Hari itu sangat dingin, namun bagi Artica, itu tak lebih dari semilir angin yang menyentuh kulit. Seolah-olah tubuhnya memang ditakdirkan untuk tak gentar pada hawa dingin. Rambut putih panjangnya menjuntai sampai ke paha, berkilau dalam kabut pagi yang tipis.
Dari atas pohon tinggi, ia memandangi cakrawala... dan di kejauhan, sebuah helikopter terlihat mendekat.
Sudah lama sejak ia diselamatkan oleh wanita tua dari badai hebat. Sejak itu, Artica hidup tersembunyi di tempat terpencil, belajar berburu dan bertahan hidup. Jalanan telah lama tertutup air, dan kini dunia terasa begitu jauh.
Tapi helikopter itu… menghadirkan kenangan yang selama ini ia kubur.
***
Aku mengingatnya dengan jelas, seolah baru kemarin.
Pagi itu aku bangun lebih awal dari biasanya. Ibuku memanggil agar aku tak terlambat. Itu adalah hari terakhir karyawisata sebelum naik ke jenjang sekolah menengah. Aku mencium ibu dan ayah, penuh semangat, sementara adikku, Polo, membuat bajunya berantakan dengan sarapan. Ibuku mengeluh kami akan terlambat.
Hari itu tampak biasa. Tidak ada pertanda akan berubah segalanya.
Aku menghirup napas dalam-dalam saat keluar rumah. Aroma tanah basah menyeruak di udara.
"Akan hujan," kata ibuku sambil menatap langit.
"Jangan bilang begitu, hari ini karyawisata…" aku mengeluh pelan.
"Ramalan cuaca bilang hari ini cerah," ayah meyakinkan, menatap layar ponselnya.
"Aku gak mau pergi," Polo bersungut-sungut.
"Kelasmu enak… main, gambar, dikasih permen. Aku malah harus belajar pecahan!" Aku ikut mengeluh, matematika adalah mimpi burukku.
"Masuk, anak-anak," ucap Ibu. Ia menatap langit sejenak. Ibuku tak butuh aplikasi cuaca, dia selalu tahu apa yang akan terjadi.
Sesampainya di sekolah, aku mengantar Polo ke kelas. Begitu melihat gurunya, ia langsung lupa padaku. Aku berjalan ke kelasku. Sahabatku, Paty, sudah menyimpan tempat duduk untukku.
"Hai, Putih!" sapanya. (Itu julukanku, karena rambut dan mataku yang keperakan—tergantung suasana hati.)
"Namaku Artica," balasku malas.
"Kau tetap 'Putih' bagiku! Cocok kok," ia terkekeh.
Aku dilahirkan albino. Aku selalu mengenakan pakaian tertutup, lengkap dengan topi dan kacamata khusus jika harus keluar rumah. Kulitku terlalu sensitif pada sinar matahari. Jika terpapar terlalu lama, akan mengelupas seperti sisik. Adikku tidak sepertiku, dia bebas bermain di bawah cahaya hangat itu.
"Perhatian!" suara guru kami menggema.
"Kalian harus memilih teman sebangku dan tetap bersama kelompok. Kita akan ke cagar alam. Aturan sudah kalian terima minggu lalu. Jika izinnya lengkap, ambil barang-barang kalian dan bersiaplah naik bus!"
"Horeee!" anak-anak bersorak.
"Paty, jangan jauh-jauh dariku," aku memperingatkannya. Aku tahu betul betapa ia gampang terdistraksi.
"Hari ini aku akan menyatakan cinta!" katanya sambil menggigit pensil, matanya tak lepas dari cowok tampan di kelas.
"Kau gila. Kalau ayahmu tahu, kau bakal dikurung sebulan!"
"Kau bilang begitu karena kau belum pernah naksir siapa pun," katanya. Dan benar juga. Entah kenapa, tak pernah ada yang terasa… cocok.
Kami memanggul ransel berat berisi bekal dan perlengkapan, lalu berjalan menuju bus. Paty memintaku duduk di dekat lorong agar ia bisa duduk di samping Marcos, yang berada di seberang dengan temannya, Luis.
Aku setuju duduk di dekat jendela; aku menyukai semilir angin yang masuk dari celah kaca.
Setelah empat jam perjalanan, kami tiba di cagar alam. Seorang pemandu menunjukkan kabin untuk anak perempuan dan satu lagi untuk anak laki-laki. Guru kami, Bu Sonia, menemani kami, sementara Pak Gabriel, guru olahraga, mendampingi anak laki-laki. Meski firasatku terasa aneh, aku mengabaikannya dan memilih menikmati kebersamaan bersama teman-teman.
"Baik, siapkan ransel kalian. Kita akan memulai perjalanan dengan pemandu," seru Bu Sonia.
"Selamat pagi. Karena jumlah kalian tiga puluh orang, kami akan membagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok akan menuju utara, kelompok lain ke selatan bersama rekan saya," jelas sang pemandu.
Aku dan Paty bergandengan, tak ingin terpisah. Aku memakai tabir surya tebal di wajah dan tangan.
"Aduh, Putih... tabir suryamu baunya menyengat," keluh Paty.
"Aku tahu, tapi aku tak punya pilihan. Kalau tidak, kulitku bisa terkelupas," jawabku, dan Paty meringis.
Kami mengikuti pemandu sambil mendengarkan cerita tentang flora dan fauna. Tapi saat mendekati kandang puma, binatang-binatang itu menjadi gelisah. Mereka menggeram, menggigit pagar, bahkan tampak ingin menerkam. Monyet-monyet pun menjauhiku, memanjat tinggi dan menatap dengan waspada.
"Kayaknya hewan-hewan nggak suka sama kamu," canda Paty.
Lalu aku mencium aroma aneh, tajam, menarik. Tanpa sadar, aku melangkah ke arahnya dan mendapati seekor anjing hitam besar di balik pagar. Ia menatapku tajam. Anehnya, ia tak menjauh. Aku tersenyum dan melepas kacamataku untuk memotret lebih baik.
"Terima kasih... kamu satu-satunya yang nggak kabur," gumamku.
"Anak, jangan terlalu dekat!" seru pemandu, menarik perhatianku. "Itu hewan berbahaya!" katanya sambil menunjuk papan peringatan.
Tiba-tiba, angin kencang bertiup.
"Kembali ke kelompok!" teriak pemandu.
Topiku terbang, jatuh tepat ke dalam kandang. Aku mencoba meraihnya dengan tongkat tapi gagal. Debu beterbangan, badai datang cepat. Dalam kekacauan, aku melihat anjing itu mengarahkan kepalanya ke tempat berteduh. Ragu-ragu, aku akhirnya masuk ke kandangnya.
"Jangan gigit aku. Kalau kau gigit, kau yang rugi!" ancamku sambil berlindung.
Anjing itu berdiri di depanku, tubuhnya jadi pelindung dari badai. Entah berapa lama, tapi aku tertidur, ditemani kehangatan dan aroma binatang itu.
Saat badai reda, ia berdiri dan memberi ruang agar aku bisa keluar. Aku melihat salah satu kakinya terluka.
"Aku akan bantu merawat kakimu... jangan bergerak, ya," kataku sambil menuang air dan mengoleskan krim antiseptik. Ia tampak mengerti.
Aku duduk, memandang sekeliling. Banyak pohon tumbang, pagar kandang rusak total. "Sekarang... ke mana perginya kabin itu?" gumamku, nyaris menangis.
Anjing itu menyenggolku. Ia memberi isyarat dengan kepala agar aku mengikutinya. Sepanjang jalan, aku berbagi sandwich dan airku. Kami tiba di rumah kecil yang dikelilingi pepohonan dan bunga-bunga yang indah.
Ia menunjuk dengan tubuhnya, seolah berkata, "Masuklah. Di sinilah tujuanmu."
"Ah... kau ingin aku yang mengetuk? Aku takut... aku bahkan tak tahu siapa yang tinggal di sana," gumamku pelan. Anjing besar itu mendorongku lembut ke arah pintu, tubuhnya menempel di kakiku. Ragu-ragu, akhirnya kuangkat tangan dan mengetuk.
"Siapa itu?" terdengar suara wanita tua dari dalam.
"Saya Artica... saya tersesat... bolehkah saya masuk?" sahutku cepat.
Pintu terbuka perlahan, menampakkan sosok wanita pendek berambut abu-abu, mengenakan gaun panjang hingga mata kaki. Tatapannya terpaku padaku, matanya membelalak.
"Maaf mengganggu... saya sedang karyawisata bersama sekolah, tapi badai datang dan saya terpisah dari rombongan... bisakah Anda menolong saya?" ulangku dengan gugup.
"Oh... kasihan sekali... kamu... kamu..." Ia tampak kesulitan menyusun kata.
"Ya, saya albino. Saya memang lahir begini," jelasku sebelum dia sempat bertanya.
Wanita tua itu mengangguk pelan. "Tentu, masuklah. Temanmu mana?"
Aku menoleh. Anjing besar itu sudah menghilang. "Dia yang mengantarku ke sini."
"Menarik... kau punya ikatan dengan binatang," gumamnya. "Masuklah, kau pasti lapar. Jujur saja, aku jarang sekali kedatangan tamu. Biasanya petugas cagar alam datang bawa perbekalan tiap akhir bulan... tapi tidak ada yang pernah tinggal lama."
Dia tampak baik... kenapa bisa sendiri? pikirku.
"Anda tinggal sendirian? Tak punya keluarga?" tanyaku.
"Dulu punya... tapi sekarang mereka sudah hidup masing-masing," jawabnya tenang. Di luar, langit kembali gelap dan suara badai mulai terdengar lagi. "Sepertinya akan lama... setidaknya kau aman di bawah atap. Rumah ini kecil, tapi cukup hangat."
"Terima kasih banyak... kalau keluargaku menemukan saya, mereka pasti akan membalas kebaikan Anda," ujarku tulus.
"Tak perlu, Nak. Aku justru senang akhirnya punya teman."
"Nak"? Aku bukan anjing... pikirku geli.
Aku membuka tasku dan menemukan cokelat yang seharusnya kuberikan pada Polo. Aku menepuk jidat.
"Ibu pasti marah... aku lupa kasih cokelat untuk Polo..."
"Polo?" tanya wanita tua itu sambil meletakkan secangkir teh di meja kecil.
"Adik laki-lakiku... lima tahun. Aku sendiri nggak pernah makan cokelat, katanya aku alergi... walau aku sendiri nggak ingat rasanya seperti apa."
"Berapa usiamu?" tanyanya, duduk di bangku kecil dari batang pohon.
"Sebelas..." jawabku ragu.
"Kau tampak tak yakin."
"Aku baru saja ulang tahun... masih belum terbiasa," kataku. Di luar, angin makin kencang dan hujan deras mengguyur. Aku melirik jendela cemas.
"Tenang... wilayah ini tinggi, banjir tak akan sampai ke sini," ujarnya menenangkanku.
"Jadi... tempat ini bisa tergenang?"
"Segalanya bisa terjadi. Aku tak menyangka kau akan datang, sama seperti hujan ini... yang tampaknya belum akan berhenti."
"Aku tak bisa keluar saat begini... orang tuaku pasti cemas."
"Kau akan bertemu mereka. Mereka pasti lebih lega kau selamat."
"Benar juga," aku menarik napas panjang, lalu menguap lebar.
"Kau lelah. Kau bisa tidur di sana," katanya sambil menunjuk ranjang dari jerami dan selimut.
"Terima kasih," balasku. Begitu aku berbaring, aku langsung terlelap.
Aku bermimpi aneh.
Di mimpi itu, serigala-serigala mengelilingiku dan membungkuk, seolah menghormat. Lalu, sepasang mata biru menatapku lekat-lekat. Dalamnya seperti samudra, seperti langit malam tanpa ujung.
Aku terbangun dengan napas memburu, melihat wanita tua itu duduk di dekat perapian, menenun.
"Hari sudah malam," gumamku.
"Iya, dan hujan belum reda," sahutnya lembut.
"Apa yang sedang Anda lakukan?"
"Menenun selimut. Malam akan semakin dingin." Jarinya lincah memainkan kayu-kayu kecil di antara benang. Aku menghela napas.
"Kau sedih... kau rindu keluargamu. Tapi jangan putus asa. Hujan akan reda, dan kau akan bertemu mereka," katanya, suaranya menghangatkan.
Hari-hari berlalu. Kami melihat dari jendela ketika air bah menyapu daratan sekitar lima puluh meter dari rumah. Tapi rumah kecil ini tetap kokoh. Aku mulai terbiasa hidup bersama wanita tua itu—Cielo, begitu ia memperkenalkan diri. Aku memanggilnya Nenek, dengan penuh sayang.
Saat ia jatuh sakit, aku yang merawatnya. Aku belajar banyak darinya: meramu obat dari tumbuhan, menenun baju, bahkan berburu. Aku bertahan.
Lalu hari itu datang. Sebuah helikopter melintas. Aku melambaikan tangan dan mereka melihatku. Mereka mulai mendekat.
Pilot helikopter itu mengucek matanya, ragu dengan apa yang ia lihat. Namun, hasilnya tetap sama. Ia melihat seorang gadis muda berdiri di puncak pohon, melambai-lambaikan tangannya.
"Aku pasti berhalusinasi," gumamnya bingung.
"Pak, saya melihat seseorang di arah itu!" katanya pada petugas yang menemaninya.
"Apa? Siapa itu? Bagaimana mungkin?" balas si petugas takjub, melihat gadis itu menyeimbangkan tubuhnya di pucuk pohon dan melambaikan tangan. "Ayo kita ke sana!" perintahnya cepat.
"Syukurlah... tolong aku, nenekku sakit," kata Ártica lega saat helikopter mendarat. Dengan lincah, ia turun dari pohon besar tanpa kesulitan.
Petugas yang turun mengenakan setelan cokelat muda, menatap gadis itu dengan penuh rasa heran. Ia tak menyangka bisa menemukan seseorang di tempat terisolasi seperti ini. Ártica segera membawanya ke rumah kecil tempat neneknya terbaring.
Melihat kondisi wanita tua itu, petugas langsung memanggil rekannya untuk mengambil kotak P3K.
"Aku akan memeriksanya," katanya sambil memeriksa tanda-tanda vital. Ártica memperhatikannya penuh harap.
"Kita harus membawanya. Dia sangat lemah." Ia memutuskan dengan tegas. Mereka kembali ke helikopter sambil membawa tandu. Ártica membawa ranselnya, memasukkan beberapa barang penting, dan ikut bersama mereka.
Dalam helikopter, Ártica duduk dengan gugup di samping tandu. Ini adalah kali pertama dia naik helikopter. Tak lama, mereka mendarat di landasan, di mana ambulans sudah menunggu.
"Aku akan menemanimu. Kamu bisa ceritakan padaku bagaimana bisa bertahan hidup di tempat sekeras itu," kata petugas dengan lembut.
Mereka tiba di rumah sakit dengan fasilitas lengkap. Nenek Ártica segera mendapat perawatan darurat. Sementara itu, gadis muda itu menjalani pemeriksaan dan dinyatakan sehat.
Namun, Ártica tak ingin meninggalkan nenek yang telah merawatnya selama bertahun-tahun. Ia merasa hanya memiliki wanita tua itu sebagai satu-satunya keluarga.
"Lihat aku... aku tahu kamu sedih, tapi kamu harus ikut aku. Mereka akan merawat nenekmu dengan baik," kata petugas lembut saat melihat air mata mulai membasahi wajah Ártica.
"Aku tidak ingin meninggalkannya... aku ingin bersamanya," isaknya.
"Bagaimana kalau kita makan dulu? Istriku jago bikin pizza," tawarnya mencoba menghibur. Ia merasa tak tega membawa Ártica langsung ke kantor polisi, apalagi gadis itu hanya mengenakan pakaian sederhana dari rajutan. Ia pun memberinya jaketnya untuk menutupi tubuhnya selama di rumah sakit.
Ártica menghapus air matanya, mengangguk pelan, dan memutuskan ikut bersamanya.
Sesampainya di rumah, sang istri sudah diberi kabar.
"Leticia, kami sudah sampai!" seru petugas Gutiérrez.
"Sayang, kamu su...—" ucap Leticia terputus saat melihat Ártica. Gadis albino tinggi dengan rambut putih panjang dan mata bersinar. Pakaian rajutnya menambah kesan misterius sekaligus anggun.
"Halo... saya Ártica," sapa gadis itu pelan, sedikit malu.
"Selamat datang. Sebelum makan, kamu bisa mandi dulu, air hangat sudah siap," kata Leticia ramah, tak bisa berhenti menatap mata gadis itu yang berkilau.
"Terima kasih," jawab Ártica sambil mengamati rumah itu.
"Permisi, aku mau ganti baju," kata Gutiérrez pada istrinya.
"Ya, Ártica, ikut aku," ajak Leticia, terpesona oleh pesona gadis itu.
"Syukurlah Luciano tidak ada," pikirnya, mengingat putra sulungnya yang sedang kuliah.
"Ini kamar mandinya. Kamu punya semua yang kamu butuhkan. Aku akan cari pakaian bersih untukmu," ujarnya. Tapi Ártica menatap bak mandi dengan bingung.
"Aku... aku tidak tahu cara menggunakannya. Tidak apa-apa kalau kamu mengajarkanku?" pintanya malu-malu.
"Tentu saja, tidak masalah. Biasanya kamu mandi di mana?" tanya Leticia heran.
"Di kolam air," jawab Ártica polos, memperhatikan tombol-tombol yang ditekan Leticia untuk mengisi air.
"Nenekmu satu-satunya keluargamu?" Leticia bertanya penasaran.
"Sebenarnya... aku sudah tinggal dengannya selama lima tahun. Aku tersesat saat karyawisata bersama kelasku. Sejak itu, aku tak pernah kembali," jawab Ártica lirih.
Leticia terdiam sejenak, terkejut.
"Lima tahun? Bagaimana bisa?"
Sambil membantu gadis itu melepas pakaiannya dan masuk ke bak, Leticia menawarkan mencuci rambutnya.
"Boleh aku cucikan?"
"Baik... Jadi waktu itu hari-hari terakhir sekolah. Kami ke cagar alam. Tiba-tiba badai datang. Angin membuatku kehilangan pandangan, dan aku terpisah dari kelompok. Aku bersembunyi di sarang serigala," cerita Ártica perlahan.
"Ya Tuhan... kamu tidak takut? Mereka tidak menyerangmu?"
"Tidak. Mereka malah seolah melindungiku... dan salah satunya membimbingku ke rumah nenek Cielo."
"Lalu kenapa tidak mencari bantuan?"
"Badai terus terjadi. Hujan tak berhenti seminggu penuh. Kami terjebak. Kalau aku tak di sana, mungkin nenek sudah tiada. Aku membantunya dalam segala hal... kami terus berharap ada yang datang menolong. Tapi jalan keluar pun aku tak tahu di mana."
"Lalu makan dan minum dari mana?"
"Aku belajar berburu. Kami punya kebun kecil dan pohon buah. Aku panjat sendiri. Air hujan kami tampung dan rebus. Nenek ajarkan aku buat api dari batu."
"Kamu tak punya ponsel?"
"Orang tuaku bilang aku masih terlalu kecil. Mereka hanya memberiku kamera. Ada di ranselku."
"Aha! Pakailah pakaianmu, aku akan isi daya kameramu. Kita bisa lihat fotonya nanti. Besok aku akan minta suamiku bantu cari orang tuamu. Tapi sekarang sudah malam."
Ártica mengangguk, lalu mengenakan pakaian milik putra sulung keluarga itu.
Saat dia sedang berganti pakaian, mereka mendengar jeritan seorang anak laki-laki yang berlari ke tempat mereka berada.
"Ibu! Ibu! Ada monster di kamarku!"
Seorang anak laki-laki berusia sekitar delapan tahun berteriak ketakutan.
"Jose... Ibu sudah bilang, kamu harus mengetuk sebelum masuk kamar."
Sang ibu menegurnya sambil berdiri di depan, menghalangi pandangannya ke arah Ártica.
"Tapi sungguhan, Bu! Aku mendengarnya di bawah tempat tidur. Lihat!" Ia bersikeras sambil menarik tangan ibunya.
"Jose, kamu sudah besar. Tidak ada monster. Kamu harus tetap di kamarmu."
Ibunya menolak dengan lembut, mengira putranya hanya mencari alasan untuk tidur bersama mereka.
"Benarkah ada monster? Aku akan memburunya."
Ártica tiba-tiba muncul, membuat Jose terdiam memandangnya.
"Dia hanya mengarang cerita agar bisa tidur dengan kami," bisik Leticia kepada Ártica.
"Ayo tunjukkan padaku. Aku akan mengusirnya. Aku ini pemburu, tahu!"
Ártica menatap Jose sambil berjongkok, menyamakan tinggi mereka.
"Ayo!"
Jose menarik tangannya dan membawanya berlari ke kamar.
Leticia menghela napas dan mengikuti mereka. Mungkin kalau ikut bermain, rasa takut Jose akan menghilang, pikirnya.
"Di sana! Di bawah tempat tidur!"
Jose menunjuk dengan penuh semangat.
Ártica mengambil tongkat pemukul, masuk ke kamar, dan menutup pintu.
"Supaya dia tak bisa kabur," katanya, lalu perlahan maju sambil mendengarkan saksama.
Di luar kamar, Leticia dan Jose menunggu dengan cemas. Mereka mendengar geraman, suara benda terjatuh, dan beberapa pukulan. Tak lama, Ártica keluar sambil membawa jaket tergulung seperti sedang membawa sesuatu.
"Sudah kutangkap. Akan kubuang supaya dia tak mengganggumu lagi."
Ketika Jose hendak melihat lebih dekat, terdengar pekikan dari dalam jaket, membuatnya mundur ketakutan. Ártica berlari keluar, pura-pura membuang 'monster' itu ke tempat sampah sambil memukulnya sekali lagi, lalu kembali masuk.
"Kamu berhasil!" kata Jose gembira.
"Dia tak akan kembali. Sekarang dia tahu akibatnya."
Ártica tersenyum. "Maaf jaketnya kotor, ya. Nanti aku cuci."
Ia menyerahkan jaket pada Leticia sambil mengedipkan mata.
"Aku yang cuci... Memang kotor," kata Leticia, ikut terlibat dalam permainan kecil itu.
Mereka kembali masuk rumah. Jose tak bisa menahan rasa penasaran dan bertanya: "Bagaimana kamu mengalahkannya?"
"Satu pukulan di kepala. Bikin dia linglung, jadi dia tak sempat menyerangmu." Ártica menirukan gerakan pukulan dengan ekspresi serius.
"Kamu benar-benar pemburu?"
"Tentu. Di tempat tinggalku, tak ada supermarket. Kalau ingin makan daging, ya harus berburu."
Leticia tersenyum mendengar percakapan itu. Ia melihat betapa tulus dan polosnya gadis itu—cepat berimprovisasi demi menenangkan Jose. Ia yakin, Ártica-lah yang membuat suara-suara tadi.
"Baiklah, bantu ibu siapkan meja, ya," katanya melihat mereka duduk ngobrol santai.
Ártica langsung berdiri untuk membantu. Jose sempat cemberut, tapi karena Ártica terlihat semangat, ia pun ikut bergabung.
"Wangi sekali!"
Pak Gutiérrez muncul, menyambut aroma makanan.
"Ayah! Ártica mengalahkan monster itu! Dia pukul kepalanya dan buang ke tempat sampah!" Jose bercerita dengan semangat.
"Hebat! Itu artinya kamu bisa tidur sendiri malam ini."
"Tapi... aku masih takut kalau dia kembali."
"Kalau kamu mau, aku bisa menjagamu malam ini," kata Ártica.
"Tidurlah di tempat tidur Luciano. Dia suka tidur dekat jendela biar bisa jaga-jaga," kata Jose.
"Kalau orang tuamu tidak keberatan," tanya Ártica pada mereka.
"Kamu boleh tinggal di sini, Ártica. Sampai nenekmu pulih," sahut Pak Gutiérrez sambil menoleh pada istrinya yang mengangguk setuju.
"Kamu sudah membantu Jose... dan kita punya cukup ruang. Besok kita cari tahu soal keluargamu," tambah Leticia.
"Keluarganya?" tanya sang suami, kebingungan.
"Nanti aku ceritakan," jawab Leticia singkat.
Mereka menikmati makan malam. Ártica mencicipi pizza dengan lahap. Sudah lama ia tak makan makanan seperti ini. Selama bersama neneknya, mereka hanya makan sayur, buah, dan daging hasil buruan. Ia menghabiskan satu loyang sendiri.
"Kamu makan banyak juga ya," komentar Pak Gutiérrez.
"Enak sekali," jawab Ártica polos.
"Untung aku selalu buat dua loyang," kata Leticia sambil tersenyum.
Ártica menguap. Jose ikut menirunya.
"Sudah jam sembilan. Waktunya tidur," kata Leticia.
Ártica berdiri, mengambil segelas air, lalu menuju kamar.
"Selamat malam," ucapnya.
Jose menggandeng tangannya dan membawanya ke kamar.
"Kamu tidur di sini... Ini tempat tidur Luciano. Dia selalu jaga dekat jendela."
"Di mana Luciano?" tanya Ártica.
"Dia di asrama, belajar jadi ahli komputer. Pulang kalau tidak ada ujian."
"Oh, begitu..."
"Kamu sekolah sampai mana?"
"Baru lulus SD..." jawab Ártica malu-malu.
"Ibuku bisa bantu kamu belajar. Dia guru."
"Baik, besok aku akan bicara dengannya."
Ártica duduk di ranjang, merasakan empuknya kasur. Ada emosi yang sulit dijelaskan—ia merasa lebih dekat pada harapan untuk menemukan keluarganya.
"Ártica... kamu sudah tidur?"
"Belum."
"Apa kamu pernah merasa takut?"
Ibunya mendengarkan diam-diam lewat baby monitor.
"Pernah. Tak apa merasa takut. Itu membantumu tahu bagaimana melindungi diri—semacam alarm alami. Di desa, malam hari banyak suara... awalnya aku takut, tapi lama-lama aku belajar membedakan mana suara yang berbahaya."
"Kamu berani."
"Tidak juga. Tapi karena aku harus merawat nenek, keinginan melindunginya membuatku jadi berani."
Leticia terdiam, hatinya mencelos membayangkan apa yang telah dilalui gadis kecil itu.
Ártica mendesah pelan, mencoba memejamkan mata. Ia berdoa dalam hati agar neneknya segera pulih. Ia tak tahu harus bagaimana jika sampai kehilangannya.
Neneklah yang membuatnya mengerti siapa dirinya, yang mengajarkannya mengendalikan insting, dan tentang tanda lahir di bahunya—yang kini mulai terlihat jelas sebagai bentuk seekor serigala.
Ia teringat saat pertama kali menyadari siapa dirinya. Kala itu ia baru pulang mencari makan, ketika mendapati seekor puma mengintai neneknya yang terpojok di belakang rumah. Sesuatu di dalam dirinya tersulut. Ada panas yang membara dari perut dan menyebar ke seluruh tubuh.
Dengan amarah, ia menatap si puma, yang kemudian tampak menyusut dan mundur sambil menggeram. Ia pun membalas dengan geraman, kebiasaan lamanya untuk menakuti hewan liar.
“Ártica… dia sudah pergi,” suara neneknya memanggil dari sudut rumah, menatapnya dengan mata terbuka lebar, tubuhnya tak bergerak, seolah menahan napas.
“Ini aku… hanya nenekmu. Kita sudah aman sekarang,” lanjutnya tenang. Ártica menatap ke arah si puma berlari, masih ingin mengejarnya, namun neneknya berkata,
“Sudah cukup. Ayo bantu nenek siapkan makan malam.”
Perlahan, rasa panas dalam tubuhnya memudar. Ia menggeleng, menarik napas, lalu menolong neneknya berdiri. Sang nenek tersenyum, menenangkan ekspresinya.
“Terima kasih… kamu anak serigala yang baik. Jangan pernah lupakan itu,” ucap neneknya, menggenggam tangannya.
Saat mereka duduk makan malam, neneknya bertanya pelan, “Ártica, apa yang kamu rasakan saat menghadapi binatang tadi? Apakah kamu merasa berubah?”
“Entahlah… seperti ada panas yang meledak dari perut. Aku cuma ingin melindungimu,” jawabnya sambil berpikir.
“Itu saja?”
“Iya… kenapa?”
“Kamu berubah… menjadi serigala putih raksasa.”
“Apa?! Bagaimana bisa?!”
“Orang tuamu mungkin tidak pernah menceritakannya, agar kamu merasa seperti anak-anak lain… Tapi coba pikirkan. Apa yang sering mereka lakukan? Apa yang bisa memberimu petunjuk tentang siapa dirimu sebenarnya?”
“Ibuku sering mengajakku nonton acara tentang hewan. Dia selalu bilang serigala itu dihormati karena hidup berkelompok… karena keluarga penting… Tapi dia tidak pernah bicara tentang keluarganya sendiri. Aku bahkan tak pernah kenal kakek-nenekku. Setiap aku tanya, dia selalu bilang, nanti… saat aku cukup umur.”
Neneknya mengangguk. “Kamu belum percaya? Mari ikut aku ke luar. Berdirilah di dekat kolam, coba rasakan kembali sensasi itu. Lihatlah pantulanmu di bawah cahaya bulan.”
Ártica menuruti. Ia berdiri di pinggir kolam, sementara sang nenek menunggu dari kejauhan. Ia mencoba memusatkan diri, tapi tak terjadi apa-apa.
“Aku tidak merasakan apa-apa,” ujarnya kecewa.
“Konsentrasi, Nak… kamu harus belajar mengendalikannya. Jika nanti kamu kembali ke kota dan tinggal bersama orang tuamu, kamu tak bisa membiarkan bentukmu keluar begitu saja… apalagi saat marah atau ketakutan.”
Ártica menarik napas dalam-dalam. Perlahan ia mendengar angin, suara binatang malam, dan aroma yang dibawa udara. Ia mencium bau puma itu lagi—masih dekat. Matanya menyala.
“Kucing itu masih di sekitar sini,” katanya cepat.
“Konsentrasi, Ártica…” ujar neneknya.
Tiba-tiba tubuhnya bergerak sendiri. Ia berlari, lalu berhenti menatap permukaan air. Di sana, ia melihat pantulannya: seekor serigala putih besar dengan mata abu-abu kebiruan.
“Apakah… itu aku?” bisiknya. Ia teringat rambut ibunya, hitam dengan sehelai putih di tengah. Sesaat kemudian, tubuhnya kembali ke bentuk manusia.
"Aku harus belajar mengendalikan ini. Aku tidak bisa muncul di depan teman-temanku seperti ini… Dia pasti akan ketakutan," batinnya.
Ia melangkah kembali ke rumah. Heran, karena tak sadar ia sudah berlari sejauh itu.
“Ártica, kamu baik-baik saja?” tanya neneknya, melihatnya kembali dengan kepala tertunduk.
“Tidak… aku tak pernah membayangkan jadi serigala,” jawabnya pelan.
“Jangan merasa seperti itu. Kamu tidak sendirian. Nenek juga sama sepertimu… hanya saja nenek adalah serigala abu-abu,” ujarnya lembut.
Ártica terkejut.
“Aku tak lagi punya tenaga untuk berubah… dan aku berhenti melakukannya karena orang-orang takut… dan memburuku. Itulah sebabnya kamu harus hati-hati kepada siapa kamu menunjukkan dirimu yang sebenarnya.”
“Tapi… keluargamu? Bukankah serigala selalu hidup dalam kelompok?”
“Aku diusir… Mereka menganggapku tak berguna karena tak bisa berubah dengan cara normal—dari manusia menjadi serigala. Tapi kamu berbeda. Kamu unik. Kamu punya aura yang membuat orang lain menghormatimu. Perubahanmu alami… Kamu hanya perlu belajar mengendalikannya. Kamu bisa membentuk keluargamu sendiri. Ingat… serigala selalu menjadi simbol pemimpin di dalam kawanan.”
Mendengar ucapan neneknya, Artica teringat pelajaran dari ibunya tentang sosok Alfa—pemimpin kawanan yang kuat, dihormati, dan ditaati semua anggota. Alfa dipilih karena kekuatan dan ketegasannya menjaga ketertiban.
"Pria berotot tanpa isi," pikirnya, teringat komentar ayahnya yang tampaknya tak terlalu menyukai sistem itu.
Namun, ayahnya juga pernah berkata bahwa yang terpenting bukan kekuatan, melainkan kerendahan hati, kecerdasan, dan kebijaksanaan untuk menjadi pemimpin sejati. Dulu Artica tak sepenuhnya memahami kata-kata itu tapi sekarang, perlahan, semuanya mulai masuk akal.
Saat merenungkan masa depannya, Artica akhirnya tertidur. Tapi tak lama kemudian, dia terbangun kaget saat merasa ada seseorang melompat ke arahnya.
“Hei!” teriaknya, melonjak dari tempat tidur. Di depannya berdiri seorang anak laki-laki berambut pirang, terpaku menatapnya.
“Siapa kamu?! Kenapa kamu tidur di tempat tidurku?” serunya kesal.
Tiba-tiba, Nyonya Leticia dan suaminya masuk tergesa, menyalakan lampu.
“Ada apa ini?” tanya Leticia cemas. Begitu melihat anak laki-laki itu, keduanya terbelalak.
“Luciano?! Apa yang kamu lakukan di sini? Kenapa tidak memberi tahu kalau kamu akan pulang?” tanya Tuan Gutierrez.
“Dan pakai baju, Nak!” sahut Leticia, melemparkan celana ke arahnya. Artica spontan membalikkan badan saat menyadari anak itu hanya memakai pakaian dalam. Wajahnya memerah saat Luciano buru-buru mengenakan celananya.
“Sejak kapan aku harus melapor? Ini rumahku juga. Aku baru saja selesai bekerja dan memutuskan pulang. Ponselku mati,” jelas Luciano dengan gugup, sesekali mencuri pandang ke arah Artica yang masih mengenakan jaketnya.
“Artica, ayo ikut. Biar dia ganti baju. Malam ini kamu tidur denganku,” kata Leticia sambil menarik tangan Artica keluar dari kamar.
“Siapa dia?” tanya Luciano cepat begitu mereka pergi.
“Haha!” tawa ayahnya meledak sambil duduk di tempat tidur. “Wajahmu itu... cocok banget difoto! Kaget lihat cewek cantik di tempat tidurmu. Bukankah kamu yang suka pamer soal cewek?”
“Jangan bercanda. Serius, siapa dia?” ulang Luciano.
“Dia tamu kita. Akan tinggal sementara selama neneknya dirawat di rumah sakit. Aku menyelamatkannya saat patroli di area yang banjir. Jadi bersikaplah baik. Dia bukan gadis biasa yang kamu kenal,” jawab ayahnya tegas, sambil mengangkat telunjuk sebagai peringatan.
Luciano menghela napas, mengenakan kemeja, lalu berjalan ke dapur untuk mengambil segelas air, berusaha menenangkan diri dari kekacauan barusan.
Di benaknya, terbayang kembali sepasang mata berkilau yang menatapnya dalam gelap—sungguh mengejutkan, sampai ibunya menyalakan lampu dan menampakkan sosok gadis pucat dengan rambut seputih kertas, tinggi badannya nyaris sepadan dengan bahunya.
“Halo, Nak. Aku sudah menenangkan Artica. Kamu membuatnya ketakutan. Tadi dia tidur di tempat tidurku bersama José. Aku nggak sadar kapan dia pindah ke sana,” ujar Leticia saat masuk ke dapur.
“Aku cuma rebahan, lalu tiba-tiba ada yang mendorongku. Matanya berkilau dalam gelap... aku yakin warnanya seperti cahaya putih atau kuning,” gumam Luciano.
“Benarkah? Matanya memang unik dan indah. Tapi tolong, bersikaplah baik. Dia sedang dalam masa sulit,” kata Leticia lembut.
“Aku mau tidur,” sahut Luciano dengan nada kesal.
“Jangan seperti itu... istirahatlah,” jawab ibunya pelan, menatap punggung anaknya yang mulai berjalan pergi.
Melihat tempat tidurnya telah ditempati Luciano dan Artica, Tuan Gutierrez memilih untuk tidur di kamar anak-anaknya. Ia duduk di ranjang José, dan ketika Luciano melihatnya, ia hanya menggeleng pelan.
"Aku temani kamu malam ini," ujar sang ayah sambil memejamkan mata.
Luciano menghela napas dan duduk di tempat tidur. Saat menyentuh bantalnya, ia mencium aroma lembut yang tertinggal—bau harum Artica.
Sedikit kesal, ia membalikkan bantalnya dan mencoba tidur.
Sementara itu, Nyonya Leticia berbaring memeluk José, matanya mengawasi Artica yang tertidur di ujung ranjang, tak bergerak sedikit pun.
***
Pagi-pagi sekali, seperti biasa, Luciano bangun untuk jogging. Saat menoleh ke luar jendela, matanya menangkap sosok serigala putih besar yang sedang berlari di trotoar. Ia menggosok matanya cepat-cepat.
Ketika melihat lagi, ia hanya melihat seorang gadis berambut panjang yang berlari menjauh, rambutnya berkibar di punggung.
"Aku berhalusinasi," gumamnya. "Sudahlah, waktunya olahraga."
Ia memasang earphone, keluar rumah, dan mulai berlari. Tak lama, ia melihat sosok gadis itu berlari mengelilingi blok. Ia mempercepat langkah, mencoba menyusulnya. Napasnya memburu ketika akhirnya berhasil sejajar.
“Kamu suka olahraga?” tanyanya sambil berusaha menarik perhatian.
“Ya,” jawab Artica, yang sebenarnya sudah menyadari kehadirannya sejak tadi dan diam-diam telah kembali ke wujud manusianya.
“Kamu lihat serigala putih tadi? Kayaknya aku melihatnya.”
“Enggak... aneh kalau ada serigala di kota,” jawab Artica berpura-pura tak tahu.
“Mungkin anjing ras. Tapi biasanya mereka berisik, suka menggonggong. Ini tadi sepi banget,” gumam Luciano sambil menoleh ke arah rumah tetangga. Ia melihat Great Dane yang biasa menggonggong padanya kini meringkuk ketakutan di pojok halaman.
“Aneh... biasanya dia galak,” lanjutnya.
“Mungkin dia lagi sakit,” sahut Artica tenang. Mereka tiba di depan rumah. Saat Artica masuk, Luciano memerhatikannya.
“Kamu pakai baju olahragaku,” komentar Luciano, menatap jaket yang dipakainya.
“Aku akan balikin... aku belum punya pakaian sendiri,” ucap Artica, sedikit malu.
“Selamat pagi, anak-anak. Kalian jogging ya?” sapa Tuan Gutierrez yang bersiap berangkat kerja.
“Iya, Pa, sekalian olahraga,” jawab Luciano.
“Artica, ibumu Leticia bilang soal orang tuamu. Kamu punya info? Mungkin aku bisa bantu mencarinya.”
“Di ranselku... seharusnya ada nomor kontak dan alamat,” jawab Artica cepat, lalu berlari mencari tasnya.
“Apa yang kamu pikirkan, Nak?” tanya ayahnya, melihat Luciano termenung.
“Ada yang aneh sama anjing tetangga. Biasanya dia menggonggong tiap aku lewat. Tapi tadi... dia kelihatan takut.”
“Mungkin dia udah terbiasa lihat kamu,” sahut ayahnya sambil menepuk bahunya.
“Ini ranselnya,” kata Artica sambil menyerahkan tas itu. Ia menunjuk bagian dalam tempat ia menyimpan dokumen.
“Alamatnya agak buram... tintanya luntur. Tapi nomor teleponnya masih bisa dibaca,” kata Gutierrez sambil mencatat. “Nieves Lobos... itu nama ibumu?”
“Ya! Dan ayahku bernama Julio!” jawab Artica penuh harap.
“Baik, dengan ini aku bisa mulai mencari. Kamu ingat nama daerah tempat tinggalmu?”
“Orang tuaku menyebutnya Padang Rumput Hijau... begitu biasa disebut.”
“Oke, itu cukup untuk petunjuk. Aku akan cari tahu. Sampai nanti ya.”
Luciano menoleh. “Bukannya kamu tinggal sama orang tuamu?” tanyanya penasaran.
Namun Artica hanya menatapnya tajam, tak menjawab. Ia tak ingin berbagi apa pun dengannya, ia masih belum menyukai cara Luciano memperlakukannya.
“Artica, kamu mau sarapan apa? Ada sereal... atau susu,” tanya Nyonya Leticia dari dapur.
“Aku mau susu,” jawab Artica singkat.
“Oke, kita sarapan dulu. Habis itu kita ke pusat perbelanjaan, beli pakaian untukmu. Nanti siang, kita jenguk nenekmu di rumah sakit, ya.”
Artica mengangguk pelan. Ia merindukan neneknya dan tak sabar untuk menemuinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!