarga. Mau makan apa kita nanti kalau kamu masih lanjut sekolah." Aisyah tampak acuh.

Aisyah malah memeluk anak bungsunya. "Lihat adik kamu, sebagai kakak harusnya kamu ngalah aja sama dia. Biar dia yang sekolah tinggi-tinggi demi membanggakan keluarga. Kamu kerja aja bantu ayah kamu ... lagi pun kamu nggak pintar-pintar amat di sekolahin juga bakal percuma."

"Benar apa yang dikatakan ibu kamu itu. Sebagai anak pertama, harus ngalah aja sama adik kamu," tambah Wati membenarkan ucapan anaknya.

Hana beralih menatap Ardi yang tetap santai dengan rokoknya semakin membuat hati gadis muda itu teriris. Walaupun sedih dan kecewa, Hana tetap pasrah mencoba ikhlas dengan keputusan orang tuanya. "Baik lah, Hana tidak akan lanjutin sekolah lagi."

Hanya karena status anak pertama, dia harus selalu mengalah pada adiknya.

Flashback off

"Kok kamu malah bengong sih? Setuju nggak setuju kamu tetap harus nikah besok. Ingat jangan coba-coba kabur!" Gertakan Aisyah membuyarkan lamunan Hana.

Mencoba menenangkan pikirannya sendiri, mencari cara agar dia tidak di paksa menikah dengan pria yang tidak ia kenal. "Memangnya berapa hutang kalian pada pak Bram?" tanya Hana.

"Kenapa tanya itu?" Aisyah menatap rendah Hana.

"Biar aku bayar tapi dengan syurat kalian jangan paksa aku nikah dengan pak Bram." Hana mulai tenang berharap dengan solusi yang dia berikan boleh menyelamatkan masa depannya.

"790 juta. Kamu sanggup bayarnya?" sindir Wati sambil menyilangkan tangannya.

Hana terkesimah mendengar nominal hutang keluarganya, mau cari uang sebanyak itu dimana. Tapi hanya dia yang tampak terbebani dengan masalah ini sedangkan yang lain bersikap santai dan mempertanggung-jawabkan semuanya pada Hana. Seolah-olah gadis itu turut andil merasakan uang sebanyak itu.

"Benar tuh nek. Sok-soan nak bayar, bayar pakai apa? Ngel*cur? Apa susahnya sih tinggal kawin aja juga." Tidak mau kalah, Alisya juga ikut menyudutkan Hana.

"Sudah lah nak, kamu nurut saja pada ayah, yah. Besok kamu nikah dengan pak Bram pasti hidup kamu juga lebih terjamin nantinya," bujuk Ardi pada anak gadisnya.

Hana semakin kecewa, dia memang menyayangi ayahnya karena selama ini hanya pria itu yang tidak pernah membentak dan menyakitinya. Tapi tetap saja sama dengan yang lainnya selalu meminta Hana untuk mengalah dan nurut pada mereka meskipun dengan cara sedikit lembut.

"Aku mohon ayah kali ini aja tolong ngertiin Hana. Jujur nggak tau bagaimana cara lunasin hutangnya tapi tolong jangan dengan menjual Hana, yah." Hana masih berusaha membujuk sang ayah.

"Lagipula aku sama sekali tidak merasakan uang sebanyak itu seumur hidupku. Pokoknya aku nggak mau nikah dengan pak Bram, ayah.cukup selama ini aku dianaktirikan di rumah ini," lirih Hana memberanikan diri mengeluarkan unek-uneknya yang selama ini telah ia simpan dengan rapat.

PLAKK

Satu tamparan mendarat ke pipi Hana sehingga membuat pipi putih itu seketika memerah. Mendapat tamparan pertama dari ayahnya membuat Hana semakin hilang harapan.

Alih-alih merasa sedih dengan bujukan sang anak. Ardi malah dibuat kesal dan lepas kendali. "Selama ini aku sudah cukup sabar dengan sikap kamu, Hana. Apa salah nya kamu nurut apapun yang kami inginkan tanpa harus aku repot-repot membujuk terlebih dulu!" bentak Ardi kesal.

"Ayo semua keluar! kurung aja dia di sini." Sebelumnya semakin lepas kendali, Ardi segera menjauhi Hana.

Ardi, Aisyah, Alisya dan Wati keluar dari kamar itu dan mengunci pintu agar Hana tidak bisa kabur dari pernikahannya besok. Bukannya bernafas lega dengan Hana yang sudah berada ditangan mereka, saat di luar pun mereka harus meladeni tetangga-tetangga yang penasaran dengan masalah keluarga mereka. Dengan terpaksa Aisyah dan Wati menumpuk bohong demi kebohongan demi kesejahteraan hidup mereka

Kini tinggal Hana sendiri menangis merenungi nasibnya yang malang. Pria yang selama ini ia harapkan kelak bisa menyayanginya sama rata dengan adiknya malah berubah semakin menjauhinya. Hatinya semakin hampa dan kesepian sudah tiada tempat bernaung untuk pulang.

Memiliki keluarga yang utuh sama sekali tidak membuat dirinya bahagia melainkan selalu di sisihkan dan diketepikan. Diingat hanya saat kesusahan dan dituntut harus selalu menjadi tumbal. Awalnya ia pulang karena khawatir akan kesehatan sang ayah tanpa disadari semua itulah hanya tipuan agar ia pulang melangsungkan pernikahannya bersama pria kaya raya.

***

Keesokan harinya, seorang MUA sudah berada di kamar Hana pada pukul 4 subuh demi mendadani Hana agar terlihat cantik di hari pernikahannya. Majlis ini hanya diadakan dengan sederhana hanya untuk menutupi mulut julit para tetangga. Selama ini warga memang tidak menyukai cara Aisyah dan Ardi membesarkan Hana yang cenderung pilih kasih.

Tepat pukul 7 pagi Hana sudah siap didandani juga sudah mengenakan kebaya putih sederhana. Meskipun wajahnya sudah cantik tapi tetap terlihat suram dan tidak bersemangat.

Di luar sudah ramai dengan tetangga sebagai tamu undangan. Juga pak penghulu setia menanti sang pengantin pria di ruang tamu sambil menikmati hidangan sederhana yang disediakan.

"Senyum dong, Mbak. Hari ini kan hari bahagianya kok malah cemberut terus sih." Mbak MUA mencoba menghibur Hana tapi tetap saja tidak berhasil.

"Boleh tolong aku lari dari sini, mbak," lirih Hana terlihat memelas penuh harap.

Mbak MUA tampak bingung maksud Hana, saat ingin bertanya tiba-tiba Aisyah masuk untuk memastikan Hana sudah siap.

"Sudah siap, Mbak?" tanya Aisyah pada MUA.

"Sudah, Bu Aisyah," jawab Mbak MUA. Ia memilih tidak ikut campur dengan masalah keluarga kliennya.

"Kalau sudah boleh pulang, ini bayarannya sesuai kesepakatan." Aisyah menyodorkan amplop dan Mbak MUA langsung pamit pulang karena masih ada jop MUA di lokasi lain.

Hana tidak bisa berkutik lagi, hari ini akan menjadi hari paling menyedihkan dalam hidupnya.

Selang beberapa lama sebuah mobil mewah datang Ardi menyambutnya dengan hangat. "Wah selamat datang Pak Bram. Silakan masuk." Ucap Ardi sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman pada pria paruh baya bersetelan jas mewah itu.

Senyum lebar yang menghiasi wajah Ardi seketika pudar saat Bram sama sekali tidak meliriknya begitu pula tiga orang algojo dibelakangnya. Uluran tangannya diabaikan begitu saja. Walaupun demikian Ardi tetap mencoba ramah pada bakal menantunya agar tidak malu depan tamu undangan.

"Silakan duduk di sini, Pak. Saya akan memanggil anak saya agar pernikahannya segera di laksanakan." Ardi mempersilahkan Bram duduk di posisi mempelai pria.

Senyum tak lepas dari wajahnya karena sebentar lagi hidupnya akan kembali tenang.

"Kamu menghina saya! Saya ini pria yang setia!" kesal Bram tidak terima jika Ardi menawarkannya duduk di posisi mempelai pria.

Semua orang tampak bingung terutama Ardi dan Wati yang kebetulan keluar membawa nampan berisi kue untuk tamu.

"Maksud Pak Bram bagaimana, yah?" Ardi tetap mencoba tenang meskipun hatinya sudah ketar-ketir. Jika Bram tidak ingin menikahi putrinya harus bagaimana lagi dia akan melunasi hutang.

Bab 3 Mempermainkan Bram

Semua tamu undangan berbisik-bisik sesama sendiri menyaksikan kebingungan tuan rumah.

"Ini bagaimana sih. Kok menantu sendiri nggak tau yang mana," bisik Bu Susi.

"Aku curiga deh kalau Hana benar-benar wanita nggak benar. Kok bisa menikah tanpa memperkenalkan calonnya terlebih dahulu pada keluarga. Kalau beginikan berabe jadinya," sahut Bu Juna.

Bisik-bisik tamu itu membuat telinga Bram jadi panas dan meminta Ardi agar mendekat padanya dengan isyarat tangan.

"Usir semua pulang, aku tidak suka melihat wajah mereka ... kalau tidak maka pernikahan ini dibatalkan dan anak kesayangan kalian, Alisya akan aku jual!" ancam Bram dengan wajah serius.

Ardi dibuat ketar-ketir dan segera meminta bantuan pak RT untuk meminta para tamu undangan untuk pulang saja ke rumah . Tidak terlalu repot karena tamu yang di undang hanya tetangga-tetangga di desanya saja. Meskipun penasaran dan kesal, tapi semua tamu undangan tetap pulang ke rumah masing-masing atas permintaan Ardi dan pak RT.

"Sebenarnya ... maksud Pak Bram tadi itu bagaimana, yah?" tanya Ardi memastikan keinginan Bram.

"Iya Pak, saya juga bingung ... waktu itu bapak meminta kami untuk mempersiapkan putri sulung kamu untuk menikah tapi kok sekarang malah jadi seperti ini?" Aisyah juga kebingungan padahal dia sendiri dengar saat anak buah Bram menyampaikan keinginan bosnya.

"Saya memang meminta kalian untuk mempersiapkan pernikahan tapi saya sama sekali tidak mengatakan kalau saya lah pengantin prianya." Bram mengingatkan.

Setelah kawasan rumah sudah mulai sepi dan sunyi, sebuah mobil mewah datang. Seorang pria muda turun dari mobil dengan penampilan yang tak kalah mewah dengan pakaian Bram.

"Cepat selesaikan urusan ini aku banyak pekerjaan!" Tanpa salam dan sapaan terlebih dahulu pria itu langsung masuk dengan wajah dinginnya.

"Kamu siapa?" tanya Aisyah tapi matanya tidak bisa berbohong kalau dia terpesona dengan ketampanan pria itu.

"Perkenalkan dia anak saya, Uwais AlQarny mempelai prianya." Bram memperkenalkan putranya."Cepat panggil memperlai wanitanya agar semuanya cepat selesai." Bram terlihat tidak sabaran.

Aisyah yang menyadari bahwa mempelai prianya kini sesuai kriteria menantu idaman, muda, kaya dan tampan. Makanya bukannya memanggil Hana ia malah memanggil Alisya untuk menggantikan Hana.

"Aduh, Alisya! Kamu kok belum bangun sih, belum mandi lagi," seru Aisyah menyibak selimut milik anak gadisnya padahal hari sudah menunjukkan pukul sembilan pagi.

"Ibu apa-apain sih. Aku masih ngantuk tau." Bukannya segera bangun Alisya malah menarik kembali selimut yang sempat ditarik oleh ibunya.

"Kamu harus cepat bangun, Alisyah. Kamu harus menggantikan Hana menikah hari ini," ujar Aisyah mengagetkan Alisya.

"Ogah! Siapa juga yang mau nikah sama om-om tua Bangka bau tanah. Aku mah ogah," sahut Alisyah jijik.

"Iya, tapi masalahnya yang menjadi mempelai pria bukan pakk Bram melainkan anaknya ... masih muda dan cakep lagi," imbuh Aisyah.

Alisya kaget nggak percaya dengan apa yang disampaikan oleh ibunya. "Hah, kok bisa. Ibu lagi ngga boong kan?"

"Mana mungkin ibu bohong sama kamu, Sayang." Aisyah mengambil handuk dan melemparkannya kepada Alisyah. "Sana cepat mandi! Ibu nggak ikhlas kalau Hana yang menjadi menantu Pak Bram yang kaya raya itu."

Karena penasaran, Alisyah bukan nya bergegas ke kamar mandi ia malah mengintip ke ruang tamu untuk memastikan ucapan ibunya.

"Itu kan kak Is." Alisya segera berlari ke kamar mandi setelah mengetahui yang menjadi mempelai pria adalah pria populer di kampusnya. Sudah lama naksir tapi sama sekali tidak berkesempatan untuk bertemu secara dekat.

"Kalau tau kak Is yang akan menjadi mempelai prianya maka tak perlu repot-repot memaksa si Culun itu pulang, dengan senang hati aku menjadi istrinya," Batin Alisyah sambil tersipu malu membayangkan dirinya bersanding di samping Uwais.

Sementara itu di dalam kamar Hana semakin gelisah setelah mendengar mempelai pria sudah datang. Tiada siapa pun yang menjaganya sehingga ia berpikir untuk segera kabur dari sana.

"Aku harus kabur dari sini sekarang sebelum ada orang yang datang," batin Hana. Ia membuka tingkap perlahan dan segera memanjat keluar tanpa memperhatikan keadaan terlebih dahulu.

Kakinya berhasil menapaki tanah tapi-

"Nona ingin kemana?"

Salah seorang pengawal memergoki aksinya. Hana hanya bisa pasrah tanpa menjawab apa-apa.

"Mari ikut saya masuk!" pinta pengawal itu.

Hana pasrah dan mengikutinya masuk. "Maaf bos. Tampaknya gadis ini mencoba untuk kabur tapi beruntung saya memergokinya," lapornya pada Bram.

"Bagus, bawa dia duduk di situ." Bram menunjukkan posisi di sebelah putranya. "Nikahkan mereka sekarang."

Pak Penghulu mengangguk menyetujui permintaan Bram. Ardi, Wati dan dua orang saksi sudah duduk di posisi masing-masing tanpa menunggu kehadiran Aisyah dan Alisyah.

Saat Uwais meletakkan ponselnya dan ingin meraih uluran tangan penghulu...

"Berhenti!" Teriak Aisyah dan Alisya serentak. "Jangan lanjutkan pernikahan mereka!" sambung Aisyah lagi.

"Apa maksud kamu Aisyah? Jangan main-main di saat genting seperti ini! Kamu mau mati di tangan pak Bram yang kejam itu?" Ardi bangkit dan mengingatkan istrinya dengan berbisik.

"Ya aku nggak mau lah mas. Tapi calon suami Hana itu cowok yang di kagumi anak kita, Alisya," jawab Aisyah membuat Ardi bingung.

Meskipun bingung dengan maksud ibu dan adiknya tapi Hana bisa bernafas lega sekarang karena ia tidak perlu menikah dengan pria yang tidak ia cintai. Manakala Wati hanya bisa tercengang dengan tingkah anak dan cucu kesayangannya. Ia yang tahu sifat asli Bram menjadi getar-getir di posisinya.

"Apa maksud kalian membatalkan pernikahan mereka?" Bram berdiri dan tampak kesal.

Ardi segera menghampiri Bram sebelum pria arogan itu semakin kesal. "Bukan begitu maksud mereka Pak Bram. Mereka cuma tidak ingin anda salah memilih menantu. Alangkah bagusnya kalau Hana di gantikan saja dengan Alisyah. Lagi pula Alisyah lah yang berhutang pada anda bukan Hana."

Aisyah mengangguk membenarkan sementara Alisyah sudah tidak bisa berkedip lagi terus saja memandangi ketampanan Uwais sambil tersipu malu.

"Tapi kenapa tiba-tiba? Apa muslihat kalian sebenarnya?" Selidik Bram. Dia bukan pria yang mudah di permainkan. Hanya dari tingkah laku Ardi dan keluarganya ia sudah bisa membaca keinginan mereka.

Hana juga ikut bingung, kemarin saja dia sampai di tampar hanya agar dia mau menikah tapi sekarang mereka tiba-tiba berubah malah meminta Alisyah menggantikannya. "Pria itu yang namanya Pak Bram, calon suami aku tapi yang duduk di sampingku kok orang lain?" batin Hana.

Seingatnya pria yang akan menikah dengannya hari ini bernama Bram, kaya tapi tua.

Siapa saja pasti akan was-was tapi tidak dengan Uwais, dia tetap santai bermain ponselnya kembali sama sekali tidak mengambil pusing pertikaian yang sedang berlaku di sekitarnya.

"Bu-bukan seperti itu maksud kami Pak Bram. Sebenarnya Hana menolak menikah dengan putra anda makanya tadi sempat ingin kabur. Jadi kami sebagai orang tua yang sangat menyayanginya tidak ingin dia nanti hidup menderita. Sebagai gantinya biarkan Alisya saja yang mempertanggung-jawabkan perbuatannya sendiri dengan menikahi putra bapak," tawar Ardi dengan penuh harap.

"Ha ha ha. Kamu pikir boleh mempermainkan aku seperti itu, hah!" gertak Bram dengan senyum sinisnya. "Kalau kamu memang ingin menukar mereka seharusnya tidak perlu dirias seperti ini kan. Sedangkan Alisya sendiri tampaknya baru bangun tidur dengan keadaan baru selesai mandi ... baju berantakan seperti itu tandanya terburu-buru dipakai. Kamu pikir aku ini bodoh!" Bram memukul meja dengan kuat sehingga membuat Aisyah dan Wati tertunduk takut.

"Bu-bukan seperti itu Pak Bram. Saya mana mungkin berani," sahut Ardi dengan wajah memelas kerena turut ketakutan.

"Bukannya sebelumnya kamu berpikir aku lah yang akan menjadi mempelai pria. Berani-beraninya kalian berbohong dan ingin mempermainkan aku!" Bram mencekik leher Ardi sehingga pria itu kesulitan bernafas.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!