NovelToon NovelToon

Mom, Where Is Our Daddy?

5 tahun pernikahan

Di sebuah hotel ternama, terlihat sepasang seorang pria tengah menutup mata seorang wanita. Keduanya berjalan memasuki kamar hotel dengan langkah perlahan, mengikuti kelopak mawar yang di tebarkan sepanjang jalan menuju ranjang. Kamar hotel tersebut di hias sedemikian rupa, dan terdapat banyak lilin yang menghiasi kamar tersebut.

"Hitungan ketiga, kamu sudah boleh membuka matamu. Satu ... dua ... ti ... ga." Pria itu menarik tangannya yang menutup mata sang istri.

Betapa terkejutnya wanita itu saat melihat isi kamar itu yang sudah penuh dengan kejutan. Wanita itu tak dapat menahan rada harunya, air matanya luruh begitu saja. Hatinya terasa amat bahagia, pria yang bergelar sebagai suaminya itu berhasil membuatnya terharu sampai menangis bahagia seperti ini.

"Kenapa menangis hm? Enggak suka sama kejutan yang aku buat?" Tanya pria itu sembari memeluknya dari belakang.

"Mas Dario, ini terlalu berlebihan. Kita menikah sudah lima tahun lamanya, tapi kamu membuat suprise untukku seakan ini malam pertama kita. Maaf, kalau selama lima tahun ini aku belum bisa memberikan keturunan untukmu." Ujar wanita itu dengan air mata yang membasahi pipi mulusnya.

Dario Maverick, seorang pria mapan berusia 27 tahun. Dimana pernikahannya dengan sang istri yang bernama Alice Claretta sudah memasuki usia lima tahun. Tepat di hari ini, adalah hari dimana mereka mengikrarkan janji suci. Dimana Dario membuat keputusan untuk menjadikan Alice Claretta, wanita yang kini berusia 26 tahun itu sebagai istrinya dan wanita yang memiliki hatinya.

Namun, selama lima tahun. Keduanya belum di karuniai seorang anak. Berbagai macam cara sudah Alice dan Dario lakukan. Namun, mereka belum juga di berikan keturunan. Akan tetapi, Dario adalah suami yang baik. Dia tak pernah menuntut Alice untuk menjadi istri yang sempurna. Cinta Dario pada ALice benar-benar tulus.

"Sayang, aku menikahimu untuk hidup bersamamu sampai maut memisahkan kita. Adanya anak, itu bonus. Aku menikahimu karena ingin selalu ada bersamamu, kamu cintaku, hatiku, dan duniaku. Tanpamu, rasanya aku hidup tanpa oksigen di dunia ini." Ujar Dario menenangkan Alice.

Alice tersenyum di sela tangisnya, dia memukul tangan Dario hingga membuat pria itu melepaskan pelukannya. Kemudian, Alice berbalik. Dia menatap Dario yang menatapnya dengan sorot mata penuh kelembutan.

"Dari awal pernikahan kita, kita sudah di uji dengan restu keluargamu. Mereka tidak menyukaiku karena latar belakangku yang seorang mantan anak panti asuhan yang di buang oleh orang tuanya. Entah aku anak hasil pernikahan atau anak hasil di luar pernikahan. Tapi, kamu tetap mau memperjuangkan aku m4ti-m4tian demi restu keluargamu. Tapi sekarang, justru ... aku seakan tidak berguna sebagai istrimu." Ujar Alice dengan air mata yang kembali mengalir di pipinya.

Tangan kekar Dario terangkat, perlahan jari-jarinya mengelus pipi istrinya yang basah. Tatapan teduh pria itu kembali menghangatkan hati Alice yang dingin. Dia seakan tak ingin melepaskan Dario, tetapi suaminya butuh keturunan.

"Mas, jika aku memintamu untuk ...,"

"Syutt, jangan memintaku untuk berpaling darimu. Aku tidak akan bisa." Sela Dario sembari mengusap lembut pipi istrinya dengan ibu jarinya.

"Sampai kapan? Kamu pewaris tunggal, kamu juga butuh seorang penerus. Mama, dia ingin kamu memiliki seorang cucu. Aku belum bisa memberikan apa yang mama mau." Lirih Alice.

"Soal mama, serahkan padaku. Aku tidak akan menikah lagi, cukup sekali aku menikah dan itu bersamamu. Jika pun aku menikah sampai dua kali, itu hanya denganmu juga. Masih lima tahun, kita juga belum tua. Masih banyak waktu untuk berjuang, dan yah ... kamu harus berjuang lebih keras lagi setiap malam." Ujar Dario dan mengedipkan sebelah matanya.

"Kamu, masih bisa bercanda." Seru Alice sembari memukul baju suaminya. Dario tersenyum, dia meraih Alice masuk ke dalam pelukannya. Lalu, pria itu m3ng3cup lembut pucuk kepala istrinya dengan penuh cinta. Kedua orang itu benar-benar saling mencintai. Bahkan, keduanya tak pernah ada niatan untuk berpaling dari pasangannya.

Dertt!

Dertt!

Ponsel Dario berdering, mereka pun melepaskan pelukan mereka agar Dario bisa mengangkat telponnya itu. Sejenak, Alice menatap suaminya yang terlihat serius menelponnya. Kening Alice mengerut saat melihat raut wajah suaminya menjadi pucat. "Baik, saya akan segera ke rumah sakit." Ujar Dari dan memutuskan sambungan telpon itu sepihak.

"Ada apa Mas? Siapa yang sakit?" Tanya Alice dengan sedikit khawatir.

"Mama pingsan, sekarang lagi ada di rumah sakit. Kita harus segera ke sana." Ajak Dario.

"Ayo Mas." Seru Alice dan langsung mengambil tas selempangnya yang sebelumnya sempat dia taruh di atas ranjang. Dario yang tadinya ingin keluar menghentikan langkahnya, dia menoleh pada istrinya dan menatapnya dengan tatapan sendu

"Sayang, maaf. Hari pernikahan kita jadi seperti ini. Seharusnya kita nikmati masa romantis kita, tapi karena musibah ini ...,"

"Tidak usah di pikirkan, kondisi mama lebih penting. Ayo mas." Ajak Alice dan menggandeng tangan suaminya untuk bergegas pergi dari sana.

.

.

.

Dario dan Alice sama-sama berjalan cepat menuju ruang rawat yang sebelumnya Dario tanya pada resepsionis. Keduanya terlihat panik saat mencari kamar itu, apalagi Dario. Pria itu begitu sayang dengan ibunya, dan saat mendengar ibunya pingsan, Dario terlihat sangat khawatir.

"Mas, tunggu sebentar. Ponselku tertinggal di mobil." Ujar Alice yang mana membuat langkah Dario berhenti.

Dia menatap kamar rawat sang mama yang hanya berjarak tiga meter lagi dari tempatnya berdiri. Dia ingin menemani istrinya, tetapi dirinya tidak sabar untuk melihat keadaan mamanya itu. "Kamu bisa ambil sendirikan? Mas masuk duluan yah." Usul Dario sembari menyerahkan kunci mobilnya.

"Iya, Mas masuk saja lebih dulu. Aku akan mengambilnya sendiri di mobil." Sahut Alice sembari mengambil kunci mobil milik suaminya.

keduanya berpisah, Alice kembali ke parkiran untuk mengambil ponselnya yang tertinggal. Dari dulu dia sangat ceroboh, selalu melupakan hal-hal kecil seperti saat ini. "Selalu saja lupa." Gumam Alice setelah mendapatkan ponselnya.

Alice pun kembali masuk ke dalam rumah sakit, dia terlihat sedikit berlari untuk menyusul suaminya yang pastinya sudah masuk ke dalam kamar rawat sang mama. Alice menatap kamar demi kamar demi mendapat nomor kamar sang mama mertua. Langkahnya terhenti saat di depan pintu kamar rawat bertuliskan mawar, dia pun tersenyum sembari tangannya bergerak untuk menyentuh handle pintu itu.

"Mau sampai kapan? Mama juga mau punya cucu Dario! Umur Mama sudah tua, sebentar lagi mungkin Mama sudah tidak ada."

"Ma, jangan bicara seperti itu. Dario dan Alice juga sedang berusaha." Sahut Dario. Gerakan tangannya terhenti, dia pun mengepalkan tangannya dengan kuat. Dada Alice terasa sesak, permintaan mertuanya sangat menyayat hatinya.

"Dario, menikahlah dengan anak teman Mama. Dia setara denganmu dan juga, dia pasti dapat segera memberi mu keturunan."

Degh!

Alice sudah tak sanggup menahan air matanya, dia berbalik pergi dan berlari dengan air mata yang bercucuran. Tak peduli bagaimana kelanjutan percakapan antara suaminya dan mertuanya itu. Permintaan ibu mertuanya bagaikan sebuah peluru yang menembus jantungnya. Dunia Alice benar-benar terasa runtuh. Dia tidak akan mampu untuk berbagi cinta suaminya dengan wanita lain.

___

Mohon dukungannya🥰🥰

Tetap akan selalu mencintai kamu

"Enggak Ma, Dario tidak akan menduakan istri Dario. Sabar Mah, kami sedang berusaha. Jangan membuat istriku tertekan, kasihan dia. Seharusnya Mama memberikan kasih sayang seorang ibu yang sebelumnya tidak dia dapat kan. Bukan seperti ini, Dario kecewa sama Mama." Ujar Dario dan pergi meninggalkan sang Mama yang menatapnya dengan tatapan penuh kekesalan.

"Kamu lihat kakakmu? Dia sudah berani melawan Mama demi wanita itu. Wanita itu benar-benar membawa pengaruh buruk bagi kakakmu." Desis Mama Dario pada seorang remaja perempuan yang berdiri di sebelahnya.

"Kak Dario gak salah, Mama yang salah. Freya sudah bilang sama Mama, itu urusan mereka. Perasaan kakak ipar juga pasti sakit melihat sikap Mama yang terus menekannya." Freya Cassandra jutsru malah membela sang Kakak di bandingkan sang Mama.

Wanita paruh baya itu terlihat kesal, dia sama sekali tak di bela oleh kedua anaknya. Helma Elfira namanya, dia tidak menyukai pernikahan putranya dengan Alice. Dia begitu ingin Dario menikah dengan wanita pilihannya. Namun sayang, kegigihan Dario membuat Helma kalah. Di saat seperti ini, Helma pikir Dario akan luluh. Nyatanya, putranya itu tetap mempertahankan Alice.

Sementara Dario, dia keluar kamar rawat sang mama sembari memainkan ponselnya. Dia sedikit khawatir karena sang istri tak kunjung menyusulnya. Dia pun menelpon istrinya, tetapi tidak ada jawaban. Dario panik, dia kembali menghubungi istrinya itu. Tak lama, istrinya pun menjawabnya. Dario senang dengan hal itu.

"Halo sayang, kamu dimana? Mas dari tadi nungguin kamu, kamu gak papa kan?" Tanya Darip dengan panik.

"Mas maaf, aku pulang lebih dulu. Tadi aku di telpon sama kurir, katanya pesanan aku sudah sampai. Kasihan dia kalau menungguku, maaf yah kalau aku meninggalkanmu." Dario menghela nafas pelan, tangan kirinya bertengger di pinggangnya. Sementara tangan kanannya mencengkram ponselnya dengan erat.

"Astaga sayang, kamu membuatku panik. Kenapa tidak menelponku? Kenapa harus pulang lebih dulu? Kalau kamu kenapa-napa gimana? Apalagi kamu sudah lama tidak membawa mobil." Omel Dario.

"Maaf Mas, kamu temenin mama dulu gak papa Mas." Seru Alice.

Dario merasa ada yang aneh dengan suara istrinya, seakan suara yang di paksa keluar. Istrinya seperti menahan tangis, tetapi Dario menepis pemikirannya itu. "Tunggu Mas pulang yah, Mas akan segera pulang." Pinta Dario.

"Aku mencintaimu Mas, sangat." Bukannya menjawab permintaan Dario, Alice justru mengatakan cinta pada suaminya itu. Tentu saja hal itu membuat Dario bertanya-tanya.

"Kamu kenapa?" Tanya Dario.

"Mas, aku sudah sampai rumah. Aku selalu mencintai kamu." Ujar Alice kembali.

"Ya, Mas juga mencintai kamu. Tapi mas ...,"

Tuutt!

Sambungan itu terputus, Dario langsung menarik ponselnya dari telinganya. Ternyata kuotanya sudah habis berikut dengan pulsanya. Dia menggerutu kesal, padahal dirinya belum selesai berbincang dengan istrinya. "Tumben sekali Alice berkata seperti itu, aku merasa ada yang aneh dengannya." Gumam Dario.

"Ada apa Kak?" Dario di kejutkan dengan kehadiran Freya, dia berbalik dan menatap remaja berumur 15 tahun ini.

"Enggak, Mama udah makan?" Tanya Dario.

Freya memasang raut wajah kesalnya, "Mana mau dia, yang ada mama gak mau makan sampai kak Dario nikah lagi. Aku punya Mama kok agak lain kayaknya." Kesal Freya.

"Hus! Gak boleh ngomong gitu, kita hanya punya Mama. Orang tua satu-satunya kita." Tegur Dario.

"Kakak gak capek apa sama sikap mama? Mama tuh selalu memaksa keinginannya tanpa memikirkan perasaan orang lain. Aku kesal sama mama! Andai aja papa masih ada disini, pasti gak akan begini." Omel Freya.

"Jangan selalu mengungkit apa yang tidak ada, papa sudah bahagia di sana. Jangan berandai-andai, gak baik." Tegur Dario.

Freya mengerucutkan bibirnya sebal, dia merasa kasihan dengan kakak iparnya yang selalu menjadi sasaran omelan sang mama. Freya yang sebagai anak kandung pun merasa jengah, apalagi Alice. Tapi freya merasa bangga pada Alice, karena wanita itu selalu menjaga kesopanannya walau Helma sudah mencaci maki dirinya.

.

.

.

Alice tengah duduk di tepi ranjang, matanya menatap lurus ke depan. Di sampingnya, sudah terdapat koper besarnya. Tangannya memainkan cincin pernikahan yang terdapat di jari manisnya yang ada di tangan kanannya. Tak lama, dia menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan.

Kemudian, Alice beranjak berdiri. Dia berjalan menuju nakas dan meletakkan cincin pernikahannya di sana. Lalu, tatapannya beralih pada bingkai besar di atas kepala ranjang. Dimana, itu adalah foto pernikahannya dan juga Dario. Keduanya tersenyum bahagia, seakan tak ada badai yang akan menerpa rumah tangga mereka.

"Maaf mas, bukan aku menyerah. Aku hanya tidak ingin kamu terus tertekan. Kamu butuh seorang penerus, mama juga butuh seorang cucu. Jika menikahan dengan wanita lain adalah yang terbaik, aku akan mendukungmu. Bukan karena aku tidak lagi mencintaimu, tapi ... aku tidak kuat melihatmu bersama dengan wanita lain. Biarkan aku pergi, semoga setelah ini kamu mendapatkan wanita yang bisa memberimu keturunan. Tidak seperti aku." Lirih Alice.

Alice menghapus air matanya, dia berbalik dan melangkah menuju kopernya. Dia lalu menarik kopernya keluar. Saat di depan kamar, dirinya berpapasan dengan seorang maid yang bertugas di kediamannya itu. Melihat majikannya yang membawa koper, maid itu terlihat bingung.

"Loh, kok Nyonya bawa koper. Mau kemana?" Tanya maid itu dengan kening mengerut

"Saudara saya di kampung lagi sakit Bi, tolong jaga rumah yah. Saya juga sudah bilang pada tuan." Ujar Alice dengan tersenyum ramah.

"Ooh begitu, baik Nya," ucap ramah maid itu.

Alice pun menyeret kopernya keluar rumah, dia memesan taksi dan langsung menaikinya. Alice menatap ke arah rumahnya, rumah yang Dario hadiahkan sebagai mahar pernikahan mereka. Rumah yang penuh kenangan dan saksi atas cinta mereka. Air mata Alice kembali luruh, berat rasanya berpisah dari suaminya. Namun, Alice juga tak sanggup untuk melihat suaminya bersama dengan yang lain.

"Sesuai tempat tujuan yah bu?" Tanya supir taksi itu.

"Iya pak, langsung ke terminal aja." Jawab Alice sembari menghapus air matanya. Supir taksi itu mengangguk, dia mulai melakukan mobilnya menuju terminal. Alice menatap rumah itu untuk terakhir kalinya. Mungkin, dia akan merindukan rumah yang penuh kenangan itu.

"Mungkin nanti akan banyak yang bertanya, kalau masih mencintainya, kenapa harus berpisah? padahal mereka tidak tahu, aku juga tersiksa dengan pernikahan ini." Lirih Alice. Setetes demi setetes air matanya terus berjatuhan, hatinya sakit. Tapi, lebih sakit jika melihat suaminya menikahi wanita lain.

Bukan Alice ingin egois, dia hanya ingin suaminya memiliki keturunan. Satu hal yang Alice lupakan, keajaiban pasti akan selalu ada. Kita, hanya menunggu waktu kapan terjadinya hal itu.

___

Jangan lupa dukungannya🥰🥰

Terima kasih atas dukungan kalian, apapun dukungan kalian, pokoknya aku bersyukur banget🤧🤧 gak nyangka aja kalian bisa sesuka ini sama cerita-cerita yang aku buat. Antusias kalian, semangat ku 🤩

Kepergian Alice

Malam hari, Dario baru pulang ke rumahnya. Di tangannya sudah terdapat paper bag yang berisikan makanan. Dia ingin makan malam bersama dengan sang istri setelah acara anniversary mereka gagal karena sang mama yang sakit. dengan senyum tampannya, Dario berjalan menaiki tangga dengan langkah cepat. Sesampainya di atas, dirinya berpapasan dengan seorang maid yang baru saja mengganti seprai di kamarnya.

"Loh bi, kok bibi yang ganti? Nyonya kemana?" Tanya Dario dengan penuh kebingungan. Sebab, Alice tak akan mengizinkan siapapun masuk dan membereskan kamar mereka. Karena, kamar adalah tempat privasi bagi pasangan suami istri. Kecuali, istrinya itu sedang tidak ada di rumah.

"Nyonya sudah pergi tuan, katanya tadi ..." Terang maid itu yang mana membuat mata Dario membulat sempurna.

Pria itu mengambil ponselnya dari saku celananya. Lalu, dia mencoba menghubungi istrinya. Sayangnya, nomor istrinya tidak aktif. Dario panik, rahang pria itu mengeras.

"Kenapa kamu tidak menelpon saya hah?!" Sentak Dario sembari menatap tajam ke arah maid nya itu.

"Bukannya Nyonya sudah izin sama tuan kalau dia pulang ke kampung karena sepupunya sakit? Makanya saya mengganti seprai kamar karena nyonya tidak sempat menggantinya." Terang maid itu dengan perasaan khawatir.

"Ck, apa kamu lupa jika istri saya sebatang kara?! Dia mana mungkin pulang kampung, apalagi sepupu. Saudara jauh saja bahkan dia tidak punya." Omel Dario sembari terus berusaha menghubungi istrinya.

Tak kunjung di angkat, Dario menjadi kesal. Tiba-tiba dirinya mengingat perkataan janggal saat di telpon sebelum dirinya pulang. Dari awal, dia sudah merasa ada yang aneh dengan obrolan istrinya. Namun, dirinya belum menyadari apa yang istrinya lakukan.

Tunggu Mas pulang yah, Mas akan segera pulang." Pinta Dario.

"Aku mencintaimu Mas, sangat." Bukannya menjawab permintaan Dario, Alice justru mengatakan cinta pada suaminya itu. Tentu saja hal itu membuat Dario bertanya-tanya.

"Kamu kenapa?" Tanya Dario.

"Mas, aku sudah sampai rumah. Aku selalu mencintai kamu." Ujar Alice kembali.

Dario meremas kuat ponselnya, matanya menatap tajam lurus ke depan. Paper bag yang pria itu bawa tadi, dia jatuhkan begitu saja ke lantai. Lalu, dirinya bergegas memasuki kamarnya dan berjalan cepat menuju lemari. Dengan kasar, pria itu membuka lemari pakaian miliknya istrinya. Seketika itu juga, tubuh Dario terasa lemas.

Tak ada satu pun baju milik istrinya yang tertinggal, hanya satu yang tersisa, yaitu baju pengantin yang dulu sang istri kenakan dimana hari pernikahan mereka berlangsung.

Dario memundurkan langkahnya, matanya berkaca-kaca menatap tak percaya apa yang dirinya lihat saat ini.

Dirinya pun jatuh terduduk di tepi ranjang dan menatap kosong ke arah depan dengan perasaan yang hancur. Perlahan, matanya menatap ke arah nakas. Di sana terdapat cincin yang tak asing baginya. Air mata Dario luruh, dia mengambil cincin itu dan menatapnya dengan mata memerah.

"Apa maksudmu melakukan ini padaku, Alice. Tanpa pesan apapun, kamu pergi begitu saja dari kehidupan ku? Kamu benar-benar j4hat." Batin Dario dengan menggenggam erat cincin pernikahan milik istrinya.

.

.

.

Delapan bulan kemudian.

Terlihat, seorang wanita berperut buncit tengah melayani pembeli di salah satu warung yang berada di rumah rusun. Wanita cantik itu tampak semangat dengan kegiatannya, walaupun terhalang dengan perut besarnya.

"Ini yah, totalnya dua puluh dua ribu." Seru wanita itu sembari menyerahkan plastik hitam pada pembeli tersebut.

"Ini yah uangnya Al, kembaliannya ambil aja. Buat si dedek dalam perut," kata pembeli itu.

"Bu, tidak usah. Ini kembaliannya ...,"

"Simpan untuk kelahiran anakmu Alice, itu hadiah untuk mereka. Semoga kedua bayimu lahir dengan selamat, ibu tidak sabar ingin melihat bayi kembar akan hadir di rusun kita ini. Pasti, mereka akan sangat menggemaskan." Seru pembeli itu pada wanita yang tak lain dan tak bukan adalah Alice.

"Terima kasih bu," ucap wanita hamil itu dengan perasaan haru.

Sudah delapan bulan dia berada di rumah rusun ini. Alice tak pernah menyangka, jika dirinya pergi tak hanya sendiri. Melainkan bersama dua nyawa yang kini tumbuh dalam rahimnya. Wanita itu baru mengetahuinya setelah dua bulan dirinya tinggal di rusun ini. Saat dirinya tahu jika saat ini dia sedang mengandung, Alice memutuskan untuk tidak kembali pada Dario.

"Saya hamil dok?!" Pelik Alice saat dokter memberitahukan padanya jika dirinya sedang hamil.

"Benar bu, bahkan disini terlihat ada dua janin yang sedang tumbuh." Terang dokter itu sembari menunjuk ke arah layar monitor USG.

Air mata Alice luruh, dia merasa ini adalah mimpi baginya. Lima tahun sebagai pejuang garis dua, ini adalah harapan yang dia dan Dario tunggu-tunggu. Dirinya tidak menyangka, jika kepergiannya akan membawa kedua benih yang suaminya titipkan padanya.

"Rasanya, ini seperti mimpi dok. Lima tahun aku sudah berobat kemana pun, tapi hasilnya nihil. Sekarang, aku malah hamil dan mendapatkan dua sekaligus." Isak Alice.

"Jangan lupakan satu hal Nyonya, dunia punya keajaiban. Semua orang akan mendapatkannya, termasuk anda." Terang Dokter itu yang mana membuat Alice terdiam.

"Yah, aku melupakan nya. Tapi, aku tidak mungkin kembali. Mungkin saat ini, Mas Dario sudah menikah kembali dengan wanita pilihan mama. Kepulanganku, pasti akan memunculkan masalah. Aku bisa membesarkan mereka, tanpa Mas Dario di sisiku." Batin Alice dengan air mata yang membasahi pipinya.

"Kak, kok melamun?" Lamunan Alice di buyarkan oleh seorang remaja perempuan berusia 16. Dia masih mengenakan seragamnya, dan menghampiri Alice yang duduk di sebuah kursi rotan tepat di belakang etalase.

"Oh, enggak. Kamu baru pulang Dar? Kakak pulang sekarang yah, bilang sama ibu. Tadi sudah ada beberapa pembeli, uangnya kakak taruh tempat biasa." Terang Alice sembari berusaha bangkit dari duduknya.

Dara, remaja itu segera membantu Alice untuk berdiri. Dia merasa kasihan dengan Alice yang terlihat kesulitan membawa perut besarnya. Maklum saja, Alice sedang hamil bayi kembar. Perut wanita itu pastinya terlihat lebih besar dari pada wanita yang sedang hamil satu bayi saja.

Sejak kedatangan Alice di rusun ini, Dara dan ibu nya lah yang paling berperan. Dia memberikan Alice pekerjaan sebagai penjaga warungnya, agar wanita hamil itu memiliki pemasukan. "Kapan kakak lahiran?" Tanya Dara sembari memegang tangan Alice.

"Mungkin minggu depan, kakak ingin lahiran di rusun saja." Sahut Alice sembari meringis pelan.

"Kok di rusun sih kak? Kan kata dokter kakak harus sesar. Kalau lahiran normal akan beresiko." Tegur DAra.

Alice menghentikan langkahnya, dia menatap Dara sembari tersenyum lembut. Lalu, wanita itu pun menepuk bahu Dara dengan pelan. "Biaya operasi sangat besar, kakak gak ada kartu kesehatan apapun. Bagaimana caranya kakak bayar? Yang ada, kedua bayi kakak akan di tahan pihak rumah sakit nantinya." Terang Alice.

"Kan ada kartu hitam punya suami kakak, pakai itu saja." Seru Dara.

Alice terdiam, dia hampir melupakan kartu hitam milik suaminya. Kartu itu merupakan kartu yang Dario berikan untuk memenuhi kebutuhan Alice. Wanita itu lupa untuk mengembalikannya, sehingga sampai saat ini kartu itu terbawa olehnya.

"Awss!" Alice merasakan perutnya sakit, dia langsung mencengkram tangan Dara dengan kuat.

"Kakak, kakak kenapa?!" Dara panik, dia segera memegang tangan Alice. Namun, tatapan Dara terpaku pada cairan yang mengalir di kaki Alice.

"BUUU! BUUU! IBUU! KAK ALICE MAU LAHIRAN BUUU!" Teriakan Dara mengundang seorang wanita paruh baya datang dengan tergopoh-gopoh sembari memegang spatula di tangan kanannya.

"Apa sih dar, Ibu lagi masak! Ngapain kamu teriak-teriak!" Seru wanita paruh baya itu yang tak lain adalah ibu Dara yang biasa di panggil Bu Liana.

"Kak Alice mau melahirkan Bu." Terang Dara.

"Apa?! Sebentar! Ibu panggil Bu bidan depan rusun dulu! Biar dia bantu Alice lahiran. Tidurkan dia di kamarmu saja biar cepat!" Seru Ibu Liana dan bergegas pergi memanggil tetangganya yang terkenal di panggil Bidan Rere.

Dara membawa Alice ke kamarnya dengan susah payah, sebab wanita itu merasa kesakitan sembari memegang perutnya. Sesampainya di kamar, Alice langsung merebahkan dirinya di ranjang kecil milik Dara. Sedangkan Dara, dia langsung mengambil kain sarung dan memakaikannya pada Alice.

Tak lama, Ibu Liana masuk dengan Bidan Rere. Terlihat, wanita seumuran Ibu Liana itu datang dengan segala peralatannya. Dia langsung bertindak untuk menolong Alice yang sebentar lagi akan segera melahirkan. "Dari kapan begini?" Tanya Bidan Rere.

"Baru tadi kontraksinya." Terang Alice sembari menahan rasa sakit di perutnya.

Setelah di cek, ternyata kepala bayinya sudah terlihat. Bidan Rere langsung meminta se-baskom air dan juga sebuah kain untuk proses lahiran nanti. Setelah semuanya sudah siap, Bidan tersebut langsung meminta Alice untuk mengejan. "Atur nafas, dorong terus! Ayo Mbak! Kepalanya sudah kelihatan!" Seru Bidan Rere.

Tangan Alice mencengkram seprai dengan kuat, keringat sebesar biji jagung membasahi keningnya. Wanita itu mencoba mengeluarkan buah hatinya dengan sekuat tenaganya. Syukurnya, tak lama bayi pertamanya berhasil dia lahirkan.

"OEEEKK! OEEKK!"

Bidan Rere langsung mengambil kain dan menyelimuti bayi itu. Lalu, dia memberikan bayi yang belum di bersihkan itu pada Bu Liana. Dengan tangan gemetar, Bu Liana pun menerimanya. Alice merasakan perutnya mulas lagi, dia pun kembali mengejan untuk mengeluarkan satu bayi lagi dari dalam perutnya. Wanita itu benar-benar mengeluarkan seluruh tenaga yang tersisa. Satu hal yang dia inginkan, dia ingin agar anaknya segera keluar dengan selamat.

"AAAA!" Alice berteriak sekuat tenaga dan akhirnya, bayi keduanya pun berhasil dia akhir kan.

"OEEEKK! OEEEKK!"

Bidan Rere menatap bayi kedua itu dengan tersenyum, dia menatap Alice yang menatap ke arahnya dengan nafas memburu. Senyuman Alice terbit, dia merasa lega karena melihat kedua bayinya lahir dengan selamat. "Selamat Mbak Alice, bayimu perempuan dua-duanya."

Alice tersenyum, dua menggapai kedua bayinya setelah Bidan Rere membersihkan nya. Keduanya bayinya di letakkan di atas d4danya, bibir mungil kedua bayi itu seakan sedang mencari sesuatu yang akan mereka serap sebagai nutrisi.

"Terima kasih kalian sudah memilih lahir ke dunia ini, peri kecil Mommy. Tanpa daddy kalian, Mommy yang akan membesarkan kalian. Maafkan mommy yang sudah memisahkan kalian dengan daddy, Mommy akan berusaha memberikan cinta ibu sekaligus ayah untuk kalian." Lirih ALice dan meng3cup kening kedua putrinya sembari meluruhkan air matanya.

___

Abis ini si cadel muncul nih🤭

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!