Di sebuah Sekolah Dasar Negeri 1 Harapan.
Seorang anak lelaki bernama Diki tengah berpura-pura sakit perut dan berusaha menahan perutnya seolah benar-benar kesakitan.
"Ah, sakit, Bu," ujar Diki merintih.
Di tengah kesibukan di dalam kelas saat pelajaran sudah dimulai. Diki mulai melancarkan kebohongannya.
Bu Dini selaku sebagai guru bergegas menghampiri dan bertanya dengan nada khawatir. "Mana yang sakit? Ayo, kita ke UKS dulu, biar diperiksa dokter disana!"
Diki mengangguk patuh dan berdiri. Sang guru membantunya berjalan sampai ke ruang kesehatan sekolah.
Sesampainya di depan pintu yang sudah terbuka.
"Permisi, Bu!" sapa Bu Dini pada perawat sekolah.
Dengan tersenyum ramah, perawat tersebut menjawab, "Ya, mari masuk!"
Bu Dini lantas membantu Diki untuk duduk, lalu ia pun mulai menjelaskan, "Ini, Bu. Diki sakit perut katanya, jadi saya membawanya kesini, mohon diperiksa sebentar, Bu!"
Perawat itu pun mengangguk. "Baiklah!"
"Kalau begitu saya tinggal dulu, masih ada pelajaran kelas, Bu. Saya titip Diki. Terimakasih!"
"Ya, silahkan. Jangan sungkan!"
Bu Dini lantas pergi meninggalkan mereka berdua.
Sang perawat memandang murid di depannya secara serius lalu bertanya, "Apa yang sakit? Ayo, kita periksa dulu!"
Perawat itu mengajak Diki tidur di sebuah ranjang untuk diperiksa. Dia mengeluarkan alat medisnya untuk mengecek kondisi kesehatan anak lelaki tersebut.
"Coba buka mulut!" ucap perawat tersebut, lalu Diki pun patuh dan membuka mulutnya.
Sang perawat lantas memeriksa detak jantung dan pernapasan Diki menggunakan stetoskopnya.
Wanita tersebut seketika mengerutkan kening, agak heran.
Setelah beberapa detik terdiam, perawat itu mulai bertanya lagi walau agak ragu. "Em... Diki sakit apa?"
Diki menjawab tanpa dosa, "Perut saya sakit, Bu."
Karena seperti tak menemukan titik sakit lelaki kecil tersebut, akhirnya sang perawat hanya mampu memberikan beberapa vitamin padanya.
"Baiklah kalau begitu, Ibu akan memberi Diki vitamin dan harus cepat diminum, setelah itu Diki bisa beristirahat," ucap si perawat sambil memberikan beberapa vitamin dan air putih untuk muridnya.
Setelah meminumnya, Diki kecil mencoba membaringkan tubuhnya di atas kasur yang memang sudah tersedia disana.
"Ibu mau keluar sebentar, kalian bisa istirahat dulu disini," ucap sang perawat, lalu melangkah pergi meninggalkan ruang kesehatan.
Diki memandang sang perawat yang mulai menghilang. Dia pun menghela napas lega, "Huft, syukurlah."
"Hay!" tiba-tiba sebuah sapaan yang entah muncul darimana telah berhasil mengagetkannya.
Diki yang terkejut langsung mencari sumber suara dan membuka gorden samping yang dijadikan sekat untuk ranjang lainnya.
"Kamu?"
Ternyata itu Rachel teman sekelasnya.
Diki yang awalnya sedang tiduran langsung bangun dan duduk.
Rachel yang masih berbaring lemah mulai berkata tanpa ragu, "Sepertinya kamu tidak sedang sakit."
Diki yang takut ada orang lain mendengar langsung mendekat dan menutup mulut rachel. "Hust, kecilkan suaramu!"
Rachel pun mengangguk tanpa suara.
Rachel memandang Diki yang seolah ingin tahu kebenarannya. Dia lalu mulai duduk manis diranjangnya.
Diki yang paham mulai bercerita dengan sedih.
"Hari ini adalah hari ulang tahunku, tapi aku bosan dan sedih, orang tuaku tak pernah ingat hari lahirku."
Diki pernah merasakan meriahnya pesta saat berusia 2 dan 5 tahun. Tapi saat dia mulai memasuki fase sekolah, dan keluarganya juga disibukkan oleh pekerjaan. Hari dimana dia ingin bahagia malah selalu terlupakan.
Diki menjadi sedih. Dia ingin berkumpul bersama keluarganya seperti dulu, tapi itu hanya khayalan yang tak pernah terwujud.
Terkadang dia membeli cake kecil untuk dirinya sendiri dengan satu lilin di atasnya, dan berdoa untuk diri sendiri dan kedua orang tuanya.
Dia selalu mengharapkan hal indah yang bisa diwujudkan bersama orang tuanya.
Rachel yang pengertian langsung mengulurkan tangannya dan berkata dengan wajah manisnya. "Selamat ulang tahun, Diki."
Lelaki kecil itu tertegun sejenak, dan tanpa sadar membalas mengulurkan tangannya. "Terimakasih, Rachel."
Dia tersentuh sekaligus terharu. Hari ini gadis kecil di hadapannya adalah orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun padanya.
Diki yang mulai sadar sesuatu, akhirnya bertanya tentang Rachel.
"Oh iya, kamu sakit apa? Kenapa kamu disini?"
Dengan perasaan sedih, Rachel menundukkan kepalanya dan menjawab, "Mereka memukulku, mereka jahat padaku."
Diki bingung, dia mengerutkan kening dan bertanya, "Siapa?"
Rachel mendongakkan kepalanya menghadap teman di depannya lalu menjawab. "Kamu tidak bisa melihatnya, Diki."
Diki yang masih kecil, dan juga belum paham apapun lalu menyahut dengan nada tegas. "Apa yang tak bisa aku lihat? Dan kenapa aku tak bisa melihatnya?"
Rachel memandangnya tanpa berkedip. Setelah beberapa saat, dengan ragu dia mulai bertanya, "Apa kamu percaya hantu?"
Mata Diki membulat, dia terkejut. Pernyataan ini agak lain menurutnya.
'Apa dia ingin menipuku? Memangnya apa yang tak bisa dilihat jika masih punya mata?' batinnya.
Rachel memahami sesuatu saat menatap raut ketidak-percayaan lelaki kecil di hadapannya, dia lalu menambahkan, "Jika kamu tak percaya, aku bisa menunjukkan sesuatu padamu."
Diki segera turun dari ranjangnya, dan dengan cepat berdiri di depan Rachel yang masih terlihat lemah, "Apa itu? Bagaimana caranya?"
Rachel menundukkan wajahnya dan melihat kalung yang dipakainya.
Kalung itu berbentuk seperti kotak hitam yang terbuat dari kulit, entah apa isi dalamnya?
Hanya saja itu adalah sebuah jimat untuk melindungi dirinya dari bahaya yang bisa mengancam nyawanya.
Rachel dengan sedih bertanya, "Diki, apakah kamu mau jadi temanku?"
Diki terdiam. Entah harus menjawab apa?
Rachel adalah salah satu murid pendiam di kelasnya, kadang dia berteriak sendiri seolah ketakutan.
Dia juga termasuk murid paling aneh di sekolahnya, gadis itu juga tak punya teman bergaul. Semua orang takut padanya, dia merasa sendiri.
Diki masih belum menjawab pertanyaan Rachel.
Rachel berpindah menatap luar jendela, di luar sana banyak anak-anak yang sedang melakukan kegiatan olahraga.
Ada yang berlari, ada juga yang main badminton, beberapa anak lelaki dengan bahagia bermain sepak bola.
Di mata Rachel mereka termasuk anak yang beruntung sedari kecil.
Tapi tidak baginya, dia lelah dengan hidupnya.
Mata Rachel menatap lurus pada anak-anak yang sedang bermain. Dengan mata berkaca-kaca dia pun mengeluh, "Aku juga ingin bermain."
Dia terlihat sangat sedih.
Jika dipandang sekilas dan merasakan mengobrol bersama. Rachel tidak gila, dia sama seperti kawan lain, bahkan dia bisa diajak ngobrol bersama.
Andai dia tidak aneh, mungkin banyak yang mau berteman dengannya.
Dengan rasa kasihan Diki berkata, "Rachel, aku mau jadi teman kamu."
Rachel beralih muka menatap Diki dengan cepat, dengan mata berbinar bahagia dia bertanya lagi seolah memastikan, "Benarkah?"
Diki mengangguk, "Ya."
Namun wajah gadis kecil itu mulai murung kembali, "Tapi aku lelah, Diki."
"Kenapa lagi?"
Rachel memandang Diki lagi dengan air mata yang hampir tumpah. Dia bingung harus bercerita darimana? Ia lelah.
Rachel lalu menjawab dengan suara yang lirih, "Mereka ingin membunuhku."
Dia lalu memegang kalung yang dipakainya dan berkata, "Aku punya kalung ini, jika aku memberikannya padamu, apakah nanti kamu akan meninggalkanku jika kamu melihat sesuatu yang tak seharusnya kamu lihat?"
Diki masih terdiam, dia mencoba mencerna kata-katanya. Dia masih bingung.
Lalu Diki mulai bertanya dengan ragu-ragu. "Apakah jika kamu memberikan kalung ini padaku, aku bisa melihat hantu?"
Rachel diam sejenak, setelah itu menjawab, "Aku tak tahu, hanya saja kamu mungkin akan ketakutan dan meninggalkanku."
"Jika aku tak bisa melihat hantu, lalu untuk apa kamu memberikan kalung ini padaku?" keluh Diki yang mulai kesal, sebab tak bisa menemukan jawaban yang pasti.
Dengan tenang Rachel pun menjawab, "Agar kamu percaya bahwa mereka ada."
Diki terdiam kembali, entah kenapa dia mulai ragu, seolah hatinya berkata untuk menghentikan niatnya.
Rasa ketakutan mulai menjalar keseluruh tubuhnya.
Namun, rasa penasaran juga begitu kuat, sehingga dia ingin sekali membuktikan kebenaran ucapan Rachel.
Diki mengangguk dengan pasti, "Baiklah."
Si kecil manis mulai menatap lagi kalungnya, dia juga ragu dengan keputusannya. Akan tetapi hanya ini cara agar dia bisa mendapatkan seorang teman.
Dengan sedih dia meminta, "Diki, bisakah kamu tidak meninggalkanku?"
Tiba-tiba Rachel mulai berlinang air mata, lalu bertanya lagi untuk menyakinkan dirinya. "Kita teman, kan? Nanti jika kamu melihat aku kesakitan, kamu bisa mengembalikan kembali kalungku."
"Tentu kita teman," jawab Diki tanpa mau berpikir lama.
Dia sudah tak bisa bersabar, apalagi melihat Rachel yang tiba-tiba menangis, jadi membuatnya malah ingin sekali menghindarinya.
Rachel diam kembali, dia juga lelah dengan hidupnya yang sekarang.
Dia tak sanggup melihat ibunya yang hari-hari menangis hanya untuknya.
Entah kelahirannya adalah sebuah anugrah atau sebuah kutukan.
Dia merasa menyesal hidup di dunia yang hanya bisa membuat Ibu yang dia sayangi menangis.
Beberapa menit kemudian, ia mulai bersemangat untuk menyerahkan kalung itu pada sahabatnya.
Rachel menghela napas perlahan seolah sedang berusaha untuk menguatkan hatinya, dan memejamkan matanya yang berarti, bahwa ia telah siap dengan segala konsekuensinya. Lalu dia mulai melepaskan kalungnya dan memberikannya pada Diki.
"ini," ucapnya sambil tersenyum saat memberikan kalung jimatnya. Wajahnya terlihat sangat tegar.
Lalu setelah kalung itu sudah berpindah tangan, tanpa menunggu lama lagi, tubuh Rachel yang tadinya masih dalam posisi duduk langsung tertarik cepat ke belakang dan menabrak tembok di belakangnya hingga terjatuh.
Darah keluar dari sudut bibirnya. Rachel berusaha ingin berdiri namun tak sanggup.
Lalu tiba-tiba badannya seperti kaku, dan tertampar berulang-ulang sampai kedua pipinya mulai memerah.
Darah juga keluar dari hidungnya, semuanya penuh dengan darah termasuk bekas cakaran di tangan dan kaki Rachel yang tiba-tiba muncul dan membekas di kulitnya.
Diki kaget, diam, tubuhnya membeku tanpa bisa bergerak.
Entah apa yang membuatnya seperti itu, tak ada wujud yang bisa dilihatnya.
Tak nampak apa-apa, yang dia tahu sekarang adalah, Rachel sedang terluka.
Dia ingin membantu Rachel namun takut, akhirnya Diki hanya bisa mundur beberapa langkah.
Rachel yang sudah terlihat tak berdaya ambruk seketika itu juga. Napasnya tersengal, matanya sayu, dia juga tak bisa mengucapkan satu patah kata, seperti (tolong).
Sesosok tubuh yang masih mungil dan rapuh, harus menerima hantaman berkali-kali yang akan berakibat melumpuhnya otot dan syarafnya.
Tenggorokan Diki seakan tercekat dan bergumam dengan terbata-bata, "Ra... Rachel."
Rachel kecil yang baru saja ambruk tak sampai semenit tubuhnya tiba-tiba melayang.
Diki melihat penampakan mengejutkan di depan mata, namun dia hanya bisa diam dan mematung di tempat.
Anak umur 7 tahun, apa yang mereka bisa lakukan?
Tubuh Rachel yang tadinya melayang di udara tiba-tiba di hempaskan secara kasar ke bawah hingga berbunyi 'BRUK'.
Seakan bisa mendengar patahan tulang, Diki mulai menangis tanpa sadar. Bibirnya bergetar. Dia hanya bisa berdiri dan melihat.
Ibu perawat yang baru datang sangat terkejut melihat apa yang terjadi di ruangannya.
Sang perawat ingin menolong dan segera berlari menghampiri, tapi sayangnya tubuh rachel yang hampir tak bernyawa diterbangkan lagi ke atas.
Perawat tersebut langsung menatap Diki dan menyuruhnya keluar.
"Keluar, Diki. Cari bantuan!" teriaknya.
Diki yang masih terkejut dan menangis, berusaha membalikkan badannya lalu berlari keluar sambil berteriak minta tolong.
"Tolong! Tolong!"
Seisi sekolahan yang mendengar langsung keluar dari ruangannya dan bergegas menghampiri.
"Ada apa?" tanya Kepala Sekolah.
Dengan suara serak dan terbata-bata, Diki menjawab, "Ruang...Ruang UKS!"
Semuanya saling pandang.
Mereka langsung berlari menghampiri ruang yang dimaksud untuk mengetahui apa yang terjadi.
Sesampainya disana, sang perawat memeluk tubuh Rachel yang sudah pingsan dengan noda berwarna merah yang merata di mana-mana tempat.
Mereka yang melihat pemandangan mengerikan, seketika langsung berteriak histeris.
"Apa yang sudah terjadi?" tanya Bu Dini.
Tapi belum ada yang bisa menjawabnya.
Diki masih menangis, dia tiba-tiba tersadar saat memegang sesuatu.
Dipandanginya kalung Rachel sambil menangis sesegukan.
Ini semua salahnya.
Diki lupa tentang ucapan Rachel, dia merasa sangat bersalah.
Diki hanya bisa memejamkan mata dan memeluk erat kalung milik teman barunya. Dia bergumam dengan nada selirih mungkin, "Maaf."
Diki masih menatap kalung yang dipegangnya dengan tangan gemetar. Sekujur tubuhnya seakan ikut bergoyang menatap kalung Rachel yang sengaja diberikan padanya.
Sekarang ia mulai sadar dan memahami sesuatu. Kalung ini adalah penyelamat hidup Rachel.
Semua orang sedang sibuk membereskan barang-barang yang sempat ikut berhamburan, termasuk membersihkan sisa darah gadis kecil tersebut di lantai.
Kepala sekolah menanyai tentang kejadian sebenarnya pada si perawat.
Dia pun mulai bercerita jujur tentang kepergiannya sebentar, lalu keterkejutannya saat kembali, dan menemukan Rachel terbang ke udara dan hanya Diki yang masih berdiri disana.
Semua orang memandang Diki seolah ingin bertanya tapi diurungkan, sebab dia pun masih terlalu dini. Mungkin dia juga masih belum mengerti.
Diki bahkan terlihat kacau. Semua orang bisa melihatnya.
Kepala sekolah langsung menghubungi orang tua Rachel dan menceritakan sekilas saja tentang kondisi putrinya saat ini.
Rachel masih tertidur, dia pingsan karena kesakitan yang hanya dia sendiri yang rasa.
Sedari kecil, mahkluk yang tak bisa dilihat dengan mata telanjang selalu ingin menguasai tubuh Rachel, terkadang dengan tipu daya mereka, bisikan kematian selalu berdengung di telinganya .
Menurutnya wajah mereka benar-benar menyeramkan, tak ada satu wajah pun yang terlihat mulus dan rata.
Mereka menginginkan tubuh Rachel, jika tak bisa mengendalikan tubuhnya maka jalan satu-satunya adalah meminta nyawanya.
Rachel yang masih belum mengerti apa-apa hanya bisa pasrah tak berdaya.
Dia sendiri pun lelah, tubuhnya masih sangat kecil untuk menahan beratnya beban yang harus ditanggungnya, yaitu beban kesakitan.
Para guru yang ada disana sangat paham tentang cerita anak malang tersebut, mereka benar-benar kasihan dan ikut merasa cemas.
Jika dibawa ke rumah sakit pun belum tentu dokter sanggup menolong.
Bagaimana tentang bekas cakaran yang jejak tangannya tak bisa diidentifikasi? Sedangkan kasusnya terjadi di sekolahan.
Siapa yang akan percaya jika itu adalah ulah makhluk jahat?
Bagaimana cara menjelaskan jika seseorang memerlukan jawaban saat ditanya?
Dengan berbagai pertimbangan, para pihak sekolah memutuskan untuk menelpon orang tua Rachel, hanya ini jalan satu-satunya, baik hidup atau mati.
20 menit kemudian.
Bu Ambar datang dengan tergesa-gesa, kakinya melangkah dengan sangat cepat, tak sempat pakai baju bagus, hanya daster yang melekat di tubuhnya juga tas dompet yang dibawanya.
"Selamat siang, Bu Ambar!" sapa Kepala Sekolah.
"Anak saya dimana?" Ibu Rachel langsung menanyakan tentang putrinya tanpa mau menjawab salam dari kepala sekolah.
Kepala sekolah lalu memberi jalan dan mengantarkan wanita tersebut ke ruang UKS tempat putrinya beristirahat.
Bu Ambar masuk kedalam ruangan dan berdiri di samping putrinya. Dia menyentuh pipi kecil Rachel lalu berucap pelan, "Anakku, bangun, Nak! Ayo, kita pulang!"
Semua yang ada disana merasakan kesedihan yang dialami Bu Ambar. Mereka juga ikut iba melihatnya.
Tiba-tiba Bu Ambar ingin memastikan sesuatu, dan dengan cepat membuka satu kancing baju putrinya.
Lalu dia mendapati leher putrinya yang tanpa menggunakan kalung.
Hilang.
"Kemana kalung anak saya?" teriaknya. Dia takut jika kalung tersebut benar-benar hilang.
Semua orang bergumam, "Kalung?"
Diki yang mendengarnya dan paham kalung yang dimaksud, langsung berjalan menghampiri kepala sekolah, dia yang ketakutan atas amarah ibu Rachel tak berani datang menghampiri, bahkan untuk menatap wajahnya juga takut.
Diki memegang jas yang dikenakan kepala sekolah dan menariknya pelan, "Pak"
Diki mengulurkan tangannya untuk memberikan kalung yang dimaksud tanpa bersuara.
Kepsek menoleh dan melihat Diki kecil memberikan kalung tanpa berucap.
Kepsek menjadi iba saat melihat raut wajah Diki yang ketakutan serta sedih. Matanya juga memerah, kepsek paham bahwa dia baru saja menangis.
Kepsek mengangguk paham dan menjawab, "Ya."
Kepala sekolah mendekati Bu Ambar lalu memberikan kalung yang dimaksud.
"Ini Bu, kalungnya. Coba lihat dulu apakah benar?Mungkin tadi terjatuh."
Bu Ambar melirik Diki dengan emosi yang ditahan. Tadi dia sempat melihat lelaki kecil itu membawa kalung hitam milik Rachel. Hanya saja mungkin kalung itu banyak di pasaran, jadi Bu Ambar tak mau memikirkannya.
Diki yang paham bahwa tatapan itu mengarah padanya, segera bersembunyi di belakang punggung guru perawat.
Perawat yang tak tega ikut membantu Diki menyembunyikan dirinya. Perawat itu tahu bahwa Bu Ambar sedang kesal saat ini.
Bu Ambar langsung memakaikan lagi kalung tersebut ke leher putrinya dan berucap lembut, "Pulanglah anakku! Pulanglah ke sisi Ibu!"
Wanita paruh baya itu berusaha menahan kesedihannya, walau sebenarnya dia ingin sekali berteriak untuk menumpahkan semua isi hatinya.
Kenapa harus anaknya?
Apa salah Rachel?
Dari segi mana bahwa hidup adalah sebuah kesalahan?
Dengan perasaan terluka sang ibu menangis sedih sambil memegang erat tangan putri kecilnya.
"Pulanglah pada Ibu, Nak!" bisiknya lagi sambil memandang wajah Rachel yang tengah terluka.
Dilihatnya luka lebam dan cakaran yang hanya menyisakan bekas darah.
Tak berwujud tapi bisa menyentuh.
Ingin melawan tapi tak paham apa dan siapa yang harus dilawan. Bahkan bentuk dan rupa pun tak nampak.
Rachel tetap pada posisi tidurnya.
Setelah dua jam berlalu akhirnya Rachel mulai tersadar dan bangun.
Dia memandang sekitarnya dan menemukan sang ibu yang sudah duduk di sampingnya.
Dengan berat dia berucap, "Ibu."
"Ya, Nak. Ini Ibu," Bu Ambar segera berdiri lalu tersenyum lembut penuh kasih sayang.
Di elusnya rambut Rachel dan memandangnya dengan perasaan iba.
Kasihan hidupnya.
Akhirnya dia dibawa pulang oleh ibunya dan meminta izin absen untuk sang putri.
Kepala sekolah yang paham akan kondisi muridnya pun memberikan izin seminggu agar Rachel bisa beristirahat.
"Semoga Rachel cepat sembuh, Bu," ucap kepsek lembut.
"Saya akan datang berkunjung besok," guru yang lain menambahkan.
Akhirnya Bu Ambar berlalu pergi dengan membawa sang putri pulang.
.............
Seminggu kemudian.
Bel masuk berbunyi.
Tring... Tring
"Diki."
Diki yang sedang berjalan dengan santainya langsung membalikkan badannya untuk mencari sumber suara yang memanggilnya.
Dia adalah Rachael, dia sudah sembuh. Gadis kecil itu menghampiri Diki dengan senyum sumringah.
"Rachel, kamu sudah sembuh?" tanya Diki.
Rachel hanya menjawab dengan anggukan.
Diki bisa melihat ketulusan di mata Rachel, kenapa dia tak marah?
Kenapa dia masih sempat tertawa dan menyapa?
"Rachel, apakah kamu tidak membenciku?" Diki bertanya dengan ragu.
Rachel dengan mata polosnya menggelengkan kepala dan menjawab, "Apakah kita masih berteman?"
"Tentu," Diki mengangguk cepat.
"Teman tidak akan pernah marah, kita akan tetap menjadi teman, kan!" Rachel menyahut sambil mengedipkan mata bulatnya, terlihat lucu karena kepolosannya.
Diki seakan merasakan jantungnya ditusuk saat mendengar jawaban dari teman yang telah ditipunya.
Tanpa sadar dia pun berkata, "Aku tak akan pernah meninggalkanmu lagi Rachel, aku janji!"
Diki mengulurkan jari kelingkingnya di hadapan Rachel.
Dengan mata yang berbinar Rachel juga ikut menyentuh jari kelingking Diki dan menautkan jari mereka.
Seakan itu adalah sebuah janji untuk mereka berdua.
Mereka sama-sama tersenyum bahagia dan masuk kedalam kelas bersama.
................
13 tahun kemudian.
Di sebuah universitas hukum di Kota Harapan.
Mahasiswa dengan gaya yang berbeda, dengan kendaraan yang berbeda, juga dengan pergaulan yang berbeda.
Mereka tengah disibukkan oleh urusannya masing-masing.
"Rachel," teriak Diki yang melihat Rachel masih di depan gerbang kampus. Rachel berjalan masuk bersama temannya yang bernama Nirmala.
Rachel tersenyum sambil melambaikan tangannya.
Mereka berdua menghampiri Diki yang sedang menunggu.
Di arah sebelahnya ada suara seorang lelaki sedang berteriak memanggil Diki.
"Woi, Diki!" dia adalah Ramdan, teman sebangku Diki.
Tanpa menoleh Diki pun sudah hapal siapa yang memanggilnya.
Diki mengeluh sambil menghela napas, "Ah, dia lagi."
Rachel dan Nirmala yang sudah berdiri di depan Diki hanya bisa tersenyum dengan kekocakan mereka berdua.
"Hey bro, selamat pagi!" tegur Ramdan sambil merangkul pundak sahabatnya.
"Hem, iya," balas Diki cuek.
Rachel menatap mereka dengan perasaan lucu.
"Ya sudah, ayo masuk, keburu telat." dengan suara lembut Rachel mengajak sahabatnya untuk masuk ke dalam kelas.
Mereka berjalan bersama-sama disertai kekonyolan Diki dan Ramdan yang tak hentinya berbuat hal aneh.
Kadang menyapa para gadis cantik dan tersenyum jahil.
Mereka akan melakukan hal yang disukai sampai tiba di depan kelas mereka.
Mereka hanya akan patuh saat di dalam kelas saja.
Ah, di rumah juga jangan dilewatkan.
Menjadi anak yang berbakti pada saat berada di rumah.
Amelia dan Sarah yang duduk di depan Diki segera menyapa saat melihat mereka masuk ke dalam kelas.
"Hay, Diki," sapa Sarah sambil menampilkan senyum manisnya.
"Iya, hay juga," balas Diki.
Dosen datang dengan membawa buku juga tas hitam di tangannya.
Pelajaran pun dimulai.
Para murid mulai fokus pada pelajaran yang sedang berlangsung.
Jurusan yang mereka pilih memerlukan pemikiran yang kuat, jika ingin menguasai semuanya, mereka harus fokus pada satu titik dan mengesampingkan hal lainnya.
Tak ada yang bisa bercanda di saat pelajaran sudah dimulai, apalagi jika berhadapan dengan dosen yang galak dan super ketat.
Bahkan kentut pun harus bisa ditahan.
Suasana di kantin begitu ramai. Dengan kursi panjang yang berderet rapi untuk para mahasiswa yang sedang ingin menikmati jam istirahatnya.
Terkadang tempat tersebut dijadikan tempat nongkrong berbagi canda dan tawa dengan hanya segelas es teh manis yang dipesannya.
Rachel dan Nirmala duduk berdua sambil menunggu mie ayam yang sudah mereka pesan. Sambil ngobrol ringan tentang hal yang tak penting, kadang mereka juga sharing tentang mata kuliah yang rumit dan sulit dimengerti.
Diki dan Ramdan berjalan menghampiri dan langsung ikut bergabung dengan mereka.
"Cewek," sapa Ramdan sambil mengerlingkan matanya.
"Ish, apaan sih!" sahut Nirmala cuek.
Rachel dan Diki hanya tersenyum pasrah melihat tingkah mereka.
"Jangan terlalu cuek! Nanti jatuh cinta lo," ucap Diki mengingatkan.
"Aku? Tidak mau!" jawab Nirmala yang menunjuk pada diri sendiri dengan tampang tak percaya.
"Ok fine, ayo makan, gue lapar!" Ramdan yang pasrah dan malas berdebat akhirnya memilih menghindar, sedari kecil hingga dewasa perdebatan mereka tak pernah ada ujungnya antara siapa yang menang dan kalah.
Tetap saja perempuan harus menang. Dan Ramdan sebagai seorang lelaki harus mengalah. Dan itu sudah menjadi kewajiban bahwa perempuan haruslah menang.
Di sisi lain, Amelia dan Sarah sedang memandang mereka dari kejauhan dengan rasa jengah.
Sarah sangat menyukai Diki dari awal pertemuannya, namun sulit untuk mengungkapkan.
Walau sebagai teman hubungan mereka sangatlah dekat, tapi jika untuk perasaan lebih baik hanya dia sendiri yang tahu.
Tapi Amelia mengenal Sarah dari kecil, apa yang tak dia tahu tentang sifat juga karakter Sarah walau tanpa harus mengungkapkan. Mereka tumbuh bersama hingga menginjak masa dewasa.
"Kamu cemburu?" tanya Amelia yang ingin tahu kejujuran sahabatnya.
Sarah yang kaget langsung menatap Amelia lalu menjawab dengan gugup, "Aku? Tak, aku tak cemburu."
"Aku mengenalmu, Sarah."
Amelia terdiam sejenak, setelah itu dia melanjutkan lagi kalimatnya dengan niat mempengaruhi, "Jika kamu mau mengikuti saranku, kamu bisa mendapatkan Diki tanpa gangguan siapapun."
Dengan raut wajah bingung, Sarah bertanya, "Apa maksudmu?"
"Kita pinjam dulu pulau pribadi milik keluargamu, nanti disana kita bisa sedikit memberi kejutan untuk Rachel dan yang lainnya."
Dengan rasa takut dan masih bingung, Sarah bertanya lagi, "Apa maksudmu? Aku tak paham!"
"Untuk mengisi hari libur kita nanti, Sarah. Lagipula mengatakan cinta di tempat indah bisa jadi moment untuk kalian berdua, kan!" jawab Amelia memberi pengertian.
"Oh iya, bagus juga idemu. Akan aku siapkan semuanya," balas Sarah sambil tersenyum mengerti.
Hampir saja pemikirannya lain. Walau dia kesal dengan seseorang, tapi tak sampai hati jika harus melukai orang tersebut.
Dia paling anti dengan darah dan pembunuhan. Masalahnya, kakak pertamanya yang bernama Kiara meninggal saat usianya baru 12 tahun.
Penculikan, pelecehan dan pembunuhan yang di alami almarhum kakaknya sangat menyiksa hati seluruh keluarganya.
Duka mendalam dan berkepanjangan yang dirasakan seluruh anggota keluarga Sarah hingga saat ini.
Dan itu berlaku untuk Sarah.
Walau umur mereka beda tiga tahun, tapi kala itu Sarah melihat dengan jelas saat jasad kakaknya yang berlumuran darah segar menyelimuti seluruh anggota tubuhnya.
Dan itu menjadi satu-satunya kelemahan Sarah.
"Ya sudah, ayo kita gabung!" ajak Amelia yang langsung menarik tangan Sarah.
Belum sempat bereaksi, langkah Sarah langsung mengikuti kaki Amelia berjalan.
Dia sedikit kecewa saat Amelia menyeretnya untuk ikut bergabung tanpa minta persetujuannya terlebih dahulu. Sarah berjalan dengan ekspresi kesal di wajahnya.
"Hai, boleh gabung gak?" sapa Amelia yang sudah berdiri di hadapan mereka.
Mereka berempat melihat Amelia, lalu setelah itu beralih menatap Sarah.
Diki dan yang lainnya dengan senang hati menyambut kedatangan mereka berdua.
Ramdan menyuruh mereka duduk di manapun mereka mau.
"Silahkan!" ujar Ramdan sambil menggeser bokongnya.
Diki yang duduk di sebelah Ramdan juga ikut menggeser bokongnya.
"Kalian ini, ke kantin gak ajak-ajak," ucap Amelia yang pura-pura kesal.
Diki tersenyum sambil menggaruk kepala yang tak gatal sambil berkata, "Maaf, hehehe."
Amelia duduk di sebelah Ramdan, sedangkan Sarah duduk di sebelah Diki.
Posisi duduk mereka berempat sekarang berhadapan dengan Rachel dan Nirmala yang ada di depannya.
"Ngomong-ngomong 2 minggu lagi kita cuti panjang, kan. Ada acara kemana, nih?" tanya Amelia membuka obrolan.
"Em...Kemana ya? Paling di rumah saja," jawab Diki.
"Terus, yang lainnya?" tanya Amelia lagi sambil memandang mereka satu persatu.
Tak ada jawaban dari semuanya, mereka juga tak ada rencana apa-apa untuk masa liburnya.
Dengan pura-pura kecewa Amelia menemukan ide tempat berlibur yang harus mereka kunjungi.
"Gimana kalau kita ke pulau?" ucap Amelia sambil melirik ke arah sarah.
Sarah yang paham langsung mengangguk cepat dan menambahkan, "Benar, keluargaku baru beli sebuah pulau kecil, ada Villanya juga, jadi kita bisa liburan kesana tanpa harus memikirkan sewa tempat untuk istirahat, gimana?"
Rachel dan yang lainnya saling pandang.
Ide menarik.
Mereka yang tak pernah berlibur ke pulau jadi bisa menikmati indahnya pulau tersebut dengan bantuan keluarga temannya.
Dengan rasa penasaran karena kekurangan biaya jika pergi ke tempat jauh, Ramdan memberanikan diri bertanya, "Bayar gak, berapa?"
"Aku tak tahu, tapi nanti kita kesana naik mobil ku saja, lalu setelah itu kita harus bayar orang untuk menyebrang ke pulau ku. Kata papaku nyebrangnya sekitar 20 menit pakai perahu sudah sampek kok. Pulaunya bisa terlihat dari arah kota, berarti dekat, kan."
Mereka manggut-manggut mengerti.
Rachel dan Nirmala saling pandang, entah kenapa perasaan mereka jadi tak tenang.
Mungkin karena ini adalah pertama kalinya mereka berlibur ke sebuah pulau, jadi agak sedikit mengganjal di hati dan pikiran mereka.
Diki bertanya pada kedua gadis itu, "Gimana? Kalian ikut, kan!"
Dengan ragu-ragu sambil mengernyitkan kening mereka enggan menjawab.
"Ayolah, biar rame," sahut Ramdan menambahkan.
"Nanti biar aku yang bawakan barang kalian, tapi jangan berat-berat, ya. He he he!"
Kedua gadis itu masih tetap diam.
Amelia yang peka langsung sigap, dan ikut bersuara sambil menggenggam tangan mereka berdua.
Dengan senyum manisnya dia mulai merayu dan berkata, "Ikut yuk! Biar rame kalau banyak teman."
Setelah sama-sama berpikir dan saling pandang, Rachel dan Nirmala yang merasa tak enak hati terpaksa mengangguk tanpa bersuara. Yang berarti mereka setuju dan mau ikut bergabung.
Amelia, Sarah, Diki dan Ramdan tersenyum puas dengan anggukan mereka. Kali ini bisa menikmati suasana liburan dengan teman yang mereka sayangi adalah kebahagiaan yang sulit didapatkan.
Dengan penatnya memikirkan pelajaran kuliah, setidaknya dengan berlibur bisa sedikit mengurangi stres karena banyaknya aktivitas yang harus dijalani.
Semakin ramai semakin menyenangkan.
Mereka berdiskusi tentang apa yang harus dibawa, juga jam detail keberangkatan perjalanan mereka.
"Nanti aku bawa 2 sprei dari rumah, kata papaku disana hanya ada 2 kamar dan 1 toilet saja, trus kalian harus bawa selimut sendiri-sendiri. Apa kalian mengerti?" ucap Sarah
Semuanya mengangguk paham.
"Jadi, kamu belum pernah kesana juga?" tanya Diki penasaran.
Sarah menggelengkan kepalanya. "Belum, hanya saja kata papaku tempat itu nanti akan di renovasi sedikit untuk tempat hiburan para tourist. Papaku bilang airnya indah dan jernih, pantainya juga bersih, jadi jika diubah menjadi tempat wisata pasti akan lebih menguntungkan untuk menghasilkan uang. Oh iya, lupa. Katanya disana juga ada air terjunnya."
Penjelasan Sarah membuat mereka tertarik untuk datang, hawa bersemangat langsung mengalir pada kedua kawan lelakinya.
Rachel dan Nirmala tersenyum seakan bisa membayangkan betapa indahnya pulau tersebut.
Jam keberangkatan dimulai pukul 9 pagi, harus disiplin dan konsisten jika berbicara soal waktu.
Berlibur adalah hari yang dinantikan oleh seluruh murid di dunia. Bukankah begitu?
............................
"Kamu pulang ke rumahku atau langsung ke rumahmu, mumpung aku masih disini?" tanya Sarah ketika mobilnya sudah berhenti tepat di depan rumah Amelia.
Amelia menjawab, "Aku pulang ke rumahku saja, capek banget soalnya."
"Ok," balas Sarah sembari tersenyum.
Amelia turun dari mobil milik Sarah.
Mereka selalu berangkat dan pulang bersama, kemana-mana juga bersama.
Amelia masih berdiri menunggu mobil sahabatnya pergi menghilang.
Dia melambaikan tangan sambil berseru, "Hati-hati!"
Mobil pun melaju dan mulai menghilang meninggalkan Amelia yang masih berdiri.
Saat mobil mulai tak nampak, raut wajah Amelia yang tadinya biasa saja mendadak berubah menjadi dingin.
Tanpa senyum dan ekspresi yang tak bisa dijelaskan.
Amelia membalikkan tubuhnya dan menatap rumah kecil yang dihuninya bersama seorang ibu yang selalu mengasihaninya.
Rumah yang harus dia pijak, rumah yang hanya dia dan ibunya yang tinggal di dalamnya.
Tanpa sosok ayah yang selalu mendampinginya.
Ayah yang dikaguminya malah menyembunyikan jati dirinya dan merasa ini adalah penghinaan besar bagi dirinya.
Rumah kecil itu adalah rumah pemberian ayah kandungnya.
Apakah hanya itu yang bisa dia berikan untuknya dan ibunya?
Apakah tak ada yang lainnya?
Seolah kasih sayang tak berarti apa-apa dan seperti tak membutuhkan hal tersebut
Sambil menghela napas kasar dia bergumam, "Sampai kapan harus bersabar?"
Amelia enggan pulang ke rumah kecil itu, jika bukan karena kasihan dengan sang ibu yang selalu berusaha keras mencari sesuap nasi untuk dia hidup, sudah lama mungkin dia memilih untuk pergi.
Amelia masih berdiri diam mematung sambil melihat rumah kecil itu dari luar.
Dia diam sambil memikirkan banyak hal yang sekarang memenuhi otaknya.
Saat Amelia tengah sibuk dengan lamunannya. ibunya datang menghampiri dan menegurnya. "Amelia, kenapa berdiri disana? Ayo masuk!"
Amelia sedikit kaget, lalu menoleh pada sumber suara yang dikenalnya.
Bu Ningrum namanya.
Wanita yang selalu menyayanginya dengan segenap jiwa dan raganya
Dia berjalan sambil menenteng rantang yang dibawanya.
Sembari tersenyum Bu Ningrum berkata, "Ayo masuk! Ibu bawakan makanan yang baru dimasak sore ini."
Gadis berambut panjang itu menatap ibunya dengan raut wajah sedih, lalu mengangguk.
Kedua wanita itu berjalan bersama menuju rumah kecil mereka.
Amelia duduk sembari menunggu ibunya menyiapkan makanan untuknya.
Andai saja, ya andaikan dia tak pernah tahu kehidupan sesungguhnya tentang rahasia kelahirannya, Amelia pasti masih bisa bahagia tinggal berdua walau di gubuk kumuh sekalipun dengan ibunya. Yang pasti tanpa mau memikirkan banyak hal.
Dia pernah berkhayal akan mendapatkan nilai yang bagus dan masuk ke perusahaan ternama dan membantu perekonomian keluarganya dengan menggunakan seluruh gajinya. Jadi ibunya tak perlu lagi bekerja keras untuk dirinya lagi.
Hanya saja rahasia yang sengaja dipendam oleh ibunya sudah terbongkar dengan sendirinya dan itu membuatnya sangat sedih.
Hal itu sangat menyakitkan dirinya.
Amelia berpikir bahwa dia harus segera mengakhirinya. Dan satu-satunya kunci adalah dia harus bersabar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!