Langkah kaki seorang wanita cantik terlihat anggun saat memasuki teras rumahnya yang berbentuk minimalis berlantai dua.
Di kedua tangannya terdapat banyak paper bag berisi barang-barang yang baru saja ia beli dari hasil memoroti seorang pria bernama Aldo.
Wanita bernama Levina Christine itu memutar tubuhnya dengan gerakan anggun, lalu melempar senyum manisnya pada sosok pria yang membuka kaca jendela depan.
"Thank you, mas atas hari ini. Aku senang deh, bisa menemani mas Aldo untuk jalan-jalan," kata Levina. Suaranya agak nyaring agar Aldo yang berada di dalam mobil bisa mendengarnya.
"Lain kali aku akan ajak kamu jalan-jalan lagi. Kalau begitu, aku pergi dulu." Aldo membunyikan klakson dua kali sebelum akhirnya melajukan kendaraan roda empatnya meninggalkan area perumahan tempat di mana Levina tinggal.
Setelah Aldo pergi, Levina yang tadinya berpenampilan anggun dan lembut kini ekspresi wajahnya berubah menjadi sengit.
Wanita itu kemudian melangkah memasuki rumahnya sambil melemparkan high heels yang dipakainya secara sembarangan.
Asisten rumah tangga bernama Dina sudah hafal sekali dengan kebiasaan majikannya itu.
Dina yang berusia 23 tahun hanya bisa menggelengkan kepalanya dan sandal sepatu yang dilempar secara asal oleh majikannya segera dipungut.
"Nathan dan Elga mana? Mereka belum pulang juga?" Levina mengedarkan pandangannya mencari dua sosok kurcaci yang tidak terlihat sama sekali keberadaan mereka.
Di sore hari jam segini biasanya kedua sosok itu sudah menonton di depan layar televisi.
"Itu Mbak, Mas Nathan sama Mas Elga lagi pergi. Katanya, ada pertandingan basket gitu. Terus mas Elga dipaksa sama Mas Nathan untuk ikut buat jadi supotor Mas Nathan katanya tadi, Mbak," jawab Dina.
Kening Levina spontan mengerut mendengar apa yang diucapkan oleh Dina. "Suporter maksud lo? Ngomong gitu aja lo nggak paham."
Levina berdecak kemudian menatap Dina.
"Nah, itu, Mbak. Lidah saya ini lidah kampung. Mana ngerti bahasa yang agak gaul gitu." Dina cengengesan menatap pada majikannya sambil memegang sandal sepatu yang tadi sempat dilemparkan oleh Levina.
"CK, ck, kalau gue jadi pindah ke luar negeri, lo ikut gue, biar bisa gue lempar lo ke laut Antartika sana." Levina mencari posisi duduk dan dengan tenang dia meletakkan paper bag berisi barang-barangnya.
"Memangnya Mbak Levi mau pindah ke luar negeri?"
"Iya. Itu juga kalau gue punya uang 10 triliun. Kalau sekarang gue mana bisa pergi, gue aja lagi miskin gini."
"Oh, kalau begitu saya nggak ikut, kalau Mbak Levi mau pergi ke luar negeri."
"Kenapa lo nggak mau ikut? Lumayan 'kan lo bisa tinggal di luar negeri."
Dina terdiam menatap Levina. "Saya takut Mbak nanti lempar saya ke laut Kartika."
"Antartika, Din." Levina spontan mendelik menatap kesal pada Dina. "Noh, gue beliin lo itu mukena. Kebetulan tadi gue lihat ada diskon besar-besaran makanya gue ambil."
Levina menyerahkan sebuah paper bag berisi mukena. Dina yang menerimanya langsung membuka paper bag tersebut di depan Levina.
"Masya Allah, Mbak Levina baik banget beliin saya mukena. Ayo, Mbak, Mbak harus mengucapkan syahadat, biar kita bisa jamaah bareng," ajak Dina penuh semangat.
Perkataan gadis itu tentu saja membuat Levina mendelik. "Kalau begitu, lo aja yang log out mau?"
"Logout itu apa, Mbak?" Dina yang tidak mengerti apa-apa memiringkan kepalanya ke samping menatap Levina dengan tatapan tak mengerti.
"Kayak lo keluar dari rumah ini atau lo keluar dari kamar lo."
"Astaghfirullahaladzim! Jangan sampai deh, Mbak. Saya itu cinta Allah, dan Muhammad Rasulullah."
"Makanya, jangan biasakan ngajak orang untuk ngucapin yang lo bilang tadi, kalau lo sendiri aja nggak mau log out."
Levina berdecak sambil menggelengkan kepalanya. "Ya udah sana taruh barang-barang gue di dalam walking closet. Eh, gue tadi ada beli tas warna biru dan kebetulan tas gue juga udah banyak yang warna biru. Ambil noh."
Segera Levina memberikan satu lagi paper bag berisi tas yang langsung diterima Dina dengan mata berkaca-kaca.
"Mbak serius mau kasih saya tas ini? Ini pasti tas mahal banget, Mbak. Ngeri kalau saya pegang tas seperti ini."
"Gue serius kasih lo. Kalau juga gue punya adik cewek, gue bakal kasih ke adik gue. Lagian, mau murah atau mahal tas ini, itu enggak masalah bagi gue karena bukan duit gue juga yang keluar." Levina mengangkat bahunya kemudian segera memberi kode pada Dina untuk pergi dari hadapannya.
Dina sendiri langsung mengucapkan terima kasih berulang kali karena bahagia ia diberi tas dengan harga yang mahal seperti ini oleh majikannya untuk yang kesekian kalinya.
Levina memang terkadang jahat dan tidak pandang dulu akan menyakiti hati orang atau tidak. Namun, Dina masih bersyukur karena dibalik mulut jahatnya, wanita itu selalu memberikan barang-barang yang masih layak pakai dan tentunya harganya yang mahal padanya.
Contoh saja tas seperti ini, bahkan masih segel dan baru keluar dari toko namun sudah diberikan padanya. Di antara jajaran para asisten rumah tangga mungkin Dina yang memiliki banyak barang branded.
Levina sendiri langsung mengeluarkan ponselnya dan menghubungi salah satu adiknya itu yang sudah jam 05.00 sore seperti ini belum juga pulang ke rumah.
"Nathaniel Cristian! Di mana kalian berdua sekarang, hah? Nggak lihat kalau ini udah jam 5 sore! Mau jadi anak berandalan kalian belum pulang-pulang sampai udah mau petang?" Levina langsung nyerocos dengan nada tinggi hingga membuat suara ramai di sekitar kini berubah menjadi hening.
"Kak, ini aku Elga. Hp-nya Nathan lagi sama aku. Nathan lagi ganti baju. Tadi aku nggak sengaja hidupin speaker, dan suara kakak sampai kedengaran yang lain." Suara Elga terdengar agak berbisik, membuat Levina yang tadinya berteriak mendadak kalem karena yang diajaknya bicara saat ini adalah Elga, si kalem penghuni surga.
"Oh, Kamu lagi sama Nathan, Dek? Kok, tadi kakak pulang kalian belum pulang juga. Kakak khawatir kalau kalian kenapa-kenapa," ujar Levina, dengan suara lembut.
"Iya, Kak. Sebentar lagi aku dan Nathan bakalan pulang. Kakak nggak usah khawatir, kami baik-baik aja di sini."
"Ya udah kalau begitu Kakak tutup teleponnya. Ingat kalau kalian itu nggak boleh pulang lewat dari jam 6. Kalau enggak, Kakak bakalan marah," ujar Levina.
"Iya, Kak. Aku tutup dulu teleponnya."
Levina tidak menjawab dan segera mematikan sambungan telepon. Padahal tadi niatnya ia menghubungi Nathan agar bisa memaki adiknya itu karena sudah membawa Elga keluar dari rumah sudah sampai larut seperti ini.
Elga memang seorang pemuda yang tidak memiliki penyakit serius. Hanya saja adiknya itu selalu sensitif dan mudah sakit apalagi terkena debu. Maka dari itu Levina sangat menjaga kesehatan adik laki-lakinya itu.
Sementara si Nathan penghuni neraka itu yang paling sering berdebat dan membuatnya sakit kepala.
Levina yang sudah membersihkan diri kini berdiri di depan teras rumah, sambil melipat tangannya di dada menatap lurus pada jalanan di mana ia akan melihat keberadaan kedua adiknya jika keduanya sudah pulang.
Ini sudah hampir jam 6 petang lebih namun adik-adiknya itu belum juga menampakkan batang hidungnya. Levina benar-benar dibuat geram dengan mereka yang membuatnya khawatir.
Tidak ada pakaian modis dan seksi yang dikenakan oleh wanita itu. Levina hanya mengenakan daster batik selutut dengan lengan pendek berwarna coklat yang biasa digunakannya. Sementara rambutnya sendiri digelung asal hingga memperlihatkan leher jenjangnya.
Beginilah penampilan Levina yang asli jika berada di rumah. Wanita itu terlalu malas dan tidak senang kalau berpenampilan yang agak berlebihan hanya untuk diam di rumah saja.
"Ke mana sih kedua bocah itu? Nggak mikir apa kalau kakaknya panik gini." Levina mondar-mandir di depan terasnya menatap terus ke arah jalanan berharap agar motor yang dikendarai oleh kedua adiknya segera muncul.
Tak lama kemudian wanita itu segera menegakkan tubuhnya menatap Nathan yang sedang membawa motor duduk di depan sementara Elga sendiri duduk di belakang mengenakan masker serta helm. Tidak lupa jaket yang dikenakan serta kaos tangan juga dikenakan.
Levina mengubah ekspresi wajahnya kemudian tampak tenang menatap keduanya yang baru turun dari motor.
"Kak, maaf, tadi kami terlambat karena menemani Nathan mengambil jatah dulu." Elga sendiri segera turun dari motor, dan menghampiri Kakak perempuannya itu untuk meminta maaf atas keterlambatan mereka.
"Nggak apa-apa, El. Kakak nggak marah kok. Kakak cuma khawatir aja sama kalian berdua. Ya udah, Elga masuk ke dalam sekarang. Terus bersih-bersih. Kakak nggak mau kalau sampai Elga sakit besok."
Elga tampak lega karena kakaknya itu tidak marah. Pemuda itu tersenyum kemudian segera berbalik pergi setelah pamit pada Kakak perempuannya itu.
Ekspresi wajah Levina yang lembut saat berhadapan dengan Elga kini berubah ketika ia menatap Nathan yang baru saja memasukkan motornya ke dalam garasi yang terletak di sebelah rumah.
"Aduh, saatnya berhadapan dengan nenek sihir," gumam Nathan.
"Siapa yang kamu bilang nenek sihir, hemm?" Levina menatap tajam pada Nathan sambil meletakkan tangannya di kedua pinggulnya. "Bagus banget ya Nathan Christian, kamu pergi bawa adikmu dan pulang petang seperti ini. Bagus." Levina segera menarik telinga Nathan. "Kamu 'kan tahu kalau Elga itu sensitif kulitnya. Kalau dia sakit memangnya kamu mau jaga di rumah sakit? Enggak kasihan sama dia, hmm?"
Rasa-rasanya Levina ingin sekali mengunyah telinga Nathan setelah dijadikan sup terlebih dahulu. Adik laki-laki ini memang paling bandel.
"Aduh, Kak, sakit telinga aku. Kakak kalau narik telingaku nggak kira-kira banget. Kalau telingaku copot dari tempatnya gimana? Memangnya Kakak ada gantinya?" Nathan berusaha menarik tangan kakaknya dari telinganya. Tarikan di telinga memang sering dilakukan oleh Levina pada Nathan.
"Kalau copot, tinggal ganti telinga kambing aja. Kakak benar-benar kesel sama kamu. Bisa-bisanya kamu bawa Elga keluar rumah."
"Kak, Kakak memangnya nggak kasihan apa sama Elga? Dia cuma pergi ke sekolah setelah itu cuma diam di rumah aja. Makanya tadi aku ajak dia buat pergi sekalian biar dia nggak bosen di rumah," kata Nathan.
"Kakak lebih kasihan kalau dia harus mendekam di rumah sakit selama beberapa hari. Kamu ini, ya Tuhan, Nathan. Bisa-bisanya kamu bawa Elga keluar." Levina menarik telinga adiknya sekali lagi kemudian segera melepaskannya.
"Sakit telinga aku. Minta duit." Satu tangan mengusap telinganya yang menjadi korban kekerasan sang kakak, sementara tangannya yang lain digunakan untuk diulurkan meminta uang.
Levina mendelik, "mau ini?"
Wanita itu menunjukkan bogem mentahnya pada sang adik yang membelalakkan mata kemudian segera berbalik masuk ke dalam rumah.
Sedangkan Levina sendiri hanya bisa menggelengkan kepalanya.
Levina hidup hanya bertiga dengan adik laki-lakinya saja. Levina adalah anak tertua dari tiga bersaudara. Kedua adik kembarnya berusia 16 tahun dan mereka hidup tanpa bantuan kedua orang tua.
Ayah Levina menikah lagi dengan seorang wanita cantik dan meninggalkan istri serta anak-anaknya. Sang istri yang terlalu mencintai suaminya tidak terima dan merasa sakit hati akan penghianatan yang dilakukan oleh suaminya. Sang istri mengalami depresi berat hingga berujung dengan kematian akibat bunuh diri yang dilakukannya.
Wanita bernama Reta itu akhirnya menghembuskan napas terakhirnya sekitar 15 tahun yang lalu di saat Levina baru berusia 10 tahun dan adiknya masih sangat kecil.
Levina dan juga kedua adik kembarnya itu dirawat oleh nenek dan Bibi mereka. Setelah Levina dewasa dan sudah tahu cara mencari uang, wanita itu tidak lagi meminta bantuan pada bibinya juga neneknya yang memang hidup sederhana dan bukan berasal dari keluarga kaya raya.
"Nathan!" Suara Levina kembali berteriak saat masuk ke dalam dan melihat pemandangan sepatu serta tas milik Nathan yang diletakkan begitu saja di ruang tamu rumah mereka.
"Kenapa, Mbak?" Dina yang mendengar suara teriakan nyaring dari majikannya segera melangkah keluar menghampiri Levina.
"Gue teriak manggil Nathan bukan elo, Dina!"
"Astaghfirullahaladzim, Mbak Levi. Jangan suka teriak-teriak seperti itu. Mbak Levi memangnya nggak takut kalau suara Mbak bakalan habis?" Dina mengusap telinganya yang terasa gatal.
"Enggak!" Levina mendelik menatap Dina. "Mana Nathan? Dari tadi diteriakin nggak muncul-muncul juga."
"Mas Nathan masuk ke dalam kamarnya, Mbak. Katanya 'sih tadi mau mandi dulu."
"Katanya tadi mau mandi?" Levina mengulangi perkataan Dina seraya menatap tajam perempuan itu. "Dia udah enak-enak pergi ke kamarnya sementara tas dan juga sepatunya masih diletakkan begitu aja? Nathan!" Wanita itu berteriak di akhir kalimat hingga membuat Dina kembali menutup telinganya.
"Ya Allah, Mbak Levi. Kalau cuma merapikan sepatu dan juga tas punya Mas Nathan, saya juga masih bisa melakukannya dan Mbak nggak usah habisin tenaga buat teriak-teriak." Dina menggelengkan kepalanya kemudian segera memungut tas dan juga sepatu milik Nathan yang berserakan.
"Ini tas dan juga sepatu punya dia. Kebiasaan banget itu anak nggak bisa rapi dikit."
"Ya namanya juga anak cowok, Mbak. Ya udah mau saya bawa dulu tas dan juga sepatu mas Nathan ke kamarnya."
Dina kemudian melangkah pergi menuju lantai 2 di mana kamar kedua majikannya itu berada.
Sedangkan Levina sendiri hanya bisa memijat pelipisnya yang terasa berdenyut kesakitan. Benar-benar Nathan ini selalu saja membuatnya emosi dan sakit kepala.
Wanita itu menyalakan televisi dan kebetulan televisi sedang menayangkan berita seorang aktris yang baru putus dengan pacarnya yang duda.
Sang aktris tampak sedih dilihat dari video, membuat Levina yang melihatnya mendengus.
"Putus sama pacar ya udah cari yang lain aja. Gitu aja kok repot." Levina berkomentar asal kemudian segera mengganti channel yang jauh lebih baik daripada hanya sekedar mendengar berita tentang artis yang putus hubungan.
Levina menatap adik laki-lakinya itu dengan geram sebelum akhirnya ia mengalihkan tatapannya pada sang dokter yang sudah menjadi langganan berobat mereka.
Seperti dugaan Levina jika Elga mengalami demam tinggi yang membuat mereka segera membawa Elga pergi ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan.
Elga memang lebih cocok berada di dalam rumah. Maka dari itu, Levina sangat melarang adiknya itu untuk keluar dari rumah. Mau jalan-jalan pun, Levina harus mencari tempat yang bersih dari debu dan kotoran.
"Demamnya sudah agak mulai turun. Mungkin setelah dua hari dirawat, Elga sudah bisa dibawa pulang." Dokter Anton adalah dokter yang selalu menangani Elga.
"Ya ampun, thanks dokter. Berarti dalam dua hari Elga sudah boleh pulang?"
"Iya. Sebenarnya sudah beberapa waktu ini saya ingin memberitahu pada kamu tentang pengobatan untuk tubuh yang rentan sakit."
Levina tentu saja agak tertarik dengan apa yang diucapkan oleh dokter Anton. "Maksud dokter, adik saya bisa seperti orang normal kalau melakukan pengobatan yang dokter masuk?" Levina langsung berbicara ke intinya karena ia memang tertarik untuk pengobatan adiknya agar bisa hidup normal.
Sejak kecil Elga memang rentan sakit. Tidak bisa terkena debu sedikit, adiknya pasti akan mengalami demam ataupun hidung tersumbat. Belum lagi batuk-batuk, yang membuat Elga sangat rajin pergi ke dokter.
"Iya. Tapi, mungkin masih dalam rencana soalnya saya dengar kalimat ini dari teman saya yang ada di Cina." Dokter Anton berkata. "Iya, mudah-mudahan saja ada obat untuk bisa menyembuhkan orang yang rentan terkena debu."
"Saya sangat menantikan hal itu. Padahal Elga selama ini sudah berusaha untuk tidak sakit-sakitan. Tapi, daya tahan tubuhnya bukan dia yang bisa menanganinya."
"Kita hanya bisa berdoa dan berharap saja."
Dokter Anton yang berusia 29 tahun tersenyum menatap pada Levina. Pria itu kemudian segera pamit pergi, meninggalkan tiga kakak beradik yang berada di dalam ruangan tersebut.
"Padahal Elga pergi kemarin sore semua badannya udah ketutup."
"Memang semuanya udah ketutup waktu di jalanan. Tapi, kamu nggak tahu tingkat kebersihan di lapangan tempat kamu main." Levina memutar bola matanya menatap Nathan.
"Aku minta maaf ya, Kak. Gara-gara aku, Elga akhirnya masuk ke rumah sakit."
Nathan menggenggam lengan kakaknya itu, sambil menatap wanita itu melas.
"Iya mau bagaimana lagi, Elga juga sudah masuk rumah sakit. Kakak melarang Elga buat keluar-keluar sembarangan itu bukan tanpa alasan. Bukannya kakak nggak mau adik kakak ini hidup seperti anak remaja pada umumnya. Tapi, Kakak lebih nggak tega lagi kalau lihat Elga sakit seperti ini." Levina mengusap air matanya yang jatuh ke pipi.
Melihat itu tentu saja Nathan langsung sedih. Pemuda itu memeluk Levina.
Nathan tahu meskipun kakaknya ini sering memarahinya, namun wanita yang sudah seperti Ibu mereka ini sangat sayang pada mereka. Levina bahkan melakukan berbagai macam cara agar mereka bisa hidup dengan layak dan bahagia. Sekolah pun di tempat yang paling bagus dengan biaya yang tentunya tidak murah.
Levina memiliki cara sendiri untuk mengungkapkan kasih sayangnya. Meskipun ia sering menjadi korban kemarahan kakaknya, namun Nathan tidak pernah dendam. Pemuda itu tidak merasa iri sama sekali karena Levina selalu berbicara lembut dengan Elga. Yah, Elga pernah dibentak oleh kakaknya saat adik kembarnya itu pergi keluar diam-diam tanpa memberitahu sehingga membuat mereka panik.
Elga langsung sakit selama 1 Minggu penuh dan membuat Levina menyesal selama seminggu penuh karena menyebabkan adiknya sakit. Sedangkan untuk Nathan sendiri, dia bermental baja dan sudah kebal.
Levina menepuk pundak adiknya itu. "Nggak usah sok sedih. Kamu nggak cocok pasang tampang seperti itu," katanya dengan cara menyebalkan.
Segera Nathan merenggut menatap kakaknya tak terima. Kakaknya ini memang paling pintar menghancurkan suasana dan Nathan tahu ini dilakukan sang kakak akan mereka tidak terlibat dalam suasana yang agak melankolis.
"Kakak memang paling pintar menghancurkan suasana."
"It's me." Levina tersenyum miring menatap adiknya.
Keduanya kemudian sama-sama terdiam menunggu Elga terbangun dari tidurnya.
Tak lama kemudian ponsel milik Levina terdengar berdering. Melihat layar ternyata ini merupakan panggilan masuk dari Deon.
Deon adalah sahabat dekat Levina. Beruntung mereka menjalin hubungan pertemanan tidak ada perasaan satu sama yang lain.
Pertemanan mereka pun sudah cukup lama mungkin sejak pertama kali mereka masuk ke sekolah menengah pertama.
"Kenapa, Yon?" Levina langsung bertanya tanpa basa-basi. Deon menghubunginya pasti ada masalah atau ada sesuatu yang ingin dibahas oleh pria itu.
"Lev, gue bisa minta tolong nggak sama lo?"
"Apalagi? Mau jadi pacar pura-pura lo? Apa gue diminta supaya gue pura-pura jadi pacar dari cewek yang lo incar? Kalau begitu, gue kasih tarif murah. Cukup 10 juta aja," oceh Levina, tanpa memberi waktu untuk menjelaskan.
"Mata lo duitan memang nggak pernah hilang sama sekali, Lev. Gue mau minta tolong sama lo bukan soal urusan asmara. Ini menyangkut masa depan pekerjaan gue, Lev."
Suara Deon terdengar panik membuat Levina yang sedang bersantai segera menegakkan tubuhnya.
"Lo dipecat dari kantor lo?" Bisa gawat kalau Deon dipecat dari kantornya karena Levina pasti tidak akan bisa memoroti temannya itu lagi. Bisa-bisa Deon yang akan terus bergantung hidup padanya.
"Iya kalau gue nggak berhasil bawa berkas yang ketinggalan di apartemen gue. Gue mau balik, tapi gue harus nyusun materi meeting penting hari ini dengan klien lain. Gue bisa minta tolong sama lo buat ambilin map warna kuning yang ada di atas mini Bar di apartemen gue enggak? Terus lo datang ke kantor gue bawa ke sini. Gue janji, nanti malam gue akan traktir makan sepuasnya. Ini dalam kondisi mendesak, Lev. Please."
Suara Deon terdengar memelas di telepon membuat Levina segera bangkit berdiri.
"Ya udah kalau begitu gue bakalan ke apartemen lo sekarang juga."
Levina segera menutup teleponnya dan menatap pada adik laki-lakinya yang duduk sambil bermain game di ponsel.
"Nat, Kakak mau ke apartemen Kak Deon dulu buat ambil berkas penting di apartemennya. Kakak minta tolong buat kamu jaga Elga dulu. Kalau dia udah bangun dan tanya kakak, bilang aja kalau Kakak lagi ada urusan sebentar."
"Kalau Kakak kembali, belikan aku cemilan," pesan Nathan pada kakaknya.
"Iya!"
Levina menyahut dengan asal kemudian segera melangkah keluar dari ruang rawat tempat di mana Elga berada.
Memang dirinya harus segera pergi menuju unit apartemen milik Deon.
Sebagai sahabat dekat tentu saja Levina tahu apapun tentang Deon. Termasuk password apartemen mereka pun mereka saling tahu. Maka tidak heran kalau Deon meminta Levina untuk mengambil berkas tersebut di unit apartemennya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!