NovelToon NovelToon

Ceo Somplak Jatuh Cinta

CSJC : Chapter 1

🥀 Karakter dalam novel ini memang sengaja dibuat berbeda dengan yang lain. Jika kurang sreg di hati kalian atau menurut kalian tidak masuk akal, boleh kok nggak dibaca karena ini bukan sebuah kewajiban yang harus dilakukan.🥀

Ok semua, happy reading and enjoy guys.

Mentari telah datang mengubah dunia yang gelap menjadi terang, suara ayam jago saling bersahut-sahutan membangunkan manusia yang masih berkelana di alam mimpi. Saat mentari mulai naik terlihat Gibran baru bangun dari tidurnya. Ya, tadi pagi Gibran sebenernya sudah bangun hanya sekedar untuk salat Subuh lalu tidur lagi.

"Hoam ... berisik amat itu ayam jago. Minta dijadiin opor kali, ya?" Gibran menutup mulutnya dengan tangan kiri sambil menggeliat seperti cacing kepanasan yang ditaburi deterjen. Bahkan dia mengumpat ayam jago yang memang sudah sewajarnya berkokok di waktu pagi.

Mata Gibran bergerak menjelajahi sudut kamarnya dengan tatapan bingung, kemudian dengan cepat dia melihat jam dinding di kamar yang jarumnya sudah menunjukkan pukul 06.00 WIB.

"Masih jam enam, masih pagi," gumamnya sambil merebahkan dirinya lagi di kasur yang empuk dan tidak mau ditinggalkan. Sesaat Gibran hanya terdiam sambil menatap langit-langit kamarnya dan setelah itu dia baru ingat kalau dia ada meeting pagi ini.

"Eh buset, gue ada meeting hari ini. Malah meetingnya jam 06.10 WIB lagi. Waduh! Kenapa gue jadi orang santui banget, ya?" Gibran langsung meloncat turun dari kasur dan berlari masuk ke kamar mandi dengan tergesa-gesa. Bahkan, dia sampai lupa kalau dia tidak membawa handuk yang memang selalu dia letakkan di luar kamar mandi.

"Bangun pagi, gosok gigi, cuci muka mandi nggak, ya?" Gibran yang pada dasarnya memang humoris dan somplak malah bernyanyi sambil berjoget di kamar mandi. Akhirnya Gibran memutuskan untuk mandi dengan kilat, bukan mandi main-main, ya. Tapi ini beneran mandi dengan kilat.

Selesai mandi saat mau memakai handuk, dia baru sadar kalau dia tidak membawa handuk ke kamar mandi, alhasil dia menutupi juniornya dengan bajunya yang kotor sambil mengumpat dirinya sendiri.

"Gue jadi orang kenapa ceroboh banget, sih! Kalau si Bunda tahu bisa di lempar ke kolam Piranha, gue," ucapnya. Gibran menyambar handuk yang terletak di dekat almari dan langsung melilitkannya di pinggang.

"La ... la ... la ... aku senang sekali, mandi pagi." Lagi-lagi dengan santainya dia bernyanyi dan tidak memikirkan meeting pagi ini. Karena dia adalah atasan dengan seenak udelnya sendiri dia bisa dengan mudah mengundur jam meetingnya.

Entahlah, dulu bundanya mengidam apa sampai punya anak somplaknya tidak ketulungan. Mungkin, bundanya ngidam durian sama kulit-kulitnya, atau ngidam landak sama duri-durinya.

Gibran masuk ke dalam walk in closet dan segera memakai pakaian kerjanya yang berupa kemeja berwarna navy yang kemudian dia balut dengan jas berwarna abu-abu. Tidak lupa dia memakai parfum dan juga minyak rambut agar rambutnya terlihat rapi.

"Biasanya tak pakai minyak rambut, biasanya tak suka begini, saya cemburu ... eh kok gue malah nyanyi sih, dasar aneh!" Gibran tertawa, dia melihat pantulan dirinya di cermin kemudian memuji dirinya sendiri dengan berkata. "Kalau pria tampan, mau diapa-apain tetap aja tampan," katanya sambil menaik turunkan alisnya dan tersenyum memperlihatkan giginya yang putih bersih seperti di cat pakai cat tembok.

Gibran segera menyambar tas kerjanya dan juga kunci mobil miliknya, dia keluar dari kamar dan sengaja tidak mengunci kamar karena biasanya si bunda akan masuk dan membersihkan serta membereskan kamarnya.

Gibran berjalan turun dari tangga dan menghampiri bundanya yang sedang sibuk berperang dengan alat-alat dapur dan mengeksekusi sayuran serta daging yang akan dia masak sebagai menu sarapan pagi ini.

"Bun, Gibran nggak sarapan, ya. Ada meeting hari ini. Gibran juga udah telat sepuluh menit nih, Bun." Gibran memeluk bundanya dari belakang dengan manja, kemudian melepaskannya.

"Apa kamu bilang, telat sepuluh menit? Cepat pergi sana, jangan malah santai kaya gini!" Bundanya menjewer dan memukuli pantat putranya itu dengan kesal.

"Aaa ... sakit, Bun. Lepas dong, Bun!" Gibran berteriak dengan keras sehingga suara bisingnya sampai di telinga ayahnya yang berada di lantai dua.

"Astaga ... apa yang dilakukan anak nakal itu pagi-pagi begini?" gumam ayahnya yang mendengar teriakan Gibran. Dia langsung turun untuk menghampiri anaknya.

"Ada apa ini ribut-ribut?" tanyanya menatap istri dan anaknya dengan tajam, setajam cakar Elang.

"Ayah Satya, tolong anakmu yang dianiaya Bunda Ranti, Ayah tolong!" Gibran memelaskan wajahnya dan masih berusaha melepaskan tangan Ranti sang bunda yang masih menjewernya.

"Ranti, lepaskan putramu! Biar dia segera berangkat bekerja, ini sudah jam 06.25 WIB, dan anakmu yang koplak ini sudah telat 10 menit dari jadwal meetingnya," ucap Satya dengan suaranya yang terdengar menggema di dapur rumahnya.

"Bunda dengar nggak kata, Ayah? Suruh ngelepasin!" ucap Gibran, dengan kesal Ranti melepaskan tangannya dari telinga Gibran sambil menendang kaki anaknya itu kesal.

"Aduh, dasar Bunda-ran Hotel Indonesia main tendang anak orang aja, nanti orangtuanya marah tahu rasa kamu, hahaha ...." Gibran berlari keluar rumah sambil tertawa terbahak-bahak.

Ranti menepuk jidatnya karena merasa lelah menghadapai anak alien itu, sedangkan Satya memerhatikan tingkah istrinya itu dengan tatapan aneh.

"Bunda kenapa tepuk jidat? Ada nyamuk?" tanya Satya dengan polosnya.

"Nyamuk dari Cina?" ucap Ranti sambil kembali mengerjakan pekerjaannya.

"Bun," panggil Satya melingkarkan tangannya di perut Ranti.

"Minta jatah? Masih pagi, Yah." Ranti menjawab dengan ngawur sehingga Satya menoyor kepala istrinya itu dengan gemas.

"Ngawur kalau ngomong, ayah nggak nafsu," ucap Satya.

"Terus kenapa meluk-meluk kaya cicak di dinding kaya gini?" tanya Ranti, dia berbalik dan berhadapan dengan Satya.

"Anak somplak kita tadi berangkat kerja cuma pakai celana boxer," ucap Satya sambil tertawa.

"Hahaha ... oh, iya, Yah. Tadi bunda mau bilang sama dia biar pakai celana kerja dulu, eh malah ada Ayah. Bunda jadi amnesia seketika." Ranti tertawa membayangkan apa yang akan terjadi di kantor putranya jika semua karyawannya melihat dia bekerja menggunakan celana boxer saja.

"Biarin, Bun. Biar malu dia," kata Satya dengan teganya membiarkan anaknya menjadi bahan lelucon nanti.

Karena terburu dan tidak memerhatikan lagi penampilannya. Gibran benar-benar tidak sadar kalau dirinya hanya menggunakan celana boxer dengan atasan yang sudah rapi. Sesampainya di parkiran khusus atasan, Gibran turun dari mobil dan berjalan dengan sangat percaya diri melewati loby kantornya.

Banyak karyawan yang melihat Gibran sambil menahan tawanya. Namun, mereka tidak berani memberitahu Gibran karena mereka takut jika nanti mereka akan dimarahi olehnya. Gibran yang merasa dirinya menjadi pusat perhatian langsung berhenti berjalan.

"Kalian kenapa melihat saya? Saya tahu saya ganteng, tapi maaf saya nggak suka dilihatin kaya gini," ucap Gibran tegas. Namun tidak membuat dia ditakuti oleh semua karyawannya.

Aku kasih visual biar ngebayanginnya makin dapat wkwkwk ... semoga cocok ya sayang.

Ricky Harun As Gibran

Ini Versi Indo

Ini Versi Oppa Korea, kenapa wajahnya bukan yang pas kalem? Jawabannya karena biar kelihatan kompaknya.

NB : Untuk lebih lengkapnya bisa kalian baca di aplikasi Fizzo (******) nama pena KARLINA SULAIMAN judul MUARA TAKDIR

"Saya terima nikah dan kawinnya Maira Moza binti Ryan Syah Abdullah dengan mas kawin tersebut dibayar tunai." Farhan mengucapkan ijab kabulnya dalam satu tarikan napas.

Suaranya yang tegas dan merdu mampu menghipnotis beberapa wanita yang juga hadir di acara pernikahannya.

Sesaat, Maira menoleh ke sebelahnya di mana pria yang baru saja mengucap akad atas namanya sedang duduk tegak. Suara pria itu memang terdengar begitu merdu dan lembut di telinganya. Namun, sangat sulit dan tidak mampu menggetarkan hatinya untuk merasakan bahagia.

Kelopak mata mempelai wanita langsung terpejam ketika satu bulir air bening keluar dari sudut matanya.

'Ya Allah, pria ini sudah mengikatku dengan sebuah ikatan yang begitu suci,' batin Maira dengan perasaan tercabik-cabik setelah statusnya berganti menjadi seorang istri.

Saat matanya kembali terbuka, dari ujung matanya ia bisa melihat dengan samar jika tangan suaminya sedikit bergetar setelah pria itu melaksanakan akad. Maira tersenyum dengan eskpresi wajah yang begitu sedih, tanpa bertanya pun ia sudah tahu kenapa tangan pria itu bergetar.

'Apakah ia menyesal setelah menikahiku?' tanya Maira dalam hati. Tidak terasa air mata kembali menggenang dan hampir memenuhi pelupuk matanya.

Maira akhirnya hanya bisa terus menundukkan kepala karena kembali satu butir air mata sudah menetes pelan di pipinya. Ia meremas erat kebaya untuk menyalurkan rasa sakit yang menghujam hati yang tidak diketahui siapa pun di sana.

Di sisi lain, Farhan merasa lega setelah menjadikan Maira sebagai istrinya. Namun, ia tidak dapat menutupi perasaan sedih dan terluka yang hatinya rasakan ketika teringat jika wanita yang dinikahinya bukanlah wanita yang ia inginkan menjadi seorang istri.

'Sayangku, telah aku turuti permintaanmu untuk menikahi Maira. Namun, aku tidak tahu bagaimana sikapku padanya nanti.' Farhan memejamkan mata sejenak ketika wajah seorang wanita melintas dalam benaknya.

Entah mengapa ia ingin sekali segera meninggalkan tempat pernikahan itu untuk menemui si pemilik wajah yang menganggu pikirannya.

Orang lain mungkin mengira jika mereka bahagia dengan pernikahan itu. Namun, tanpa mereka ketahui kedua mempelai sama sekali tidak memiliki perasaan bahagia berlebih seperti kebanyakan pengantin pada umumnya karena pernikahan itu terjadi bukan karena keinginan keduanya.

"Bagaimana para saksi? Sah?" tanya pak penghulu seraya menatap beberapa orang yang berada di tempat akad nikah. Pertanyaan itu langsung membuyarkan pikiran Farhan dan Maira.

"Sah," teriak semua saksi dengan senyuman mengembang sempurna.

Seketika ruangan itu menjadi riuh dengan suara teriakan kebahagiaan kedua keluarga mempelai dan para tamu undangan.

'Ya Allah, hamba tahu jika pernikahan ini terjadi karena izin-Mu. Engkau telah mengubah status hamba menjadi seorang istri. Surga hamba ada padanya sekarang, dialah tempat terbaik untukku berkeluh kesah dan harus dengan baik dan ikhlas hamba layani. Setiap sentuhan kami akan menjadi pahala, dia penyempurna separuh agama. Namun, sanggupkah aku menjadi istri yang layak untuknya?'

Air mata Maira mengalir semakin deras setelah kata sah terdengar jelas di telinganya. Mungkin orang lain berpikir jika ia menangis bahagia, padahal pada kenyatannya tidak seperti itu karena ia menangis untuk membalut luka di hatinya.

"Alhamdulillah." Pak penghulu tersenyum kemudian memimpin doa.

"Allahumma inni as'aluka min khoirihaa wa khoirimaa jabaltahaa 'alaih. Wa a'udzubika min syarrihaa wa syarrimaa jabaltaha 'alaih."

Semua orang mengamini doa tersebut dan pandangan mereka tidak lepas tertuju kepada pasangan pengantin itu.

Setelah doa selesai, Farhan menyematkan cincin di jari manis istrinya. Ketika tangan mereka bersentuhan untuk pertama kalinya, hati Farhan langsung merasa getir ketika ia ingat wanita di depannya bukanlah wanita yang ingin ia jadikan istri. Bahkan, ketika mengecup keningnya pun tidak ada perasaan lain selain sakit di hatinya.

Begitu juga dengan Maira. Hatinya terasa diremas ketika kecupan itu mendarat di dahinya. Seharusnya bukan ia yang berada di sini, seharusnya bukan lelaki ini yang menikahinya.

'Ya Allah, berdosakah aku karena masih menyimpan perasaan cinta untuk orang lain di statusku sekarang yang telah mempunyai kekasih halal?' batin keduanya seraya menjauh perlahan.

"Selamat atas pernikahan kalian, semoga langgeng dan selalu dalam ridho Allah." Ryan tersenyum lembut. Ia menarik putrinya dalam pelukan dan memberikan kecupan di puncak kepalanya.

"Aamiin, terima kasih karena selama ini telah merawat dan mendidik aku dengan baik, Ayah." Tangisan Maira semakin kencang, ia pun semakin erat memeluk seorang pria yang sangat berjasa dalam hidupnya.

"Ayah juga sangat berterima kasih kepadamu karena selama ini kamu sudah dengan ikhlas merawat dan menemani ayah, Nak. Sekarang, ayah serahkan tanggungjawab ayah kepada suamimu." Ryan tersenyum tulus dengan perasaan sedih bercampur bahagia.

"Farhan, putriku sekarang sudah menjadi tanggungjawab dirimu. Tolong jaga dan bimbing ia agar terus berada di jalan yang diridhoi Allah dan jangan pernah sakiti ia karena Maira adalah harta paling berharga yang ayah punya."

Pesan itu disampaikan Ryan ketika memeluk menantunya setelah Maira. Bagi seorang ayah, sangat berat rasanya ketika menyerahkan putrinya kepada pria lain. Apalagi, selama ini hanya putrinyalah yang selalu menemani dirinya.

Farhan hanya mengangguk tanpa berkata apa pun. Sungguh, pesan Ryan sangat berat untuknya. Walau demikian, Farhan tetap akan berusaha menjalankan pesan Ryan dengan baik. Bukan hanya karena mertuanya, tetapi juga karena Allah yang mengizinkan Maira menjadi miliknya.

"Kamu sekarang istriku dan aku suamimu, tetapi aku tidak yakin pernikahan ini akan menghadirkan kebahagiaan untuk kita," bisik Farhan ketika mereka telah berpindah duduk di kursi pelaminan.

"Pantaskah kamu berbicara seperti itu di hari pernikahan kita, Mas?" Maira merasa jika sang suami sangat tidak menghargai pernikahan mereka.

Farhan diam karena tidak tahu harus menjawab apa. Ia sadar jika telah salah bicara di waktu yang tidak tepat.

"Aku sangat sadar jika seharusnya kita tidak menikah, seharusnya kamu bahagia dengannya dan aku bahagia dengan kekasihku." Setelah mengatakannya, Maira langsung menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan saat ia tidak tahan lagi untuk menangis.

Mendengar ucapan sang istri membuat Farhan merasa bersalah. Dirinya seakan lupa jika di sini ialah penyebab pernikahan itu terjadi.

"Maaf karena aku telah membuatmu terjebak dalam pernikahan ini." Farhan dengan ragu menarik Maira ke dalam pelukannya.

"A-aku ...." Maira ingin menolak pelukan itu, tetapi ia tidak kuasa melakukannya.

Maira balas memeluk suaminya, ia mencengkeram baju bagian belakang Farhan ketika tangisannya semakin tidak terkendali. Maira tidak peduli jika riasannya akan rusak dan mengotori baju sang suami karena saat ini ia hanya sedang ingin membalut luka dengan air matanya.

Farhan sadar mereka sama-sama terluka, tetapi ia tahu jika perasaan istrinya jauh lebih sakit daripada perasaannya. Entah mengapa, melihat istrinya terisak kencang dalam pelukannya membuat hati Farhan semakin hancur. Entah hancur karena ia peduli dengan Maira, atau hancur karena telah membuat Maira yang sangat disayangi kekasihnya terluka.

Demi memenuhi keinginan seseorang yang sama-sama Farhan dan Maira cintai. Mereka harus menikah dan melupakan cintanya pada masing-masing pemilik hati.

"Kumohon jangan menangis karena setetes air mata yang jatuh ke pipimu membuat rasa bersalahku semakin besar." Farhan mengecup puncak kepala Maira dengan penuh kasih sayang.

Beberapa tamu yang melihat pemandangan itu tersenyum dengan perasaan yang ikut terharu. Mereka berpikir cinta kedua pengantin begitu besar dan dalam hingga tidak mampu mengendalikan diri menangis bahagia. Namun, dugaan mereka salah besar.

Setelah cukup lama menangis, Maira merasa sangat lelah. Jujur, ia mengakui pelukan Farhan adalah pelukan ternyaman setelah mama dan ayahnya.

"Ma-maaf karena membuat bajumu kotor, Mas!" Maira menjauhkan tubuhnya, wajahnya merona karena ia sangat malu setelah tidak bisa mengendalikan perasaannya.

"Berhentilah meminta maaf padaku karena di sini akulah yang lebih pantas meminta maaf padamu." Farhan mengusap sisa air mata yang masih mengalir di pipi Maira.

"Aku tinggal dulu, ya." Farhan meninggalkan Maira sebentar ketika ia diajak Ryan untuk menyapa para tamu.

Melihat suami dan tamunya sibuk. Maira diam-diam langsung bergegas pergi dari tempat resepsi. Saking ramainya tamu yang hadir, mereka sampai tidak menyadari jika Maira sudah tidak ada di pelaminan.

Setelah menyapa beberapa tamu pentingnya, Ryan bertanya kepada Farhan di mana keberadaan Maira karena ia tidak melihat putrinya di pelaminan.

"Farhan, ada di mana istrimu?" Mata Ryan menatap ke segala penjuru ruangan.

"Maira? Bukankah ia ada di pelaminan?" Farhan menunjuk ke arah pelaminan dan ia terkejut ketika tidak mendapati sang istri di sana.

"Saya yakin tadi Maira masih duduk di sana. Namun, kenapa sekarang ia sudah tidak ada di sana?" Farhan kebingungan.

"Lalu di mana putriku sekarang?" Kecemasan terlihat jelas dari raut wajah pria paruh baya itu.

"Ayah, saya akan mencarinya." Farhan langsung pergi meninggalkan mertuanya. Pertama-tama ia mencari Maira ke kamar mandi dan tidak menemukannya sama sekali.

Farhan pun akhirnya mencari sang istri ke segala penjuru ruangan. Bahkan ia juga mencari sampai keluar gedung pernikahan. Namun, sosok istrinya tidak kunjung ditemukan.

Perasaan cemas mulai menyelimuti hatinya. Ia takut jika wanita itu kabur dari tempat resepsi.

"Maira, kamu di mana?" Farhan mengacak rambutnya dengan perasaan frustasi. Ia takut jika istrinya akan melakukan sesuatu yang membahayakan nyawanya.

Pikiran Farhan sangat negatif karena ia tahu istrinya sekarang sedang tidak baik-baik saja. Kesedihan Maira saat dalam pelukannya tadi membuat Farhan tidak bisa berpikir jernih.

Sekarang Farhan ingat jika sehari sebelum acara pernikahan, Maira menemuinya kemudian mengajaknya membatalkan pernikahan mereka. Mengingat hal itu membuat Farhan tiba-tiba tersenyum putus asa karena dirinya merasa menjadi seorang laki-laki yang sangat bodoh.

Farhan sekarang yakin jika sang istri saat ini sedang menenangkan diri dan tidak ingin diganggu oleh siapa pun.

"Fatimah, puaskah kamu sekarang melihat bagaimana sikapku dan sikapnya setelah menjadi pasangan suami istri?" Farhan terkekeh dengan perasaan getir.

"Seharusnya kamu yang ada di sini dan menikah denganku, bukan Maira." Farhan terkekeh sedih seraya mengusap sedikit air matanya yang berhasil menetes di pipinya.

NB : Untuk lebih lengkapnya bisa kalian baca di aplikasi Fizzo (******) nama pena KARLINA SULAIMAN judul MUARA TAKDIR

Bersambung ...

Semoga kalian suka dengan karya ini, jangan lupa like, komen, rate bintang lima, favorit dan VOTE yang banyak ya.

Yang mau baca novel aku.. ada juga di YouTube ya sayangku.

Cek aja YouTube LINAUTHOR.. dan jangan lupa subscribe.

CSJC : Chapter 2

Gibran menyibakkan rambutnya ke belakang agar terlihat keren di mata semua karyawannya terutama karyawan wanita. Dia begitu bukan karena ada maksud apa-apa, tetapi begitulah memang sifatnya yang punya tingkat percaya diri level dewa. Dewa apa ya kira-kira, jelas saja dewa tidak tahu malu.

"Bapak mau kerja apa mau tarung tinju, Pak?" tanya Siti resepsionis kantor. Dia bertanya tanpa ada rasa sungkan dan malu sedikit pun. Namun, tetap sopan.

"Mau mendaki gunung, sudah tahu ini kantor masih saja bertanya. Kantor kan tempat orang kerja, jadi jelas saya mau kerja, masa iya saya mau ngelamar kamu," jawab Gibran dengan santai, dan semua karyawannya yang memang sudah mengenal sifat bos mereka dengan baik hanya bisa tertawa terbahak saat mendengar perkataan sang bos.

"Bapak tadi bangun tidur langsung berangkat kerja, ya? Nggak ngaca dulu gitu?" tanya Tutik karyawan bagian pemasaran.

"Tadi saya berangkat ke sini masih tidur, jadi gak sempat ngaca." Lagi-lagi Gibran menjawab pertanyaan bawahannya dengan candaan.

"Hahaha ...." Semua karyawan kembali tertawa saat mendengar jawaban bos mereka.

"Hari ini kalian boleh pulang awal." Gibran mengatakan itu dengan nada yang serius.

"Serius, Pak? Ya Allah ... terima kasih, Pak. Akhirnya kita bisa pulang awal juga," ucap salah satu karyawannya.

"Tentu saja saya hanya bohong." Gibran terkekeh melihat wajah karyawannya yang tadi bersinar terang menjadi redup karena ulahnya.

Semua karyawan yang ada di sana langsung bungkam seketika, bukan karena mereka takut. Tapi, karena mereka tidak mau meladeni CEO mereka lagi. Karena itu hanya akan percuma mengingat CEO mereka yang somplak itu sangat pandai dalam bicara.

"Kenapa diam? Mulut kalian ditinggal di rumah biar istirahat, iya?" ucap Gibran lagi dengan menatap satu per satu karyawannya.

"Bapak masih waras? Mana bisa mulut di tinggal di rumah, kami sudah senang bisa pulang awal tapi malah Bapak membohongi kami," jawab salah satu karyawan wanita yang terlihat asing untuknya.

"Kamu kira saya gila?" Gibran berjalan mendekati karyawan wanita itu dengan langkah pelan, dan membuat wanita itu berjalan mundur seperti undur-undur.

"Enggak, Pak. Tapi, Anda bisa lihat penampilan Anda yang tidak seperti orang mau bekerja, masa iya bekerja atasannya tapi bawahnya pakai celana boxer, Pak," kata wanita itu tersenyum mengejek. Dan semua karyawan yang tadi diam kembali tertawa terbahak-bahak.

"Maksud kamu?" tanya Gibran. Dia melihat semua karyawannya menunjuk bagian bawah tubuhnya, bukan itu lho, ya, tetapi bagian kaki. Jangan pada ngeres pikirannya, ya! Hehe.

"Lihat aja sendiri, Pak!" perintah wanita itu, Gibran pun langsung melihat ke bawah dan dia tertawa terbahak-bahak saat dia tahu kalau dia belum memakai celana kerjanya.

"Hahaha ... ini style terbaru tahu dan saya memang sengaja berpakaian seperti ini." Begitulah Gibran, dia selalu menghadapi masalahnya dan menutupi rasa malunya dengan tingkahnya yang sulit dicerna otak manusia normal.

"Terserah Bapak saja. Orang waras mah selalu ngalah sama ora-" ucapan wanita itu terpotong oleh ucapan Gibran.

"Orang gila? Kamu mau bilang saya gila, iya? Sekali lagi kamu bilang kaya gitu, saya gantung kamu di pohon taoge." Gibran memberikan ancaman yang sama sekali tidak mengerikan bagi wanita itu.

"Di pohon taoge mah apa, Pak? Nggak mempan," ucap karyawan wanita itu sambil menutup mulutnya menahan tawa.

Ingin sekali Gibran membalas perkataan karyawan itu, tapi suara seseorang yang tidak asing baginya dan membuat telinganya sakit terdengar menggema bagai di dalam gua, padahal mah di sini bukan gua ya, emang zaman prasejarah hidup di gua.

"Pak ... Pak Gibran cepat ke ruang meeting, semua rekan bisnis Bapak sudah berkumpul di sana dan Bapak sudah telat tiga puluh menit," teriak Bayu —sekretaris pribadi Gibran.

"Ini bukan gunung, jangan teriak kenapa? Kamu pikir saya gak bisa dengar?" ucap Gibran dengan menutup telinganya yang merasa sangat sakit.

"Maaf, Pak. Tapi, kalau saya nggak teriak Bapak juga gak akan dengar, kan, Pak?" ucap Bayu dengan santai.

"Bukannya tadi saya sudah bilang sama kamu, ya? Kalau saya mengundur waktu meeting pagi ini." Gibran menatap sekretarisnya dengan tajam.

"Emmm ... i-itu, Pak. Ta-tadi saya sudah bilang sama mereka. Tapi, mereka gak mau kalau waktu meetingnya diundur." Sekretaris Bayu mengatakan yang sebenarnya.

"Baiklah, saya yang salah karena saya telat, ayo kita segera ke sana!" Gibran mendahului Bayu berjalan menuju ruang meeting.

Di ruang meeting.

"Selamat pagi, maaf saya telat." Gibran meminta maaf kepada semua rekan bisnisnya.

"Tidak apa-apa, Pak. Maklum anak muda." Salah satu rekan bisnisnya menimpali.

"Terima kasih, apa kita bisa memulai rapatnya?" tanya Gibran sebagai bentuk sopan santun pada rekannya.

"Apa Anda akan memakai celana itu untuk rapat, Pak?" tanya salah satu rekan bisnisnya juga.

"Apa saya harus melepaskan celana saya? tanya Gibran dengan nada serius, dia sudah memegang bagian atas celana tangannya seakan sudah siap untung melepaskan celana yang dia pakai. Dan hal itu malah mengundang gelak tawa di antara mereka.

"Apa Anda tidak takut burung Anda akan terbang dari sarangnya, Pak?" Bayu berkata sambil tersenyum lebar.

"Kalau terbang nanti ada kok yang menangkap." Gibran menjawab dengan santai, wajahnya terlihat begitu menyebalkan di mata semua rekan bisnisnya.

"Sesuka hati Anda saja, Pak. Bisakah kita memulai rapatnya pagi ini?" tanya Pak Bram rekan bisnisnya yang terlihat seumuran dengan ayah Gibran.

"Baik, kita akan memulai rapat pagi ini dari sekarang, tolong catat poin penting dan juga hal-hal yang sekiranya akan kalian tanyakan nanti, saya mau rapat ini berjalan satu kali dan langsung selesai." Gibran berkata dengan tegas dan berwibawa, hanya saja kewibawaan yang terpancar dari dirinya harus sedikit rusak karena celana yang dia pakai.

"Baik, Pak." Semua yang ada di dalam ruangan itu menjawab dengan serentak.

Gibran memulai presentasinya sedangkan Bayu bertugas sebagai moderator. Gibran menjelaskan apa yang ada di layar dengan sangat detail, dia juga menambahkan sendiri ide-idenya karena yang di dalam file hanya pokok dari pembahasannya.

Tiga puluh menit berjalan dia sudah menyelesaikan presentasinya. Dia pun segera memberikan kesempatan kepada rekan bisnisnya untuk bertanya atau mengusulkan ide mereka.

"Jika ada yang mau bertanya atau menambahkan ide silakan!" Gibran duduk manis di kursinya dan menunggu pertanyaan atau usulan ide dari yang lain.

"Apa yang Anda presentasikan sangat detail dan isinya juga sudah menyeluruh, bahkan bagian paling sederhana pun Anda bahas di dalam presentasi Anda, dari saya pribadi tidak ada pertanyaan," ucap Pak Bram tersenyum bangga kepada anak dari sahabatnya.

"Bagaimana dengan yang lain?" tanya Bayu tersenyum ramah.

"Tidak ada pertanyaan dari saya." Kalimat itu keluar dari semua mulut orang yang ada di sana.

"Jika tidak ada pertanyaan, rapat pagi ini akan saya akhiri, selamat pagi." Gibran berdiri dan berjabat tangan dengan semua rekannya.

Setelah semua rekannya keluar dari ruang meeting, Gibran juga hendak berjalan keluar tapi sialnya kaki Gibran tidak sengaja terjegal kursi dan membuatnya jatuh tengkurap di lantai.

"Kursi sialan, sejak kapan kamu berada di situ, hah?" Gibran membentak-bentak benda mati itu dengan kesal. Dia mengusap bibirnya yang terasa sakit akibat mencium lantai.

"Anda yang salah, kenapa Anda malah marah-marah dengan benda mati, Pak? Hahaha ...." Bayu menutup mulutnya dengan satu tangan untuk menahan tawanya.

"Ciuman pertamaku." Gibran menendang kursi itu dengan kesal tapi malah kakinya yang merasa berdenyut-denyut sakit.

"Aduh! Dasar kursi kurang ajar." Gibran dengan kesalnya berjalan cepat untuk keluar ruangan tapi saat dia mau keluar dahinya malah dicium pintu ruangan yang sudah tertutup.

"Dug, ah ...." Gibran mengusap dahinya yang terasa benjol. Dia menatap pintu itu dengan kesal. Terlihat pintu itu seperti sedang mengejek dirinya.

"Bwahahaha ... Bos, Anda harus lebih berhati-hati ke depannya." Bayu tertawa terpingkal-pingkal sampai matanya berair.

Bersambung ...

Tidak ada karya yang selalu kocak terus ya sayang, pasti nanti ada bab yang serius juga. Ok, like, komen, rating bintang lima dan VOTE yang kenceng ya.

CSJC : Chapter 3

"Ini pintu kenapa kamu taruh di sini, Bayu?" tanya Gibran dengan kesal, dan pertanyaannya itu tidak perlu jawaban.

"Emang pintunya sudah dari zaman dulu di situ, Tuan." Bayu tetap menjawab walaupun dengan sedikit kesal. Begitulah Bayu, dia terkadang memanggil bapak, terkadang juga memanggil tuan terkadang juga bos. Tergantung situasi dan kondisi.

"Saya mau ke kamar mandi, kamu masuklah dulu ke ruangan saya!" perintah Gibran, dia segera pergi menuju kamar mandi dan dia ke kamar mandi karyawan bukan kamar mandi khusus untuknya.

Di dalam kamar mandi, Gibran membasuh wajahnya dengan air kemudian dia berdiri di depan kaca. "Tampan." Satu kata yang keluar dari mulutnya memuji diri sendiri.

Gibran keluar dari kamar mandi kemudian dia berjalan santai menuju ke lift untuk naik ke lantai paling atas, tempat di mana ruangannya berada. Tapi, niatnya dia urungkan saat dia melihat seorang gadis yang sedang ditahan oleh satpam kantornya.

"Lepasin saya, Pak. Saya mohon, saya ke sini mau melamar pekerjaan bukan mau mengemis," ucap gadis itu seraya meronta-ronta minta dilepaskan. Gibran bisa mendengar jelas ucapan gadis itu. Dia pun memutuskan untuk menghampirinya.

"Maaf, di sini tidak ada lowongan pekerjaan untuk orang sepertimu." Satpam itu menarik tangan sang gadis yang terus memberontak.

Karena di kantor miliknya banyak dinding dari kaca, saat Gibran berjalan cepat dia tidak tahu kalau di depannya adalah sebuah dinding kaca, karena dinding itu terlihat bukan seperti kaca.

Dug ... bunyi dahi yang terbentur kaca, otomatis Gibran langsung jatuh dan lucunya dia jatuh terlentang di lantai. "Cling, bersih bening seperti tanpa kaca." Gibran masih sempat untuk bicara sambil tertawa sial.

Semua karyawan yang melihatnya hanya bisa menepuk dahi dan menahan tawa melihat kejadian memalukan yang dialami bos mereka pagi ini.

Satpam yang melihat itu langsung berlari membantu Gibran untuk bangun, hal itu membuat mereka melepaskan sangat gadis yang tadi mereka tahan. Mendapat kesempatan, gadis itu berlari pergi dari kantor, tapi dia berjanji akan kembali lagi.

"Mari saya bantu berdiri, Tuan!" Satpam itu membantu Gibran dengan cara menarik tangannya.

Setelah berhasil berdiri, Gibran bersedekap dada dan menyuruh satpam itu untuk berlari sebagai hukuman karena tidak menghargai orang lain. "Pak Adi, kamu saya hukum berlari satu putaran mengelilingi perusahaan, karena kamu sudah mengusik orang lain," perintah Gibran dengan wajah yang datar dan suara baritonnya.

"Aduh, Tuan. Saya sudah tua, boleh dikurangi nggak, Tuan?" Satpam yang bernama Adi itu menawar.

"Sekali putaran," jawab Gibran datar, tapi malah terlihat lucu di mata Pak Adi karena ada benjolan di dahinya.

"Setengah putaran, ya, Tuan!" tawar Pak Adi sambil mengatupkan kedua tangannya di depan dada memohon pada Gibran.

"Bersihkan sel kulit mati dan kotoran." Gibran membalas dengan candaan. Gibran tidak benar-benar serius menyuruh Pak Adi berlari, dia tidak setega itu.

"Putar-putar di wajah." Pak Adi tidak mau kalah.

"Bilas." Gibran memperagakan gerakan membilas wajah.

"Multivitamin," jawab Pak Adi sambil mengacungkan dua jempol tangannya kepada Gibran. Semua karyawan yang melihat tingkah atasan serta satpam itu hanya bisa tertawa terbahak-bahak.

"Bapak kembali bekerja sana! Saya tidak mau melihat kejadian seperti tadi terulang lagi," ucap Gibran dengan serius.

"Baik, Tuan. Terima kasih." Pak Adi tersenyum dan bisa bernapas lega saat Gibran tidak kembali menyuruhnya untuk berlari.

"Gadis itu sudah kabur, sudahlah sebaiknya aku segera ke ruanganku." Gibran kembali berjalan menuju lift khusus dan kembali ke ruangannya.

***

Sesampainya di ruangan, Gibran langsung duduk di kursi kebesarannya. Dia bernyanyi sambil bersiul santai.

"Bayu, sini kamu!" Gibran menyuruh Bayu yang sedang duduk di tempat kerjanya untuk mendekat, ada hal tugas penting untuk Sekretaris Bayu sekarang juga.

"Ada apa, Tuan?" tanya Bayu berdiri di dekat Gibran.

"Belikan saya celana kerja, saya malu memakai ini!" Gibran menunjuk celana boxer yang dia pakai.

"Ternyata Tuan Gibran masih punya urat malu, ya?" Bayu tersenyum polos.

"Diam kamu, cepat pergi sana jangan banyak tanya lagi!" Gibran mengusir Bayu dengan mengibaskan tangannya.

Bukannya segera pergi, Bayu malah menengadahkan tangannya, Gibran tidak paham dengan maksud Bayu.

"Kamu mau ngapain?" tanya Gibran menatap Bayu dengan penuh selidik.

"Minta-"

"Oh, iya saya lupa hehe, maafkan saya Pak Sekretaris." Bayu tersenyum mengira dia akan diberi uang oleh Gibran. Namun, Gibran dengan santainya memasukkan jari telunjuknya ke hidung kemudian menaruh upil di tangan Bayu.

"Apa-apaan nih, Bran? Bayu merasa jijik dan mengusap-usap tangannya dan menjadikan baju Gibran sebagai lap.

"Upilku harganya mahal Bay, kamu beruntung dapat secara gratis haha ...." Gibran tertawa penuh kemenangan saat melihat raut wajah Bayu yang kesal. Kakinya menjejak-jejak lantai dan karena tumpuan kakinya saat menjejak lantai terlalu keras, kursi yang dia duduki terbalik sehingga jatuhlah dia ke lantai.

"Eeeh ...." Gubrak ... rasa nyeri di pinggangnya terasa sangat nikmat saat lagi-lagi dirinya kena sial hari ini. "Gila, sakit banget pinggangku, Bay bantuin berdiri!" Gibran meminta tolong pada Bayu namun Bayu malah menertawakannya.

"Bwahahaha, sukurin! Dasar Bos gila!" Bayu berlari keluar dari ruangan Gibran masih tertawa terbahak dan segera pergi untuk membelikan celana kerja Gibran. Dia terpaksa memakai uangnya terlebih dahulu karena nanti pasti akan diganti. Karyawan yang melihatnya tertawa terbahak hanya bisa membatin dalam hati.

Nggak bos, nggak sekertaris gila semua. Tutik bergidik ngeri melihat Bayu.

Gibran yang ditinggal Bayu keluar hanya bisa mengumpat sekretaris sekaligus sahabatnya itu dengan kesal. "Sekretaris sialan, bukannya bantuin malah kabur." Dengan susah payah Gibran berdiri dan menendang kursinya dengan mulut yang komat-kamit.

***

Sementara itu, di tempat lain seorang gadis terlihat berjalan tanpa semangat. Dia sudah lelah ke sana ke sini mencari pekerjaan tapi selalu saja ditolak dan terus ditolak.

Sebenarnya dia itu cerdas hanya saja setiap perusahaan tempat dia melamar pasti selalu tidak membuka lowongan.

"Ke sana kemari mencari alamat, namun yang kutemui bukan dirimu, sayang yang kuterima alamat palsu." Gadis itu malah bernyanyi tidak jelas.

"Aaa ... kesel gue sama diri gue sendiri, dua tahun gue lulus dan nggak dapat pekerjaan, sial! Padahal dulu gue udah enak kerja jadi dokter di rumah sakit ternama di negara ini, tetapi gara-gara kabur dari rumah jadi berhenti bekerja sebagai dokter juga." Gadis itu menendang batu yang berada tepat di depannya dan melayang indah mengenai kepala anjing galak yang lepas dari kandangnya.

Guk ... guk ... anjing itu berlari ke arah sama gadis yang berdiri mematung dengan tubuh yang bergetar hebat karena takut. "Anjing yang cakep dan mganteng baik hati dan tidak sombong, jangan ke sini dong!" Gadis itu memuji si anjing berharap anjing itu senang dan tidak mengejarnya.

"Aaa ... kabur." Gadis itu lari terbirit-birit saat anjing yang kepalanya kena batu dengan semangat empat lima mengejarnya.

"Anjing kurang ajar! Kenapa gue malah dikejar sama Lo padahal gue kan masih jomblo, dikejar cowok kek gitu masa di kejar Lo sih!" Gadis itu meracau tidak jelas dengan napas ngos-ngosan karena masih terus berlari.

Bersambung ...

Hay readers yang entah baca atau tidak hehe ... jangan lupa like, komen, favorit bila suka dan yang pasti VOTE jangan lupa ya! 10 poin pun dah bikin author senang kok.

Oh iya, kalau misal mau ngasih RATE di bawah lima, mending jangan ngasih ya. Karena itu bikin author sedih.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!