NovelToon NovelToon

DENDAM LAURA, Istri Yang Tersakiti

Satu garis merah

Seorang wanita cantik berumur 28 tahun terlihat tengah mendudukkan tubuhnya di kolset duduk. Wajah cemas terlihat jelas tengah melanda dirinya bahkan jari-jari kukunya ia jadikan sebagai pelampiasan kecemasan yang tengah ia rasakan. Jantungnya berdegup kencang menunggu hasil dari benda pipi yang sengaja ia letakkan di atas wastafel. Terlebih mengingat jika di luar kamar mandi yang ia tempati, ada dua orang tengah menunggu di sana.

Laura Sabrina Puti, dialah wanita yang tengah berada di dalam kamar mandi itu.

Tatapan matanya kini beralih menatap kearah ponsel yang tengah ia genggam. Sudah 10 menit dia berada di dalam sana yang artinya benda pipih yang sedari tadi ia tunggu, hasilnya pasti sudah keluar.

Laura menghela nafas panjang beberapa kali agar ia merasa sedikit tenang.

"Huft, jangan takut Laura. Yakinlah jika hasilnya tidak akan sama dengan yang sebelum-sebelumnya. Ya, kali ini aku sangat yakin jika hasilnya akan membuatku puas," gumam Laura menyemangati dirinya sendiri. Padahal sebenarnya ia sendiri juga tidak yakin atas ucapannya tadi.

Untuk kesekian kalinya, helaan nafas terdengar sebelum akhirnya Laura berdiri dari posisi duduknya. Dengan kaki yang rasanya seperti jeli, ia melangkah, mendekati wastafel yang diatasnya terdapat tiga benda pipih yang sedari tadi membuatnya cemas. Ketika dirinya telah sampai di depan wastafel, tangan bergetarnya meraih salah satu benda pipih atau bisa di bilang test pack yang sengaja ia letakkan dalam posisi terbalik.

Saat tangannya sudah memegang test pack itu, refleks mata Laura terpejam kala ia mulai membalikkan alat tes kehamilan itu.

"Bismillahirrahmanirrahim ya Allah hasilnya positif," batin Laura di dalam hatinya.

Perlahan mata Laura, ia buka kembali. Tatapan matanya pun langsung tertuju kearah benda pipih tersebut. Seketika saat ia melihat hasil yang terpampang jelas di dalam tes kehamilan tersebut membuat matanya memanas, ingin menangis saat itu juga.

"Tidak. Alat ini pasti rusak. Ya, ini pasti rusak." Laura meletakkan kembali alat test pack tadi, lalu dengan gerakan cepat dirinya mengambil dua test pack lainnya dengan harapan benda itu menunjukkan hasil yang berbeda dari hasil yang ia dapatkan di test pack yang pertama.

Namun sayang seribu sayang, harapannya tak terwujud. Dua test pack itu menunjukkan hasil yang sama persis yaitu garis satu, menandakan jika dia tidak sedang mengandung. Luruh sudah pertahanan Laura, kakinya yang terasa seperti jeli tak bisa menopang tubuhnya kembali sehingga ia kini terduduk di lantai dingin kamar mandi dengan air mata yang sudah membasahi pipinya.

Pikirannya saat ini semakin berkelana dengan ketakutan yang menjalar di dalam dirinya.

Gedoran kencang dari pintu kamar mandi membuat lamunan Laura buyar seketika. Kepalanya yang sedari tadi menunduk kini terangkat menatap kearah pintu kamar mandi sepenuhnya. Sampai ia mendengar suara keras dari luar kamar mandi, dan ia sangat tau betul siapa pemilik suara itu.

"Laura! Kenapa kamu lama sekali di dalam? Cepat keluar dan perlihatkan hasilnya ke kita!"

Laura memejamkan matanya sesaat. Jujur ia sebenarnya sangat takut jika harus keluar sekarang karena saat ia keluar dan memperlihatkan hasil yang tidak sesuai dengan keinginan mereka semua, pasti ia akan mendengarkan perkataan yang sangat menyakiti hatinya.

"Sialan anak ini! Kamu tuli atau gimana sih! Keluar sekarang!" Teriakan dengan nada penuh emosi itu kembali masuk kedalam indra pendengaran Laura.

"Iya, Ma. Tunggu sebentar!" Balas Laura sembari berdiri dan menghapus air matanya tadi. Ya, suara lantang yang sedari tadi meneriaki dirinya adalah suara dari sang ibu mertua.

Saat sudah berdiri tegak, dengan takut-takut Laura melangkahkan kakinya mendekati pintu kamar mandi tersebut, tangannya yang masih bergetar pun kini terulur, memutar kenop pintu yang rasanya sangat berat untuk ia buka sekarang.

Saat pintu itu baru saja ia buka sedikit, dorongan kuat dari luar membuat tubuhnya terdorong ke belakang tapi syukurnya ia tak sampai terjatuh.

"Ck, lelet sekali hanya buka pintu saja seperti buka gerbang besi," semprot Beti, ibu mertua Laura.

Laura yang mendapat Omelan dari sang mertua hanya bisa menundukkan kepalanya sembari berkata, "Maaf Ma."

Beti memutar bola matanya malas. Mengabaikan ucapan maaf dari sang menantu, Beti langsung saja menodongkan tangannya kearah Laura.

"Mana hasilnya?" Pintanya yang membuat Laura menggigit bibir bawahnya.

"Mana hasilnya, Laura!" Bentak Beti tak sabaran.

"Itu Ma, anu, hasilnya---"

"Apa negatif lagi!" Teriakan nyaring yang berasal dari belakang tubuh Laura memutus ucapan dari wanita 28 tahun itu. Bahkan teriakan itu mengundang Beti untuk mendekat kearah sumber suara. Sedangkan Laura, ia semakin menundukkan kepalanya. Takut akan kemarahan dua orang yang ada di belakangnya saat ini.

Beti yang telah berada di samping sang putra yang juga merupakan suami Laura, ia dengan cepat merebut test pack yang berada di tangan Julio Arkana Kail. Ia mengeram saat melihat hanya ada satu garis yang ada di dalam test pack tersebut. Tatapan tajam pun langsung ia berikan kearah Laura yang masih setia berdiri di tempatnya semula.

Dengan langkah lebarnya, Beti kembali mendekati Laura. Melempar alat test pack berbentuk digital itu tepat di kepala Laura.

Laura hanya bisa memejamkan matanya kala ia merasakan benda itu mendarat di kepalanya. Terasa sakit karena Beti melempar test pack itu dengan kekuatan penuh. Tapi Laura mana bisa melawan, ia tetap diam, menerima semua yang di lakukan oleh ibu mertuanya.

"Sampai kapan kamu mau memberikan seorang keturunan untuk suami kamu hah?! Lima tahun, lima tahun usia pernikahan kalian tapi sampai sekarang tidak ada tanda-tanda jika kamu hamil! Saya jadi curiga hasil pemeriksaan tentang kesehatan reproduksi kamu itu salah besar, atau malah kamu membayar dokter itu untuk memalsukan hasil pemeriksaan kamu! Padahal kamu sebenarnya wanita mandul, wanita yang sama sekali tidak akan pernah bisa mengandung! Iya kan?! Jawab!" ucap Beti masih dengan nada tinggi yang menggema di dalam kamar mandi itu sampai-sampai suaranya terdengar hingga keluar rumah.

Laura yang dituduhkan tentu saja menggelengkan kepalanya. Bahkan kepalanya yang sedari tadi ia tundukkan kini ia angkat dengan air mata yang kembali membasahi pipinya.

"Tidak Ma. Aku tidak memalsukan hasil pemeriksaan medisku. Semua hasil itu memang benar adanya," balas Laura.

"Halah! Mana ada pembohong yang mengaku atas tindakannya sendiri! Kalau mandul ya mandul saja! Dasar, kalau tau begini saya dulu tidak akan pernah mensetujui putra saya menikah dengan kamu, perempuan miskin yang tidak bisa memberikan keturunan sama sekali untuk putra saya!"

"Ma, aku---" ucapan Laura kembali harus terpotong kala suara seseorang yang berada di belakangnya tiba-tiba menyatu.

"Benar apa yang di katakan Mama. Tidak mungkin seorang pembohong mengakui aksinya sendiri," ujar Julio yang berjalan mendekati kedua perempuan berbeda usia itu. Tatapan tajam pun ia berikan kepada sang istri kala dirinya telah berdiri di depan ibunya.

"Dan bukan hanya Mama saja yang merasa menyesal tapi Julio juga menyesal telah menikahi wanita mandul seperti dia!" Jari telunjuk Julio mengarah tepat ke wajah Laura yang semakin deras air matanya mengalir.

"Wanita yang tidak pernah memberiku keuntungan sama sekali tapi malah menambah beban, cih." Julio meludah tepat di wajah Laura.

"Dasar wanita mandul dan wanita beban!" ucap Julio dengan entengnya tanpa memperdulikan perasaan istrinya yang tentunya sakit hati mendengar cemooh keluar dari bibir suaminya sendiri.

Dan setelah mengatakan hal tadi, Julio langsung pergi dari dalam kamar mandi tersebut.

Sepeninggalan Julio, mata Beti bergulir menatap kearah Laura kembali setelah ia tak bisa menatap punggung sang putra. Ia menatap tubuh menantunya yang kepalanya kembali tertunduk itu dari atas sampai bawah. Senyum jijik pun kini ia berikan kepada Laura sembari ia berkata, "Wanita modelan seperti kamu ini memang hanya merepotkan saja bisanya dan memang tidak cocok jika bersanding dengan putra saya sekaligus menantu di keluarga Kail. Wanita seperti kamu ini hanya cocok dijadikan pembantu di rumah ini! Dasar wanita mandul, tidak tau diri! Enyah saja dari dunia ini karena dunia ini tidak butuh wanita mandul seperti kamu. Sangat memuakkan!"

Beti memukul kepala Laura dengan kipas kayu di tangannya cukup keras hingga berhasil membuat Laura diam-diam meringis merasakan sakit di kepalanya itu. Lalu setelah mengatakan ucapan-ucapan pedas yang ia berikan kepada Laura, Beti pergi menyusul kepergian sang putra guna untuk menenangkan Julio yang ia yakini laki-laki itu tengah bersedih dan semua itu di sebabkan oleh Laura yang tak kunjung hamil.

Kepergian dari dua orang tadi, meninggalkan Laura sendirian di temani dengan tangis pilu yang terdengar begitu menyakitkan.

...****************...

Ee yo, selamat datang dicerita terbaruku. Happy reading yes, jangan lupa tinggalkan jejak LIKE, KOMEN, HADIAHNYA juga jangan lupa! Happy reading kesayangan ❤️ semoga kalian suka ya, love you sekebon ❤️ see you next eps bye 👋

Hutang

Seolah tak pernah terjadi sesuatu sebelumnya, di pagi harinya sepasang ibu dan anak tampak bercanda gurau di meja makan sembari menunggu sarapan mereka selesai di siapkan. Sungguh tak ada raut wajah sesal dari dua orang yang kemarin sempat melontarkan kata-kata hina kepada sosok perempuan yang saat ini tengah menatap sedih kearah dua orang itu. Rasa sesak pun mendera hingga memenuhi rongga hatinya saat ini.

Suara menggelegar yang memanggil namanya menyadarkan Laura dari keterdiamannya.

"Laura! Mana sarapan kita!" Teriak itu kembali terdengar. Laura buru-buru beranjak dengan sepiring besar nasi goreng di tangannya.

Tatapan nyalang menyorot dirinya kala ia baru saja sampai di ruang makan. Laura tak berani membalas tatapan mata itu dan dirinya memilih untuk menundukkan kepalanya setelah menaruh nasi goreng di hadapan ibu mertuanya serta suaminya.

"Hanya nasi goreng? Apa kamu bercanda Laura?!" Bentak ibu mertuanya yang berhasil membuat Laura terperanjat kaget.

"Maaf Ma, sayuran dan bahan-bahan lainnya sudah habis dan hanya tersisa dua telur saja. Laura kemarin berniat untuk belanja tapi Laura tidak memiliki uang sepeserpun," ujar Laura dengan takut-takut.

"Tidak punya uang? Bukannya satu minggu yang lalu kamu diberi uang 200 ribu oleh putraku? Jadi kamu kemanakan uang-uang itu? Jangan bilang kamu gunakan untuk membeli keperluan kamu sendiri! Iya kan? Kamu hambur-hamburkan uang itu! Ngaku kamu!" Tuduh Beti yang tentu saja dibalas gelengan kepala oleh Laura.

"Tidak Ma, Laura sama sekali tidak menghambur-hamburkan uang pemberian mas Julio. Tapi karena bahan makanan saat ini terjadi kelonjakan harga," bantah Laura namun masih dengan nada lembut. Sungguh, Laura tidak pernah melakukan hal itu. Bagaimana ia bisa menghambur-hamburkan uang milik suaminya jika dirinya saja hanya diberi nafkah 200 ribu setiap 1 bulan sekali dan uang itu ia gunakan untuk keperluan rumah? Boro-boro mau belanja keperluan dirinya sendiri, jika untuk makan saja ia harus putar otak agar bahan makanan yang dia beli cukup untuk stok selama satu bulan penuh. Dulu Laura pernah berpikir jika ia menikah dengan orang kaya ia akan di manjakan oleh suaminya, namun kenyataan tak seindah yang dia bayangkan. Bukannya hidupnya akan enak setelah menikah dengan Julio yang notabenenya seorang pembisnis, justru hidupnya semakin miris karena ia menikah hanya di jadikan sebagai pembantu tanpa di gaji.

Dulu memang ia pernah dimanjakan oleh suaminya bahkan ibu mertuanya pun bersikap baik kepadanya tapi itu hanya berlaku selama satu tahun usia pernikahan mereka. Dan saat ia belum juga mengandung sampai sekarang, sikap mereka berubah 180° dari sebelumnya. Sampai-sampai Laura pernah berpikir, Julio menikahi dirinya karena cinta atau hanya karena menginginkan keturunan saja alias Laura dijadikan alat penghasil bayi untuk suaminya? Namun pemikiran itu tentu saja langsung di tampik oleh Laura, ia kekeuh jika Julio menikahi dirinya atas dasar cinta dan laki-laki itu berubah karena merasa kesal serta marah saat ia tak kunjung bisa merubah statusnya menjadi seorang ayah.

"Halah alasan saja kamu! Kalau orang boros dan licik ya ngaku saja, tidak perlu berkilah di depan saya karena saya tau tabiat kamu. Dan sekarang saya tidak mau tau, kamu harus menyediakan ayam goreng di atas meja ini sekarang juga dan segera singkirkan nasi gorengmu itu!" Perintah Beti tak terbantahkan.

"Jangan membantah perintah Mama! Lakukan apa yang Mama mau. Pergi sekarang!" Usir Julio kala melihat Laura ingin menimpali ucapan dari sang Mama.

"Tapi mas---"

"Apa?! Mau membantah kamu! Saya bilang pergi sekarang! Saya tidak perduli kamu mau beli permintaan Mama pakai uang apa, yang jelas saya tidak akan memberikanmu uang hingga bulan depan!" Tegas Julio.

Laura, dia bergegas membawa kembali masakannya tadi ke dapur saat melihat tatapan tajam sang suami. Sungguh ia sangat benci situasi ini. Dia ingin sekali melawan tapi rasa takut yang melanda dirinya lebih besar sehingga mengurungkan niatnya.

"Aku harus hutang ke siapa lagi? Ya Tuhan kenapa hidupku sekarang seperti ini?" Gumam Laura dengan berjalan menuju keluar rumah berlantai dua itu. Ia harus putar otak untuk mendapatkan pinjaman guna menuruti kemauan sang ibu mertua dan suaminya. Tapi kemana ia harus meminjam uang? Apakah ke tetangganya lagi? Sepertinya memang hanya tetangganya yang bisa ia mintai pertolongan.

Kebetulan saat itu, terlihat beberapa asisten rumah tangga yang tengah berkumpul untuk menunggu pedagang sayur lewat.

Dengan senyum terbaiknya, Laura mendekati lima art yang berada tak jauh dari depan rumahnya. Tapi kala ia mendekati mereka, terlihat jelas dari tatapan kelima orang tersebut, empat diantaranya menatap dirinya dengan sinis. Dan baru saja ia sampai, Laura langsung di sambut ucapan pedas dari salah satu art tadi.

"Ngapain kesini? Mau pinjam duit lagi? Kalau tujuannya hanya itu, lebih baik kamu pergi, kita tidak ada yang mau meminjamkan duit kita untuk kamu. Yang kemarin saja belum di lunasi, sekarang malah berniat pinjam lagi. Mana setiap kali di tagih alasannya tidak punya uang. Padahal katanya istri orang kaya, tapi hutang kok dimana-mana," sindir perempuan berambut keriting itu.

"Mungkin suaminya bangkrut kali," timpal art dengan rambut yang di ikat kuda

"Mana ada bangkrut, perusahaan pak Julio masih kokoh berdiri tuh. Malah saya dengar-dengar semakin sukses, jadi tidak mungkin beliau itu kekurangan uang. Atau jangan-jangan mbak Laura ini tidak dianggap sebagai istri lagi oleh pak Julio? Tapi kalau dilihat-lihat memang seperti itu sih. Lagian mana ada seorang istri pembisnis terkenal dibiarkan berpenampilan jauh lebih rendah dari seorang art seperti kita-kita ini. Dari wajahnya pun juga kusam banget, terlihat jelas jika tidak pernah perawatan. Duh mbak kok kasihan banget sih kamu," timpal art dengan rambut yang di gulung.

Laura yang mendapat celaan itu hanya bisa tersenyum pedih. Ia tak akan menyangkal setiap perkataan dari para art di depannya saat ini karena apa yang mereka katakan adalah suatu kebenaran.

"Kalian ini jangan bicara sembarangan seperti itu, tidak sopan," ucap art yang memakai kerudung.

"Kita hanya bi---"

"Tidak apa-apa kok mbak Janah karena apa yang mereka katakan memang benar adanya. Dan apa yang dikatakan mbak Nur tadi juga benar jika tujuan saya kesini ingin meminjam uang ke para mbak sekalian. Tapi jika kalian tidak memilikinya, tidak apa-apa saya akan mencari pinjaman ke orang lain. Dan untuk masalah hutang saya ke kalian, maaf untuk saat ini saya benar-benar tidak memiliki uang sepeserpun. Saya harap kalian bisa berkenan untuk memberikan saya waktu lebih lama lagi untuk melunasi hutang-hutang saya. Kalau begitu saya permisi, mari mbak," ujar Laura masih dengan nada bicara yang sangat ramah. Lalu setelahnya, ia berlari menjauhi kelima art tadi tanpa menghiraukan teriakan dari mbak Janah yang terlihat ingin sekali membantunya. Tapi sebelum ia mengatakan ingin membantu, Laura lebih dulu pergi tanpa mendengar lagi ucapan mereka.

Sedangkan Laura, ia menelusuri jalanan dengan sesekali menghapus air matanya dengan kasar.

"Aku benci menjadi lemah! Aku benci air mata ini! Dan aku benci semua yang terjadi kepadaku! Aku benci takdirku, hiks! Aku benci, aku benci, aku benci diriku sendiri!" Ucap Laura dengan salah satu tangannya terkepal erat. Sungguh ia benci dengan kelemahan di dalam dirinya yang tak bisa melawan ketika suaminya, ibu mertuanya bahkan orang lain menindas dirinya sendiri.

Maikel

Helaan nafas berulang kali Laura lakukan saat tak ada satupun orang yang mau membantu dirinya. Bahkan saat dirinya telah sampai di pasar pun tak ada para pedagang yang mau dagangannya Laura hutangi dengan berbagai alasan yang mereka berikan bahkan tak segan-segan mereka mengusir Laura dengan tindakan yang cukup kasar.

"Ya Tuhan, mau cari dimana lagi?" gumam Laura terus berjalan tanpa arah. Ia tak akan pulang sebelum dirinya mendapatkan apa yang diinginkan oleh ibu mertuanya jika ia tak ingin terkena amukan dari wanita paruh baya itu.

Mata Laura seketika berbinar saat ia melihat tak jauh dari tempatnya berdiri saat ini terdapat penjual ayam goreng. Bergegas Laura mendekati penjual itu.

"Permisi," ucap Laura saat dirinya telah sampai di depan penjual.

Dua penjual yang awalnya sibuk dengan dagangannya, kompak mereka mengalihkan pandangannya kearah Laura yang masih mempertahankan senyumannya. Keduanya tampak memandang Laura dari atas sampai bawah.

"Maaf saat ini di kedai kami tidak mengadakan pembagian makanan gratis. Jadi lebih baik anda cari di tempat lain saja."

Tunggu, apa maksud dari perkataan salah satu pedagang itu? Apakah mereka menganggap Laura ini seorang pengemis? Tapi jika di lihat-lihat memang penampilan Laura yang sangat lusuh dengan peluh yang membasahi wajahnya bahkan tubuhnya, sangat persis seperti seorang pengemis.

Namun segera Laura menggelengkan kepalanya.

"Tapi saya tidak ingin meminta makanan anda. Niat saya kesini untuk membeli ayam goreng disini. Ta---tapi untuk saat ini saya belum memiliki uang. Saya berniat hutang terlebih dahulu, nanti jika saya sudah memilki uang akan saya bayar," jelas Laura, berharap kedua pedagang itu memiliki rasa iba kepada dirinya sehingga keduanya mau menghutangi dirinya. Namun sepertinya harapannya harus terpatahkan ketika salah satu pedagang kembali bersuara.

"Ck, sama saja itu namanya kamu mau makan gratis. Dan saya tegaskan jika di kedai ini tidak melayani orang yang ingin melakukan hutang piutang. Jadi kamu pergi saja sana, jangan ganggu kita yang lagi sibuk, jika tidak mau pergi, maka saya sendiri yang menyeret kamu untuk menjauh dari kedai ini." Laura dengan cepat menggelengkan kepalanya.

"Tidak, tidak perlu, saya bisa pergi sendiri. Kalau begitu maaf karena saya sudah mengganggu kalian. Permisi," pamit Laura masih saja dengan nada lembut padahal dirinya telah diperlakukan kurang mengenakan oleh para pedagang itu.

Luara kembali berjalan loyo menyusuri jalan menuju rumah keluarga Kail. Tak ada pilihan lain selain menyerah toh semua usaha telah ia lakukan tapi hasilnya tak sesuai dengan apa yang ia inginkan. Tak apa jika tubuhnya nanti menjadi samsak hidup bagi ibu mertuanya, ia akan terima karena memang dirinya tidak becus melakukan perintah dari ibu mertuanya serta suaminya.

Disisi lain, tepatnya di dalam sebuah mobil BMW, terlihat seorang laki-laki tengah duduk di kursi penumpang sembari menikmati secangkir kopi di tangannya. Laki-laki itu terlihat sangat gagah dan tampan walaupun usianya telah memasuki kepala empat. Mata tajamnya pun mengedar, menatap deretan bangunan gedung tinggi yang menghiasi pinggir jalan ibu kota. Awalnya didalam mobil itu hanya ada kesunyian, sampai suara sopir pribadinya terdengar, sangat kecil memang namun telinga tajam milik laki-laki itu mampu menangkap suara tersebut.

"Bukannya itu nona Laura? Iya tidak sih? Apa hanya mataku saja yang salah lihat." Gumaman itu seketika mengambil seluruh atensi pria berusia 43 tahun itu. Matanya kembali ia edarkan mencari sosok yang telah disebutkan namanya oleh sang sopir. Seketika matanya memincing saat melihat seorang perempuan dengan daster selututnya tengah berjalan dengan kepala yang tertunduk. Ia harus memastikan orang itu memang benar Laura atau bukan.

"Berhenti!" perintah laki-laki tersebut yang dengan seketika membuat sang sopir pribadi menghentikan mobilnya secara mendadak.

"Astaga, tu--- ehh kok sudah tidak ada," tutur sopir tersebut. Padahal baru saja ia ingin protes namun sang majikan sudah lebih dulu keluar dari mobil itu. Dan saat ia menolehkan kepalanya, ia baru tau tujuan tuannya menyuruh dirinya berhenti secara mendadak dan keluar dengan cara tergesa-gesa tadi.

"Haishhh, dasar tuan Maikel," gerutu sang sopir dengan gelengan kepalanya.

Sedangkan di tempat Laura berada saat ini, ia diam-diam menangis, meratapi nasib yang tengah terjadi kepadanya dan juga meratapi nasib yang nantinya akan terjadi. Ia bahkan sudah membayangkan bagian tubuh mana saja yang nantinya akan terluka. Saat Laura tengah berperang dengan pikirannya sendiri, dirinya di kejutkan dengan tarikan kuat di lengannya hingga membuat tubuhnya menghadap sepenuhnya ke belakang. Tak hanya sampai disitu saja, keterkejutan itu kembali terjadi saat mata Laura bertemu dengan tatapan tajam milik laki-laki paruh baya dihadapannya.

"Apa yang sedang kamu lakukan disini?!" pertanyaan penuh dengan nada tegas itu seolah mendengung di telinga Laura, hingga membuat Laura kesusahan hanya untuk sekedar menelan salivanya.

"Saya tanya sekali lagi, apa yang sedang kamu lakukan disini, Laura?! Jawab?!" Terlihat jelas dari wajah laki-laki itu jika dia tengah marah kepada Laura. Laura juga tidak tau kesalahan apa yang telah ia perbuat kepada laki-laki itu sehingga membuatnya marah seperti ini.

Laura tak kuasa lagi menatap mata tajam di hadapannya, ia memilih untuk menundukkan kepalanya.

"Laura!" geram laki-laki itu karena tak kunjung mendapatkan jawaban dari Laura.

Laura sempat terperanjat kaget, dan dengan sisa keberanian yang ia punya, Laura menjawab, "Maafkan Lau---"

"Saya tidak ingin mendengar kata maaf dari mulut kamu, Laura. Saya hanya ingin mendengar jawaban atas pertanyaan yang telah saya berikan kepadamu tadi!" tegasnya. Sungguh Laura tengah takut setengah mati saat ini. Jika ia menjawab apa yang tengah terjadi kepadanya, ia yakin beberapa jam lagi pasti kematian akan menghampiri dirinya. Tapi jika ia tak menjawab pun, pasti ia juga akan mati di tangan laki-laki di hadapannya ini.

"Tuhan, kenapa hamba selalu berhadapan dengan orang-orang menakutkan seperti ini? Dan sekarang apa yang harus hamba lakukan?! Hamba belum siap untuk mati, Tuhan. Tolong bantu hamba," batin Laura menjerit memohon pertolongan.

Maikel yang tak kunjung mendapatkan jawaban itu, terlihat urat-urat dilehernya telah keluar menandakan jika dirinya sudah benar-benar murka. Cengkraman di lengan Laura pun semakin mengencang hingga membuat Laura meringis kesakitan.

"Ikut saya sekarang juga!" Tanpa menunggu persetujuan dari Laura, Maikel menarik kasar Laura agar mau mengikuti dirinya menuju ke mobil pribadinya tanpa memperdulikan Laura yang tengah memberontak, berusaha untuk melepaskan cengkramannya. Namun usaha Laura sia-sia, terbukti mau dengan cara apapun ia ingin melepaskan cengkraman di tangannya, ia tak mampu membebaskan dirinya sendiri sehingga disinilah dia berada, di dalam mobil Maikel dengan laki-laki itu yang duduk disampingnya.

"Jalan!" perintah Maikel tanpa melepaskan cengkraman tangannya dari lengan Laura.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!