Seorang wanita paruh baya tengah terbaring di ranjang rumah sakit dengan kondisi yang menyedihkan. Wajahnya tampak sayu dan rambutnya memutih di makan usia.
Pintu di dorong dengan pelan, seorang wanita cantik yang berpakaian seksi melangkah masuk sembari membawa rantang makanan yang berisi bubur.
"Bagaimana keadaanmu Aunty?" wanita itu meletakkan rantang yang ia bawa di meja, dia menarik kursi untuk duduk di sisi Bibinya.
Ivy tersenyum tipis, bibirnya terlihat pucat. "Sudah lebih baik Ele, apa yang kau bawa?"
Wanita yang di panggil Ele itu terlihat antusias menujukan rantang yang ia bawa.
Helena Berness, itulah namanya. Perempuan berambut coklat dengan kulit putih namun cenderung kuning yang menjadi ciri khasnya. Tubuhnya tegap proposional karena dia seorang model.
"Bubur kesukaan Aunty, aku tahu Aunty tidak begitu suka dengan makanan rumah sakit karena itu aku membelikan bubur yang biasa Aunty makan saat masih bekerja." Helena membuka rantang, aroma bubur itu menguar di udara. Ivy terkekeh pelan melihatnya, sudah lama dia tidak makan bubur itu. Dia jadi merindukannya.
"Ayo buka mulutmu Aunty." Helena bersiap untuk menyuapi bibinya, Ivy menerima suapan itu. Rasanya masih sama, tapi mulutnya terasa pahit. Dia menjadi tidak berselera.
Helena dapat menangkap raut muka bibinya yang berubah. "Ada apa? Apa Aunty tidak menyukainya?" tanya wanita itu heran.
"Aunty merasa kenyang Ele." pandangan wanita itu mengarah pada jendela rumah sakit. Dedaunan yang bergoyang di terpa angin itu menjadi pusat perhatiannya. Entahlah, Helena tidak tahu apa yang di pikirkan oleh wanita itu, raut mukanya berubah sendu. Seolah dia akan pergi meninggalkannya saat itu juga.
Helena menggeleng, menepis semua pikiran buruknya. Dia beralih menatap pada bubur yang ia pegang, masih utuh seperti tak tersentuh sama sekali.
"Apa yang Aunty pikirkan?" Helena tak dapat mencegah pertanyaan itu keluar dari mulutnya.
Ivy menoleh, memandangi bayi kecil yang telah ia rawat hingga menjadi wanita dewasa seperti saat ini. Ada perasaan tak rela jika dia harus meninggalkan Helena sendirian. Helena bukanlah putri kandungnya, melainkan keponakannya. Wanita itu meninggalkan Helena padanya, dan setelah itu pergi tanpa memberikan penjelesan. Dia hanya memberikan sebuah amplop yang dia tidak tahu apa itu isinya dan sampai sekarang dia masih takut untuk membukanya.
Bertahun-tahun Ivy menunggu Beleza untuk menjemput putrinya, namun wanita itu tak kunjung datang. Ivy merelakan masa mudanya untuk merawat Helena kecil, dia tidak menikah dan hanya fokus merawat Helena sampai wanita itu bisa mewujudkan impiannya dan sekarang dia sudah berhasil. Hanya tinggal menunggu waktu, kapan maut akan memisahkan mereka berdua.
Helena mengusap pergelangan tangan bibinya, dia terlihat mencemaskan wanita itu. Ivy tersentak saat Helena menyentuh pergelangan tangannya.
"Ele bisakah kau mengabulkan permintaan Aunty? Aunty tidak akan memaksamu jika kau merasa keberatan." Ivy menggenggam tangan Helena erat, tak terasa air matanya mengalir. Dia benar-benar dilanda ketakutan saat ini.
Jantung wanita itu terasa berdebar. Helena tidak tahu kenapa, tapi dia merasa tidak nyaman untuk saat ini. Dia benci sekali dengan situasi seperti ini. Bibirnya terasa kelu, sulit sekali untuk berbicara.
"Kembalilah pada Ibumu Ele, cari dia." lirihnya terdengar pilu. Ivy tak sanggup mengatakan hal ini, tapi dia harus. Dia merasa tak sanggup jika meninggalkan wanita itu sendirian.
Bagai tersambar petir di siang bolong saat mendengarkan ucapan Bibinya. Helena tak sanggup untuk tidak terkejut, kedua matanya memanas.
"Apa maksudmu Aunty? Apa aunty sudah tidak menyayangiku lagi." rasanya Helena ingin menangis saat ini juga.
Ivy menatap Helena memelas. "Aunty mohon Ele, kabulkan permintaan Aunty untuk yang terakhir kalinya." bibirnya bergetar menahan isak tangis. Rasanya dunia Ivy hancur saat itu juga.
"Tidak! Apa maksud Aunty berkata seperti itu." Helena tak sanggup lagi menahan tangisnya.
Ivy menyentuh punggung Helena yang bergetar. "Sayang, dengarkan perkataan Aunty. Melihatmu bahagia adalah keinginan terbesar Aunty." Ivy menampilkan senyum terbaiknya.
"Dan Aunty tahu, kebahagianmu ada pada Ibumu. Aku memang tidak tahu kenapa Beleza meninggalkanmu padaku, tapi dia memberikanku sebuah amplop coklat dan sampai sekarang aku masih tidak berani untuk membukanya. Beleza terlihat ketakutan saat meninggalkanmu, aku melihatnya. Ada percikan cinta dimatanya. Tapi aku tidak tahu apa alasan dia meninggalkanmu padaku." lanjutnya.
Helena tertegun. Sisa air mata diusap dengan kasar, dia mendengarkan penjelasan bibinya dengan seksama.
"Dia tidak mengatakan apa-apa. Aku masih menyimpan amplop coklat itu dengan baik jika kau ingin membacanya. Aku takut terjadi sesuatu yang buruk dengan Beleza di luar sana." Ivy meneteskan air mata, lalu diusap. Ada perasaan lega setelah mengungkapkan sesuatu yang ia tutupi selama puluhan tahun. Semua beban yang ia simpan selama ini seolah hilang begitu saja.
Helena tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Kenapa Tuhan menuliskan takdirnya begitu rumit. Jujur saja dia tidak ingin mencari Ibunya, dia lebih merasa nyaman dengan sang bibi. Tetapi mendengarkan ucapan bibinya barusan membuat hatinya sedikit resah.
"Keputusan ada ditanganmu Ele, bibi tidak akan memaksa jika kau tidak ingin. Setidaknya temui ibumu sekali saja, mungkin ada sesuatu yang harus dia jelaskan."
Helena mengangguk. Akan dia pikirkan hal ini lain kali, untuk saat ini dia akan lebih fokus pada kesehatan bibinya.
"Aku tidak bisa berjanji, tapi akan aku usahakan untuk memenuhi permintaanmu Aunty." Helena bangkit, dia memberikan kecupan pada pipi Ivy.
"Jaga dirimu baik-baik, Aunty. Aku akan meminta seorang perawat untuk menjagamu sampai aku kembali." ucap Helena sebelum meninggalkan ruangan bibinya.
Ivy tersenyum tipis, dia merasa lega. Seandainya Tuhan menggambilnya hari ini dia sudah siap. Sayup-sayup wanita paruh baya itu mendengar suara langkah kaki sebelum kesadarannya benar-benar menghilang.
Helena baru saja menyelesaikan pemotretan, asistennya mendekat sembari memberikan ponsel.
"Ponselmu terus berdering sejak tadi, sepertinya ada hal yang penting." ucap Frey, sang asisten.
Helena mengangguk, keningnya mengerut saat melihat perawat bibinya menelponnya berulang kali. Dia berjalan menjauh dari rekan-rekannya sambil mengubungi perawat bibinya. Mendadak perasaannya menjadi gelisah.
"Nona Helena cepatlah kerumah sakit kondisi Nyonya Ivy memburuk, Nyonya Ivy sempat tak sadarkan diri sebelum mengalami kejang kejang." suaranya terdengar panik.
"Apa?" Helena merasa syok mendengarnya, tubuhnya hampir saja terjatuh jika tidak ada yang menangkap bahunya.
"Hey, apa yang terjadi?" pemuda itu dapat menangkap raut muka Helena yang berubah pucat. Dia terlihat khawatir.
"Aunty Stev, kondisinya memburuk." bibirnya bergetar menahan tangis.
"Hey tenanglah!" Stev menangkup kedua pipi Helena, dia merasa tidak tega melihat keadaan temannya.
"Ayo, biar aku yang mengantarmu." Helena mengangguk, dia mengikuti langkah Stev yang membawanya ke arah mobil. Pemuda itu membantunya membuka pintu mobil.
Dalam hening, Helena terus merapalkan doa untuk keselamatan bibinya. Dia tidak akan sanggup jika Tuhan menggambil bibinya saat ini juga, wanita itu telah mengajarinya banyak hal. Dia memberikan apa yang tidak dia dapatkan dari ibu kandungnya. Bibi Ivy adalah dunianya.
Waktu terasa berjalan begitu lama, dia menatap Stev yang mengemudikan mobil. Perasaannya semakin tak nyaman.
"Stev, bisakah lebih cepat lagi? Aku takut dia akan pergi meninggalkanku." tatapan mata Helena mengiba. Stev mengalihkan pandangannya ke arah lain, tak tega melihatnya. Pemuda itu menambah kecepatan mobilnya.
Sesampainya dirumah sakit, Helena bergegas turun. Dia mengabaikan Stev yang memperingati untuk tidak berlari. Langkahnya tergesa menghampiri ruangan sang bibi.
"Mandy, bagaimana keadaan Aunty Ivy?" Helena menghampiri Mandy, perawat bibinya yang sedang menunggu diluar ruangan.
"Dokter sedang menanganinya, Nona Helena. Aku tidak tahu bagaimana itu terjadi, saat aku datang Nyonya Ivy sudah dalam keadaan kejang." Mandy berusaha untuk menjelaskan, dia tidak ingin Helena salah paham mengenai kinerjanya. Dan dia ikut prihatin dengan kondisi majikannya.
Helena diam, dia tidak menyalahkan Mandy. Karena dia juga tahu bagaimana sibuknya wanita itu mengurus kedua putrinya sebelum berangkat bekerja.
Helena dapat melihat bagaimana Dokter Trisya berusaha untuk mengembalikan kondisi bibinya. Air matanya tak berhenti menetes.
Dokter Trisya menggeleng, detak jantung pasien sudah tidak ada.
"Catat tanggal kematiannya." Dokter Trisya meletakkan alat kejut jantung yang ia gunakan untuk mengembalikan detak jantung Ivy dia berjalan keluar menghampiri Helena.
"Helena, maafkan aku. Aku tidak bisa menyelamatkan nyawa Bibimu." sungguh, kegagalan terbesar baginya adalah tidak bisa menyelamatkan nyawa pasien. Dokter Trisya menyeka sudut matanya. Dia ikut merasakan kesedihan yang Helena rasakan.
Duarr! Bagaikan tersambar petir disiang bolong, Helena tak sanggup harus menerima kenyataan ini.
Stev, pemuda itu hanya diam mematung menyaksikan semuanya. Dia berdiri di belakang Helena, takut jika wanita itu kembali kehilangan keseimbangan.
"Itu tidak mungkin." rasanya Helena tidak mampu lagi untuk menompang kedua kakinya. Stev dengan sigap menahan Helena yang limbung.
"Itu tidak mungkin kan Stev?" tanyanya lirih. Stev mendekapnya erat, menyalurkan ketenangan untuk temannya.
"Jangan menangis, kau adalah wanita yang hebat." Stev berbisik. Dia mengelus puncak kepala Helena dengan sayang.
Helena menanggis dengan keras dalam dekapan Stev, dia memukul mukul dadanya yang terasa sesak. Dia tidak bisa menerima kenyataan pahit jika Bibinya telah pergi.
Dokter Trisya dan Mandy mengalihkan pandangannya ke arah lain, mereka tidak tega mendengarkan tangisan Helena yang menyayat hati. Siapapun yang mendengarnya dapat merasakan kesakitan wanita itu. Tangisannya terdengar menyakitkan.
Kenapa? Kenapa Tuhan mengambil Bibinya secepat ini. Bibi Ivy adalah dunianya. Wanita itu mengajarinya banyak hal, Helena tak sanggup jika tidak bersamanya.
Helena begitu membenci takdirnya, sejak kecil dia tidak pernah tahu bagaimana wajah ibu kandungnya. Wanita itu meninggalkannya, tetapi bibinya merelakan masa muda dan banyak hal untuk merawatnya. Dia menyayanginya lebih dari ibunya.
"Bibimu pasti akan sedih jika melihatmu seperti ini, Helena. Temui dia, habiskan waktu kalian untuk yang terakhir kalinya." Stave mengurai pelukannya, di guncangnya bahu wanita itu.
Helena masih saja terisak, mendengarkan ucapan Stev barusan membuatnya tiba-tiba bangkit.
Helena berjalan menghampiri Bibinya yang sudah terbujur kaku, disingkapnya kain putih yang menutupi wajahnya.
Stev tak mengejar langkah wanita itu, dia membiarkan Helena untuk mengungkapkan kesedihannya. Karena dia tahu, setelah ini Helena tidak akan bisa untuk melihat wajah Bibinya.
Pertahanan Helena runtuh, dia tidak dapat menahan tangisnya. Dia menangis terisak sembari memeluk tubuh kaku bibinya.
"Kenapa? Kenapa kau meninggalkanku?" teriaknya marah.
"Apa karena itu kau menyuruhku untuk kembali? Seharusnya aku tidak menyanggupinya dan kau tidak akan pergi. Kenapa kau lakukan ini padaku Aunty?"
Cukup lama Stev membiarkan Helena menangis, kini dia mendekat. Dia semakin tidak tega melihat Helena yang hanya diam memandangi bibinya.
"Helena, mereka perlu memandikan bibimu untuk dimakamkan. Ayo pergi." Stev menyentuh bahu Helena. Dia tahu wanita itu sangat rapuh.
"Cium bibimu untuk yang terakhir kalinya karena setelah ini kau tidak akan bisa melihatnya." ucap Stave menyadarkan Helena. Helena tersenyum getir, namun tetap melakukan apa yang Stev suruh. Dia mengecupnya lama. Sial, air matanya kembali menetes.
Helena hanya diam saat Stave membawanya pergi, dia tidak memberontak ataupun menangis. Helena berharap jika ini hanya mimpi buruknya dan saat dia terbangun nanti ini tidak akan terjadi.
Pemakaman Umum.
Helena tak kuasa menahan tangisnya saat peti mati bibinya hendak di kuburkan. Dunianya runtuh, Helena menangis meraung saat peti bibinya di tutupi dengan tanah.
Air matanya tak berhenti mengalir, teriakannya terdengar pilu. Stev berusaha menahan Helena yang hendak berlari mendekati peti mati bibinya, dia merengkuh tubuh bergetar wanita itu erat. Tidak akan membiarkannya pergi.
"Jangan menangis, Helena. Bibimu sudah bahagia di atas sana, dia tidak akan merasakan sakit lagi." Stev menepuk punggung Helena. Menyalurkan kekuatan.
Helena tak bereaksi, kesedihan di hatinya jauh lebih besar. Kehilangan orang yang sangat dia sayangi membuat langitnya runtuh begitu saja. Dia tidak punya siapa siapa lagi di dunia ini, Bibi Ivy adalah keluarga satu satunya.
Kenapa takdir begitu kejam? Kenapa dia merenggut orang yang paling dia sayang? Dunianya hancur, langitnya runtuh.
Rasanya Helena tak sanggup untuk sekedar menopang kakinya, tubuhnya ambruk di depan pusara bibinya. Tubuh bibinya sudah tertutup oleh tanah, dia tidak akan lagi bisa merasakan dekapan hangat wanita itu.
Lagi dan lagi air mata mengalir membasahi pipinya. Dia meletakkan kepalanya di atas tanah, tubuhnya kembali bergetar. Isak tangis itu kembali terdengar.
"Kenapa kau meninggalkanku secepat ini Aunty?" Helena mengenggam tanah basah itu erat. Hatinya hancur berkeping-keping.
"Apa kesalahanku sampai kau begitu tega meninggalkan aku seorang diri, aku tidak punya siapa siapa di dunia ini."
"Ibu Ivy. Aku belum sempat memanggilmu Ibu, tapi kau sudah pergi terlebih dahulu." di dekapnya erat gundukan tanah bibinya.
Stev menyeka sudut matanya, dia merasa iba dengan Helena. Sudah cukup lama dia membiarkan Helena mengungkapkan isi hatinya, dia mendekat.
"Hujan akan turun sebentar lagi, Helena. Ayo kita pergi." Stev mensejajarkan tubuhnya dengan Helena.
Helena mendongak, di tatapnya mata teduh milik Stev. "Bisakah kau memberikan aku waktu lebih lama lagi?"
"Baiklah, aku akan menunggumu di mobil." Stev melangkah pergi, dia tidak ingin menganggu Helena. Dia akan membiarkan wanita itu meratapi kesedihannya.
****
Helena berdiri di depan rumah satu lantai milik bibinya. Rumah sederhana yang menjadi tempat tinggalnya sampai dia dewasa. Sebenarnya Helena bisa saja membeli rumah yang lebih besar dari ini, tetapi permintaan bibinya membuat wanita itu mengurungkan niatnya.
Bibi Ivy sangat menyayangi rumah ini, dia pernah bilang jika rumah ini sangat berarti untuknya. Helena kecil sangat suka berlarian di halaman rumah, terkadang dia juga merecoki Bibi Ivy yang sedang berkebun.
Helena terkekeh kecil saat mengingat cerita masa kecilnya. Di bukanya pintu itu dengan pelan, sepi dan sunyi itulah yang dia rasakan. Tak terdengar lagi suara Bibi Ivy yang memanggilnya juga suara tawa wanita itu saat sedang menonton televisi.
Biasanya sepulang dirinya bekerja, wanita itu akan menyambutnya sembari membuatkan sup hangat kesukaannya. Air matanya kembali menetes, mengingat momen momen kecil yang telah dia lalui bersama bibinya.
Helena mengigit bibirnya agar tidak mengeluarkan isak tangis. Matanya tak sengaja menangkap kamar Bibi Ivy yang tertutup. Masih sama pikirnya. Tidak ada yang berubah, semua masih tertata ditempat yang semula.
Pandangan matanya beralih pada foto bibinya yang terletak di meja sebelah tempat tidur.
"Kau jahat! Kenapa meninggalkanku?" diusapnya perlahan figura milik bibinya. Bibi Ivy terlihat sangat cantik di foto itu, senyumannya terlihat sangat manis. Tidak seperti dirumah sakit saat itu. Wajahnya sendu dan bibirnya terlihat pucat. Tubuhnya kurus dan kering.
Helena beranjak ke atas ranjang, dia membaringkan tubuhnya yang terasa lelah. Dia masih belum bisa menerima kenyataan jika bibi Ivy telah tiada.
Helena menangis meringkuk di atas ranjang, dia tidak bisa menerima kenyataan ini. Semuanya terjadi seolah mimpi buruk untuknya.
Ingatannya berputar pada saat dirumah sakit. Mengenai permintaan bibinya dan amplop coklat itu. Buru-buru Helena mengusap air matanya, dia bangkit dan segera mencari amplop coklat yang disembunyikan oleh bibinya.
Di bukanya laci disamping tempat tidur, dia tidak menemukannya. Tak menyerah begitu saja, Helena membuka seluruh laci dan lemari pakaian.
Tangannya bergetar saat berhasil menemukan sebuah amplop coklat ditangannya.
'Putriku Helena Louisa Berness' dadanya bergemuruh hebat membaca tulisan di amplop coklat itu.
Bibir Helena bergetar membaca isi surat itu. Dia menutup mulutnya, tak menyangka jika pertanyaannya selama puluhan tahun telah terjawab melalui surat yang ditulis oleh ibunya.
Putriku, Helena Berness.
Sebelumnya perkenalkan, aku adalah Ibu kandungmu, Beleza. Mungkin aku telah tiada setelah kau membaca surat ini, tolong sampaikan maafku pada bibimu.
Tolong jangan membenci aku, ibumu. Kau pasti bertanya-tanya kenapa aku meninggalkanmu pada bibimu? Benar bukan.
Aku tahu kau membenciku Helen, ibumu ini adalah seseorang yang kotor. Apa kau tahu pekerjaanku? Aku adalah seorang wanita bayaran. Aku mendapatkan misi untuk mencuri berlian yang seharusnya menjadi milik Xavier Leonidas. Ingat namanya, Helen. Jauhi siapapun yang memiliki nama belakang seperti itu. Mereka penjahat.
Aku sedang diburu oleh mereka, karena itu aku meninggalkanmu pada bibimu, Ivy. Kau tahu? Mereka tidak akan membunuh seorang bayi yang tidak berdosa. Karena itu mereka memberiku pilihan untuk meninggalkanmu. Dan aku pun meninggalkanmu pada Ivy.
Aku menyayangimu, Helen. Kau adalah putriku. Jaga dirimu baik-baik.
Aku meninggalkan sesuatu untukmu. Spanyol, pergilah kesana. Temanku akan memberikan sesuatu yang seharusnya menjadi milik kita. Dia pemilik toko buku tua di pinggiran kota. Sean Aderalt, ingat namanya baik-baik.
Salam dari Ibumu, Beleza.
Helena meremat surat dari ibunya dengan kuat. Tuhan, kenyataan apalagi ini? Rasanya kepalanya akan meledak saat ini juga. Helena tidak tahu harus bereaksi seperti apa, senang karena ternyata sang ibu menyayanginya atau sedih menerima kenyataan pahit jika ibunya pun telah tiada.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!