"Skripsi kamu tidak ada, kamu masih bisa berkata bahwa saya berbohong?" Hardik Dosen itu.
"Tapi saya benar-benar sudah mengumpulkan skripsi saya, Pak. Kenapa bapak tak menghubungi saya kalau bab dua yang sudah saya kumpulkan hilang? Belum lagi Bapak juga selalu dinas ke luar negeri. Sudah dua bulan saya menunggu kapan saya bisa bimbingan, bayangkan Pak! Kalau begini caranya saya jadi tidak bisa sidang di akhir semester ini!"
Lyra benar-benar tak mengerti bagaimana bisa jerih payahnya yang ia kerjakan selama dua minggu dengan tidur hanya beberapa jam bisa hilang tanpa jejak. Ia juga tidak peduli jika sekarang ia dinilai tidak sopan karena berbicara dengan suara keras dan nada tinggi kepada seorang dosen.
"Tidak perlu berlebihan. Kamu bisa menge-print-nya lagi, 'kan? Atau kamu kirim saja via email. Serahkan pada saya besok." Pria paruh baya itu pun pergi meninggalkan Lyra yang masih emosi.
Memang, skripsi itu bisa di-print ulang, tapi masalahnya Lyra sudah pasti kehilangan kesempatan untuk sidang di akhir semester ini. Dengan kata lain, ia akan terlambat untuk lulus. Padahal ia sangat ingin segera lulus, mencari pekerjaan, dan angkat kaki dari rumah orang tua angkatnya.
Juga, tugas, makalah, buku, bahkan kini skripsinya hilang, adalah bukan yang pertama kali. Ini sudah yang keberapa kali? Sampai kapan hal seperti ini terjadi lagi dan lagi pada Lyra?
Tiba-tiba sudut mata Lyra menangkap sosok perempuan berwajah kebarat-baratan dan berambut coklat dengan fashion item yang melekat dari ujung kaki ke ujung kepalanya. Emosi Lyra seketika meluap. Dengan tergesa ia menghampiri perempuan tinggi semampai itu.
"Rachel!" teriak Lyra membuat perempuan itu menoleh ke arah Lyra.
"Ini ulahmu lagi 'kan?!" Rasanya Lyra ingin mencengkram blazer yang digunakannya dan menariknya. Akan lebih memuaskan jika ia bisa menjambak rambut berkilau yang terawat itu dan mencabutnya beberapa helai. Namun kedua kacung setianya segera menghadang Lyra.
"Kembalikan skripsiku!" teriak Lyra lagi.
Rachel malah tertawa puas melihat wajah penuh amarah Lyra. "Kalau aku tidak mau, bagaimana?"
"Kau punya masalah apa denganku?! Kenapa kau selalu menggangguku?!" Teriak Lyra sudah tak bisa menahan emosinya lagi.
Kemudian sekuat tenaga Rachel mendorong tubuh Lyra hingga tubuhnya terjerembab ke lantai. "Aku tak perlu alasan untuk mengganggumu. Kalau aku tak suka, maka aku akan menganggumu. Suruh siapa kau kuliah di kampusku ini!"
"Maka dari itu aku ingin cepat lulus dari sini! Agar kau tak perlu melihatku lagi! Tapi karenamu, aku jadi tak bisa sidang akhir semester ini! aku jadi harus mengontrak satu semester lagi untuk menyelesaikan skripsiku!"
Rachel terbahak mendengar kata-kata Lyra. Dijambaknya rambut hitam dan panjang milik Lyra, membuat Lyra mengaduh kesakitan. "akmu akan keluar dari sini, tapi bukan dengan cara lulus! Aku akan pastikan kau di drop out dari sini!"
...***...
Lyra sampai di rumahnya. Namun saat tiba di depan gerbang, ada beberapa orang yang sudah berkumpul di halaman rumahnya.
"Ada apa ini ya, Pak?" Tanya Lyra bingung pada Pak RT yang juga ada di sana.
"Loh, Mbak Lyra masih ada di sini? Kamu tidak ikut Pak Toni dan Bu Sarah pindah ke Amerika?"
Sontak Lyra berdiri mematung.
"Amerika...?" Lirihnya.
Pak RT pun terkejut melihat Lyra yang kebingungan. "Tapi ini rumahnya sudah dijual, Mbak. Ini orang yang baru beli rumahnya sudah mulai memindahkan barang-barangnya."
"Terus saya bagaimana, Pak? Saya tinggal di mana?!"
Akhirnya Lyra kini ada di sebuah halte. Ia membawa beberapa barang pentingnya ke dalam sebuah koper. Ia menangis dalam diam di halte itu.
Sungguh hari yang sangat sial! Umpatnya dalam hati.
Ia begitu membenci kedua orang tua angkatnya. Lyra tahu mereka sangat kejam, tapi ia tak pernah menyangka mereka akan sekejam ini dan pergi tanpa pamit, tanpa kabar, dan membiarkan Lyra tak punya tempat tinggal dan sepeserpun uang.
Lyra teringat ketika ia akan masuk SMP, ia diadopsi oleh sepasang suami istri. Lyra bahagia sekali, akhirnya setelah sedari bayi ia menghabiskan waktu di panti asuhan dan melihat satu persatu anak diadopsi, kini tiba juga gilirannya. Hingga dibawalah Lyra dari panti di sebuah desa kecil, ke kota besar seperti ini.
Awalnya mereka begitu baik pada Lyra, tapi lama kelamaan sikap mereka berubah. Mereka mengadopsi Lyra ternyata hanya untuk mereka jadikan pembantu. Lyra sempat melaporkan mereka kepada pihak panti dan Lyra yang asalnya tidak akan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, akhirnya dimasukkan ke sebuah kampus ternama oleh Toni dan Sarah, demi menutupi kebusukan mereka. Karena jika mereka ketahuan selama ini menelantarkan Lyra dan menjadikannya pembantu, mereka bisa dilaporkan ke pihak yang berwajib.
Namun seakan belum cukup sikap buruk mereka selama ini terhadap Lyra, kini mereka membuat Lyra kehilangan segalanya. Bahkan tempat bernaung pun tak ada. Biaya kuliah semester depan yang seharusnya tak perlu Lyra bayar karena seharusnya ia bisa menyelesaikan skripsinya di semester sekarang pun tak Lyra miliki.
Ia marah. Kenapa hidup begitu tidak adil padanya?
Lyra terlahir tanpa mengetahui siapa orang tuanya. Ia selalu mencoba untuk hidup mandiri dan tak menyusahkan siapapun, tapi takdir selalu tak berpihak padanya. Orang tua angkatnya yang kejam terhadapnya, juga perempuan bernama Rachel yang selalu mengganggunya, selalu sukses membuat Lyra merasa seakan menjadi orang yang paling dianaktirikan di dunia ini.
Mimpinya hanya satu, ia ingin lulus dan mendapatkan pekerjaan yang bergaji besar. Ia ingin memperbaiki kehidupannya. Ia akan meninggalkan orang tua angkatnya setelah lulus. Namun bukan dia yang meninggalkan, malah ia yang ditinggalkan sebelum mimpi itu berhasil dicapainya.
Malam pun semakin larut. Namun Lyra masih belum mengetahui akan kemana, hingga saat hampir tengah malam, ia masih berada di halte itu. Ia tak tahu harus kemana, karena teman pun ia tak punya. Tak ada yang mau berteman dengannya karena jika ada yang mendekatinya, Rachel akan mengganggunya juga.
"Hey, kamu kabur dari rumah?" Tiba-tiba seorang perempuan mengajak Lyra berbicara.
Lyra menoleh dan melihat seorang perempuan dengan riasan tebal dan pakaian yang cukup terbuka duduk di sampingnya.
"Sepertinya kamu sedang butuh uang?" tebaknya.
"Kenapa Tante tahu?" tanya Lyra keheranan sembari menyeka air matanya.
"Aku tahu dari penampilanmu," sahut perempuan itu.
Lyra tak menjawab lagi. Ia sudah tak punya tenaga, ia sangat mengantuk dan lapar sekali.
"Ikut saya," ajaknya.
Lyra hanya terdiam tak mengerti. "Saya akan traktir kamu makan," tambahnya.
Mendengar kata makan membuat Lyra tak bisa menolak. Akhirnya kini ia ada di sebuah tenda nasi goreng. Ia melahap nasi goreng itu dengan lahapnya hingga tak bersisa satu butir nasi pun dalam waktu singkat.
"Terima kasih, Tante," ucap Lyra setelah ia meneguk segelas air putih.
"Ini bantuan pertama saya. Saya akan menawarkan kamu satu bantuan lagi."
"Bantuan apa lagi?" tanya Lyra dengan perasaan yang berbinar.
Tidak seperti penampilannya yang mengundang pandangan negatif, ternyata orang ini sungguh baik, pikir Lyra dalam hati.
"Pekerjaan. Kamu pasti butuh uang dalam jumlah banyak dengan segera, 'kan?"
"Iya, Tante, Saya butuh sekali pekerjaan. Saya butuh tempat tinggal. Saya juga tak punya uang. Tolong bantu saya, Tante!"
Lyra tidak peduli lagi siapa orang ini, yang ia tahu perempuan ini seperti ibu peri yang akan menolongnya melewati situasi sulit ini.
"Okay, saya akan beri kamu pekerjaan. Tapi saya ingin tahu dulu, apa kamu masih perawan?"
Sontak Lyra yang begitu bersemangat, berubah lesu. Sepertinya ia bisa menebak pekerjaan apa yang dimaksud perempuan ini.
...----------------...
Visual Lyra Faranisa
Wanita beriasan tebal itu membawa Lyra ke sebuah tempat hiburan malam. Di sana Lyra melihat hiruk pikuk orang-orang berdansa mengikuti alunan musik yang berdentum-dentum.
Lampu berkelap-kelip dengan berbagai warna yang menyilaukan menyinari ruangan yang gelap itu. Selama ini ia hanya pernah melihat tempat itu dari TV atau di internet. Kali ini Lyra begitu terkejut melihat tempat hiburan malam dengan mata kepalanya sendiri.
Tatapan Lyra menyapu ke sekeliling sambil melangkah lebih dalam lagi, di meja-meja di sudut ruangan ia melihat orang-orang menenggak minuman, berciuman dan saling menyentuh, seketika Lyra mengalihkan pandangannya.
Bukannya terlepas dari pemandangan yang tidak seharusnya dilihatnya, kini ia malah melihat hal yang lebih ekstrim lagi. Beberapa orang wanita dengan nyaris tak menggunakan pakaian, menari dengan ero tisnya di sebuah tiang. Tubuhnya meliuk-liuk dengan tatapan penuh has rat, mengundang para pria hidung belang untuk menjamah dan memberinya uang.
"Hey!" teriakan dari wanita tadi membuyarkan perhatian Lyra dari wanita-wanita penghibur itu. "Cepat ke sini!"
Lyra pun segera membawa kopernya masuk ke sebuah ruangan sempit. Ruangan itu tak terlalu bising. Di sana ia melihat seorang perempuan tua dengan riasan tebal duduk di sebuah kursi sambil asyik menghisap rokoknya.
"Madam, lihat apa yang aku temukan di halte."
Perempuan yang disebut madam itu menatap Lyra dengan seksama, dari ujung kaki ke ujung kepala. "Starla, kau bawa barang bagus. Apa dia masih perawan?"
"Kalau tak perawan, untuk apa aku bawa dia ke sini," sahut wanita yang ternyata bernama Starla itu.
Seketika Lyra tahu siapa perempuan ini. Paling tidak ia tahu profesinya. Ia pasti wanita yang sering 'menjual' para wanita untuk dinikmati para pria hidung belang. Bertemu dengannya membuat Lyra ingin sekali kabur, tapi ia tak bisa melarikan diri sekarang. Ini adalah satu-satunya kesempatannya untuk mendapatkan uang.
"Kemari."
Wanita tua itu menyimpan rokoknya di asbak, dan Starla menarik Lyra mendekat pada perempuan tua itu.
"Siapa namamu?" Tanyanya.
Lyra terdiam sesaat, lalu berkata, "Aryl."
Lyra cukup cerdik tak mengatakan nama aslinya. Bagaimana pun ini tempat yang berbahaya untuknya. Ia harus berhati-hati.
Seketika wanita tua itu meremas kedua dada Lyra, membuat Lyra seketika berteriak dan menghindar. Namun Starla segera menahan Lyra. "Kamu butuh pekerjaan ini 'kan? Jadi diam saja! Biarkan Madam Grace melihat seberapa mahalnya dirimu!"
"Tapi..." Lyra kembali berteriak saat wanita itu menyentuh bo kongnya. Kemudian Madam Grace menelisik wajah Lyra lebih dekat.
"Dia bisa dijual cukup mahal," ucap Madam Grace dengan puas. "Kita bisa tawarkan dia kepada Tuan Felix."
"Serius, Madame? Tuan Felix? Aku akan mendapat bagian 'kan?" tanya Starla dengan mata berbinar.
"Tentu," ucapnya seraya duduk di sofanya lagi dan menghisap rokoknya lagi. "Sekarang bawa dia ke atas dan dandani dia sesuai selera Tuan Felix."
Dengan semangat Starla membawa Lyra ke lantai atas. "Ikut aku"
Tak lama mereka tiba di sebuah kamar. Kamar itu tak terlalu luas, ada banyak lemari dan baju yang menggantung, juga alat make up yang berantakan di sudut kamar.
"Buka bajumu, ganti dengan ini."
Starla memberikan sepasang dalaman yang menggoda dan juga dress yang sangat kecil dan pendek.
"Ini kekecilan," protes Lyra pelan.
"Tidak. Baju ini akan membuatmu kelihatan se ksi."
Lyra pun membawa pakaian itu dengan pasrah. "Di mana kamar mandinya?" tanya Lyra bingung.
Starla mendekat dengan gemas pada Lyra. Seketika Lyra berteriak saat Starla membuka paksa kaos yang digunakannya. "Kau tak usah malu. Sebentar lagi kau akan terbiasa memperlihatkan tubuh polosmu di depan orang-orang."
Mendengar kata-kata itu membuat Lyra berubah pikiran dan memberontak lebih keras. "Aku tidak mau, Tante! Aku mau pergi dari sini!" Lyra berjalan menuju pintu.
"Enak saja!" teriak Starla. Starla menghadang Lyra dan mengunci kembali pintu kamar itu. "Jika kau mau pergi, bayar aku 10 juta."
"Tante tahu aku tak punya uang sebanyak itu!" Lyra tak terima dirinya diperas.
"Itu adalah jumlah yang akan aku terima kalau Tuan Felix suka sama mu. Jadi jika kau tak mau, kau yang harus membayarku!" tantang Starla. "Silahkan kabur dari sini. Kita lihat, apa bodyguard yang jaga di depan akan membiarkanmu pergi dari sini?"
Dagu Lyra bergetar dan air mata mulai berjatuhan di pipinya. Ia kembali marah pada keadaan. Bagaimana bisa dirinya selalu ada di situasi semacam ini? Tak punya pilihan dan berkorban perasaan.
"Kamu harusnya bersyukur."
Starla mulai melucuti pakaian Lyra satu persatu dan menggantinya depan pakaian yang telah disiapkannya. "Aku kerja selama sebulan saja belum tentu mendapatkan uang sebanyak yang akan kau terima dari Tuan Felix setelah melayaninya satu malam."
Starla mulai memoleskan make up ke wajah Lyra. Lyra kembali hanya bisa pasrah. Dan kemudian ia melihat dirinya di cermin. Terlihat sangat berbeda dengan riasan tebal, cantik namun begitu palsu. Dadanya juga terlihat begitu besar dengan pakaian ketat itu.
"Bagaimana, aku sangat berbakat merias bukan?" tanya Starla seraya menatap puas pantulan wajah Lyra di cermin.
Saat Starla merapikan kembali alat-alat make up itu, Lyra bertanya. "Tuan Felix itu... siapa?"
"Dia tiba-tiba datang sekitar dua bulan lalu. Dia mendatangi Madame Grace dan mencari perempuan yang masih perawan. Dua bulan ini Madame Grace sudah menawarkan beberapa perempuan tapi tak ada yang masuk kriterianya. Semoga kali ini dia cocok denganmu. Kelihatannya sih dia pria baik-baik, tapi ternyata suka juga 'jajan'. Tapi ya itu, seleranya lumayan tinggi dia tak mau remaja tanggung, dan tak mau juga yang terlalu tua. Terus tak mau barang second, di menginginkan perempuan yang masih disegel dan kulitnya harus putih dan bener-bener mulus. Jadi kau sangat mujur bisa ditemukan olehku, karena kelihatannya Tuan Felix ini bukan orang sembarangan. Dia kaya raya. Makanya kamu harus bisa puaskan dia. Agar kau tidak sekedar menemaninya satu malam saja tapi bisa jadi sugar baby nya dan hidup dengan enak."
Tawaran menggiurkan yang Starla ucapkan sama sekali tak menarik perhatian Lyra. Ia tak butuh menjadi gadis pemuas dari seorang pria kaya raya. Ia tak mau hidup enak dengan cara seperti itu. Lyra hanya membutuhkan uang untuk membayar kuliah dan juga mencari tempat tinggal. Semoga saja benar apa yang Starla katakan bahwa Lyra akan mendapatkan uang yang sangat banyak hanya dengan melayani Tuan Felix satu kali saja. Sehingga ini akan menjadi pertama dan terakhir kali Lyra terjun ke dunia kotor ini.
Akhirnya Lyra berada di sini, di sebuah kamar hotel mewah. Ia di minta menunggu Tuan Felix datang menemuinya. Lyra tak bisa berhenti gelisah. Hingga setelah menunggu lama, pria itu datang.
Tak seperti yang Lyra bayangkan, ternyata Tuan Felix masih sangat muda. Mungkin umurnya sekitar akhir 20 tahunan. Ia menggunakan setelan kantor dengan rambut klimis yang tertata rapi. Kacamata bertengger di hidungnya yang mancung. Ia menatap Lyra dengan dingin.
"Nama?" tanyanya.
"Aryl," jawab Lyra dengan suara yang nyaris tak terdengar.
Felix mengerutkan dahi. "Aryl?"
Lyra mengangguk tanpa melihat ke arahnya.
"Ikut saya," ujarnya.
Lyra pun menurut dan memasuki sebuah kamar yang ada di presidential room itu. "Sekarang buka seluruh pakaian kamu."
Lyra hanya terdiam. Hati kecilnya masih menolak untuk menempuh jalan pintas ini.
"Apa perlu saya yang membuka pakaianmu?" paksa Felix masih dengan nada yang dingin.
Lyra semakin enggan. Ia meremas ujung dress mini yang memperlihatkan setengah pahanya. Tak bisa menunggu, Felix menghampiri Lyra dan secepat kilat tali dress yang menggantung di kedua pundak Lyra sudah berhasil merosot ke bawah.
"Tuan, tolong jangan..." tangis Lyra.
Namun Felix tak menggubris tangisan wanita malang itu. Ia terus melucuti seluruh pakaian Lyra tanpa ampun hingga tubuhnya benar-benar polos. Kemudian Felix mendorong tubuh Lyra ke kasur dan membuka kedua lutut Lyra. Lyra hanya bisa menangis seraya menutup kedua dadanya yang terekspos.
Felix memperhatikan area diantara paha Lyra dan kemudian ia menjauh. Ekspresinya tak berubah, tetap dingin seperti tadi. Seakan tubuh indah Lyra tak mempengaruhinya sama seklai.
Ia meraih ponsel di saku dalam jasnya dan menghubungi seseorang. Saat menunggu sahutan dari orang yang dihubunginya, ia memerintah pada Lyra, "pakai lagi pakaianmu dan perbaiki riasanmu. Sebentar lagi orang yang akan menikmatimu akan segera datang."
Lyra benar-benar tak mengerti. "Apa? Bukankah Tuan adalah Tuan Felix?"
Ia tak menggubris Lyra dan berbicara di telepon. "Pak, saya menemukan wanita yang sesuai."
Felix mengangguk dan mematikan ponselnya. Ia menatap Lyra. "Saya Felix, tapi bukan saya yang akan memakai jasamu." Felix berjalan menuju luar kamar. "Setelah berpakaian, kamu harus menandatangani sesuatu."
Jadi, jika bukan Felix yang akan 'menikmati' Lyra, lalu siapa?
Lyra duduk di sofa ruang tamu, berhadapan dengan Felix. Jari-jarinya terus saling meremas dengan gelisah. Di depannya tergeletak beberapa lembar surat perjanjian.
"Apa ini?" Tanya Lyra cemas.
"Bacalah," titah Felix menggeser dokumen itu pada Lyra.
Lyra meraih kertas itu dengan tangan yang bergetar dan mulai membacanya. Di sana tertera beberapa poin yang isinya kurang lebih adalah Lyra harus tutup mulut mengenai hubungan yang akan ia lakukan dengan pria bernama Zachery Khaled Ivander. Lyra harus merahasiakan semuanya dan mengatakan bahwa ia disewa oleh Felix, bukan oleh pria bernama Zachery ini.
"Zachery..." Lyra bergumam, ia bertanya-tanya siapa pria bernama Zachery ini. Kenapa ia sampai harus membuat perjanjian rahasia seperti ini.
Rasa penasarannya terhadap siapa sosok Zachery seketika menguap saat melihat nominal yang akan diterimanya setelah malam ini berakhir. Nominal yang lebih dari cukup untuk dirinya membayar kuliah, bahkan mengontrak sebuah tempat kost selama setahun.
Sebesar itu uang yang akan ia terima? Lyra sangat terhenyak.
"Kamu mengerti sekarang? Hubungan yang akan kamu lakukan dengan Pak Zachery harus dirahasiakan. Jika kamu bertemu tak sengaja di luar, atau melihatnya di internet atau di mana pun, abaikan. Anggap hubungan ini tidak pernah terjalin. Anggap kamu sama sekali tidak mengenalnya. Jika ada orang yang bertanya, seperti Madame Grace atau yang lainnya, katakan saya yang telah memakaimu. Paham?" terang Felix.
"Ke-kenapa seperti itu, Tuan?" tanya Lyra kembali penasaran.
"Beliau seseorang yang sangat penting. Itu saja yang harus kamu tahu," ujarnya dingin. "Tanda tangani sekarang juga." Ia menyodorkan sebuah pulpen pada Lyra. Lyra pun menandatanganinya dengan pasrah.
"Kamu sudah sepakat." Felix memasukkan dokumen perjanjian itu ke dalam sebuah map. "Jika kamu melanggar, kamu akan mendapatkan akibatnya. Sekarang berikan nomor rekeningmu. Saya akan transfer uang atas jasamu setelah kamu selesai melayani Pak Zach."
"Saya tidak punya nomor rekening."
Lyra tidak mau mengambil resiko dengan memberikan jejak seperti itu. Ia sendiri sangat setuju jika setelah malam ini, mereka tidak saling bertemu lagi. "Bisakah saya mendapatkan bayaran dalam bentuk tunai?"
"Kamu ternyata cukup pintar," puji Felix mengerti maksud Lyra. "Baiklah, saya akan katakan kepada Pak Zach. Beliau sendiri yang akan membayar kamu nanti."
Setelah itu Felix pergi. Lyra pun kembali menunggu dengan gelisah. Diam-diam ia menjadi penasaran, siapa sebenarnya pria yang bernama Zachery Khaled Ivander ini?
Lyra terpikirkan beberapa kemungkinan. Felix mengatakan ia adalah orang penting. Mungkinkah dia seorang presdir perusahaan besar, atau seorang petinggi di peme rintahan? Yang pasti ia pasti ingin citranya tetap terjaga. Akan menjadi skandal besar jika ia diketahui menyewa seorang perempuan untuk menemaninya.
Dasar laki-laki baji ngan, umpat Lyra dalam hati.
Lyra menghela nafas. Ia kembali mengasihani dirinya sendiri. Tak pernah terbayangkan ia berada di posisi ini, menjadi seorang wanita yang dinikmati pria asing yang entah siapa.
Ia merasa begitu rendah.
Lalu Lyra bergumam, "Lyra, hanya sekali ini aja. Dengan uang yang kamu akan terima, kamu bisa bayar kuliah, dan juga tempat tinggal. Sesudah itu hidupmu akan aman-aman saja. Cukup lakukan saja apa yang akan terjadi malam ini, dan anggap semuanya tak pernah terjadi setelahnya." Lyra meyakinkan diri. "Iya, aku harus berpikir seperti itu."
Waktu menunjukkan lewat tengah malam. Namun pria itu belum juga muncul. Lyra mulai tak sabar. Ia ingin segera menyelesaikan 'pekerjaannya' ini. Lalu iseng ia membuka ponsel dan melakukan pencarian dengan nama Zachery Khaled Ivander.
Baru saja Lyra mengetik 'Za', pintu kamar hotel itu dibuka oleh seseorang. Seketika Lyra menyimpan ponselnya dan berdiri dengan gugup.
Pria itu sudah datang.
Pintu perlahan terbuka dan masuklah seorang pria tinggi dengan setelan jas yang mewah. Kali ini Lyra yakin, pria itu adalah Zachery. Perasaan Lyra semakin tak karuan karena walaupun ia merasa semua ini sangatlah salah, pria yang menyewanya adalah salah satu dari pria breng sek yang ada di dunia ini, tapi ia tak bisa menampikan bahwa Lyra terpesona pada penampilan pria itu. Zachery benar-benar seorang pria tampan rupawan.
Usianya mungkin sudah nyaris empat puluh, tapi fisiknya memperlihatkan ia masih sangat pantas dikatakan berumur kepala dua. Tubuhnya tegap dan bidang. Wajahnya dewasa dan berwibawa. Auranya sangat berkharisma. Belum lagi kedua mata tajam yang dihiasi bulu mata lentik dan juga alis yang tebal. Hidung yang mancung dan tinggi, matanya hitam kecoklatan, serta dagu yang dihiasi bulu tipis, benar-benar membuat semua orang akan setuju jika pria itu bukan hanya tampan, tetapi benar-benar tampan.
Pria itu mendekat pada Lyra dengan raut wajahnya yang dingin. Lyra segera menunduk di saat tatapan mereka bertemu. Sorot matanya begitu mengintimidasi. Rasanya tatapannya itu menusuk hingga ke hati Lyra, seakan Lyra tak diizinkan menatap Zachery lama-lama.
"Aryl?" Suaranya begitu berat dan rendah.
Lyra hanya diam mematung. Ia tak bisa menggerakkan tubuhnya. Lalu dagunya terasa disentuh dan ternyata tangan lembut dan hangat milik Zachery yang sedang mengarahkannya agar pandangan Lyra menatap ke arahnya.
Zachery mengamati wanita yang ada di depannya. Ditatapnya wajah cantik yang dihiasi riasan tebal. Meskipun demikian, Zachery tahu, Lyra sudah cantik secara alami tanpa bantuan make up. Ia baru pertama melihat wajah seperti ini. Kedua mata besarnya sendu dan ramah, hidungnya bangir, bibirnya kecil dan mengundang. Wajahnya tidak terlalu oval, malah tergolong bulat. Namun justru menghasilkan kesan cantik yang unik.
Tanpa menunggu Zachery melahap bibir kecil yang mengundang itu. Lyra tersentak kaget karena tanpa aba-aba, seseorang sedang menikmati bibirnya untuk yang pertama kalinya. Lyra hanya bisa membiarkannya karena pria ini sudah 'memesan'nya dan Lyra sudah setuju untuk melayaninya.
Perlahan Zachery menjauh dan menatap wajah Lyra. "Bibirmu begitu kaku."
"Sa-saya belum pernah..." Lyra menunduk dengan takut.
"Belum pernah?" Dahi Zachery bersatu. "Sekedar berciuman kamu tak pernah?"
Lyra menggeleng pelan merasa seperti sudah melakukan hal yang sangat salah.
"Lalu kenapa kamu bisa mengenal Madam Grace?" Zachery menjauh. "Bagaimana kamu bisa membuatku puas jika berciuman saja kamu tak punya pengalaman?" Kata-kata Zachery tidak tinggi, datar saja, tapi membuat Lyra begitu merasa bersalah.
Lyra semakin gelisah. Tangannya bergetar hebat. "Maafkan saya, Tuan. Saya akan lebih berusaha lagi."
Zachery sudah berada di kamar. "Kemarilah," teriaknya.
Lyra pun berjalan sedikit tergopoh dengan high heels yang digunakannya. Ia sudah berada di kamar, melihat Zachery sedang melepaskan jas yang digunakannya. Pria itu menuangkan minuman ke sebuah gelas dan meminumnya. Ia pun duduk di tepi tempat tidur dan menatap ke arah Lyra. "Buka seluruh pakaianmu."
Hatinya berkata tidak mau. Tapi sekali lagi Lyra pasrah. Ia mulai menanggalkan satu persatu pakaian yang dikenakannya hingga kulit seputih susu miliknya kini terekspos seluruhnya di depan Zachery. Setetes air mata mengalir dari sudut matanya. Ia marah, karena tak bisa melakukan apapun selain menginjak-injak harga dirinya sendiri di depan pria asing ini.
Sedangkan Zachery begitu menikmati apa yang sedang Lyra lakukan di depannya. Tubuh Lyra benar-benar sangat indah. Ia tergolong kurus, namun dadanya cukup besar dengan puncak berwarna merah muda kecoklatan. Begitu juga bo kongnya, berisi dan sin tal. Lekuk tubuhnya begitu membangkitkan has rat Zachery untuk segera menja mahnya.
"Berputarlah." Zachery ingin melihat keseluruhan tubuh indah Lyra. Lyra pun mulai berputar perlahan hingga ia menghadap kembali pada Zachery.
Pria itu menyimpan kembali gelas yang digenggamnya, menghampiri Lyra, dan mulai menjamahnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!