Pagi itu, Riri mengenakan seragam formal dengan penuh kesiapan matang, lalu menata rambut panjangnya dengan cara mengikat ke belakang.
Wajah manisnya di hiasi sedikit make-up, menampilkan pesona yang luar biasa di usianya yang masih sangat muda yakni 18 tahun. Setelah usai mendandani diri sendiri, gadis berwajah manis nan imut itu keluar dari dalam kamar.
"Ri, mau sarapan dulu?" tawar Bu Yuli dengan lemah lembut pada putri bungsunya tersebut, tetapi Riri terlihat begitu terburu-buru.
"Nanti saja Ma, aku agak telat nih," tolak Riri seraya berjalan cepat ke menuju keluar.
"Ma, doakan aku ya, semoga aku diterima kerja," teriaknya pada sang ibu pada saat akan berangkat, sementara ayahnya sudah pergi ke pasar sejak pukul lima subuh untuk berjualan buah-buahan.
"Ya, hati-hati di jalan, Nak," peringatkan Bu Yuli.
Riri menatap benda di pergelangan tangannya, menyadari bahwa waktu berjalan sangat cepat, wajahnya yang agak santai berubah menjadi tegang dalam waktu singkat.
"Aduh, ini sudah hampir pukul 7, aku bisa telat nih," keluhnya di hantui kecemasan.
Gadis itu melangkah tergesa-gesa, sampai-sampai tak sengaja menubruk siapa pun yang berpapasan saat di jalan karena padatnya aktifitas para pejalan kaki di trotoar.
"Eh, maaf-maaf," ucapnya sambil berlalu tampa mempedulikan umpatan orang-orang yang di tubruk olehnya
Ia berlari kecil menuju ke jalan utama untuk menghentikan kendaraan umum, hal itu memakan banyak waktu yang sangat berharga.
"Ah, lama banget!" keluh Riri seraya menatap lampu lalu lintas yang masih hijau, padahal ia harus menyebrang jalan.
Tanpa sabar, ia memberanikan diri melintasi zebra cross meski lampu masih hijau, di antara kendaraan yang melaju.
Tiba-tiba, sebuah mobil tanpa kendali hampir saja menabraknya. Terpaksa pengendara mobil itu menginjak rem secara mendadak, menyebabkan suara decitan, membuat Riri berhenti dan menoleh dengan wajah tengang.
Gadis itu merapatkan kedua telapak tangannya sebagai permohonan maaf, tetapi pria tampan di dalam mobil hanya terpaku beberapa saat ketika memandang wajah gadis tersebut.
"Cantik," gumam pria tampan itu memuji penampilan Riri yang terlihat dari kaca mobilnya.
Meski begitu, Riri tidak bisa melihat wajah orang di dalam sana karena kaca mobil terlihat gelap dari luar.
Liam reflek menyunggingkan kedua sudut bibirnya saat memandangi Riri.
Sedangkan pengendara di belakang yang kesal berlomba-lomba membunyikan klakson, memaksa Liam untuk melanjutkan perjalanan, menimbulkan kebisingan di lalu lintas yang padat.
"Woi... Malah berhenti!" teriak seorang pengendara lainnya sambil menekan-nekan klakson beberapa kali seolah tak ada kesabaran.
Mengetahui itu, dengan cepat Liam segera tancap gas untuk melanjutkan perjalanannya menuju ke perusahaan.
...
Riri masih sangat syok, dadanya berdebar pasca insiden yang hampir mencelakakan dirinya tadi.
"Astaga, nyaris saja aku tertabrak mobil." Riri mengelus dadanya, mencoba menenangkan diri dalam situasi menegangkan barusan.
Ia mencegah kendaraan umum yang lewat, kemudian naik, dan tak butuh waktu lama ia tiba di tempat tujuan.
Gadis itu kembali menatap jam tangannya. "Astaga, sudah jam setengah delapan, aku sudah telat untuk interview," pekiknya. Meski begitu, dengan hati berdebar, ia memberanikan diri masuk.
"Pak, permisi, kalau mau interview di ruangan mana, ya?" tanya Riri pada petugas di sana.
"Langsung saja masuk ke dalam," jawab seorang security dengan wajah angkuh, diangguki cepat oleh Riri.
"Oh, Terimakasih." Gadis itu hendak masuk, tetapi langkahnya dihentikan.
"Hei, tunggu!" teriak security tersebut, membuat Riri menoleh kembali.
"Ada apa, Pak?" tanya gadis itu.
"Kamu sudah terlambat setengah jam, Bos kami tidak suka orang yang tidak disiplin dengan waktu!" terangnya.
Riri menekuk wajah dengan ekspresi lunglai.
"Memangnya, tak ada kesempatan untuk saya?" tanya gadis itu dengan wajah penuh permohonan.
"Sebaiknya kamu pulang saja dari pada kena marah Bos," papar security tersebut dengan tegas.
Riri harus menelan pil pahit karena telat bangun pagi yang membuat semuanya berantakan.
"Ya sudah Pak, kalau begitu saya permisi," pamitnya dengan suara yang lirih, berjalan lemas sambil menggerutu dalam hati.
***
Ia kembali ke rumahnya dengan wajah yang ditengadahkan, sambil melempar amplop coklat yang berisi surat lamaran ke atas meja.
"Aah!" Riri berdesah kesal, seraya menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa butut yang sudah bolong karena keterbatasan ekonomi keluarga mereka.
Sang Ibu menghampirinya, karena penasaran ia bertanya, "Bagaimana, Ri? Kamu keterima?"
Riri menghela napas kesal dalam-dalam. "Boro-boro! Aku bahkan tidak sempat interview sama sekali karena datang terlambat, padahal ini kesempatan buat aku," jawab Riri yang seakan tidak puas. Ia lantas cemberut penuh kesal di wajahnya.
Tiba-tiba, Ninu yang merupakan kakak dari Riri datang berkunjung. Ninu memiliki selisih usia 5 tahun dari sang adik, dan ia sudah menikah serta memiliki seorang putri yang masih kecil.
"Riri, kamu kenapa?" tanya Ninu, Riri melipat kedua tangan di atas dada sembari menghela napas panjang.
"Adikmu tidak jadi interview, gara-gara telat," terang sang Ibu, Ninu mengangguk.
"Sebenarnya aku datang kemari mau menawarkan kerjaan buat kamu, Ri," ungkap sang kakak. Kedua mata Riri membelalak tajam dengan penuh antusias.
"Wah, kerjaan apa, Kak?" tanya gadis berambut panjang itu, Ninu canggung mengatakannya karena takut jika Riri akan menolak mentah-mentah tawaran tersebut.
"Ehm, anu, jadi pembantu," jawabnya, membuat tubuh Riri kembali lemas, sedangkan Ninu memandanginya dengan skeptis.
"Tuh, kan kamu pasti gak akan mau." Ninu mengusap lembut punggung sang adik.
"Ya kirain tawaran kerja di toko jadi SPG, kasir, atau pramuniaga gitu, eh ini malah ditawari kerja jadi babu!" cibir Riri membayangkan betapa memalukannya profesi tersebut, apalagi jika kawan-kawannya tahu ia bekerja sebagai seorang maid.
"Tapi ini beda banget, Ri. Gajinya, nggak usah tanya deh," goda sang kakak. Awalnya, Riri tak peduli. Namun, mendengar seberapa besar gajinya, ia menoleh penasaran pada Ninu, ingin tahu lebih lanjut.
"Dimana? Gajinya berapa?" tanya Riri. Ninu menggeser layar ponselnya, menunjukkan info pekerjaan itu. Kedua mata Riri terbelalak tajam.
"Komplek perumahan Taman Platinum Estates, blok A nomor 15," bisik Riri saat membaca alamatnya.
Lalu, ia melihat deskripsi dan keterangan berikut, juga gaji yang begitu menggiurkan.
"Wah, serius gajinya segini?" Riri melirik sang kakak, Ninu mengangguk.
"Ya, beneran, tapi pasti banyak yang melamar, pastinya banyak juga saingannya, kamu mau atau nggak, nih?" tawar Ninu menegaskan sekali lagi, mencoba membuka pembicaraan.
Riri merenung sejenak sambil mengembangkan senyuman.
"Wah, gajinya sangat besar, dan itu kan, Mansion elit. Kalau gaji sebanyak itu, aku bisa shopping tiap hari, makan makanan enak, perawatan tubuh dan wajah, hihihi..." batin Riri, membayangkan kehidupan yang mewah di depan matanya.
"Ri, gimana, ambil apa enggak?" Ninu menepuk bahu adiknya, mencoba menyadarkan Riri dari lamunannya.
"I-iya, aku mau, Kak." Gadis itu mengangguk mantap.
"Ya sudah, kamu persiapkan lamaran dan juga kemasi pakaianmu, besok kita akan berangkat, kakak yang antar kamu," ujar Ninu. Riri mengerutkan keningnya, heran.
"Apa? Kemasi pakaian? Tapi kan itu belum tentu aku diterima," tanya Riri. Ninu menyikapi dengan santai.
"Memangnya kamu gak baca aturan yang ini?" Ninu menunjuk peraturan yang mengharuskan pelamar membawa pakaian mereka. Riri mengangguk dan tersenyum cengo.
"Hehe, oh iya, aku gak sempat baca bagian itu," ucapnya.
...
Tibalah keesokan hari...
Riri berbenah, memasukkan beberapa helai pakaian ke dalam tas ransel hitam berukuran besar, dibantu oleh sang ibu.
"Kamu yakin, Ri?" tanya wanita paruh baya tersebut kepada putri bungsunya. Riri mengangguk mantap.
"Yakin Ma, karena aku ingin punya penghasilan sendiri. Aku ingin membeli apapun tanpa meminta kepada Papa dan Mama," ungkap Riri. Ia merasa bahwa usianya sudah cukup untuk bekerja, meski tak sempat melanjutkan kuliah.
"Tapi Mama harap, kamu bisa melanjutkan pendidikanmu kalau misalnya kamu sudah berpenghasilan cukup," ujar sang ibu dengan bijaksana. Riri mengangguk seraya tersenyum.
"Soal itu, gampang. Yang penting kerja dulu, cari duit buat bisa nabung untuk kuliah." Riri tampak sangat bersemangat. Sesaat, semuanya selesai.
Gadis berwajah manis itu meminta izin kepada sang Ayah.
"Pah, doakan aku ya, semoga semuanya berjalan lancar," harapnya. Diangguki oleh Pak Johan yang saat itu sudah bersiap untuk ke pasar.
"Ya, Papa selalu mendoakan mu, Nak." Pria paruh baya itu mengelus kepala putrinya dengan hangat.
"Memangnya kalau kamu bekerja di sana, itu artinya kamu akan pulang satu bulan sekali?" tanya Pak Johan penuh rasa cemas.
"Ya, persyaratannya seperti itu, Pah, tapi Papa dan Mama, tenang saja. Aku bisa jaga diri dengan baik, aku berjanji pada kalian," ujar Riri dengan tekad dan keyakinan, membuat keduanya percaya.
"Baiklah, ingat! Yang terpenting, jaga harga diri dan kehormatanmu sebagai seorang wanita." Pa Johan berbicara tegas dan serius. Riri mengangguk.
"Baik Pah," jawabnya.
Di luar, terdengar suara klakson motor menggema, membuat Riri mengakhiri obrolan dengan kedua orangtuanya.
"Pah, Ma, aku berangkat dulu." Gadis itu meraih tangan kedua orangtuanya secara bergantian, kemudian bergegas.
Ia naik ke belakang jok motor sang kakak, dan kendaraan itu segera meluncur ke tujuan.
***
Di tempat yang berbeda, pagi itu, dalam ruang makan keluarga yang sangat mewah, terdapat Ayah, Ibu, dan dua putra. Putra pertama berusia 25 tahun, sementara putra bungsu masih berusia 10 tahun.
Suasana khidmat terasa di ruangan itu saat mereka menikmati sarapan yang disajikan oleh beberapa pelayan yang mengenakan pakaian formal hitam putih.
Saat itu sang Ibu tiba-tiba berkata, "Liam, besok lusa adalah acara pertunangan kamu dengan Karina."
Liam yang sedang menyantap hidangannya tersedak, menunjukkan ketidakbahagiaan dalam raut wajahnya.
"Lalu?" tanya Liam tanpa menunjukkan kegembiraan.
Pasalnya kedua orangtua tersebut ingin menjodohkan Liam dengan putri sahabat mereka, keduanya berharap mendapatkan menantu yang setara, terutama dalam hal urusan bisnis keluarga.
Liam, seakan tanpa daya, tunduk dan patuh pada rencana orangtuanya.
Ia sulit didekati atau mendekati wanita, karena sosoknya yang berwibawa dan kaya raya, seolah sulit untuk di gapai oleh wanita manapun.
Acara pertunangan tersebut hanyalah satu lagi dari banyak kewajiban yang harus ia jalani demi menyenangkan kedua orangtuanya.
"Persiapkan diri kamu, jangan membuat kami malu di acara nanti!" tegur Bu Mauri pada putra sulungnya dengan nada tegas. Liam hanya bisa mengangguk, tetapi dalam hatinya, tak ada secercah perasaan untuk calon tunangannya, Karina.
Pak Leo menambahkan, "Kalian itu pasangan yang cocok, cantik dan tampan."
Senyum tipis yang muncul di wajah Liam menunjukkan bahwa ia masih jauh dari memiliki perasaan yang sejalan dengan pernyataan tersebut.
Bagi Liam, ini bukanlah cinta, tetapi sekadar kewajiban yang harus dipenuhi demi kebahagiaan orangtuanya.
Seorang maid yang bernama Rindy hendak menambahkan air putih ke dalam gelas milik Liam dengan penuh perhatian. "Mau di tambah lagi minumnya, Tuan?" tawar sang maid, Liam membentangkan lengan.
"Cukup!" tolaknya yang sudah cukup kenyang.
"Oh ya, Mama akan menambah 1 orang maid lagi untuk menggantikan maid yang sudah resign," ujar Bu Mauri, tampaknya Liam dan yang lainnya tak mempedulikan.
"Terserah Mama saja," kata Liam dengan ekspresi dingin, begitu juga dengan Pak Leo.
Sementara Tomi, sang adik tampak asyik sendiri dengan ponselnya.
"Tomi, taruh dulu handphone mu!" tegur Pak Leo, karena sedari tadi Tomi asyik sendiri di saat anggota keluarga lain sedang berdiskusi, akan tetapi bocah itu tetap bandel seolah tak mempedulikan peringatan sang ayah.
Liam menggeser kursi lalu beranjak, ia langsung meraih ponsel sang adik secara paksa, membuat Tomi berteriak histeris. "Kakak, balikin handphone ku!"
Liam malah senang menjahilinya, sampai akhirnya ia keluar dari dalam ruangan mewah, kedua matanya menyipit saat melihat beberapa gadis pelamar tengah menunggu di dekat gerbang.
Para gadis itu totalnya berjumlah 25 orang. Namun, yang di butuhkan oleh Bu Mauri jelas hanya satu orang saja, itu artinya mereka akan bersaing secara ketat.
Riri merasa pesimis, ia pasrah apapun yang akan terjadi.
Para gadis itu mengamati sosok Liam yang tampan dan penuh karisma dari kejauhan. "Itu pasti Tuan muda," ujar Teti.
"Unch, ganteng banget," sahut Wiwit jantungnya berdegup tak menentu, serta ucapan kagum lainnya terlontar dari mulut para gadis itu, terkecuali Riri yang sedari sibuk tadi berkomunikasi dengan sang kakak yang sedang menunggunya di luar gerbang.
"Semangat Ri, kamu harus yakin!" kata Ninu, Riri mengangguk seraya tersenyum meski saingannya banyak.
...
Bersambung...
Setelah Bu Mauri mengantar suami dan putranya berangkat, wanita paruh baya itu memerintahkan 25 orang gadis untuk mendekat ke arahnya.
"Sebelumnya, terimakasih atas kesiapan kalian. Tetapi saya hanya membutuhkan 1 orang, maka dari itu saya akan mengadakan tes kecil-kecilan untuk memutuskan siapa yang terpilih," ujar wanita paruh baya yang masih terlihat cantik dan segar.
"Apa tesnya, Nyonya?" tanya Rika yang sudah sangat penasaran dan tak sabar.
"Tesnya yaitu memasak sayur asam, dan saya akan seleksi kalian semua," jawab Bu Mauri dengan mantap.
Para gadis itu serentak tersenyum, merasa itu adalah masakan yang paling mudah.
"Ah, masak sayur asam, itu doang sih kecil," batin Teti dengan senyum remeh.
"Aduh, aku kan gak bisa masak," keluh Riri dalam hati dengan wajah cemas, tegang, bingung berkumpul jadi satu di atas kepalanya.
"Pasti aku gak akan terpilih. Apa aku mengundurkan diri saja, ya? Tapi, sayang sih," ucapnya membatin. Seketika tekadnya kembali bangkit tatkala mengingat gaji yang akan ia dapat.
"Astaga! Riri, belum apa-apa kok sudah nyerah saja. Hmm... Yang penting, usaha dulu aja, semangat Ri!" Riri menyemangati dirinya sendiri.
Bu Mauri memanggil kloter pertama yang berjumlah 5 orang untuk menjalani test.
Singkat cerita...
Sekarang giliran kloter 5 terakhir yang Bu Mauri panggil.
Dengan hati yang berdebar, Riri melangkah menuju ruangan mewah, dan terus berjalan menuju dapur yang juga mewah dan dilengkapi peralatan memasak serba canggih.
Kelima gadis itu berdiri di meja masing-masing, disana sudah dipersiapkan bahan dan alat-alat memasak yang dibutuhkan.
Ke lima gadis itu serentak mengenakan celemek, dan hair cup untuk membungkus rambut mereka.
"Wah, ini seperti kompetisi memasak," batin Riri yang tak yakin jika dirinya akan berhasil melalui tantangan ini.
"Bersiap ya, waktunya 30 menit dari sekarang!" ujar Rindy sang maid yang ditugaskan sebagai pengawas sekaligus pemandu.
"Tiga... Dua... Satu... Go!" teriaknya memantik semangat peserta.
Riri, dengan tangan yang gemetar, memotong sayuran satu persatu dengan potongan dadu.
"Aduh, pertamanya bagaimana ya?" Riri menggaruk kepalanya bingung, lalu ia mengingat-ingat ketika sang ibu memasak sayur asam, seketika ide muncul di kepalanya serasa terilhami.
Dengan gerakan gesit, ia mulai meracik bumbu dan lain sebagainya.
30 menit berlalu, para peserta mengangkat kedua tangan mereka, pertanda waktu telah selesai. Riri merasa ragu-ragu tentang hasil masakannya yang mungkin tidak akan enak.
"Sudah selesai, semua!" teriak Rindy, memperingatkan kelima peserta. Bu Mauri bersiap untuk mencicipi hidangan masing-masing.
Bu Mauri berjalan ke tiap meja, dimulai dari meja Teti. Ia menyendok sayur buatan Teti dan mencicipinya kemudian mengangguk-anggukan kepala.
Setelah itu, ia melanjutkan mencicipi hasil masakan peserta kedua dan seterusnya, sampai berhenti di meja Riri.
Kedua pipi Riri memerah ketika Nyonya besar itu mulai menyendoki sayuran buatannya dan memasukan ke dalam mulut secara perlahan.
Awalnya, ia menunjukkan reaksi aneh, membuat Riri tegang dengan kedua mata membelalak tajam, takut jika rasa masakannya terasa aneh.
Namun, selanjutnya Bu Mauri memberikan reaksi berbeda, tersenyum sambil mengangkat satu jempolnya.
"Ini masakan yang paling enak di antara peserta lain, luar biasa! Kamu hebat!" pujinya dengan tulus kepada Riri. Gadis itu merasa sangat terhormat mendapat pujian langsung dari calon majikannya.
Lantas, semua orang langsung bertepuk tangan untuk Riri, kecuali Teti.
"Loh, kok dia yang terpilih, sih? Padahal kan masakanku ini enak," batin Teti, lalu ia mencicipinya sendiri.
"Cih! Astaga, kok bisa asin gini, ya?" Teti heran dengan hasil masakannya sendiri yang terlalu asin dan justru rasanya sangat aneh.
...
Bu Mauri mengumpulkan para gadis itu, lalu memberikan pengumuman.
"Dengan berat hati, saya harus menyampaikan ini kepada kalian," ujar wanita paruh baya itu, membuat jantung para gadis berdebar. Masing-masing berharap terpilih.
"Saya memilih Riri Riana," ucap Bu Mauri dengan lantang, membuat Riri seakan tak percaya, tersenyum haru karena terpilih.
"Wah, selamat ya, Ri," ucap Rika. Riri mengangguk lalu merangkul teman barunya itu.
Bu Mauri segera menyudahi semuanya, meminta maaf kepada peserta yang tak terpilih. Mereka menerima dengan lapang dada.
"Hmm.. mungkin bukan rejeki kita," ujar Maya kepada yang lain. Ke-24 gadis itu meninggalkan Mansion mewah, terkecuali Riri.
Sejenak, ia memberi tahu Ninu, sang kakak.
"Kak, aku terpilih," kata Riri, membuat Ninu mengucap rasa syukur.
"Selamat ya Ri, semoga kamu betah, kerja yang benar ya," ujar Ninu memberikan motivasi dan semangat kepada sang adik.
Setelah perpisahan, Riri kembali menghadap Bu Mauri. Wanita paruh baya itu memandu Riri, memperkenalkan keempat maid yang merupakan senior Riri.
"Selamat datang dan bergabung dengan kami," ucap keempatnya secara serentak. Mereka mengenakan seragam resmi yang diberikan oleh Bu Mauri, serta name tag layaknya pekerja kantoran. Meski begitu, seragam yang mereka kenakan tidak membatasi pergerakan mereka ketika bekerja.
"Ini sih Babu elit," batin Riri dengan senyum merekah.
Bu Mauri menunjukkan kamar untuknya. "Nah, ini tempat istirahatmu, silahkan!" Wanita paruh baya itu mempersilahkan Riri untuk menaruh tas dan mengganti pakaian.
"Wow, ini kamarnya besar dan mewah. Sekelas babu aja kamarnya mirip kamar istana." gadis itu terkagum-kagum, duduk di kasur yang empuk sampai tubuhnya terpantul berkali-kali.
"Ih, nyaman banget, beda sama kasur yang ada di kamarku yang sering di masukin tikus, hahaha," batin Riri, menikmati suasana dengan memutar-mutar tubuhnya dan meloncat-loncat kesana-kemari.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka, kehadiran seseorang membuat Riri salah tingkah.
"Riri, kamu sudah ganti pakaianmu?" tanya Rindy sang senior dengan senyum sinis.
"Hehe... Iya aku sampai lupa, habisnya ini kamarnya mewah sekali, seperti hotel berbintang," ungkap Riri.
"Tidak usah norak deh! Cepatlah! Kamu sudah dinantikan nyonya!" perintahnya, Riri mengangguk, kemudian Rindy kembali menutup pintu.
Gadis itu dengan cepat mengganti pakaiannya dengan seragam putih dipadu warna hitam dan rok sebatas lutut. Rambut panjangnya diikat ke belakang.
"Terlihat seperti seorang pelayan restoran atau hotel berbintang," batin Riri saat menatap pantulan dirinya di depan cermin.
"Jadi babu ternyata tidak terlalu buruk," lanjutnya. Ia memotret diri sendiri di depan cermin, dengan bangga mempostingnya di status WhatsApp, memamerkan bahwa dirinya sudah bekerja.
Tak lama kemudian, ia menerima komentar.
"Keren Ri, kamu kerja di hotel mana?" tanya salah satu teman di kontaknya yang mengira Riri bekerja di tempat mewah dan berkelas.
Dengan langkah tegas, ia keluar untuk kembali menemui nyonya besar.
"Saya sudah siap, Nyonya," ujarnya. Bu Mauri tersenyum melihat penampilan maid barunya.
"Bagus." Wanita paruh baya itu mengangkat jempol memuji kecantikan Riri.
"Apa tugas pertama saya, Nyonya?" tanya Riri.
"Kemari!" Bu Mauri menggenggam tangan Riri dan membawanya ke suatu ruangan. Di sana terdapat beberapa rangkaian perawatan tubuh dan juga make-up.
"Kamu duduk!" titahnya. Riri menuruti saja.
Wanita paruh baya itu meraih dagu Riri dan mengamati kulit wajahnya yang sehat.
"Kamu cocok jadi ikon produk skincare kami, kulit kamu putih, halus, dan kenyal." Ia mengusap kulit wajah Riri.
Lalu Bu Mauri memperlihatkan beberapa botol skin care, wadah make-up, dan serangkaian perawatan kulit lainnya kepada Riri.
Lantas, ia menjelaskan beberapa fungsinya, karena ia merupakan salah satu pemilik produk tersebut.
Wanita paruh baya itu mulai mendandani Riri.
"Ini aman kan? Gak akan buat muka saya jerawatan?" tanya Riri dengan suara gemetar, takut jika menyinggung perasaan sang majikan.
"Kamu tenang saja, karena produk skincare dan make-up produksi kami terbuat dari bahan alami, tentunya aman," jawab Bu Mauri, karena ia pun memakainya, terlihat kulit wajah dan tubuhnya yang putih, glowing, serta sehat.
Riri tersenyum saat Bu Mauri usai mendandani, terlihat jauh lebih cantik.
"Ini seperti bukan saya," ungkap Riri yang pangling melihat dirinya sendiri dengan make-up tersebut.
Lalu, Bu Mauri mempersiapkan beberapa gaun dan dress cantik, meminta Riri untuk menjadi salah satu model, kemudian ia memotretnya.
Lama-lama Riri merasa lelah terus-menerus berganti pakaian. Namun, ia tak lantas mengeluh karena pikir ini adalah bagian dari pekerjaan.
"Mama... " seru Tomi yang saat itu baru pulang sekolah, menemui sang Ibu.
"Ma, aku ada PR Matematika, terus besok ulangan," keluhnya dengan wajah ditekuk.
"Ya kamu belajar dong, Nak!" kata sang Ibu, Tomi merengek.
"Temani aku belajar!"
"Astaga Tomi, Mama sibuk," tolak Bu Mauri. Tomi memperlihatkan tugas Matematika yang rumit di hadapan sang ibu.
"Ma, ajari aku!" pinta bocah laki-laki itu, Bu Mauri ikut bingung karena ia juga harus mengurusi bisnisnya meski berada di rumah.
Riri mengamati deretan angka-angka di buku besar yang Tomi genggam.
"Ini sih mudah," ujar Riri.
"Ri, kamu bisa kan ajari Tomi mengerjakan PR-nya?" pinta Bu Mauri. Riri mengangguk.
"Dengan senang hati, Nyonya," jawab gadis tersebut penuh ceria.
Lalu ia mengajari Tomi dengan penuh keseriusan.
...
Sore harinya...
"Bi, temani aku main layangan yuk!" pinta Tomi, Riri mengangguk, karena Tomi tak diizinkan main keluar rumah, Bu Mauri dan Pak Leo takut jika putra bungsunya gaul dengan sembarang orang di luaran sana.
Bocah laki-laki itu meminta Riri untuk membentangkan layangan, mereka sedang berada di halaman Mansion yang luas dan mewah.
Gadis itu terus berjalan mundur sambil menggenggam layangan dengan kedua tangannya.
"Terus! Terus!" teriak Tomi meng-intruksi, tak sengaja kaki Riri menginjak kerikil, ia hampir terjatuh.
Namun, dengan cepat, seseorang meraih tubuhnya, hingga Riri jatuh kedalam pelukan Liam yang baru saja kembali dari perusahaan.
Merek saling bertukar pandangan dalam posisi itu.
...
Bersambung...
Liam terkesima saat menatap wajah Riri secara dekat, begitu juga dengan Riri, kedua manik indahnya seketika langsung terbuka lebar saat memandangi ketampanan putra majikannya.
Tak lama, Liam melepaskan pelukan dengan cepat, dan Riri langsung menunduk, pipinya terlihat memerah.
"Maafkan saya, Tuan Muda," ucap Riri dengan suara pelan. Liam, dengan ekspresi tegas, berdiri tanpa menunjukkan keramahan, membiarkan gadis itu merasa canggung di hari pertamanya bekerja.
"Hemm..." jawab pria tampan tersebut, lalu berjalan pergi tanpa sepatah kata pun. Riri mengelus dada, merasa bersalah karena kecerobohannya di hadapan Liam.
Namun, Tomi teriak dari kejauhan, "Bi... " suara bocah laki-laki itu menarik perhatian Riri.
"Iya Den," sahutnya sambil meraih layangan yang terjatuh, gadis itu kembali ke tugas semula, yakni membantu Tomi menerbangkan layangannya.
Sementara, Liam, saat merebahkan tubuh di atas sofa, mencoba mengingat wajah Riri yang tampak tidak asing. "Sepertinya aku pernah melihatnya, tapi di mana ya?" batin Liam sambil merenung.
Bu Mauri tiba-tiba muncul, ia duduk di sebelah Liam bertanya, "Liam, apa yang sedang kamu pikirkan?"
Lelaki itu menggelengkan kepala, mencoba menyembunyikan perasaannya di hadapan sang ibu.
"Tidak memikirkan apa-apa kok," jawabnya, tetapi Bu Mauri merasakan ada sesuatu yang disembunyikan oleh putranya.
"Kamu tak usah pusing, semua persiapan pertunanganmu dengan Karina sudah diatur. Semuanya akan berjalan lancar," kata Bu Mauri, mengubah pembicaraan ke topik pertunangan Liam.
Liam, mencoba menghindari pembahasan, beranjak dan naik ke lantai 2 menggunakan lift khusus yang tidak dapat digunakan oleh maid.
Setelah sampai di kamar, lelaki itu melempar tas kantor dan jas dengan kesal. Tubuhnya merebah dengan ekspresi murung, pandangan lurus menatap langit-langit rumah yang berlatar putih tanpa cela.
"Bagaimana bisa aku bertunangan dengan wanita yang sama sekali tak aku cintai?" gumamnya, suara bergetar. Ia menghela napas dalam.
"Hidupku seperti terpenjara. Aku tak bahagia dengan semua ini, semuanya serba diatur! Seperti burung yang hidup dalam sangkar emas," keluhnya, menggambarkan ketidakbahagiaan yang terpendam.
Pemandangan ini menggambarkan suasana yang gelap dan penuh konflik di dalam pikiran Liam, menunjukkan ketidakpuasan dengan kehidupan yang diatur oleh orangtuanya.
Tak lama kemudian, Liam bangkit dari rebahannya, meraih ponsel, dan membuka status milik siapa saja di aplikasi WhatsApp, termasuk status sang Ibu yang tampak berderet membuat rasa penasaran.
Kedua matanya membelalak tatkala melihat potret Riri yang berpose mengenakan gaun dan dress cantik yang sedang dipromosikan oleh sang Ibu sebagai pemilik butik ternama.
Refleks, Liam tersenyum melihat foto Riri, mengamati dengan seksama setiap pose yang ditampilkan.
"Dia cantik dan sangat photogenic," gumam Liam sambil tersenyum.
Namun, pikirannya segera tersadarkan saat ia mengingat bahwa Riri hanyalah seorang maid dengan status sosial yang berbeda.
Liam mengusap kasar wajah serta rambutnya, lalu menaruh kembali ponsel di atas nakas.
Dengan langkah mantap, ia membuka pintu kamar untuk menemui sang Ibu. Namun, begitu membuka pintu sedikit saja, suara senandung Riri yang sedang membersihkan guci-guci kecil dan perabotan lain memenuhi telinganya.
"La... La... La..."
Liam mengintip ke luar, tiba-tiba Riri berbalik dan memergokinya. Sontak, mereka terkejut secara bersamaan.
"Aaa..." teriak Riri kaget, sementara Liam segera menutup pintu kembali secara spontan.
Rindy yang mendengar suara teriakan langsung menghampiri Riri dengan ekspresi tegas.
"Ngapain kamu pakai teriak-teriak segala?" tanya Rindy tanpa ramah.
Riri menggeleng, "Hehe... Tidak apa-apa, tadi saya kaget karena ada kecoa lewat," kata Riri mencari alasan.
Liam, yang berdiri di balik pintu, mendengar ucapan Riri, lalu menggerutu, "Sembarangan, masa aku dikatain kecoa!"
Rindy menatap Maid baru itu dengan tajam, seolah ingin menelannya hidup-hidup.
"Mana ada kecoa di rumah ini! Seumur-umur saya bekerja, saya tidak pernah menemukan serangga menjijikan itu di sini! Jangan cari-cari alasan ya kamu!" peringatannya tegas, lalu Rindy pergi dari hadapan Riri.
Riri tampak kesal atas sikap sombong seniornya itu.
"Hu... Lagaknya sudah seperti nyonya besar saja! Perasaan, Bu Mauri gak galak deh, kok si nenek lampir itu yang berasa jadi nyonya disini!" gumam Riri penuh amarah, bibirnya tampan mengerucut.
Liam kembali membuka pintu dan muncul di hadapan Riri secara tiba-tiba.
"Astaga, Tuan Muda." gadis itu mengelus dada karena terkejut luar biasa, Liam melayangkan tatapan sinis padanya sebelum berlalu menemui sang ibu.
Beberapa menit kemudian...
Riri tampaknya masih sibuk membersihkan debu-debu halus menggunakan kemoceng sambil berjalan mundur tak teratur.
Tanpa sengaja, pundaknya menubruk dada Liam yang hendak kembali menuju ke kamarnya.
"Aah..." Riri berteriak pelan, menoleh, dan langsung tertunduk hormat di hadapan lelaki tersebut.
"Maafkan saya, Tuan Muda. Saya tidak sengaja," ucap Riri. Liam hanya memutar matanya malas sebagai tanggapan, lalu berjalan melewati gadis itu tanpa berucap sepatah kata pun, meninggalkan Riri yang kebingungan.
"Ganteng-ganteng kok jutek," batin Riri yang masih berkutat dengan pekerjaannya.
Tak lama kemudian, Liam kembali keluar dari dalam kamar, kali ini sambil membawa laptop dan berkas-berkas kerjanya, lagi dan lagi ia berjalan melewati Riri.
Sikapnya yang aneh menimbulkan tanda tanya di benak gadis itu.
"Dari tadi perasan, bolak-balik, bolak-balik, kaya di sengaja deh, maksudnya apa, coba? Mau tebar pesona, gitu? Mau mengakui kalau dia ganteng? Hahah... Aku tahu diri kok, aku tak akan mungkin naksir Tuan muda," batin Riri, sambil bercanda dengan dirinya sendiri.
***
Singkat cerita...
Tak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam. Riri menyudahi aktivitasnya, ia dipersilahkan untuk beristirahat ke kamar.
Gadis itu melepas seluruh seragamnya, lalu bergegas untuk mandi. Kamar tersebut memiliki kamar mandi tersendiri. Semua peralatan mandi sudah tersedia dengan lengkap di sana.
Riri tersenyum lebar, melihat sebuah bathtub mewah yang tak dia dapatkan di rumahnya.
"Hihihi... Hore... Aku bisa berendam," batinnya. Lantas, ia segera menyalakan keran air panas dan air dingin secara bersamaan, menciptakan air hangat untuk merendam tubuhnya.
Kemudian, ia menuangkan sabun cair beraroma buah-buahan. Sambil tertawa ceria, ia mulai menjalankan ritual penyegaran tubuh.
Ia memainkan busa, merasakan aroma keharuman melingkupinya.
"Kalau di rumah, biasanya pakai jolang buat rendam baju, hahaha... Enak ya jadi orang kaya," gumam Riri, sehingga ia ingin berlama-lama membenamkan tubuhnya di sana.
Setelah puas berendam di bathtub, Riri keluar dari kamar mandi dengan wajah yang berseri-seri. Ia mengenakan piyama yang nyaman dan melangkah ke tempat tidur yang empuk.
karena suntuk, Riri iseng membersihkan debu-debu halus menggunakan kemoceng di kamarnya yang terletak di lantai 3 Mansion.
Lalu, ia melangkah ke arah jendela yang menghadap ke luar dan menyibak tirai, di mana pandangannya menangkap seorang pedagang nasi goreng yang tengah mendorong gerobak di area komplek.
"Wah ada tukang nasi goreng, kebetulan perutku sedang lapar, beli ah!" gumam Riri dengan antusias sambil memegangi perutnya yang sudah keroncongan.
Meskipun di Mansion menyediakan berbagai makanan lezat, hasrat untuk mencoba sesuatu yang berbeda membuat dirinya bergegas turun tangga, terlebih ia tak memiliki wewenang untuk meminta di luar jatahnya.
Riri melintasi salah satu ruangan dan melihat Liam yang sedang fokus dengan tugasnya, tetapi ia mencoba untuk berpura-pura tak melihat. Namun, Suara bariton Liam memanggil perhatiannya.
"Heh, mau kemana kamu?" tanya Liam, membuat Riri menghentikan langkah sejenak dan menoleh secara terpaksa.
"Hehe... Mau beli nasi goreng di luar, Tuan," jawabnya dengan senyum malu.
Liam memanggilnya kembali mendekat dan dengan suara datar bertanya, "Kamu lapar?"
"Iya, Tuan," jawab Riri setelah ragu sejenak.
Tanpa banyak bicara, Liam membimbingnya menuju ke dapur.
Riri melihat dengan heran ketika Liam memulai memasak nasi goreng spesial dengan keahliannya sendiri.
"Biar saya saja, Tuan," usul Riri saat melihat Liam sibuk di dapur. Namun, Liam mencegahnya.
"Tetap disitu!"
Saat Riri duduk di kursi meja makan, Liam dengan hati-hati mulai menyajikan nasi goreng spesial yang baru saja dimasaknya, tercium aroma yang membuat perutnya semakin bertambah lapar.
Wajah Riri terpana melihat kepiawaian Liam dalam mengolah bahan-bahan menjadi hidangan yang lezat.
"Anda hebat, Tuan," puji Riri dengan penuh kagum.
Liam hanya menjawab singkat, "Belajar dari pengalaman."
Keduanya duduk di meja makan, dan suasana terasa canggung. Liam memutuskan untuk memecah keheningan.
"Jangan ragu untuk meminta makanan jika kamu lapar, baik di dalam maupun di luar jatahmu. Mansion ini punya segalanya," ujar Liam tanpa melihat langsung ke arah Riri.
"Terima kasih, Tuan. Saya akan ingat itu," jawab Riri dengan senyuman tulus.
Mereka melanjutkan makan dengan relatif hening, hanya suara sendok dan garpu yang bersentuhan dengan piring.
Riri merasa agak gugup duduk di meja makan bersama majikannya yang tampan.
Setelah selesai makan, gadis itu ingin membersihkan meja beserta peralatan makan yang kotor, tetapi Liam dengan tegas menghentikannya, "Biarkan saja, aku yang akan membersihkan semua ini."
Riri merasa agak tidak nyaman, tetapi Liam bersikeras.
Setelah selesai membersihkan, Liam menuju ke ruangan semula dan kembali fokus pada pekerjaannya yang belum selesai.
Riri pun hendak kembali ke kamar untuk beristirahat. Namun, sebelum menaiki tangga, ia menoleh sejenak ke arah Liam.
"Terima kasih lagi, Tuan. Saya akan berusaha bekerja sebaik mungkin di sini," ucap Riri penuh rasa hormat.
Liam hanya mengangguk sekali, dan Riri pun naik ke lantai 3 dengan segera.
Meskipun masih bingung dengan sikap Liam yang kadang tegas, kadang ramah, Riri merasa beruntung telah mendapatkan pekerjaan di Mansion ini.
Ia berharap bisa beradaptasi dengan baik dan memberikan yang terbaik.
Malam pun tiba, dan Riri merenung di dalam kamarnya. Kejadian hari itu menjadi memori pertama dalam perjalanan barunya sebagai maid di Mansion yang mewah.
...
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!