Nara mengendap-ngendap di balik jendela kaca kamarnya, bersembunyi di samping meja kerja sang suami. Ia melihat bayangan hitam membawa keranda mayat berjalan di tengah sawah depan rumahnya, menuju arah hutan dimana sungai Banyu bening berada.
Rumah Nara memang berada di ujung, sisi kanannya adalah pepohonan jati yang tumbuh subur sepanjang jalan samping sungai. Sedangkan depan rumahnya adalah persawahan yang luas. Sungai Banyu bening sendiri adalah sungai terbesar dan terpanjang di desa Jagori, ujung sungai mencapai kota, jika warga sengaja berjalan sepanjang alur sungai maka ia bisa sampai ke kota sebelah.
Sesuai namanya, sungai Banyu bening memiliki air yang sangat jernih. Meski begitu, sebab sungai sangat dalam dan arus air yang sangat kuat, tak satupun warga desa yang memanfaatkan sungai untuk keperluan sehari-hari, bahkan anak-anak dilarang untuk pergi ke sungai tanpa pengawasan orang dewasa. Selain itu karena untuk mencapai sungai mereka harus melewati hutan jati yang cukup lebat dan gelap.
Nara menyibak sedikit gorden kamar, berusaha melihat bayangan hitam itu lebih jelas. Namun begitu, ia tetap tak bisa memperkirakan berapa jumlah mereka. Pakaian serba hitam ditengah kegelapan malam menghalangi pandangan matanya. Namun, satu hal yang ia yakini mereka membawa benda mirip keranda mayat di pundak. Jika itu benar maka ada sekitar empat orang dalam rombongan mereka, sebab Nara memperhitungkan bentuk keranda yang memiliki empat sisi.
Nara memilih kembali rebah diatas ranjang setelah rombongan pembawa keranda mayat itu hilang ditelan gelapnya rerimbunan daun jati. Sejak sore ia rela menunggu hingga tengah malam untuk memastikan apakah rombongan itu akan kembali lewat malam ini. Dan benar saja, mereka kembali datang tepat di jam yang sama seperti malam-malam sebelumnya.
***
Suasana desa Jagori di pagi hari tampak sangat hidup, beberapa lelaki berjalan kaki menuju sawah, sedangkan yang perempuan tengah sibuk mengerumuni seorang penjual sayur yang menjajakan sayurnya tiap hari kedesa itu. Jarak tempuh dari desa Jagori ke kota lumayan jauh, pasar juga tak ada di sana, jika warga desa ingin ke pasar mereka harus ke kota, atau bisa ke desa sebelah yang jalannya rusak dan berbatu.
“Bang, bang Rois berapa bayam seikat ini?” tanya seorang wanita cantik berkulit putih, mata wanita itu mengerjap manja.
“Kalau buat Neng Jumi mah dua rebu aja Neng,” jawab Rois, lelaki sekitar usia tiga puluhan yang berprofesi sebagai penjaja sayur keliling itu mengedipkan matanya genit.
“Lah emangnya kalau buat kita berapa Bang?” Seorang wanita berambut bob pendek ikut bertanya.
“Dua ribu lima ratus lah buat eneng Dara,” jawab Rois cengengesan.
“Yaelah bang, kenapa harus beda kayak gitu?”
“Ish neng Nara mah kayak nggak ngerti aja.” Rois tersenyum tipis, mengedipkan mata berkali-kali, duda tanpa anak itu berusaha mengingatkan bahwa dirinya mencintai Jumi sudah sejak awal mereka berjumpa.
“Jumi mah nggak bakal mau sama lelaki modelan kamu Is, seleranya tinggi. Iya kan Jum?” tanya mbok Nah, seorang wanita tua yang baru saja datang bergabung, “Rois, tolong ambilkan aku ikan pindang itu, buat makan si Moly,” ucap mbok Nah lagi.
“Permisi, lagi pada belanja nih semuanya?” tanya seorang kakek yang kebetulan melewati mereka.
“Ah, kakek Qosim, iya nih kek. Mau mampir dulu kek? icip-icip kue basahnya, masih pada anget nih kek. Dara traktir deh kek,” tawar Dara pada kakek Qosim.
“Makasih nduk, kakek sudah kenyang. Tadi sebelum berangkat sudah sarapan masakannya si Ijah, menantu kakek,” jawab lelaki tua itu. Tangannya memegang tali tampar yang terikat pada leher seekor kambing berwarna putih. Kambing itu terlihat sangat gemuk, bulu-bulunya yang lebat juga nampak bersih. Sepertinya kakek Qosim rajin memandikannya.
“Wah, kambing kakek gemuk sekali kek?” tanya Nara, gemas dengan kambing yang terlihat lucu itu.
“Iya kan nduk? sebentar lagi mau kakek jual, mumpung harga kambing lagi naik naiknya ini. Lumayan bisa buat uang saku cucu nanti kalau anaknya Danu datang dari kota,” jawab kakek Qosim, lantas tertawa renyah.
“Danu sama istrinya mau berkunjung to kang?” Mbok Nah menoleh dan bertanya pada lelaki sebayanya itu.
“Iya Nah, kamu sendiri apa putramu tetap tak ada kabar?”
“Jangan bahas dia lagi kang, aku sekarang sebatang kara. Ndak punya siapa-siapa aku,” keluh mbok Nah tentang putranya yang tak kunjung pulang bertahun-tahun lamanya.
“Yo sing sabar, kamu wes dikelilingi genduk-genduk ayu. Ada nduk Dara, Neneng, Juminten dan siapa ini namanya?” Kakek Qosim menunjuk Nara.
“Nara Kek,” jawab Nara sopan, tersenyum menatap lelaki tua yang juga menatapnya.
“Oh iya, Nara. Istrinya Ilyas, gimana nduk? kamu betah tinggal di desa ini?”
“Alhamdulillah betah kek,” jawab Nara.
“Yang bikin nggak betah itu kalau malam kek, dia sendirian terus gara-gara Ilyas kerja diluar kota dan jarang pulang,” jawab Neneng menggoda Nara.
“Suruh pulang nduk, nggak baik suami istri sering pisah. Banyak godanya kalau lelaki berjauhan sama istri itu. Kamu harus tetap waspada, ya sudah kakek mau lanjut perjalanan dulu ya. Keburu siang nanti kambingnya nggak dapat makan,” ucap kakek Qosim, kembali berjalan tertatih menuju hutan.
“Hati-hati kek,” jawab Nara dan Dara hampir bersamaan. Kakek Qosim tersenyum dan mengangguk, lantas kembali melanjutkan perjalanannya. Rois yang sedari tadi hanya menyimak kini kembali berbicara panjang lebar, menceritakan tentang harga kambing dan segala berita terbaru yang diketahuinya.
“Gara-gara ucapan kakek Qosim tentang lelaki yang suka tergoda, aku jadi ingat sesuatu,” kata Dara, berbisik pelan dan sedikit memajukan badannya.
“Apa itu mbak Dara?” tanya Neneng mewakili teman-temannya.
“Tiga hari yang lalu, saat suamiku ngeronda. Dia lihat dua orang di hutan, di samping rumahmu Ra,” ucap Dara, memandang Nara di sampingnya, “dua orang ini sepertinya sepasang kekasih yang sedang melakukan itu, perbuatan terlarang,” bisiknya dikata kalimat terakhir.
“Mbak Dara serius? sumpah demi apa mbak?”
“Ya Allah Neng, mana mungkin mas Qomar bohong urusan seperti ini. Malah mas Qomar bilang kok yang cewek pakai baju pink polos, kayak kaos gitu. Kalau yang cowok pakai kemeja putih. Awalnya sih mas Qomar cuma denger suara desahan-desahan gitu, hampir saja dia lari karena takut. Eh si cewek manggil mas gitu, ya udah mas Qomar kepo, pas coba dilihat, astaghfirullah, mereka lagi saling melepas pakaian. Dan terjadilah hal itu.”
“Mas Qomar lihat dong mbak Dara?” tanya Neneng antusias.
“Kamu itu Neng, demen banget kayaknya. Ya lihatlah, tapi sebentar. Mas Qomar lupa ponselnya tertinggal di pos kamling. Niat hati mau ambil ponsel untuk ngerekam sebagai bukti, eh pas kembali adegan ninu ninu nya sudah selesai, pelakunya udah pulang.” Dara tertawa lepas saat mengakhiri kalimatnya.
“Ya Allah, itu siapa berbuat hal laknat kok dihutan? emangnya nggak takut azab apa ya? nggak takut kalau penunggu hutan marah nantinya?” keluh mbok Nah, mengelus dada berulang-ulang.
“Emangnya hutan ada penunggunya ya mbok?” tanya Rois.
“Kamu ini Is, dimanapun tempatnya itu ada penunggunya. Makanya kita harus hati-hati dalam perbuatan dan ucapan kita. Jangan sembarangan. Apalagi seperti hutan, udah jelas banyak dedemitnya disana, ndak diragukan lagi itu.” Mbok Nah berkata panjang lebar.
“Apa kang Qomar nggak lihat wajahnya mbak Dara?” tanya Nara.
“Itu masalahnya Ra, wajah mereka nggak terlihat. Karena memang gelap.”
“Laporkan saja nduk sama pak Wignyo, biar segera diusut, seenggaknya kalau pak Wignyo bikin pengumuman, pelakunya akan was-was dan nggak akan mengulangi perbuatan mereka lagi. Geram aku, bocah gemblung ndak mikir, zina kok di hutan. Astaghfirullah.” Mbok Nah menggelengkan kepala, heran dengan kelakuan anak muda jaman sekarang.
“Ehm, bang Rois. Bisa totalkan belanjaan Jumi nggak? Jumi mau segera pulang soalnya, sepertinya ini Jumi kelamaan disini, khawatir bulek sudah nunggu dari tadi,” pinta Juminten.
“Ah iya neng, sini biar saya totalkan.” Rois tersenyum genit seraya menerima kantong plastik berisi belanjaan Juminten.
“Iya, kita sudah lama ngerumpinya, ayo Is jangan lama-lama. Gantian kita setelahnya,” perintah mbok Nah kemudian.
“Iya mbok, sabar ya mbok, neng. Satu-satu ya, semua pasti dapat bagian,” jawab Rois terkekeh pelan.
Angin berhembus dari pucuk-pucuk daun jambu, membawa tetes-tetes air sisa hujan beberapa waktu yang lalu. Nara duduk di depan rumah sendirian, ia melihat seorang lelaki dengan badan basah kuyup berjalan kebingungan di sepanjang jalan depan rumahnya. Wajah lelaki tua itu tampak gelisah, terlihat dari matanya yang tak fokus pada jalanan di depannya.
Nara berjalan ke depan rumah, hendak mempertanyakan sikap sang kakek yang tampak gelisah. “Kek, kakek Qosim, mampir dulu kek.”
Lelaki tua itu berjalan mendekat, kakinya yang tanpa alas kaki tampak kotor dan bahkan ada sedikit luka. “Kakek kenapa? sudah sore kakek masih belum pulang.”
“Anu nduk, itu si Domar hilang,” jawab Kakek Qosim.
“Domar siapa Kek?” tanya Nara merasa tak mengenal nama yang disebutkan lelaki tua itu.
“Kambing kakek nduk, mau tak jual kok malah hilang,” ucap Kakek Qosim sedih.
“Kok bisa Kek? bagaimana ceritanya?” Nara mempersilahkan kakek tua itu untuk duduk di teras rumahnya, ia tak tega melihat keadaan sang kakek yang tampak kepayahan.
“Tadi waktu menjaga Domar, kakek tak sengaja tertidur. Kakek bangun karena hujan, waktu itulah kakek sadar Domar sudah nggak ada.”
“Ya Allah, mungkin tersesat ya Kek.” Nara ikut bersimpati. Namun, tak banyak yang bisa ia lakukan di tengah gerimis seperti ini. Kemampuan wanita terbatas, meski ia sangat ingin membantu kakek Qosim.
“Ya sudah nduk, biar kakek coba cari lagi.” Kakek tua itu kembali berjalan menuju hutan, langkahnya tertatih pelan. Nara merasa tak sampai hati, namun ia benar-benar tak bisa berbuat apa-apa.
***
Malam yang dingin, Petugas ronda tak sebanyak biasanya, hanya ada Pak Dodi sendirian duduk di pos kamling ujung sawah. Malam ini Nara tidur lebih awal, hingga tepat tengah malam ia terbangun dan merasakan ingin buang hajat. Nara segera pergi menuju kakus yang terletak di dapur.
Usai menuntaskan hajatnya, Nara kembali ke kamar. Mencoba melihat dari jendela kamar situasi di luar rumah. Pos kamling tampak jelas dari rumahnya, pak Dodi yang tadi dilihatnya kini telah tiada. “Kemana perginya pak Dodi?” gumam Nara. Wanita itu segera kembali menuju ranjang.
Namun, gerakan kakinya terhenti saat matanya menangkap bayangan hitam berjalan di tengah sawah. Lagi-lagi rombongan yang sama seperti yang dilihatnya beberapa hari yang lalu. Rombongan pengusung keranda mayat berjalan menuju hutan.
Nara bergidik ngeri, tak ingin terlalu lama menyaksikan pemandangan di depan mata. Ia pun segera kembali menuju ranjang, merebahkan diri menutupi tubuh dengan selimut tebal.
Keesokan harinya seperti biasa, warga desa Jagori beraktivitas kembali. Nara dan beberapa tetangga tengah mengerumuni Rois sang penjaja sayur keliling.
“Itu mbak Ijah ya yang lari kesini?” tanya Dara menunjuk pada seorang wanita berdaster yang berlari ke arah mereka.
“Iya kayaknya nduk. Ada apa si Ijah kok terburu-buru begitu?” tanya mbok Nah.
Ijah, menantu perempuan kakek Qosim berjalan mendekat, nafasnya masih ngos-ngosan. Sesekali punggung tangan menyeka keringat yang mengalir di samping telinganya.
“Mbok, mbak Dara. Apa semuanya lihat bapak? dari kemarin nggak pulang soalnya,” ucap Ijah.
“Hah? maksud mbak Ijah kakek Qosim?” tanya Nara.
“Iya Ra, kemarin pagi kan pamit gembala kambing kesayangannya sebab mau dijual beberapa hari ke depan. Tapi kok nggak pulang sampai sekarang.”
“Loh, kemarin itu aku lihat kakek Qosim mbak, sore-sore waktu gerimis. Bajunya basah kuyup. Katanya Domar kambingnya hilang, dan kakek Qosim lagi cari gitu, sayangnya aku nggak bisa bantu mbak,” jawab Nara.
“Ya Allah, kemana sih pak?” Ijah mulai menangis, mengusap air mata dengan ujung lengan dasternya yang telah kumal.
“Suamimu kemana nduk? kok kamu cari sendirian?” tanya mbok Nah pada wanita yang masih terisak di depannya. Wanita itu yatim piatu sejak kecil, menjadi menantu kakek Qosim adalah anugrah terbesar dalam hidupnya, wajar jika ia sangat terpukul dan khawatir akan tidak pulangnya sang bapak mertua.
“Mas Niam sudah menyusul ke hutan dari subuh mbok, aku coba cari ke sawah dan ke rumah tetangga, beberapa kenalan dan kerabat. Tapi bapak tidak ada di sana,” ucapnya lagi. Mbok Nah menarik nafas panjang, membiarkan wanita itu pergi meninggalkan mereka. Melanjutkan mencari sang bapak dari satu rumah ke rumah lain.
“Kang Qosim sepertinya kabur dari hutang. Kata Timah tetangganya, beberapa hari yang lalu ada debt collector yang datang ke rumahnya. Mereka menagih hutang Danu ke bapaknya, anak itu dikira kang Qosim sudah enak hidup di kota, tau-tau malah punya hutang besar. Dan itu, si Domar kambingnya, Kang Qosim sebenarnya sangat menyayangi kambing itu, dia enggan menjual hewan gembul itu, tapi demi putra dan cucunya ia rela.” Mbok Nah bercerita panjang lebar, tentang kabar yang baru di dengarnya semalam di acara rutinan pengajian.
“Ya Allah kasihan sekali, tapi mbok. Kalau memang kabur ya kemana loh? orang sudah uzur seperti itu,” tanya Dara lagi.
“Benar mbok, kayaknya kok nggak mungkin deh kalau kakek Qosim kabur,” kata Nara yang mendapat anggukan dari Rois.
“Kalau nggak kabur, apa mungkin ada yang mencelakai kakek Qosim ya Neng?” tanya Rois pada tiga wanita di depannya.
“Hus, bang Rois jangan bilang gitu ah. Semoga aja kakek Qosim cuma lagi ke rumah saudara gitu loh.” Nara memperingatkan ucapan Rois yang menurutnya bisa menjadi doa.
“Iya Bang, doain aja deh supaya kakek Qosim cepat pulang,” kata Dara.
Sebuah mobil berhenti tepat di depan rumah Nara, atensi semua orang tertuju pada mobil berwarna gelap itu, seorang lelaki dengan setelan kemeja putih dan celana hitam turun dari dalamnya, senyum Nara mengembang demi melihat siapa lelaki yang baru datang itu.
“Assalamualaikum,” ucap seorang lelaki yang baru saja turun dari sebuah mobil. Mobil berwarna hitam yang terparkir di samping rumah Nara.
“Waalaikumsalam, Pulang Yas? yang lama kali ini, kasihan istrimu sendirian terus,” kata Dara pada teman masa kecilnya itu.
“Iya Mbak, mbok Nah, Bang Rois. Sehat semua ya?” tanya Ilyas.
“Alhamdulillah,” jawab Mbok Nah dan Rois serentak.
“Ya sudah, aku balik duluan ya,” pamit Nara, berjalan kembali menuju rumah.
“Cieee, yang suaminya pulang nggak jadi belanja,” goda Dara.
“Bukan gitu, sepertinya Bang Ilyas sudah bawa sarapan buat kita, jadi belanjanya besok saja ya Bang.” Nara tersenyum kepada Rois, wanita itu segera menyusul suaminya yang telah lebih dulu berpamitan dan masuk ke dalam rumah.
“Abang, tungguin Nara dong.” Nara berlari-lari kecil mengikuti langkah lebar suaminya yang telah berada di dalam rumah, lelaki itu tak menghiraukan panggilan istrinya, memilih meletakkan baju dan melepas pakaian lantas pergi mandi.
“Nar, tolong ambilkan Abang handuk ya,” perintahnya tatkala separuh badan telah berada dalam kamar mandi.
“Ih, Abang mah. Baru pulang bukannya salim dulu langsung masuk kamar mandi,” protes Nara yang tetap melaksanakan perintah sang suami. Berjalan cepat menuju kamar, mengambil handuk baru di dalam lemari pakaian.
Ilyas tak menjawab omelannya, lelaki itu seakan tak mendengar apa yang ia katakan, menerima handuk dari tangan Nara dan menutup pintu. Guyuran air terdengar memecah kesunyian dalam rumah besar itu, rumah kuno peninggalan sang mertua. Meski merasa kesal. Namun, Nara mencoba abai. Menganggap mungkin sang suami terlalu capek, hingga ingin langsung berendam di dalam air hangat.
Nara berjalan pelan meraih kantong plastik oleh-oleh suaminya. Ia tersenyum saat menyadari Ilyas membeli ayam goreng Mang Jono kesukaannya. Meski lelaki itu tampak sedikit cuek, namun kebiasaan membeli makanan setiap pulang ke rumah tak dilupakannya. Nara mulai menghidangkan ayam goreng di atas piring, tak lupa nasi dan juga air putih ia siapkan juga diatas meja.
Saat suaminya selesai mandi, Nara tersenyum dan berkata, “Abang ayo sarapan dulu,” ajaknya.
“Kamu makan sendiri aja Nar, Abang tadi sudah sarapan di warungnya.” Ilyas meletakkan handuk sembarang tempat, lantas berjalan mendekati dispenser air di ujung ruangan, mengambil segelas air dan meminumnya.
“Yah, kok nggak makan di rumah saja sih Bang, Nara kan jadi makan sendiri kalau gini,” rengeknya, cemberut menatap wajah sang suami.
“Jangan manja, kamu setiap hari juga makan sendiri kan Nar? memangnya selama ini ada yang nemenin? kan nggak.” Ilyas hendak berjalan menuju ruang tamu. Namun, secepat kilat Nara meraih tangan sang suami, menyeretnya mendekati meja makan.
“Setidaknya temani lah Bang, masa Abang di rumah dan Abang bekerja nggak ada bedanya, Nara tetap makan sendiri. Temani ya,” pinta Nara mencoba bersikap manja di depan sang suami. Ilyas menghela nafas panjang, terpaksa mengikuti keinginan istrinya dan duduk di atas kursi di samping meja makan. Nara mulai makan dengan lahap, sedangkan Ilyas sibuk dengan ponsel di tangan.
“Abang, tau nggak sih tadi pagi mbak Ijah heboh nyariin kakek Qosim, katanya kakek nggak pulang dari kemarin. Padahal kemarin pagi itu kita jumpa kakek Qosim saat belanja, beliau mau ke hutan gembala kambing. Sorenya pun Nara masih jumpa, Kakek Qosim kayak orang linglung nyari kambingnya yang hilang.”
Melihat suaminya hanya diam menatapnya, Nara kembali berkata, “Ada yang bilang kakek Qosim sengaja kabur menghindari tagihan utang putranya yang di kota, ada juga yang berpikir bahwa kakek Qosim mungkin saja sedang dalam bahaya. Kalau menurut Abang pribadi, setuju yang pertama apa yang kedua Bang?”
“Alah, paling juga kakek Qosim cuma lagi jalan-jalan. Masalah seperti ini nggak perlu dibahas terlalu dalam, nggak penting. Kamu juga nggak perlu ikut campur, biarkan saja,” ucap Ilyas.
“Abang kenapa sih? nggak biasanya Abang begini,” protes Nara pada suaminya.
“Abang ya selalu begini Nar, mau bagaimana lagi.” Ilyas berdiri meninggalkan istrinya menuju kamar, “selesaikan sendiri makan kamu, Abang mau istirahat lelah,” sambungnya.
“Cuek banget, awas saja kalau butuh bantuanku, akan ku balas,” gumam Nara pelan, memandang kepergian sang suami menuju kamar mereka. Ia segera menyelesaikan acara makannya, mencuci piring dan membersihkan dapur seorang diri.
Setelah semuanya selesai, seperti biasa Nara memilih duduk di teras rumah, menikmati sejuknya angin yang berhembus dari sawah depan rumahnya. Pemandangan sawah yang padinya sudah mulai tinggi tampak hijau dan subur, sesekali daun-daun padi itu akan bergoyang diterpa angin. Nara memilih mendengarkan musik favoritnya, sambil menikmati keindahan ciptaan tuhan disekitarnya. Meski tiada yang akan menyangka, pemandangan indah ini akan berubah mengerikan jika malam tiba, apalagi saat rombongan pengusung keranda mayat itu kembali tiba.
“Lagi nyantai nduk?” Dua orang wanita paruh baya bertanya dari samping sawah. Mereka adalah mbak Siti dan mbah Mus pemilik sawah depan rumahnya itu.
“Iya mbah, wah padinya bagus ya mbah. Ini nggak lama lagi bakal menguning dan panen nih,” goda Nara berjalan mendekati dua wanita yang kini duduk di samping sawahnya beralaskan tikar kecil.
“Doakan saja nak, semoga diberi kelancaran dan bisa panen banyak,” ucap mbah Siti. Dua nenek itu ada sahabat, mereka orang baik yang selalu menyapa Nara saat bekerja di sawahnya. Bahkan terkadang saat makan siang mereka tak segan membagi bekalnya dengan Nara, makan bersama di teras rumah wanita muda itu.
“Suamimu pulang nak?” tanya mbah Mus.
“Iya mbah, sedang tidur sekarang. Sepertinya kelelahan dia,” jawab Nara tersenyum ramah.
“Iya nak, biarkan dia istirahat. Oh iya kamu sudah dengar kabar kang Qosim?” Mbah Siti sedikit berbisik saat bertanya tentang kakek Qosim.
“Iya mbah, kasihan sekali. Apa sampai sekarang belum ditemukan ya mbah?”
“Belum nak, baru saja mbah lihat Ijah sama suaminya masih terus mencari di hutan. Kasihan dua anak muda itu, sepertinya benar kata orang-orang, kang Qosim melarikan diri membawa kambingnya itu. Dia sudah lelah sama tingkah anaknya, si Danu itu selalu nyusahin kang Qosim selama ini, Kang Qosim terlalu baik dengan mengatakan bahwa Danu anak yang berbakti.” Mbah Siti bercerita panjang lebar.
“Hus, itu belum tentu benar Ti, bisa saja Qosim dalam bahaya. Kita sebagai tetangga kalau nggak bisa bantu cari, doakan saja yang terbaik, jangan malah bantu sebar kabar yang belum jelas, jatuhnya nanti fitnah.” Mbah Mus tampak lebih bijaksana, menasehati sahabatnya yang sedang membicarakan tentang kabar yang santer beredar di kalangan masyarakat.
“Semoga saja kakek Qosim segera ditemukan ya mbah, kasihan mbak Ijah,” harap Nara. Ketiga wanita beda usia itupun bersama-sama menikmaTi semilir angin, saling bercerita segala macam pengalaman hidup masing-masing.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!