Azalea Adista adalah siswi berprestasi SMA Pratama, selama dua setengah tahun bersekolah di sekolah ini, beberapa kali mengikuti olimpiade Matematika dan memenangkannya.
Belum lagi prestasi di bidang olahraga, dia adalah salah satu peraih medali emas kejuaraan karate tingkat provinsi.
Berbeda dengan kakaknya, Leo bukanlah siswa berprestasi seperti kakaknya, dia payah, tidak berprestasi bahkan cenderung penakut, karena itulah Leo sering dirundung oleh beberapa kakak kelasnya.
Beberapa kali Leo pulang dengan keadaan babak belur, namun Lea sengaja menutupi keadaan adiknya dari kedua orang tuanya, dia tak ingin membuat kedua orangtuanya khawatir.
Azalea tidak mengerti apa yang menyebabkan adiknya seperti ini, setiap ditanya Leo hanya menjawab "Bukan urusan lo."
Namun tidak mungkin Lea diam saja melihat adiknya seperti itu, selama ini, ia bisa menutupi keadaan Leo dari kedua orang tua mereka, namun ia tak mungkin bisa menutupi hal ini selamanya, cepat atau lambat pasti akan ketauan dan pada akhirnya orang tuanya akan membandingkan dirinya dengan Leo yang minim prestasi.
Semester kedua baru dimulai dua pekan yang lalu, setiap wajah adiknya babak belur, maka pagi-pagi sekali Lea mengajak Leo untuk berangkat bersama, agar kedua orang tuanya tidak mengetahui keadaan anak bungsu mereka.
Selalu seperti itu, Lea selalu beralasan, jika dirinya akan mengajak adiknya belajar terlebih dahulu di perpustakaan sekolah sebelum mengikuti pembelajaran di kelas.
Namun, mereka tidak mungkin seperti ini terus, Lea mulai berfikir untuk mencari tau, penyebab adiknya babak belur.
Sepulang sekolah, Lea biasanya akan mengikuti berbagai bimbingan belajar atau sekedar mendatangi club' karate untuk berlatih, namun sekarang, ia diam-diam mengikuti kemana perginya adiknya.
Terlihat dari kejauhan, Leo berjalan seorang diri menuju jalanan sempit sepulangnya dari sekolah, tak lama, di ujung gang buntu, ada sekelompok lelaki yang berseragam sama dengannya, sedang berkumpul.
Melihat kedatangan Leo salah seorang diantara mereka menghampirinya, lelaki itu langsung menghadiahi Leo dengan sebuah pukulan diperutnya, semua yang ada di sana hanya tertawa melihat hal itu tanpa menolongnya.
Lelaki itu membisikan sesuatu ditelinga Leo, kemudian Leo langsung merogoh kantong celana seragamnya, ia mengambil uang jajannya dan memberikannya begitu saja.
Bukannya berterima kasih, lelaki itu malah memukul kepala Leo dengan keras.
Semua yang dialami oleh adiknya, Lea melihat dengan mata kepalanya sendiri, namun, ia tak bisa berbuat banyak, walau ia juara karate, jumlah mereka tidak mungkin bisa ia kalahkan, apalagi di sana semua laki-laki.
Lea hanya mengepalkan tangannya, ia sedang berpikir bagaimana caranya mengeluarkan Leo dari sana.
Sampai ada seseorang yang menepuk pundaknya, dengan sigap Lea memegang tangan itu dan berniat akan membanting orang yang sudah kurang ajar memegang pundaknya, tetapi sepertinya tidak berhasil, orang itu terlalu kuat untuknya.
Lea menengok ke belakang, dan seorang lelaki berseragam yang sama dengannya berdiri menjulang.
Lea berbalik lalu mengamati dari ujung rambut sampai ujung kaki lelaki yang berdiri dihadapannya, tampan dengan piercing dibeberapa bagian wajahnya, tak ketinggalan telinganya, kemeja seragam yang tidak dikancing, dengan dasi menyembul dari saku, serta dalaman kaos hitam hingga sepatu berwarna perpaduan hijau putih, yang Lea tau itu dari brand ternama.
"Udah ngeliatin gue?" Ujar lelaki dengan senyum tengilnya, "Ngapain cewek kesini? Ada yang sedang Lo cari?" lanjutnya.
Lea berusaha menetralkan wajahnya, agar tidak terlihat gugup, ia meyakini lelaki ini mungkin bagian dari mereka, "Lo kenal mereka?" tanyanya berusaha memastikan.
Lelaki itu berfikir sejenak, "Apa gue harus kenal mereka?"tanyanya balik.
Jawaban ambigu lelaki itu membuat Lea bimbang, namun sepertinya ia tak ada pilihan lain, mau tak mau, ia harus meminta tolong pada lelaki dihadapannya, untuk membawa adiknya kembali, "Bisa gue minta tolong?" lelaki itu hanya mengangguk.
"Lo tau cowok yang belum lama masuk ke gang ini, beberapa menit yang lalu? Bisa Lo bawa keluar dari sana?" Mohonnya.
"Apa yang gue dapet kalau gue berhasil bawa dia ke hadapan elo?"
Lea merogoh saku seragamnya, ada uang berwarna hijau, sisa uang jajannya untuk membeli bahan bakar motornya, yang ia tinggal disekolah, namun demi Leo tentu ia akan merelakannya, "Gue cuman punya uang dua puluh ribu, ini bakal jadi milik Lo, kalo Lo bisa bawa dia kemari,"
"Oke," Jawab lelaki itu singkat, lalu berjalan mendekati kumpulan lelaki yang tadi.
Entah apa yang mereka bicarakan, Lea tidak bisa mendengarnya dengan jelas, namun tak lama, adiknya berjalan ke arahnya.
Leo hanya diam melihat kakaknya, ia melewatinya begitu saja, menuju arah sekolah, tak ada pembicaraan diantara kakak beradik itu selama mereka kembali ke rumah.
Ayah dan ibu belum pulang dari mengajar, biasanya Adiguna pulang malam dari kampus sedangkan Tatiana pulang dari sekolah menjelang magrib, hanya ada weekend waktu mereka berkumpul, namun terkadang Adiguna mengajar kelas weekend untuk para karyawan yang berkuliah.
Lea dan Leo sudah terbiasa dengan hal ini, mereka dituntut mandiri sejak kecil, bahkan keduanya bisa memasak untuk mereka makan sendiri, namun Leo lebih pintar memasak dibandingkan dengan Lea yang notabenenya seorang perempuan.
Lea menyadari bakat adiknya bukan di bidang akademis maupun olahraga, Leo berbakat memasak dan melukis.
Sehingga apa yang Lea makan sehari-hari adalah sebagian besar hasil masakan Leo, kecuali saat weekend.
Orangtuanya kurang menyukai bakat Leo, bagi mereka seorang tukang masak laki-laki tidak akan mempunyai masa depan yang cerah, pemikiran yang kolot memang.
"De, Lo kenapa sih bisa kenal sama berandalan kayak tadi?" Pada akhirnya Lea angkat bicara, saat keduanya tengah menikmati nasi goreng buatan Leo, usai pulang dari sekolah.
Leo hanya terdiam, tidak menanggapi pertanyaan kakaknya, Lea hanya menghela nafas, ia tau betul watak adiknya yang pendiam.
Lea menduga ini diakibatkan perlakuan kedua orang tua mereka yang sering membandingkan dirinya dan adiknya itu, sehingga lama kelamaan Leo menjadi minder.
Dulu saat keduanya masih sekolah dasar, mereka dikenal dengan anak yang ceria, namun sejak beberapa tahun lalu saat Lea mulai menunjukan prestasinya dalam bidang akademis dan non akademis, kepada orang tuanya, Leo malah menunjukan hasil masakannya dan berakhir ia dicaci maki oleh Adiguna bahkan masakan itu berakhir ditempat sampah, sejak saat itu adiknya menjadi pendiam.
Namun Sebagai kakak yang baik, Lea selalu menyemangati adiknya, mendukungnya, membelikan bahan makanan untuk dikreasikan menjadi masakan enak, saat hanya ada mereka berdua di rumah, lalu memuji serta mendoakan agar kelak Leo menjadi koki yang terkenal.
Berbagai perlombaan yang diikutinya, Lea mendapatkan uang, kedua orang tuanya mempercayakan Lea untuk mengelola uang hadiah itu sendiri, tentunya tetap masih mendapatkan uang jajan dari mereka.
Pernah suatu ketika Leo bertanya, mengapa kakaknya mau mendukung bakatnya, dengan santainya Lea menjawab, "Gue itu lagi berinvestasi sama Lo dek, entar kalau Lo udah jadi chef yang terkenal terus banyak duit, Lo bisa balikin ke gue?"
Mendengar hal itu, Leo tertawa, betul juga apa yang diucapkan kakaknya.
Keduanya bersekongkol agar hal itu tidak diketahui oleh orang tua mereka.
Pernah juga Lea sesumbar, "Dek, gue nggak usah kuliah aja kali ya, gue mau ikut turnamen biar dapet duit buat biayain sekolah Lo," Tentu hal itu ditentang keras oleh Leo, ia ingin agar kakaknya mewujudkan cita-citanya menjadi seorang dosen sama seperti ayah mereka.
Cedric Batley, seorang remaja dengan segudang masalah yang dibuatnya, bolos, tawuran, mabuk-mabukan dan kenakalan khas remaja seumurannya.
Salah satu siswa kelas dua belas jurusan IPS yang hanya masuk seminggu sekali, paling banyak tiga kali seminggu remaja itu, hadir di sekolah.
Cedric tinggal bersama nenek dari pihak mendiang ibunya, yang meninggal saat dirinya lulus elementary school di luar negeri, sejak saat itu sang nenek mengurusnya dengan mengandalkan uang pensiun mendiang kakeknya yang seorang tentara.
Sedangkan sang ayah, jangan ditanya, lelaki yang paling Cedric benci di dunia ini, karena ulah ayahnya yang mempunyai hobi berselingkuh, membuat Cedric kehilangan sang ibu yang memiliki riwayat lemah jantung.
Sejak kematian sang ibu, Cedric bahkan menolak semua fasilitas dan uang untuknya dari sang ayah, ia lebih memilih hidup sederhana dengan sang nenek, meskipun untuk urusan sekolah ia tak bisa menghindar, bagaimanapun sekolah tempatnya belajar adalah milik keluarga ayahnya, karena itulah senakal apapun Cedric, ia tidak akan dikeluarkan dari sekolah.
Berkali-kali ia keluar masuk ruang BK namun sepertinya pihak sekolah memang enggan mengeluarkan dirinya.
Hari itu Cedric mendapati teman-temannya tengah memukuli seorang yang berseragam sekolah sama dengan dirinya.
Mungkin itu adik kelasnya, ini pemandangan yang biasa untuknya, memang Cedric bukan orang yang suka merundung adik kelasnya, namun ia membiarkan saja teman-temannya melakukan hal itu.
Cedric hanya akan memukul bahkan menghajar anak-anak dari sekolah lain saat dia ikut berpartisipasi dalam tawuran antar sekolah.
Namun hari itu entah mengapa ia justru menghentikan aksi teman-temannya, Cedric sengaja membawa adik kelasnya untuk menjauh, ia memintanya agar segera enyah dari hadapan mereka.
Namun lagi-lagi ia bertemu dengan adik kelasnya yang sedang dihajar oleh teman-temannya beberapa hari kemudian.
Apakah adik kelasnya itu bodoh, kenapa masih menghampiri Bimantara salah satu temannya sekaligus ketua gank sekolah mereka.
Bimantara memang gemar merundung adik-adik kelasnya, juga sering meminta uang pada mereka secara paksa.
Cedric tak terikat dengan gank yang dipimpin Bimantara, namun disegani serta ditakuti oleh anggota gank itu.
Kejadian dua tahun lalu saat mereka masih duduk dikelas sepuluh, Cedric menghajar Bimantara hanya karena tidurnya terusik, hingga remaja itu berakhir tak sadarkan diri selama tiga hari di rumah sakit.
Belum lagi kemampuan Cedric yang bisa mengalahkan lima orang sekaligus, saat anggota gank itu tidak terima ketuanya dibuat koma.
Sejak itulah mereka segan dan takut jika berhadapan dengannya, ditambah lagi mengetahui fakta jika Cedric adalah anak dari pemilik sekolah tempat mereka menimba ilmu.
Siang itu, usai pulang sekolah, Cedric menemui teman-temannya, untuk membicarakan tentang pembalasan dendam, karena salah satu teman mereka dipukuli hingga babak belur oleh musuh bebuyutan sekolah Pratama yaitu sekolah Merdeka.
Bimantara meminta Cedric untuk datang ke markas gank yang dipimpinnya di gang buntu tak jauh dari sekolah.
Namun saat hendak memasuki markas Bimantara, Cedric mendapati seorang gadis berseragam sama dengannya sedang mengamati markas milik temannya itu.
Cedric sengaja menepuk pundak gadis itu, namun sepertinya ia hendak dibanting, tentu Cedric tidak akan membiarkan hal itu terjadi, harga dirinya terluka jika harus berakhir babak belur oleh seorang gadis.
Setelah gadis itu tak berhasil membantingnya, gadis dengan kuncir kuda itu berbalik, dan menatapnya tajam, mengamatinya dari ujung kepala hingga ujung kakinya.
Sedikit kaget, ia mendapati seorang gadis yang terkenal berprestasi di sekolahnya sedang berada ditempat seperti ini.
"Udah ngeliatin gue?" ujar Cedric dengan senyum tengilnya, "Ngapain cewek kesini? Ada yang sedang Lo cari?" lanjutnya.
Gadis itu diam sejenak, mungkin sedang berfikir, "Lo kenal mereka?" tanyanya.
Cedric mengangkat sebelah alisnya, "Apa gue harus kenal mereka?" tanyanya ambigu.
Lagi-lagi gadis itu terdiam, namun akhirnya angkat bicara, "Bisa gue minta tolong?" tanyanya, sementara Cedric hanya mengangguk.
"Lo tau cowok yang belum lama masuk di gang ini, beberapa menit yang lalu? Bisa Lo bawa keluar dari sana?" mohonnya.
Cedric melihat kearah kumpulan teman-temannya, dan berfikir sejenak, "Apa yang gue dapet kalau gue berhasil bawa dia ke hadapan elo?" tanyanya.
Gadis itu merogoh saku seragamnya, ada uang berwarna hijau, "Gue cuman punya uang dua puluh ribu, ini bakal jadi milik Lo, kalo Lo bisa bawa dia kemari," ujarnya sambil menunjukan uang padanya.
"Oke," jawab Cedric.
Lelaki itu berlalu dari hadapan gadis itu, ia menghampiri teman-temannya yang sedang memukuli adik kelasnya, lagi-lagi dia lagi.
Cedric bernegosiasi dengan Bimantara, "Gue bakal bantuin Lo buat berhadapan dengan SMA Merdeka tapi bebasin itu bocah," tunjuknya pada adik kelasnya yang sudah terkapar dilantai namun masih tersadar.
Bimantara mengiyakan usulnya, namun sebelumnya ia memegang bahu Cedric, "Udah tiga kali Lo nyelamatin itu bocah, ada hubungan apa Lo sama dia?" ucapnya.
"Nggak ada apa-apa si, cuman kasian aja, badan kecil gitu, bisa mati itu bocah, Lo pukulin terus, mau Lo berurusan sama polisi?" sahut Cedric santai.
Akhirnya Bimantara menyuruh anak buahnya, untuk membebaskan adik kelas mereka, sebelum pergi Cedric sempat berpesan pada Bimantara, "Mulai sekarang jangan gangguin ini bocah, dia dalam perlindungan gue, kalau Lo macem-macem abis Lo," bisiknya tepat ditelinga Bimantara.
Cedric merangkul bahu adik kelasnya, ia berkata, "Udah tiga kali gue nyelamatin elo, kalau sampai yang keempat, gue yang bakal bikin Lo mati, sekarang Lo balik, cewek Lo dah nungguin tuh," bisiknya.
Setelah keduanya menghampiri gadis itu, Cedric menerima satu lembar uang berwarna hijau, ia menyimpannya di dompet, mungkin akan menjadi kenang-kenangan untuk dirinya.
Cedric kembali menghampiri Bimantara untuk membahas penyerangan yang akan mereka lakukan besok.
***
Keesokan harinya, Bimantara dan Cedric serta anggota gank sudah berkumpul di markas, mereka akan menyerang SMA Merdeka siang sepulang sekolah.
"Pokoknya jangan sampai bikin mereka sampai mati, cukup babak belur aja, jangan ada yang bawa pisau atau celurit, senakal-nakalnya kita jangan sampai bunuh orang, ngerti Lo pada?" Cedric memberi peringatan pada mereka.
Saat tawuran dimulai, Cedric dan Bimantara berdiri di paling depan, tentu saja hal itu membuat pihak SMA merdeka sedikit takut, mereka tau seperti apa dua orang itu, namun sudah kepalang basah, mereka tetap maju, meski tau, akhirnya akan seperti apa.
Tidak sampai sepuluh menit, SMA Merdeka dipukul mundur oleh SMA Pratama, tentu semua itu berkat campur tangan Cedric, bahkan ketua gank SMA Merdeka sudah babak belur dihajar Cedric.
Kemenangan ada ditangan SMA Pratama, namun belum sempat mereka merayakannya, sirine polisi terdengar, tentu para pelajar itu kocar-kacir melarikan diri.
Entah mengapa hari ini, Lea merasa dirinya tidak beruntung, tadi pagi untuk pertama kalinya, ia bangun kesiangan, Leo dan kedua orang tuanya tak membangunkannya.
Bahkan saat dirinya keluar kamar, rumah sudah sepi, keluarganya yang lain, telah memulai aktivitas masing-masing.
Saking terburu-buru, ia hanya cuci muka dan sikat gigi, Lea juga melewatkan sarapan, kurang dari lima menit lagi, bel masuk sekolah akan berbunyi, sementara waktu tempuh dari rumah menuju sekolahnya, kurang lebih lima belas menit, itu kalau lalu lintas lancar, tapi seingatnya, saat jam segini lalu lintas sedang padat-padatnya, berbarengan dengan orang-orang yang berangkat kerja.
Saat tiba di sekolah, gerbang sudah ditutup, dari balik helmnya, Lea menghembuskan nafasnya kasar, selama dua setengah tahun ia menimba ilmu disini, untuk pertama kalinya ia terlambat masuk.
Apa yang harus dilakukannya sekarang? Tak mungkin dia membolos, karena hari ini ulangan matematika, pelajaran favoritnya, tak jauh darinya, ada beberapa murid yang bernasib sama dengannya, tapi kebanyakan dari mereka justru berbalik arah.
Lea putuskan untuk menemui sekuriti penjaga gerbang sekolah, dalam hati ia berdoa, agar pak Mamat mau berbaik hati padanya.
Sayangnya, walau dirinya terkenal sebagai murid kebanggaan sekolah, ia tetap tak ijinkan masuk.
Akhirnya ia putuskan untuk berbalik, namun baru saja akan menyalakan motornya, ia dihampiri lelaki yang kemarin menolong adiknya.
"Wah..., ternyata murid teladan bisa terlambat juga ya! Mau bolos kayaknya," sama seperti kemarin, murid itu tak mengancingkan kemeja seragamnya, "Kalau mau, gue bisa bantu Lo buat masuk," tawar lelaki jangkung, yang belum Lea tau namanya.
Mendengar tawaran yang baginya menggiurkan, ia pun bertanya, "Gimana caranya ?"
Lea bisa melihat siswa itu menyeringai, sempat berprasangka buruk, tapi ia tak punya pilihan lain, selain mengikuti.
Lelaki itu membonceng dirinya, dan mengarahkan jalan, yang katanya tempat rahasia.
Motor berhenti tepat di gang yang kemarin ia datangi, saat mengikuti Leo, ia tak menyangka jika di sana berbatasan langsung dengan tembok belakang sekolah.
"Lo naik dulu gih," perintah lelaki itu, Lea hanya menurut, ia menaiki susunan bangku rusak yang sudah tak terpakai, untung saja tadi ia memakai celana olahraga dibalik rok kotak-kotak seragamnya, sehingga pahanya tak terekspos.
Lea malu, apalagi lelaki itu berada dibawah memegangi susunan bangku, agar tidak roboh.
Ia sudah duduk diatas tembok sekolah, melihat ke sekelilingnya, sepi tak ada seorangpun di sana, yang ia ketahui adalah gudang.
Lea baru menyadari jika lelaki itu kini duduk berhadapan diatas tembok bersamanya, "Lo bisa lompat kan?" Lea mengangguk, "Entar Lo bakal gue tangkap,"
Lea melihat motornya yang terparkir, "Motor gue gimana?"
Lelaki itu menoleh, "Siniin kuncinya, entar pulang sekolah, Lo bisa ambil di warung kopi depan, gue titipin kuncinya ke penjaga warung,"
Sempat ragu, tapi pada akhirnya Lea memberikan kunci motornya dengan gantungan berupa boneka kucing berwarna merah muda.
Lelaki itu melompat terlebih dahulu, lalu memintanya untuk melompat, Lea menurut dan tubuhnya ditangkap, keduanya sempat bertatapan, hingga Lea memutuskan tatapan terlebih dahulu serta meminta untuk diturunkan.
Lea merogoh saku kemeja seragamnya, dan memberikan uang sebesar dua puluh ribu rupiah, "Makasih udah bantuin gue," setelah mengatakannya, ia berlalu dari sana.
Kesialan selanjutnya adalah saat diakhir pelajaran olahraga, tak sengaja Lea terkena lemparan bola yang membuatnya pingsan dan harus beristirahat di UKS, sehingga ia melewatkan ulangan Matematika di jam pelajaran selanjutnya.
Pulang sekolah, usai mengambil motornya di
warung kopi diseberang sekolah, kesialan itu datang lagi, motornya mogok karena kehabisan bahan bakar, harusnya kemarin jadwalnya mengisi bahan bakar, tapi uangnya malah ia gunakan untuk menyelamatkan adiknya.
Tak cukup sampai disitu, sedang mendorong motor miliknya, menuju tempat pengisian bahan bakar, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya.
Lea segera memasukan tasnya ke dalam bagasi motornya, sayangnya ia lupa tak memakai jaket dan jas hujan miliknya tertinggal di rumah, alhasil ia basah kuyup.
Sepertinya ia pernah melakukan kesalahan fatal yang tak disadarinya, karena kesialan berikutnya datang, ketika sebuah mobil yang melintas dengan kencangnya mencipratkan genangan air bercampur lumpur pada jalan berlubang, tak jauh darinya.
Lengkap sudah penderitaannya hari ini, penampilannya bahkan cukup mengenaskan, kemeja seragam yang berwarna putih berubah warna menjadi kecokelatan, rok kotak-kotak biru terkena noda lumpur, badannya juga mulai kedinginan.
Lea memutuskan untuk mampir ke minimarket, ia sangat lapar, sedari pagi, ia belum mengisi perutnya dengan makanan berat, hanya sepotong roti dan sekotak susu yang ia dapat setelah ia pingsan.
Ia tidak peduli dengan penilaian orang tentang penampilannya sekarang, perutnya minta diisi, toh ia memiliki uang pada kartu debitnya untuk membayar.
Lea membeli nasi kotak dengan lauk rendang, sosis panggang, tak lupa mie cup kuah serta air mineral, ia meminta kasir untuk menghangatkannya.
Lea menikmati makanannya di teras minimarket, ada kursi panjang di sana, ia makan dengan lahap, sampai ada suara tawa tak jauh darinya.
"Pft...."
Lea menoleh dan mendapati lelaki berseragam sekolah sama dengannya, lelaki yang kemarin menolong adiknya serta dirinya tadi pagi.
Namun Lea tak mempedulikan lelaki itu, ia terus menikmati makanannya, bahkan suara menyeruput mie cup kuah cukup nyaring terdengar, tak lupa sosis panggang yang cukup besar.
"Wah, gue jadi pengen nyobain, enak banget ya?" Celetuk lelaki yang entah kapan duduk disampingnya, lagi-lagi Lea tak mempedulikannya.
Cedric sedikit tersinggung dengan sikap cuek gadis itu, pertama kalinya ada seorang gadis tidak memandang dirinya yang tampan itu, ia mendengus kesal, "Apa mie cup itu lebih menarik dari gue?"
Lea tidak menjawab pertanyaan lelaki itu, ia membuka segel botol air mineral dan langsung meminumnya hingga setengah botol, ia mengucap syukur karena perutnya sudah terisi hingga kenyang.
Hujan masih turun dengan derasnya, Lea tau lelaki disampingnya masih menatapnya, namun dirinya tak ingin berurusan dengan berandal itu.
Sebenarnya Lea tidak terlalu mengenal lelaki disampingnya, selama dua setengah tahun bersekolah, ia bahkan hanya mengenal teman sekelasnya saja, serta teman yang mengikuti pertandingan bersamanya.
Lea cukup pemilih dalam berteman, ia hanya bergaul dengan murid berprestasi di sekolahnya.
Cedric yang terus didiamkan lama-lama kesal juga, "Apa begitu cara murid berprestasi berterima kasih, dengan orang yang sudah menolongnya?" sindirnya.
Merasa tersindir, Lea melirik lelaki disampingnya, "Gue udah ngasih Lo duit, jadi itu cara gue berterima kasih dengan orang macam Lo," sahutnya ketus.
Cedric tersenyum miris, yah dia sudah terbiasa mendapatkan pandangan dan ucapan ketus seperti itu, tapi entah mengapa ia sakit hati mendengar ucapan ketus dari gadis disampingnya.
"Apa menurut Lo, duit segitu cukup sebanding dengan nyawa yang udah gue selamatkan?" Tanya Cedric menatap gadis itu tajam.
"Apa mau Lo? Berapa yang Lo minta?" tanya Lea balik.
Cedric mendekati gadis itu, "Tidur sama gue," bisiknya frontal.
Mendengar hal itu rasanya Lea ingin menghajar lelaki disampingnya, kurang ajar sekali, namun ia tidak boleh melakukannya, itu akan mencoreng reputasinya sebagai siswi teladan.
Lea tidak menanggapi ucapan itu, bahkan ia meninggalkan tempat, ia rela menerobos hujan menuntun motornya dari pada harus berhadapan dengan lelaki brandal itu.
Kebetulan tak jauh dari minimarket ada yang menjual bahan bakar eceran, ia hanya butuh satu botol untuk membuat motornya bisa menyala.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!