...Disclaimer...
...Dilarang mengcopy / menulis ulang cerita ini dalam bentuk apapun. Cerita ini asli dari imajinasi Author. Baik dari segi nama, tempat dan alur cerita semua dari hasil pengembangan imajinasi Author sendiri. Harap-harap diperhatikan dengan baik. Mencuri hak orang lain tidak akan membuatmu menjadi orang yang lebih baik....
...***...
Jakarta, Maret 20—
Sebuah rumah megah di salah satu kota besar di Jakarta, ditempati sepasang suami istri dengan satu anak perempuan mereka. Rumah berlantai dua yang didominasi warna hitam dan putih. Di tengah halaman rumah terdapat air mancur dan pepohonan yang tumbuh membuat pekarangan rumah terlihat sangat asri. Suara desiran angin terdengar sayup dari luar.
Gadis kecil berusia tujuh tahun yang saat ini duduk di kursi meja riasnya bersama seorang wanita berusia empat puluhan sedang sibuk mengepang rambut lebat hitam legam miliknya. Sapa dia, Sienna Stevanya. Sienna berdiri tegak di depan sebuah cermin besar berbentuk oval. Tangan mungilnya sibuk menyisir rambut boneka barbie di atas meja riasnya sembari ia bercakap-cakap dengan sang pengasuh.
"Sudah selesai, Non. Rambutnya sudah Bibi rapikan. Sangat cantik seperti boneka kesayangan Non." Sebuah senyuman manis terlukis begitu saja di sudut bibir Sienna, ia tersipu dengan pujian itu.
"Benarkah, Bibi? Sienna sama cantiknya dengan boneka ini?"
"Benar Non. Sienna cantik berkat mama non yang begitu cantik juga."
"Ehehe... terima kasih banyak Bibi. Sekarang Sienna mau ketemu ayah dulu."
"Baik, Non."
Sienna keluar dari kamar dengan wajah berseri-seri. Ia berdiri di ujung tangga sambil menatap keberadaan ayahnya di ruang keluarga seorang diri dan sibuk dengan pekerjaannya.
"Ayah..."
Suara itu menggema memenuhi rumah—sambil ia menuruni puluhan anak tangga menghampiri ayahnya yang ternyata tengah disibukkan dengan kerja kantornya. Mata bulatnya bisa melihat sang ayah sedang berkutat dengan laptop di pangkuannya serta setumpuk berkas yang berserak di atas meja.
"Ayah? Kenapa ayah tidak menjawab panggilan, Sienna?"
Sienna merengek kecil seraya menarik pelan kaos hitam sang ayah membuat laptop di atas paha pria itu bergoyang.
"Ayah sedang sibuk, Sayang. Ada apa, hmm? Anak ayah butuh sesuatu?"
Ryan bertanya dengan mata masih fokus dengan layar laptopnya. Ryan Williams. Pengusaha sukses yang terkenal di kota Jakarta berkat perusahaan propertinya yang bergerak di bidang perhotelan, resort, mall bahkan apartemen yang tersebar di beberapa wilayah di kota lain.
"Sienna mengganggu ayah bekerja, ya?"
Sienna menyesal. Ia menundukkan kepala sedikit menatap mata elang ayahnya yang bersinar. Menunggu jawaban yang entah kapan Sienna dengar.
"Ayah..." ucapnya sekali lagi. Gadis manis itu memajukan bibirnya. Ia kesal—diabaikan begitu saja oleh sang ayah.
Sienna dengan cepat memasang wajah cemberutnya. Ryan yang merasa aneh lantas melirik lalu menghela napas sebentar. Begitu cepat, tangan kekar itu spontan menutup laptopnya dan merapikan setumpuk file diatas meja.
Sienna masih dalam posisi yang sama. Berdiri dengan wajah kesal mengarah ke pintu rumah di ujung sana. Ryan meraih pergelangan tangan putrinya.
"Kenapa wajah anak Ayah begitu jelek?" ucap Ryan dengan lembut. Sienna masih bersikeras membuang wajahnya kearah lain. Gadis itu tidak pernah suka diabaikan.
Sienna sekarang mendecih pelan, kesal karena ucapan sang ayah barusan. "Sienna marah pada Ayah? Kalau benar marah, apa yang bisa ayah lakukan biar Sienna memaafkan ayah?
Mata bulat seperti sang ibu dengan cepat bergerak menatap wajah tegas di sampingnya lalu naik memandang manik hitam ayahnya.
"Sienna tidak marah Ayah, Sienna sedikit kesal saja karena Ayah lagi-lagi mengabaikan Sienna dan lagi, mengatakan Sienna jelek."
Kata demi kata yang keluar dari mulutnya membuat Ryan berusaha menahan tawanya. Ia sangat tahu, anak perempuannya itu tidak bisa diabaikan dengan alasan apapun.
"Kemari, duduk dekat ayah." Sienna dengan wajah datar memandang ayahnya lalu mendekat. Ia duduk dengan tegak.
"Kamu tahu alasan ayah kenapa selalu mengabaikan kamu?" Sienna mengangguk pelan. Ayahnya yang super sibuk membuat Sienna harus lebih sabar dengan waktu ayahnya.
"Tapi ayah sudah terlalu sering tidak ada waktu bermain dengan Sienna. Ayah tahu, Bunda sibuknya sama kue terus, jadi Sienna bermain sama siapa? Bibi Grace? Tidak ada serunya, Ayah. Bibi Grace gampang sekali lelah. Bibi udah tua."
Ryan terkekeh kecil. Ia terkejut dengan kalimat yang terucap dari mulut Sienna. "Baiklah baik. Ayah minta maaf ya. Jadi sekarang anak ayah menginginkan apa, hmm?"
"Ini ayah. Sienna mau ini." Senyum merekah di pipi gembul Sienna. Ia mengeluarkan iPad kesayangannya dari belakang punggungnya. Tangan mungil itu bergerak di atas layar benda persegi itu
"Kaku mau pergi ke pasar malam?" Sienna mengangguk riang, mengiyakan dan mata serta bibirnya ikut tersenyum.
"Sienna ingin sekali kesana ayah. Ayah juga tidak pernah bawa Sienna kesana. Ayah tau, tadi pagi di sekolah, teman sebangku Sienna yang namanya Dian cerita kalau di tempat itu ada banyak permainannya. Dian juga dibelikan boneka salju oleh ayahnya. Sienna juga mau boneka salju."
"Apa boneka yang ayah berikan itu masih kurang juga?" Ryan menangkup kedua pipinya. Menatap lurus bola mata Sienna yang bersinar.
"Mau kemana, Mas?" potong seseorang. Ryan yang sibuk dengan putrinya langsung menegakkan badan. Ia menoleh ketika mendengar suara sang istri. Sosok wanita anggun mengenakan dress brokat dengan bagian pinggang dress begitu pas melekat ditubuhnya sebatas lutut, dari merk terkenal datang menghampiri, membawa nampan berisi secangkir kopi dan duduk di sebelah Sienna.
Dia Laura, Bundanya gadis manis itu dan istri dari Ryan. Wajah Laura masih terlihat awet muda, tidak ada kerutan di wajah wanita itu. Matanya yang bulat persis seperti mata milik Sienna.
"Kopinya Mas." Laura meletakkan secangkir kopi di dekat berkas kerja suaminya.
"Makasih sayang..."
Ryan tersenyum sembari satu tangannya mengusap lengan Laura lembut. Sienna yang melihat itu tersenyum singkat.
"Jadi Sienna bilang apa tadi, Mas?"
"Katanya mau pergi ke pasar malam. Teman sebangkunya tadi pagi cerita kalau disana banyak permainan. Mau dibelikan boneka salju juga katanya disana," jelas Ryan sesekali melirik Sienna di sampingnya.
"Jadi anak bunda ingin pergi ke pasar malam? Mau beli boneka baru juga?"
"Iya Bunda. Kita kesana ya. Sienna pengen coba permainan disana sekalian pengen punya boneka baru seperti punya Dian. Kalau Sienna ngga punya Dian pasti mengejek Sienna lagi."
"Iya anak Bunda yang paling cantik. Sebentar lagi kita kesana ya. Kamu minta bantu Bibi Grace ya untuk berkemas."
Dengan jawaban yang memuaskan, Sienna begitu cepat mengecup lembut pipi ayah dan Bundanya. Keduanya pun tertawa kecil menatap kepergian putri mereka menuju lantai atas.
***
Sienna sudah siap dengan dress bunga-bunga selutut pilihan sang pengasuh. Gadis itu berdiri di depan Bibinya.
"Bibi tidak mau ikut Sienna ke pasar malam? Kata Dian disana banyak makanannya Bi, nanti kita bisa makan enak. Ada permainannya juga. Sienna juga bakalan dibelikan hadiah boneka salju sama ayah."
"Iya Non. Kalau banyak dapat boneka, jangan lupa Bibi dikasih satu ya."
"Boleh. Nanti Sienna kasih boneka beruang yang besar untuk Bibi," ujarnya sambil tertawa gemas menuruni ranjang tempat tidurnya. Setelah itu, Bibi Grace pelan-pelan menuntun langkah gadis kecil itu menuruni tangga hingga sampai di ruang tamu.
"Ayah, Bunda, cepat! Sienna sudah siap nih!"
Di dalam kamar, Ryan dan Laura yang tengah bersiap terus saja tertawa karena putri mereka yang tidak sabaran. "Aku yakin Mas, Sienna pasti cepat bosan disana. Bisa jadi dia minta pulang karena sudah mengantuk."
"Tidak apa-apa Ma. Yang penting dia senang dan tidak penasaran seperti apa itu pasar malam. Mas juga senang kalau dia bisa cerita rasa bahagianya pada teman sekelasnya."
"Ini jaket mu, Mas."
Laura memberikan jaket hitam berbulu tebal pada Ryan. Setelah itu, keduanya pun berjalan keluar dari kamar menghampiri putrinya yang sudah berada di ruang keluarga bersama Bibi Grace. Laura melilitkan syalnya di leher.
Sienna melihat ayah dan bundanya datang, ia segera berlari—meraih jari telunjuk sang ayah kemudian berjalan beriringan menuju mobil yang sudah terparkir di halaman rumah bersama dengan sopir pribadi Ryan.
"Malam ini biar saya sendiri yang bawa mobilnya Pak Anton. Bapak bisa pulang cepat malam ini karena besok pagi kita berangkat lebih awal ke kantor."
"Baik, Tuan. Tolong hati-hati di jalan."
"Terimakasih."
"Tidak papa anak Bunda duduk di belakang?" tanya Laura menoleh pada Sienna yang sudah duduk manis di jok belakang.
"Gak papa Bunda. Sienna tidak penakut. Sienna sama seperti ayah, pemberani." Ryan dan Laura pun terkekeh mendengarnya lalu keduanya memasang sabuk pengaman dan mulai perjalanan mereka dengan kecepatan sedang.
Sampai di tengah jalan, tiba-tiba saja mobil yang berada dibelakang mereka membunyikan klakson begitu keras dan berulang kali.
Ryan melirik kaca spion. Jauh di belakang mereka dua van hitam sedang kebut-kebutan dan klakson mobil yang terus dibunyikan terus-menerus. Sempat Ryan memberi mereka jalan untuk lewat, tapi mobil hitam di belakang justru menghiraukannya.
"Sudah malam begini masih saja ugal-ugalan bawa mobilnya. Seperti orang mabuk saja," gumam Ryan setelah melihat van hitam dibelakang mereka terus mengejar tanpa niatan melewati kendaraan mereka.
"Mabuk apa, Mas?" kata Laura melirik.
"Itu mobil di belakang kita sejak tadi asal-asalan saja Mas lihat bawa mobilnya. Sepertinya pria itu sudah mabuk. Bisa-bisa ia mengalami kecelakaan."
"Mungkin mereka ingin mendahului kita Mas. Kasih jalan saja," ujar Laura pada sang suami. Ryan pun menyalakan lampu sent kanannya kembali--mempersilahkan mobil di belakang mendahului mereka. Namun, yang tidak disangka, mobil di belakang justru menabrak keras bagian belakang mobil membuat satu lampu belakang pecah tiba-tiba.
Ryan begitu jengkel jengkel ditambah suara gelak tawa keras terdengar oleh telinganya. Seolah kejadian beberapa detik barusan benar-benar disengaja.
"Apa yang mereka pikirkan?!" geram Ryan melirik kembali ke spion di atas dashboard.
Kedua kalinya mobil mereka ditabrak dari belakang hingga suara benturan itu sangat keras membuat Sienna yang bersandar melepaskan seltbel nya dan menyentuh pundak Ryan. Ia panik untuk pertama kalinya dihadapkan pada kejadian seperti ini.
"Ayah, Sienna takut..." lirihnya yang duduk di jok belakang. Ryan mengusap punggung tangan Sienna, menghalau rasa khawatir sang anak karena situasi sekarang.
"Tenang Sayang, jangan khawatir ya. Ayah janji tidak akan membuat kalian sampai terluka."
"Mas mau ngapain? Jangan Mas, jangan lakukan itu. Kalau mereka begal bagaimana?" cecar Laura menggebu saat melihat suaminya hendak menepikan mobil.
"Ada baiknya kita teruskan saja perjalanannya sampai depan pos polisi di depan sana. Kita bisa buat laporan pada pihak ke—"
Bruk!!
Brakk!!
Suara benturan keras terdengar. Kembali Sienna mengeratkan pegangannya pada kaos yang ayahnya pakai. Wajahnya murung ketika kepanikan itu melanda dirinya.
"Ayah...."
"Mas...."
Mobil mereka kembali dihimpit hingga membentur pembatas jalan. Ryan yang sigap langsung memegang kendali stir mobil dan kembali pada jalur.
"MATILAH KALIAN KELUARGA WILLIAMS!"
Gelak tawa dari dalam mobil di belakang mereka saat berhasil mengganggu kenyamanan membuat Ryan merasakan darahnya mendidih. Ini sudah kelewatan.
"Sial! Apa yang mereka inginkan!"
Ryan geram melirik mereka berkali-kali dari kaca di atasnya. Dengan amarah yang naik ke atas kepala, Ryan menaikkan kecepatan mobil.
"Mas.. pelan-pelan saja. Sienna ketakutan Mas," seru Laura mulai ikut panik saat merasakan laju mobil bertambah cepat. Bahkan wanita itu sesekali memperhatikan putrinya yang gelisah dengan mata berkaca-kaca.
"Bunda, Sienna takut."
"Mereka sepertinya ingin berniat jahat Laura. Pegangan!!" Titah Ryan. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Beberapa peluru mulai ditembakkan ke arah mobil. Ekspresi wajah Ryan dengan cepat berubah drastis dengan dahi berkerut. Rahangnya mulai mengejang.
"Ada apa, Mas? Mereka sudah tidak mengejar lagi. Mereka tidak ada di belakang kita. Pelankan Mas, pelankan. Ini berbahaya." Laura menyentuh lengan suaminya. Kecepatan mobil melaju di jalanan lurus membuat Laura ketakutan dan gemetaran.
"Sialan. Ini pasti ulah mereka," ujar Ryan sambil menginjak rem yang sejak tadi tidak berfungsi sama sekali. Rem mobil blong dan Ryan berusaha sebisa mungkin.
"Kenapa Mas?" panik Laura.
"Remnya ma, remnya tidak berfungsi. Mas udah berusaha menginjak remnya tapi sama sekali tidak bisa. Sepertinya ini ulah mereka..."
"Ayah, di depan ada tikungan tajam."
Mendengar putrinya berbicara lantang, Ryan langsung menoleh dan memicingkan mata menatap jalan di ujung sana. Tikungan tajam tempat kecelakaan sering terjadi. Tanpa perhitungan yang matang, Ryan dengan cepat membanting stir mobil. Mobil menghantam keras pembatas jalan. Melihat situasi yang cukup mencekam, Laura segera meraih tangan putrinya, menggendong Sienna di pelukannya lalu memindahkan gadis itu ke pangkuan sang suami.
Laura mengeluarkan kepalanya sedikit menatap keadaan mobil. Mobil mereka benar-benar berada di posisi yang tidak baik. Sedikit saja mereka bergerak bisa membuat ketiganya masuk dalam jurang. Posisi Laura benar-benar berada diantara hidup dan mati.
Laura menarik napas panjang. Entah sudah tarikan yang ke berapa, kakinya melemas dengan situasi seperti ini. Ia melirik Sienna dan sang suami. Sedikit saja Laura bergerak, bisa ia pastikan mereka semua akan terjun bebas ke jurang. Air matanya mengalir di pipi.
"Mas..." Laura berucap lirih ketika menatap wajah suaminya yang menggeleng ringan. Pria itu tau apa yang Laura pikirkan sekarang.
"Jangan lakukan hal konyol apapun yang ada dalam pikiranmu, Laura. Aku tidak siap untuk itu. Kita semua bisa selamat. Kita harus—"
"Maafkan aku, Mas. Tidak ada jalan lain selain ini," sela Laura ketika mobil bergerak sedikit dan ban depan mobil sebelah kiri sudah berada di tepian pembatas jurang.
"Bunda..." ujar Sienna gemetar. Tangan gadis itu terulur ke depan. Laura hanya bisa tersenyum pedih dengan keadaan mereka sekarang. Tangan terulur ke depan hendak meraih jemari putrinya. Pergerakan yang tiba-tiba membuat mobil bergerak pelan-pelan.
"Cepat selamatkan Sienna. Kalian harus tetap hidup. Bawa putri kita keluar sekarang. Mobil ini akan jatuh. Bahagiakan Sienna dengan wanita yang benar-benar Mas cintai. Apapun itu Sienna harus bahagia. Aku mohon...."
Ryan memajukan tubuhnya pelan-pelan. Sienna yang berada di pelukan sang ayah mencoba meraih sang bunda, sayangnya hanya seulas senyum pahit yang bunda nya berikan.
"Apa yang kau katakan, hah?! Tidak. Kita semua pasti selamat! Kemarikan tanganmu. Tidak satu pun yang boleh pergi malam ini, tidak satu pun, Laura!" Laura tersenyum pahit. Saat ia bersitatap dengan suaminya, ucapan orang-orang tentang pria itu berputar dalam kepala.
"Suamimu selingkuh, Laura."
"Sayang sekali. Kau tidak seberuntung orang-orang yang memiliki segalanya tapi tidak dengan suamimu."
"Kau tidak akan percaya, suami benar-benar berkhianat di belakangmu."
"Selamat ulangtahun anak Bunda. Panjang umurmu ya. Bunda tidak bisa menepati janji Bunda."
"Jangan Laura. Jangan lakukan itu!!"
Dengan derai air mata yang sudah membasahi pipinya, Laura dengan cepat memajukan sedikit tubuhnya—melepas seltbel sang suami dan membuka cepat pintu kemudi. Entah kekuatan darimana, Laura berhasil mendorong tubuh suaminya yang memeluk putrinya ke luar dari mobil.
Ryan terbelalak dan Sienna sendiri membulatkan mata saat melihat mobil hitam itu terjun bebas bersama dengan Bundanya. Satu kalimat panjang yang mereka dengar sebelum kejadian mengenaskan itu terjadi.
"Maafin Bunda, Sayang."
Mobil itu bergerak cepat dan jatuh ke dalam jurang disusul ledakan besar yang membuat Ryan dan Sienna menjerit histeris.
"Laura!!"
"Bundaaa!"
Sienna berlari mengejar Bundanya yang sudah terjatuh ke dalam jurang. Asap tebal mengepul dari dasar jurang membuat Sienna yang melihat itu dengan mata kepalanya langsung menangis histeris.
"Bunda!!"
"Tidak ayah, selamatkan Bunda. Tolongin Bunda ayah!"
Ryan mematung. Kenangan bersama Laura berputar cepat dalam kepala. Untuk sepersekian detik semuanya hilang dari pandangan pria itu.
"Kenapa Ayah diam saja! Kita harus tolong Bunda!"
Sienna berteriak histeris menatap sang ayah yang tidak bergeming sama sekali.
"Sudah sayang, ikhlaskan Bundamu..."
"Tidak! Sienna tidak mau!" Sienna memberontak dari dalam dekapan ayahnya.
"Ayo, Ayah! Ayo, tolong Bunda..."
Sienna menangis kencang sampai sesenggukan. Ryan kian mengeratkan pelukannya, mengelus puncak kepala Sienna sampai detik berlalu Sienna hilang kesadaran. Ia hilang kesadaran di pelukan sang Ayah.
Langit dengan mendung tebalnya tak juga hengkang dari atas rumah kediaman keluarga Argantara. Sudah berjam-jam lamanya, tak ada rintik hujan yang turun saat ini sekalipun awan tebal menutupi langit. Namun, entah mengapa mendung tebal semakin banyak berkumpul seolah langit turut berduka atas kepergian Laura, ibunda tercinta Sienna.
Hembusan angin disertai dedaunan kering berterbangan ikut membuat jiwa merana. Kabar menyakitkan untuk sanak keluarga begitu menyayat hati para pelayat. Pelayat silih berganti datang dan pergi sejak kejadian duka terdengar.
Malam di mana Laura ditemukan dengan hampir semua tubuh terbakar api akibat kecelakaan pada akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya. Wanita cantik sekaligus anak dari konglomerat Argantara ditemukan setelah enam jam tim SAR dan pihak kepolisian menemukan dan mengevakuasi korban.
"Kau sudah lihat putrimu sendiri meninggal karena hidup bersama pria sialan itu! Pria yang Tidka pernah sekalipun menaruh kasih bahkan cinta pada Laura. Ini yang terjadi! Ini semua karena kau terlalu percaya pada pria yang hanya menjual tampang tanpa tanggungjawab!"
Lantangnya suara itu mengejutkan semua orang diruang keluarga. Sanak saudara berkumpul setelah mendengar kabar duka tersebut. Suara dari ibunya Laura menggelegar—nenek dari Sienna.
"Apa ini yang kau inginkan? Kau menginginkan Laura kembali ke rumah ini dengan keadaan tidak bernyawa? Permintaanmu sudah terkabulkan sekarang!"
"Aku tidak pernah setuju Laura melangkah pergi dari rumah ini. Sekalinya ia keras kepala, kematian yang membawa Laura kembali ke rumah. Lihat! Pandang wajah putrimu yang begitu ingin sekali kau nikahkan dengan lelaki yang tidak tahu malu itu..."
"Putriku yang malang..."
Ibunda Laura terjatuh meratapi nasib memandang wajah putri satu-satunya sudah tidak bernyawa di hadapannya. Anak yang ia besarkan dengan cinta kasih penuh—memberinya cucu perempuan namun kembali dengan peti mati yang berisikan tubuh putrinya yang kaku dibalut dengan kain putih.
Seorang wanita kisaran umur 40 tahun-an masuk ke dalam rumah kediaman Argantara. Ia langsung memeluk tubuh Laura yang tertutup kain putih dengan erat seraya menangis meraung disana. Helena, wanita itu segera kembali ke rumah ayahnya setelah mendengar kabar bahwa adik perempuan yang selalu ia manjakan mengalami kecelakaan yang mengakibatkan Laura meregang nyawa di tempat.
Awalnya ia tidak percaya, karena ia tahu keluarganya selalu usil padanya terlebih sang ayah, dan tanpa pikir panjang ia langsung terbang dari London menuju rumah dimana ia dan Laura dibesarkan. Betapa terkejutnya ia setelah melihat bendera kuning berkibar di depan rumah.
"Laura bangun! Apa semua ini?! Kau ingin bercanda padaku? Kau mengingkari janjimu lagi? Bangun, Laura! Bangun..." Teriak Helena di akhir kalimatnya, ia mengguncangkan tubuh Laura berharap sang adik masih diberi kesempatan untuk hidup.
Yori—Ibunda Laura menatap Helena yang sudah menangis terisak di sampingnya.
"Laura tidak boleh pergi Mom, Laura—"
Helena menggantung ucapannya saat pelukan erat sang Ibunda mendekap tubuhnya. Tarikan napas yang berat membuat keadaan begitu miris.
Pretty ikut memeluk cucu perempuannya. "Ikhlaskan adikmu, Helena. Kamu harus kuat. Kalau kamu terus begini bagaimana dengan Sienna, keponakanmu yang saat ini masih belum sadarkan diri. Sienna masuk rumah sakit."
Helena mengangkat wajahnya sedikit, menatap wajah neneknya lalu mengingat sesuatu. Sesuatu yang harus Helena jaga dan dilindungi seperti janjinya pada Laura sejak kecil dulu. Bila nanti Laura sudah berkeluarga dan memiliki anak, Helena berjanji akan selalu menyayangi dan melindungi anak itu seperti anaknya sendiri.
"Sienna..." ucapnya pelan dan sedikit bergetar. Pretty mengangguk pelan. Helena menatap sekeliling ruang keluarga. Tidak ditemukan sosok itu dimanapun. Dimana gadis dan proa itu?
"Sienna dimana, Oma? Apa pria sialan itu tidak datang kemari?" sarkas Helena menggeram.
Oma nya menggeleng. "Sienna belum datang kemari sejak kejadian menimpa Laura terjadi. Ryan menelepon beberapa jam lalu mengatakan bahwa Sienna belum siuman di rumah sakit. Untuk itu Ryan dan Sienna tidak ada disini..." Helena menggeram.
"Ini pasti ulah pria sialan itu, Oma! Ini pasti rencananya untuk menguasai semua aset milik Laura. Aku tahu itu dan Oma tidak bisa menyangkalnya lagi."
"Harusnya—harusnya Laura tidak pernah berhubungan dengan pria seperti Ryan, Oma. Kalau saja Laura dengan—"
"Hentikan ucapanmu, Helena! Disaat keadaan seperti ini kau mengatakan hal yang tidak mungkin diubah kembali. Apapun yang terjadi dimasa lalu dan sekarang itu sangat berbeda dan jangan kau sangkut-pautkan," kata Yori mengingatkan.
"Kalian pikir Ryan yang dinikahkan dengan adikku adalah pria yang bertanggung jawab, sosok kepala keluarga yang baik atau semacamnya..." Helena melirik Kakeknya. Lirikan tajam sekaligus menyayat hati menusuk netra pria yang duduk di kursi roda.
Setengah jam berlalu, dua orang pria datang mengangkat jenazah Laura dibantu orang-orang yang melayat. Hampir satu jam perjalanan mereka akhirnya sampai di pemakaman umum. Keluarga korban sepakat mengubur Laura di tempat yang sudah di khususkan. Setelah acara penguburan dan tabur bunga, kini hanya ada keluarga korban dan beberapa pelayat yang tersisa. Helena dan ibunya sudah dibawa pulang sebab keduanya sudah beberapa kali jatuh pingsan.
Pretty mengusap papan nama Laura. "Maafkan Oma, Laura. Oma minta maaf atas semua yang kamu alami."
Pretty menangis terisak seraya bangkit perlahan lalu ikut bergabung dengan keluarga yang lain, meninggalkan tempat itu kembali ke kediaman mereka.
***
Rumah Sakit Lentera Kasih
Disebuah rumah sakit swasta di Jakarta, seorang gadis terbaring lemah. Tangannya terinfus, matanya masih tertutup. Belum ada tanda tanda matanya akan terbuka. Ia masih terlihat sangat lemah. Sampai di menit kemudian, gadis yang terbaring lemah tak berdaya tersebut membuka mata. Samar-samar ia melihat pemandangan yang berbeda. Ruangan putih dan bau obat menyeruak menusuk hidungnya.
"Bunda..."
Satu kata yang terucap lirih lolos dari mulutnya. Kepalanya bergerak pelan melirik ke samping.
"Bunda dimana?"
Seorang wanita paruh baya yang baru saja keluar dari kamar mandi terkejut melihat Sienna membuka mata. Wanita itu berjalan lebih dekat ke ranjang.
"Non Sienna, non sudah sadar..." ucapnya cukup jelas membuat seorang pria yang berdiri sambil berbicara dengan seseorang lewat telepon berbalik badan dan menatap Sienna terkejut.
Pria itu segera menutup teleponnya dan segera menghampiri Sienna.
Sienna mengernyit. Ia bingung sekaligus matanya tampak berair. Orang yang sedang ia cari tidak ada diantara dua orang di dekatnya. Seketika saja bayangan-bayangan kejadian itu terlintas di memori kepalanya. Sienna menangis histeris tiba-tiba. Bulir air mata mengalir deras di kedua pipinya.
"Sienna..." Ryan menyentuh jari tangannya. Sienna yang tidak mendengar panggilan ayahnya lantas menepis tangan ayahnya.
"Bunda, Bunda Sienna dimana?"
Suara itu begitu bergetar. Diusianya yang akan menginjak umur delapan tahun langsung dihadapkan pada kejadian mengenaskan yang menimpa Bundanya.
"Bunda dimana, Ayah?! Sienna ingin Bunda. Bunda tidak apa-apa bukan?"
Sienna turun ranjang sampai membuat selang infus ditangannya terlepas membuat Bibi Grace panik. Ryan yang terang-terangan melihat Sienna histeris terdiam sesaat sampai pada akhirnya Ryan menarik paksa pergelangan tangan Sienna yang mencoba keluar dari kamar rawatnya.
"Bunda—Bunda masih belum ditemukan sampai hari ini, Sienna. Kemari, kamu perlu banyak istirahat," tutur Ryan menuntun Sienna kembali ke ranjangnya. Namun, tarikan tangan yang kasar dari genggaman tangan Ryan membuat suasana hening.
"Ayah bohong!" Sienna membentak. "Sienna harus ketemu Bunda. Bila perlu biar Sienna ikut mencari Bunda," tutur Sienna berjalan ke arah pintu.
"Sienna tidak mau kehilangan Bunda. Kalau Bunda pergi siapa yang akan bantu Sienna setiap hari, siapa yang akan anterin Sienna sekolah, siapa—"
Bulir air mata yang deras berhasil mengalir membasahi pipinya yang pucat. Tidak ada percakapan setelah Sienna berbicara cukup panjang, sampai pintu ruangan itu terbuka lebar. Seorang wanita memakai pakaian setelan hitam berjalan masuk. Ryan dengan cepat memasang wajah dingin dan datar. Sienna berhenti berjalan dan menatap wanita itu. Tatapan mereka bertemu. Sesaat wanita itupun terdiam. Ia juga ikut terkejut.
"Sienna."
"Kamu sudah sadar Sayang?"
Wanita itupun segera menghampiri Sienna dengan wajah berusaha tersenyum sebisa mungkin. Mengabaikan satu hal yang masih membuat hatinya begitu berat. Satu tetes air mata tanpa sadar kembali terjatuh dari mata Sienna. Tanpa disadari air matanya kini semakin deras. Tangisannya terdengar sangat pilu. Sienna langsung memeluk wanita itu. Helena yang mendadak mendapat pelukan tiba-tiba dari Sienna seketika tubuhnya pun menegang.
"Bunda Tante, Bunda benaran pergi? Jangan bohong, jangan bohongin Sienna. Ayah bilang Bunda belum ditemukan. Apa itu benar, Tan?" Sienna mengurai pelukannya.
Matanya kian berkunang-kunang. Dada seolah dihujamkan pisau tajam. Tangisan Sienna semakin kencang, pelukannya pada Helena semakin erat. Wanita itu pun mulai membalas pelukan Sienna tak kalah eratnya.
"Sienna..."
Sienna tidak menjawab. Matanya kian menutup rapat, hingga pelukan erat itu mengendur dan Sienna hampir terjatuh di lantai sebelum Helena menahan tubuh anak malang itu.
"Sienna!"
Duduk di tepi ranjang sudah Sienna lakukan dari satu jam yang lalu. Anak manis itu terus saja mengajukan pertanyaan sama yang membuat ayahnya geram sendiri.
"Kenapa kita harus pindah, Ayah?" tanyanya kembali sambil mengangkat kedua lengannya ke atas—memakai baju hangatnya dengan bantuan sang pengasuh.
Saat Sienna bangun dari tidurnya, dia dikejutkan dengan pemandangan yang membingungkan. Seluruh pakaian miliknya di lemari sudah dimasukkan ke dalam koper. Dua koper besar sudah berdiri di dekat pintu kamarnya. Bahkan kamar yang biasanya ramai dipenuhi barang-barang miliknya sudah terlihat kosong.
"Ayah, jawab Sienna Yah. Kenapa kita harus pindah?" tanyanya kesekian kalinya pada Ryan yang sibuk memasukkan barang-barang penting ke dalam koper.
Ryan yang merasa terganggu lantas menoleh tajam pada Sienna, hanya sebentar mereka saling tatap. Sienna pun terkejut menatap tatapan ayahnya yang berubah padanya.
"Tidak ada yang bisa ayah katakan padamu. Kita memang harus pindah dan kamu akan ikut dengan ayah. Rumah ini akan ayah jual dan kita pindah ke Bandung hari ini juga."
Sienna yang tidak paham betul situasi yang terjadi menghela nafas kasar. Tangan kirinya masih menggenggam erat foto Bundanya.
"Apa Bunda sudah ditemukan?" tanyanya dengan pertanyaan berbeda membuat Ryan menghentikan kegiatannya. Ia mengembuskan napas berat.
"Apa kau tidak dengar apa yang ayah ucapkan beberapa hari lalu. Polisi masih mencari Bunda, Sienna."
"Apa selama itu?"
"Bertanya sekali lagi, ayah akan tinggalkan kamu dirumah ini. Sendirian." Sienna diam sesaat. Lalu matanya bergerak pada sosok pengasuh yamg berdiri dekat jendela.
"Bibi, apa yang ayah bilang barusan itu benar? Kenapa harus pindah? Kalau kita pergi dari rumah, Bunda pasti mencari Sienna nanti."
Satu tahun sudah berlalu dan apa yang tengah terjadi di malam mereka pergi ke pasar malam sungguh Sienna tidak ingat. Bahkan sejak ia dirawat di rumah sakit selama beberapa bulan, Sienna justru divonis mengalami lupa ingatan jangka pendek. Gadis itu terus saja mengajukan pertanyaan yang sama setiap hari. Sienna juga sering keluar masuk rumah sakit karena sesuatu terjadi dalam kepalanya.
Entah apa yang terjadi, yang jelas keluar dari rumah sakit, Sienna kehilangan sebagian memorinya. Bahkan Ryan yang tidak menyangka anaknya itu akan mengalami hal seperti itu justru mengarang cerita bahwa Laura sedang ada di luar negeri untuk urusan kerja. Ryan tidak mengatakan apapun, bahkan kejadian sebenarnya. Sedangkan Bibi Grace yang mendengar ucapan Sienna barusan lantas berjongkok, mensejajarkan tingginya di hadapan anak itu.
"Tidak, Non. Bunda tidak akan khawatir selama non ikut dengan ayah. Bunda non baik-baik saja. Seperti ayah bilang tadi Bunda lagi ada kerjaan di luar negeri."
"Benarkah?"
Bibi Grace mengangguk ringan dengan raut wajah tidak bisa terbaca hanya menghela napas gusar. Mau bagaimana lagi, jika jujur ia bisa dipecat dari pekerjaannya.
Sekarang Sienna dan Bibi Grace keluar dari kamar menuju ruang tamu. Disana, ayahnya masih sibuk dengan pakaian milik Sienna yang masih tertinggal. Lima koper besar sudah berjejer rapi di teras rumah.
"Sienna?"
Suara dari ambang pintu rumah yang terbuka lebar membuat Sienna menoleh. Ryan yang kebetulan selesai dengan aktivitasnya juga ikut melihat ke arah pintu. Disana, seorang anak laki-laki berjalan pelan-pelan mendekati Sienna.
"Sienna..." ucap anak laki-laki sedikit lebih tinggi dari Sienna. Berkulit putih dan berlesung pipi. Ia berhenti tepat di hadapan Sienna.
"Kamu akan pindah? Kemana kamu akan pergi?"
Anak laki-laki seumuran dengannya berjalan pelan-pelan kearah dimana Sienna berada. Sienna yang terkejut dengan keberadaan anak laki-laki itu spontan melangkah dan memeluknya erat. Keduanya saling berpelukan.
"Katamu kau tidak akan pergi kemanapun. Kau sudah berjanji. Kau ingat janji kita 'kan?"
Sienna melepas pelukannya, meraih tangan anak itu dan mulai berbicara.
"Aku tidak akan pergi jauh, Kak. Aku akan ikut dengan ayah. Nanti aku akan kembali lagi kemari. Kita bisa bermain seperti biasanya," kata Sienna dengan nada lembut. Anak laki-laki itu pun tiba-tiba menangis dan memeluk Sienna dengan erat.
"Kau harus berjanji untuk datang kembali. Aku akan menunggumu, tapi jika tidak, aku akan kesana menemui mu bersama ayah dan Bunda. Kita sudah berjanji tidak akan saling meninggalkan."
"Aku janji, jadi jangan menangis lagi. Kita pasti bertemu lagi."
Sienna mengusap air mata yang jatuh di pipi anak laki-laki itu kemudian tersenyum dengan lembut.
"Titip barang-barang milik Sienna ya. Nanti kalau aku kembali, aku akan ambil semuanya. Jangan sampai hilang loh. Kalau hilang kamu harus ganti." Anak laki-laki itu tersenyum dan kembali memeluk Sienna dengan erat tuk terakhir kalinya.
"Sienna. Ayo cepat kita harus pergi sekarang," seru Ayahnya menggeret dua koper besar ke luar dari rumah.
Tiga van hitam sudah menunggu di luar. Bibi Grace berdiri di dekat Sienna dan meraih tangan anak itu, menuntunnya keluar dan berlalu dari hadapan anak laki-laki disana. Pandangan mata anak itu tidak lepas menatap punggung Sienna yang keluar dari rumah.
"Sienna..."
Panggilan terakhir dari anak kecil dibelakang begitu jelas terdengar tapi Sienna menghiraukan suara itu dan terus keluar dari rumah. Belum sempat Sienna masuk dalam mobil, kedatangan Helena membuat genggaman tangan Sienna terlepas dari tangan Bibi Grace. Ia terkejut begitu juga dengan Ryan.
"Tante..." ujar Sienna begitu ia melihat Tante nya berdiri di sampingnya sambil menggenggam tangannya.
"Kau tidak bisa membawa Sienna pergi, Ryan! Dia akan ikut bersamaku!" ucap Helena dengan lantang. Bibi Grace bahkan anak laki-laki yang masih berada disana menatap dengan dahi berkerut.
Helena menarik Sienna untuk berada di belakangnya. Ia semakin menguatkan genggamannya. Sienna mendongak menatap wajah Helena, saudara Bundanya.
"Tante? Tante mau ikut juga dengan Sienna, ya? Kata Ayah tadi kita akan pindah ke Bandung. Disana—"
"Sienna!" Ryan berseru keras ketika Sienna mengatakan yang tidak seharusnya pada wanita itu.
Sementara Helena justru menatap keponakannya itu dengan mata berair. Ia menunduk sedikit mendekatkan dirinya lalu menangkup kedua pipi Sienna lembut.
"Kamu tinggal sama Tante saja ya. Jangan ikut dengan ayahmu. Sienna mau kan tinggal sama Tante?"
"Sienna mau, Tan, tapi ayah..."
"Helena, hentikan!" ucap Ryan lantang.
"Jangan ikut campur!" balas Helena cepat membuat Sienna mengerutkan dahi sambil menatap ayah dan Tantenya bergantian.
"Ikut dengan Tante saja ya sayang..."
Helena mengusap lembut pipi Sienna berharap anak malang itu mau mengiyakan permintaannya.
"Sienna mau ke Bandung Tante. Sienna mau ketemu Bunda disana. Ayah bilang bulan depan Bunda akan kembali. Bunda sudah lama pergi dan Sienna rindu sama Bunda. Kalau Sienna terus disini, Sienna gak akan bisa ketemu Bunda."
Bunda kamu sudah tiada, lanjut Helena dalam hati.
"Lepaskan tanganmu!"
Ryan datang dan tampak tidak senang melihat kehadiran Helena yang mencoba mendekati Sienna. Ryan dengan cepat menarik Sienna ke belakang tubuhnya dan memberi kode pada Bibi Grace untuk membawa Sienna masuk dalam mobil. Melihat sikap Ryan yang arogan-- tidak senang melihat kedatangannya, segera Helena berdiri tegak dan menatap tajam manik mata pria tersebut.
"Kali ini apa lagi yang akan kau rencanakan? Kau membawa Sienna tanpa sepengetahuan kami semua?" kelakar Helena.
Sienna masuk dan mobil langsung di kunci dari dalam. Wanita itu langsung menggeram kesal dengan apa yang terjadi. Kembali tatapan mereka bertemu.
"Demi kebahagiaanmu sendiri kau rela melakukan itu pada keluargaku? Saya Tante nya punya hak atas Sienna. Jadi tinggalkan Sienna dan kau—terserah apapun yang akan kau lakukan disana."
Ryan berdecak pelan. "Kalau kau bisa meyakinkan Sienna untuk tetap tinggal disini, lakukan saja. Kau hanya perlu tahu, Sienna akan tetap pergi seperti yang sudah kau dengar baru saja."
"Kau—sungguh, kau benar-benar merencanakan semua ini. Saya tidak habis pikir padamu."
"Kau bersekongkol dengan preman-preman itu untuk membuat Laura meninggal. Aku tau kau sudah mengatur semua ini hanya untuk merebut perusahaan milik Laura agar semuanya bisa menjadi atas namamu dan kau bisa menikah dengan wanita simpananmu itu. Aku benar, kan?"
"Apa yang kau katakan? Kau berpikir aku menikah dengan Laura karena apa yang adikmu itu miliki? Aku mencint—"
"Omong kosong semua itu, Ryan! Kau tidak pernah mencintai Laura! Sedikitpun kau tidak pernah mencintai adik ku itu!" pekik Helena memotong ucapan Ryan.
"Laura melihat semua yang kau perbuat selama lima tahun belakangan ini. Adikku bukan wanita bodoh seperti kau ini! Pria yang cuman modal batang saja untuk mempermainkan rumah tangganya."
Ryan menegang. Ia tidak menyangka kalau kakak iparnya itu akan berkata sarkas kepadanya.
"Laura wanita berpendidikan dan kau berhasil merencanakan semua ini demi bisa bersama wanita yang jadi selingkuhanmu. Apa kau tidak takut dengan karma mu? Bertahun-tahun kau melakukan ini semua di belakang Laura dan berani mengotori rumah tanggamu sendiri demi perempuan jalang seperti itu?! Apa kau tidak memikirkan bagaimana suatu saat Sienna beranjak dewasa? Kau tidak berpikiran demikian?"
"Apa yang akan terjadi jika aku mengatakan semua kebenaran ini pada putrimu? Apa Sienna akan menganggap mu sebagai ayahnya? Kurasa tidak. Kau tidak lebih dari seorang pembunuh! Seorang ayah yang tega menghabisi istrinya sendiri demi bisa hidup dengan wanita selingkuhannya!"
Ryan mengepalkan tangannya. Ia tidak habis pikir saudari istrinya itu bisa beringas dan berkata seenaknya padanya.
Sementara Helena bergerak ke arah mobil. Menggedor pintu mobil berulang kali dan membuat Sienna di dalam mobil terus bertanya-tanya.
"Buka pintunya, Bibi Grace! Sienna tidak boleh pergi dengan ayahnya. Bukaaa!!!"
Sienna terus-terusan menatap pantulan diri Tantenya lewat kaca jendela.
"Bibi, kenapa Tante Helena begitu marah?"
Sienna menatap Bibi Grace. Wanita yang duduk bersama Sienna hanya bisa menggelengkan kepalanya.
"Buka pintunya!!" Helena dengan tangan terkepal terus saja memukul kaca mobil.
"Pergi kau!"
Ryan menarik dan mendorong kasar tubuh Helena hingga jatuh tersungkur di lantai marmer. Anak laki-laki yang masih disana, melihat semua itu segera menghampiri Helena.
"Tante tidak apa-apa?" ucapnya pelan. Helena menoleh.
"Tidak apa-apa Sayang," jawabnya sambil berdiri kembali. Helena menatap Ryan yang bersiap membuka pintu kemudi.
"Jika kau masih menginginkan Sienna kembali, jagalah sikapmu ini. Sampai kau berani melakukan yang tidak-tidak Sienna akan dalam bahaya. Kau mengerti!"
Anak yang berdiri di dekat Helena tampak terkejut begitu pun dengan Helena. Wanita itu menggelengkan kepala berharap Sienna tidak bernasib sama seperti ibunya. Setelah mengatakan itu, Ryan langsung masuk ke dalam mobil. Kemudian dua mobil di belakang mengikut keluar dari pekarangan rumah besar itu.
"Sialan kau, Ryan!"
"Sienna, maafin Tante Sayang."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!