Icank berjalan lunglai menuju parkiran motor maticnya, mukanya kusut dan tidak ceria setelah menerima keputusan sepihak perusahaan elektronik tempatnya bekerja. Perusahaan Hyundy yang sudah delapan tahun jadi tempat mencari nafkahnya, kini dengan tegas memutuskan hubungan pekerjaan dengan dirinya atas alasan Covid-19.
Memang bukan dirinya saja yang dipecat, hampir setengah karyawan mengalami hal yang sama. Pemutusan hubungan kerja ini sangat tidak menguntungkan baginya juga bagi teman-temannya, sebab perusahaan memutuskan hubungan pekerjaan tanpa pesangon. Dengan alasan dampak Covid, perusahaan merugi. Jangankan memberi pesangon, biaya operasional perusahaan saja morat marit. Begitu alasan pihak HRD menyampaikan pernyataan pemilik pabrik. Dan terpaksa melakukan perampingan pekerja.
Ichank dan teman-temannya tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima keputusan itu dengan kekecewaan yang dalam.
Ichank melajukan motor maticnya keluar dari parkiran pabrik yang sudah delapan tahun menjadi tempat keluar masuk mencari nafkah dari pagi ke malam, malam ke pagi. Kini tinggal kenangan pahit yang dirasakannya.
"Tot, tot." Suara klakson begitu nyaring memekakkan telinganya, dengan terpaksa Ichank menoleh. Handi teman satu timnya di bagian Teknisi rupanya membunyikan klakson motornya.
"Chank, lu nanti rencana cari kerja ke mana?" tanya Handi seraya memelankan laju motornya, begitupun Ichank. Mereka senasib dan ini merupakan pukulan terberat bagi keduanya, sebab mereka adalah tulang punggung dalam keluarga. Ichank dan Handi sama-sama telah berkeluarga, dan jika mereka di PHK, lantas siapa yang menafkahi anak dan istri?
"Gua belum tahu, Han. Paling Gua masih nyari pekerjaan di jalur yang sama. Gua akan mencari kerja di pabrik elektronik lain, siapa tahu salah satu mereka justru menerima pekerja baru," tutur Icank lemah. Handi tertawa mendengar penuturan Ichank. Baginya tidak masuk akal. Disaat perusahaan tempatnya bekerja memutuskan hubungan pekerjaan, maka pabrik elektronik lainnya juga sama melakukan hal itu.
"Jangan mimpi, Chank. Hampir semua pabrik elektronik di kawasan Jababeka ini melakukan pemutusan hubungan kerja secara sepihak. Perusahaan ngomongnya dirumahkan, padahal di PHK sebenarnya, dan mereka tidak mungkin menerima pekerja baru dalam kondisi seperti ini. Lu, ini pakai logika dong," ujar Handi mencemooh. Perkataan Handi benar juga dan sangat menyakitkan sampai ulu hati.
"Nah, elu cari kerja di mana setelah ini?" Ichank penasaran.
"Gua mau coba melamar kerja di tempat Abang gua di Jakut, Priok. Gua akan melamar mejadi karyawan di dermaga peti kemas," ujar Handi lebih terlihat ada harapan.
"Kalau ada lowongan kasih tahu gua, ya, Han."
"Ok, santai aja. Nanti deh kalau ada, gua kasih tahu. Gua aja belum yakin," ujar Handi seraya melajukan kembali motornya keluar gerbang pabrik. Mereka berduapun meninggalkan pabrik, yang kini telah menjadi bekas tempat mencari mata pencahariannya.
Tiba di depan rumah ukuran tipe 36, Ichank menghentikan motornya. Bukan rumah miliknya melainkan milik ibu mertuanya. Ichank sudah tiga tahun tinggal menumpang di rumah mertuanya, sama persis dengan usia pernikahannya dengan Syafa, istrinya. Berhubung belum bisa membeli rumah, dan saat mau ngontrak di rumah petakpun ibu mertuanya, Bu Diah melarang. Sebagai konpensasi dan kontribusi Ichank sebagai menantu yang numpang tempat tinggal, dia dengan kesadaran diri membayar tagihan listrik dan air tiap bulan.
Ichank masuk seperti biasa, dan mengucapkan salam. "Assalamualaikum." Beberapa detik kemudian muncul seorang anak laki-laki, usianya sekitar 16 tahunan, membalas salam Ichank sembari berlari kecil menujunya.
"Waalaikumsalam," ujarnya.
"Bang, aku pinjam motornya dong sebentar, aku mau ke rumah teman di depan," serobotnya sembari tengadah meminta kunci motor. Ichank tidak bisa menolak saat ditodong dimintai pinjam kunci motor oleh adik iparnya itu. Sebetulnya dia ingin menolak, sebab motornya hanya itu saja dan hanya diperuntukkan untuk pergi bekerja, bahkan kini bukan lagi untuk bekerja melainkan untuk mencari pekerjaan. Bukan apa-apa, Suha adik iparnya ini pinjam motor hanya untuk balapan liar dengan teman-teman gengnya, dan Ichank pun merasa khawatir.
"Jangan pelit-pelit, lu, pinjamin motor buat adik ipar lu. Ingat, elu tinggal di siapa kalau bukan di rumah mertua lu?" serobot suara pedas dan cempreng milik ibu mertuanya dari ruang tengah. Terpaksa Ichank memberikan kunci motor itu pada adik iparnya.
"Makenya hati-hati, ya, Ha. Abang mau dipakai buat mencari pekerjaan, sebab Abang sekarang sudah di PHK dari pabrik," peringat Ichank pada Suha.
"Apa, dipecat dari pekerjaan? Yang benar, lu?" kaget Bu Diah dengan mata melotot.
"I-iya, Bu. Ichank hari ini di PHK," sahut Ichank tidak kalah kagetnya.
"Huhhhh, jadi sekarang elu benar-benar tidak ada gunanya, pengangguran? Percuma anakku hidup bersama dengan elu yang pengangguran, tidak berguna!" hardik Bu Diah kecewa berat dan berlalu dari hadapan Ichank.
Ichank termenung dengan sikap Bu Diah yang kecewa, sebetulnya dia sudah memahami sikap Bu Diah yang hanya baik jika sudah diberi suap yang ampuh, tapi kini jangankan suap yang ampuh, untuk biaya hidup beberapa bulan ke depan saja persediaannya mulai menipis.
Jam tujuh malam Syafa, istri Ichank pulang dari bekerja. Kebetulan Syafapun bekerja di sebuah pabrik elektronik sama seperti dirinya. Namun beda pabrik. Syafa nampak sangat kelelahan, dia masuk rumah dengan tubuh yang letih.
Ichank mengikuti Syafa ke dalam kamar, kemudian duduk di tepi ranjang. Ichank ingin segera menyampaikan kabar buruk ini pada istrinya itu. Namun belum sampai berkata, Syafa sudah lebih dulu berbicara.
"Bang, tumben jam segini sudah di rumah? Abang tidak lembur?" Pertanyaan istrinya itu berhasil membuat hati Ichank dilanda bimbang. "Kok Abang diam sih? Ditanya malah diam?" ulang Syafa heran.
"Laki lu tidak bisa jawab, sebab laki lu kini cuma pengangguran, dia dipecat dari pekerjaannya," tandas Bu Diah dari luar kamar. Ichank terhenyak, begitupun Syafa. Syafa menatap dalam ke arah Ichank suaminya, meminta sebuah jawaban.
Ichank mengangguk lemah menandakan semua yang dikatakan Bu Diah benar adanya.
"Kok, bisa Bang?" Akhirnya Ichank menceritakan kronologis dirinya kena PHK di pabrik tempat dia bekerja. Ketika menyudahi ceritanya, tiba-tiba pintu depan digedor beberapa orang. Ichank segera menghampiri pintu. Alangkah terkejut dirinya melihat kondisi motor miliknya yang dibawa seseorang dengan keadaan ringsek. Sedangkan Suha dipapah dua orang karena luka di lutut dan sikunya.
"Apa yang terjadi?" tanyanya sangat terpukul. Syafa dan Bu Diah menghampiri pintu depan dengan perasaan was-was. Motor Ichank yang sudah ringsek dan Suha yang dipapah oleh dua orang, jelas sudah menjawab hal yang sebenarnya terjadi.
"Suhaaa, kenapa lu hah? Kenapa dengan kaki lu? Gara-gara motor butut ini, lu jadi celaka. Memang sialan. Tidak motor tidak pemiliknya sama-sama sialan," umpat Bu Diah kesal.
Karya ini merupakan karya jalur kreatif
Ichank menatap lemah ke arah sepeda motor yang depannya ringsek. Dia sangat sedih dan bingung, apa yang harus dia lakukan dengan sepeda motornya yang kini rusak? Sementara besok dia harus mencari pekerjaan yang tentunya harus menggunakan motor sebagai alat transportasinya.
"Heh, Ichank! Lu cuma berdiri bengong kayak orang kesambet, tolongin kenape adik ipar lu. Dia habis kena musibah gara-gara motor butut elu. Udah butut, bikin orang celaka. Tanggung jawab, woyyy," sentak Bu Diah berang melihat menantunya cuma bengong melihat sepeda motor yang ringsek gara-gara dipakai oleh adik iparnya. Entah dipakai apa sehingga motor milik Ichank bisa sampai ringsek depannya begitu.
Ichank bukannya menolong, dia seperti orang bingung. Sudah dipecat dari pekerjaan, kini sepeda motornya menjadi korban akibat dipakai adik iparnya entah ngapain.
"Aduhhhh, Mak, sakitttt," ringis Suha menahan kakinya yang bared entah kena gesekan aspal atau kena timpa motor.
"Lu makenya bagimane, Ha? Makanya kalau sudah diwanti-wanti sama Abang lu jangan dipakai kebut-kebutan atau balapan liar, lu nurut. Kalau dableg akhirnya, ya, kayak gini, celaka. Mana besok mau dipakai Abang lu cari kerjaan," omel Syafa yang tidak lain Kakak kandung Suha ikut geram dengan kelakuan adiknya ini, yang suka maksa jika meminjam motor suaminya itu.
"Apa sih Syafa, lu malah belain suami lu yang tidak ade gunanye. Kerjaan saja kagak gableg, elu malah belain. Apa gunanye punya laki kayak si Ichank, yang ade gue malu sebagai mertua. Apa kata tetangga, punya menantu cuma pengangguran. Kagak ade gunanye. Percuma ngandalin bergelantungan pelor dua, hidup lu kagak akan kenyang cuma ditumpaki doang," omel Bu Diah lebih berang tanpa tedeng aling-aling.
"Astaghfirullah, Mak, ngucap, Mak. Jangan kasar begitu bicaranya. Lagipula Bang Icank baru hari ini dipecat dan nganggur. Mana tahu besok juga dapat kerjaan lagi. Mak doakan saja Bang Ichank supaya cepat dapat pekerjaan lagi, biar tidak nganggur," bela Syafa. Bagaimanapun juga Ichank merupakan suami yang bertanggung jawab. Selama ini dia tidak pernah dikecewakan oleh Ichank. Hanya karena dipecat dari pekerjaan, dan itupun terjadi hari ini, perlakuan ibunya pada suaminya sungguh sangat menyebalkan dan mengesalkan.
"Alahhh, lu tuh ya belain terus laki lu. Makan tuh cinta. Kalau sudah kagak ada gunanya alangkah baiknya dibuang saja ke laut. Di sini juga buang-buang duit, cuma ngabisin biaya dia makan," tukas Bu Diah semakin tidak enak omongannya. Lantas Syafa membawa suaminya ke dalam kamar menghindari ibunya yang semakin panas.
Ketika Bu Diah sedang ngomel seperti itu, tiba-tiba suaminya, Pak Kayan pulang dari toko. Suaminya Bu Diah hanya seorang pengusaha jasa permak jahit, yang penghasilannya sehari tidak seberapa. Apalagi kalau pelanggan sepi, otomatis sehari cuma dapat 30 rebu perak saja sudah mending. Makanya itu Bu Diah hampir tiap hari ngomel. Entah pada suaminya atau pada Ichank menantunya yang sebenarnya sudah banyak membantu keuangan selama ini.
Syafa membawa duduk Ichank di atas dipan yang hanya dialasi tilam kasur lepet. Akan tetapi lepet-lepet juga Syafa pandai merawat kamar dan rumah ibunya. Saat pulang kerja, walaupun badan sudah dalam keadaan lelah, Syafa masih menyempatkan membersihkan rumah karena dia tidak ingin ibunya ngomel karena cape ngurus rumah.
"Maafkan Emak, ya, Bang. Emak memang bawel begitu, tapi Syafa tahu hati Emak sebenarnya baik. Cuma mungkin untuk saat ini Emak belum mendapatkan hidayah dari Yang Maha Kuasa supaya ikhlas dan tabah dalam menghadapi setiap cobaan." Syafa tidak henti memberi kekuatan pada suaminya yang kini hanya bisa menunduk sedih.
Besoknya, Ichank bermaksud membawa motornya ke bengkel. Dia berharap kerusakan yang diderita motornya tidak parah.
Bersamaan dengan itu, Syafa bersiap akan berangkat kerja. Terpaksa hari ini dia harus berjalan kaki menuju pabriknya.
"Dek, maafin Abang, ya. Gara-gara Abang dipecat, Adek jadi ikut susah. Emak juga jadi ikut marah sama Adek. Hari ini terpaksa Adek pergi kerja jalan kaki dulu, ya. Abang akan usahain motor ini baik lagi dan motor bisa kita gunakan kembali," harap Ichank dengan wajah yang penuh penyesalan dan tentu saja kecewa.
"Iya, Bang tidak apa-apa, Syafa ngerti kok. Justru Syafa yang minta maaf gara-gara Suha pinjam motor Abang, akhirnya begini. Kita semua jadi susah," tukas Syafa ikut menyesali perbuatan adiknya yang mengakibatkan semua jadi kena imbasnya.
"Ichankkkkkk, gua minta duit buat pengobatan si Suha ke pijat refleksi, dia minta diurut karena kakinya keseleo. Elu harus tanggung jawab, gara-gara motor butut elu, si Suha kakinya pincang," teriak Bu Diah pagi-pagi buta masih menyalahkan motornya Ichank. Semua terkejut mendengar Bu Diah berteriak. Pak Kayan, suaminya Bu Diah yang sedang ngopi di dapur, berlari ke ruang tengah melihat keributan di pagi ini, niatnya mau meredakan istrinya ngamuk. Namun Bu Diah malah tambah jadi jika dihampiri.
"Bu, sudah dong, bicaranya jangan teriak-teriak, nanti malah didengar tetangga," peringat Pak Kayan risih, sebab teriakan istrinya sampai terdengar keluar sana.
"Alahhh, Bapak jangan sok bijak kayak gitu. Kalau merasa kagak sanggup memberikan segalanya buat Ibu dan si Suha, maka bagus diam saja kagak perlu ikut nimbrung," sela Bu Diah persis singa lapar di pagi hari.
Ichank bingung dengan permintaan ibu mertuanya itu, sedangkan hari ini Ichank harus keluar duit juga untuk memperbaiki motor yang kemarin rusak. Memang Ichank masih ada tabungan sedikit di bank. Namun uang itu untuk persediaan ke depannya jika dirinya masih belum mendapatkan pekerjaaan beberapa bulan saja.
Bu Diah masih menengadahkan tangannya untuk meminta uang kompensasi Ichank untuk membawa Suha ke pengobatan alternatif seperti yang diinginkan Bu Diah.
"Tapi, Ichank tidak bisa memberi banyak uangnya Bu, sekarang saja Ichank akan membawa motor ke bengkel untuk diperbaiki. Tentunya Ichank perlu uang yang cukup juga untuk membayar perbaikan motor di bengkelnya.
"Alah pelit amat lu jadi menantu, kalau kagak mau memberi, diam saja kagak usah pakai alasan uangnya dipakai untuk memperbaiki motor yang ringsek."
Syafa yang mau pergi bekerja, sejenak harus berdiri terpaku mendengar ocehan ibunya itu yang apabila dilawan bukan tandingannya.
Akhirnya Ichank memberikan sebagian uang kesnya untuk pengobatan Suha yang masih tergeletak kesakitan karena kakinya keseleo.
Bu Diah segera merebut uang yang diberikan Ichank ke tangannya. Lalu digeber-geber di udara. Untuk menghindar keadaan yang lebih hot lagi, Ichank dan Syafa akhirnya pergi dan berpamitan dengan tujuan yang berbeda.
Hari kemarin sampai pagi ini benar-benar hari yang tidak beruntung bagi Ichank. Akan tetapi dia harus tetap kuat menjalaninya demi Syafa sang istri yang selalu mendukungnya.
Karya ini merupakan karya jalur kreatif
Ichank masih di bengkel memperbaiki motornya yang ringsek. Untung saja yang ringsek hanya body depan dan jari-jari yang penyok. Sejenak Ichank menatap sedih ke arah sepeda motor yang merupakan satu-satunya alat trasnportasi untuknya mencari nafkah.
Dua jam motor itu selesai dan kembali bisa digunakan. Ichank senang, sebab besok dia bisa kembali mengantar istrinya ke tempat kerja.
Setelah membayar ongkos perbaikan servis motor, Ichank segera menyalakan motor dan mencobanya. Ichank merasa bersyukur, sebab motornya masih enak dipakai meskipun sudah melewati tahap perbaikan.
Ichank melajukan motornya membelah kota Bekasi. Kali ini tujuannya adalah mencari pekerjaan. Dia berharap hari ini mendapatkan pekerjaan lagi, entah apa saja yang penting halal dan bisa mencukupi kebutuhan mertuanya membayar listrik dan air. Sedangkan untuk kebutuhan istrinya sendiri yang memang kewajibannya, untuk sementara bisa dicover dari uang sisa miliknya yang masih ada di bank.
Sepanjang jalan Tambun-Bekasi sudah dia susuri. Setiap Ichank menemukan pabrik, entah itu elektronik maupun non elektronik, dia sambangi dan berharap ada lowongan pekerjaan. Hasilnya nihil.
Sejenak Ichank menepikan motornya untuk sekedar beristirahat melepas lelah, setelah tadi menyusuri jalanan Tambun-Bekasi mencari pekerjaan. Ichank terduduk lemas di atas jok motornya di bawah pohon Suren yang daunnya mampu menaungi dia dari panasnya terik matahari yang kini sudah berada tepat di ubun-ubun kepala.
"Haaaahhh."
Sejenak Ichank menarik nafasnya dalam-dalam, kemudian melepaskannya membuang lelah yang sejak tadi menggelayutinya.
"Ya Allah, sudah siang begini belum mendapatkan pekerjaan apa-apa," desahnya lelah. Semua perusahaan tidak ada yang mau menerimanya sebagai pegawai. Sungguh ironi di balik pemutusan pekerjaan karena alasan Covid-19, jika masih ada perusahaan yang masih menerima pekerja baru. Ichank bukan tidak paham itu, dia hanya penasaran dan mencoba, siapa tahu keberuntungan masih berpihak padanya.
"Harus kemana lagi aku mencari?" gumannya putus asa.
Ichank kembali ke rumah mertuanya tepat jam tiga sore lewat 10 menit, dengan tubuh yang lelah. Di rumahnya sudah ada Suha dan Ibu mertuanya yang tengah leyeh-leyeh menikmati goreng pisang dengan segelas besar minuman es dingin, menghadap TV.
Ichank masuk ke rumah seperti biasa, mengucap salam dan membuka sepatunya di luar.
"Assalamualaikum."
Ucapan salamnya hanya dibalas dengan gumanan kecil dan sorot mata tajam yang judes dari kedua mata Ibu mertuanya. Kilatan kesal dan tidak suka mendominasi raut wajahnya.
Ichank segera memasuki kamarnya dan bersiap ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Namun, dengan cepat mertuanya mencegat, dengan menenteng segelas minuman es dingin di tangannya. Sejenak Ichank menatap es dingin di tangan mertuanya, seketika rasa haus menjalar di kerongkongannya.
"Gimane, lu udah dapat pekerjaan lagi kagak? Jika belum, lu kagak usah ke kamar mandi dulu. Elu harus bantuin gue cuci piring dan nyuci baju di dalam mesin cuci sono. Piring kotor numpuk, kagak ada buat alas nasi," todongnya membuat Ichank mengurungkan niatnya ke kamar mandi padahal tubuhnya sangat lelah dan lengket.
Ichank tadinya ingin menolak. Namun, Ibu mertuanya menghalangi jalannya untuk ke kamar mandi. Terpaksa Ichank menuruti perintah Ibu mertuanya. Menyalakan dulu mesin cuci dan memasukkan baju kotor yang akan dicucinya di mesin, lalu menyalakan mesin kemudian meninggalkannya untuk mencuci piring kotor yang numpuk di wastafel.
Ichank terheran-heran dengan piring kotor yang menumpuk di wastafel. Tadi pagi dia tidak melihat piring sebanyak itu, sebab setelah sholat subuh sudah dicuci dulu oleh Dita, istrinya. Bekas siapa piring kotor sebanyak itu, Ichank sungguh heran.
Piring kotor sudah selesai dia cuci, kini giliran membilas baju yang sudah selesai digiling dengan mesin cuci.
"Enak banget, ya, nyuci sama mesin cuci. Pemborosan tahu! Cuci sama tangan. Sekarang kita harus menekan pengeluaran listrik sehemat mungkin, sebab elu sudah tidak bekerja. Jadi, apa yang bisa diharapkan dari elu lagi, uang saja sudah kere," serobot Ibu mertuanya keras yang tiba-tiba muncul menuju dapur dan berdiri di depan mulut pintu. Ichank tidak bisa melawan terlebih yang dihadapinya hanya seorang wanita yang sepatutnya ia hargai.
Ichank segera mengangkat kembali baju yang sudah berada di dalam mesin cuci yang tadinya akan dia bilas sama mesin cuci. Lalu dia bilas kembali dengan menggunakan air ke dalam ember untuk dibersihkannya.
Hari demi hari Ichank lalui dengan nelangsa dan pekerjaan rumah yang selalu ada saja dan menumpuk. Ini semua terpaksa dia lakukan, sebab Ichank sampai hari ini belum juga mendapatkan kembali pekerjaan. Omelan Ibu mertuanya selalu dia dapatkan. Sementara Ayah mertuanya, Pak Kayan, sebagai suami sama sekali tidak berkutik menyaksikan istrinya ngomel tiap hari. Dia saja kalah dalam bertutur kata jika sudah menghadapi istrinya.
Ichank membaringkan tubuhnya di dipan dengan kasur busa yang sudah lepet, untuk sekedar mengistirahatkan pinggangnya yang dia pakai sejak pagi tadi tiada henti, untuk menyelesaikan pekerjaan rumah yang tidak ada habisnya.
Hari ini Ibu mertuanya butuh uang untuk arisan dan cicilan barang kredit, sementara Ichank sudah tidak memegang uang sepeserpun. Uang tabungannya di bank sudah habis dia pakai untuk memenuhi kebutuhan rumah mertuanya. Bayar listrik dan air serta tabung gas yang bisa menghabiskan kurang lebih tiga tabung sebulan.
Syafa tiba-tiba masuk dan mendapati suaminya terbaring dengan mata yang menerawang jauh. Syafa menghampiri kemudian meraih tangan Ichank lembut. Syafa bukan tidak tahu kecamuk rasa yang dirasakan suaminya, dia juga merasakan kesedihan yang mendalam. Namun, Syafa tidak bisa berkutik melawan Ibunya. Dia akan tetap kalah jika melawan Ibunya.
"Bang," sapanya lembut menatap suaminya. Ichank mendongak lalu menatap Syafa yang ternyata baru disadarinya. Kehadiran Syafa sedikit memberi harapan atas kebingungan yang tadi dia rasakan.
"Dek."
Ichank bangkit dan meraih tubuh Syafa, untuk sejenak dia menenggelamkan tubuhnya untuk sekedar melepas lelah.
"Dek, hari ini Ibu bilang ke abang butuh uang. Tapi, abang sudah tidak memiliki uang untuk diberikan, sedangkan uang tabungan di bank, Adek tahu sendiri sudah habis dipakai kebutuhan kita selama enam bulan ini. Sementara abang sampai hari ini belum mendapatkan pekerjaan yang layak." Ichank mencurahkan unek-uneknya kepada Syafa dengan maksud meringankan beban pikirannya.
"Ngapain, lu masuk kamar? Untuk mengajak senang-senang dengan anak gue? Kasih duit dulu sebelum bersenang-senang, baru lu bisa memakainya," teriak Bu Diah kencang membuat Syafa dan Ichank tersentak di dalam kamar.
Ichank bingung, uang apa lagi yang harus dia berikan pada Ibu mertuanya sementara dia sudah tidak punya uang pegangan lagi? Disaat bingung seperti itu, Ichank sekelebat mendapat ilham, yaitu meminjam emas yang dipakai Syafa untuk diberikan pada Ibu mertuanya.
"Dek, bolehkah abang pinjam emas yang Adek pakai untuk diberikan pada Ibu? Nanti setelah abang memiliki pekerjaan lagi, emas yang terpakai akan abang ganti," ungkap Ichank penuh harap. Sementara Syafa menatap terkejut ke arah Ichank mendengar permintaan Ichank barusan.
Apakah Syafa akan memberikan emasnya untuk Ichank pinjamkan pada Ibunya atau tidak?
Karya ini merupakan karya jalur kreatif
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!