Hari ini adalah hari minggu. Hari yang biasanya di tunggu-tunggu oleh semua orang. Sebagian untuk beristirahat dari lelahnya pekerjaan. Sebagiannya lagi menunggu untuk mencari rezeki yang lebih pada hari tersebut.
Sama halnya seperti seorang anak yang berumur 11 tahun. Hari ini adalah hari yang sangat di nantikan-nya. Sebab orang tuanya sudah berjanji dari seminggu yang lalu. Tepatnya, pada hari ulang tahunnya yang di lupakan.
"Maaf ya. Ayah sama Ibu sibuk sama Kak Vania . Makanya sampai lupa ulang tahun kamu. Tapi Ayah janji. Minggu depan kita akan jalan-jalan. Sebagai gantinya." ujar Afandi pada anaknya bernama Adira.
"Baiklah, tapi kalian janji kan?" tanya Adira memastikan.
"Janji." sahut Ella pada anaknya.
Itulah, sepenggal janji yang di ucapkan oleh orang tua Adira.
Adira telah bersiap. Namun, orang tuanya belum juga keluar dari kamar. Padahal sekarang hampir tengah hari. Semalam Adira, sudah memastikan. Kata orang tuanya mereka akan berangkat pagi, jam 10.
Adira sudah beberapa kali memanggil orang tuanya di kamar. Namun, tidak terdengar sahutan dari dalam. Untuk membukanya langsung, Adira takut. Sebab pernah di marahi, dan di katakan tidak sopan oleh Ibu dan Ayahnya.
Karena sudah bosan menunggu. Akhirnya Adira ketiduran di ruang tamu. Dia masih berharap jika orang tuanya bangun, mereka bisa langsung berangkat. Walaupun perginya hanya sesaat.
Kebetulan hari ini tukang masak dan bersih-bersih diliburkan, karena mereka berencana menghabiskan waktunya diluar.
Sorenya sekitar jam tiga, Adira terbangun. Dia mendengarkan suara orang tertawa di taman belakang. Adira buru-buru berlari ke sana. Karena yang tertawa tersebut, adalah suara saudaranya Vania.
"Ibu, Ayah ..." panggil Adira.
"Baru bangun? Makan dulu sana. Kami udah makan." ujar Ella.
"Kalian tadi kemana aja? Aku nungguin kalian." tanya Adira tanpa memperdulikan suruhan Ella.
"Oo tadi pagi kami joging. Kamu belum bangun. Jadi kami tinggal." kata Afandi.
"Tapi hari ini, kalian janji mau ajak aku jalan-jalan." seru Adira dengan matanya yang berkaca-kaca.
"Ya ampun kami lupa." Ella menepuk dahinya. "Maaf ya. Bagaimana kalo lain kali saja?" tanya Ella masih dengan posisi duduk lesehan di lantai teras belakang. Sekarang mereka lagi bermain permainan ular tangga.
"Kalian memang selalu melupakan aku. Padahal semalam kalian sudah aku ingatkan. Tapi tetap saja lupa. Coba aja kalo Kak Vania yang ajak. Pasti jauh-jauh hari kalian sudah mempersiapkannya." ucap Adira sambil berlari menuju kamarnya.
Saat mendengar ucapan Adira, jujur hati Ella merasa tersentil. Karena bagaimanapun memang itu adalah hadiah ulang tahun yang di janjikan untuk anaknya Adira. Namun, tadi pagi dia benar-benar lupa. Apalagi tadi Vania membangunkan mereka dan mengajak mereka joging bersama.
"Bang, Ella ke atas dulu. Mau lihat Adira." Afandi menganggukkan kepala, dan Ella bangkit menuju kamar Adira.
Namun, baru saja Ella melangkah ke arah tangga. Afandi memanggilnya dengan sangat keras. Buru-buru Ella kembali kepada Afandi.
"Nak ... Bangunlah." panggil Afandi menepuk pipi Vania.
"Ayo Bang. Kita bawa ke rumah sakit." ucap Ella, melupakan Adira yang sedang merajuk, atau bisa saja menangis.
Di lantai atas, Adira hanya bisa melihat Ayahnya membopong Vania sang Kakak dan di susul oleh Ibunya. Adira tahu, pasti Kakaknya tiba-tiba kumat. Kemudian mobil Ayahnya keluar dari halaman rumah. Ia kembali menitikkan air mata. Dia juga ingin di rayu dan di bujuk seperti hal-nya, orang tuanya membujuk Kakaknya saat sedang marah. Ataupun merajuk.
"Dia gak apa-apa. Mungkin hanya kecapean. Usahakan untuk kedepannya, jangan lagi membuat dia merasa capek." ujar dokter yang menangani Vania.
Vania mengalami penyakit bocor jantung. Dan itu di alaminya semenjak umur 3 bulan. Berbagai cara telah di usahakan. Namun belum menunjukkan hasil. Makanya, Afandi dan Ella sangat memanjakan Vania. Apalagi saat Vania berumur tiga bulan. Ella positif hamil anak ke dua. Yaitu Adira.
Kehamilan Ella, sebenarnya tidak di harapkan oleh pasangan tersebut. Afandi atau Ella masih ingin memberi jarak untuk Vania dan adik-adiknya kelak. Apalagi saat itu bisnis toko pakaian Afandi sudah mulai sepi. Mereka juga banyak menghabiskan uang beserta tabungan untuk mengobati Vania. Bahkan Ella sampai stres dengan kehamilannya. Ella bahkan sempat memakan nanas juga durian dalam jumlah banyak. Namun kandungan begitu kuat. Begitu juga jamu. Ella sudah minum berbagai jamu untuk menggugurkan kandungannya. Tetapi cabang bayi enggan pergi dari rahim Ibunya.
Semenjak kelahiran Adira. Usaha toko pakaian yang di geluti sejak lama oleh Afandi mengalami kebangkrutan total. Sampai akhirnya mereka harus, mengadaikan rumah mereka ke bank. Untuk membuka usaha kembali, sehingga mereka jadi lah seperti ini. Ella yang memang pandai menjahit dan merancang baju, membuka butik dengan brand sendiri. Vaniacollection. Sedangkan Afandi dengan super market yang bernama Adiramart . Itu pun, atas usulan orang tua Afandi. Agar nanti Adira anaknya tidak merasa si bandingkan. Karena nama Vania sudah di pakai sebagai brand dari hasil baju Ella.
Adira hanya bisa menangis. Di umurnya yang sekarang. Dia ingin sekali merasakan Ayah dan Ibunya memanjakannya. Saat Adira, mengatakan setiap keinginannnya, orang tuanya selalu mengatakan kalau Adira harus mandiri. Jangan manja. Mereka bukan membandingkan kasih sayang. Tapi Kakaknya lebih butuh perhatian orang tuanya, karena keadaan yang lemah.
Adira di tuntut mandiri. Bahkan dia jadi anak yang pendiam. Baik di rumah ataupun sekolah. Dia bahkan tidak pernah mempunyai seorang sahabat. Yang ada, dia selalu saja di bully oleh teman-temannya, karena sikapnya yang selalu diam.
Di sekolah. Adira hanya berbicara jika ada yang menurutnya penting. Selebihnya dia hanya membaca dan membaca. Bahkan kebiasaanya saat istirahat pun tak pernah ke kantin. Bukan karena tidak punya uang. Namun karena dia tidak tau harus seperti apa saat makan bersama teman-teman. Dia lebih memilih makan di taman sendirian atau membaca buku di perpustakaan.
Malam harinya, Adira hanya di temani oleh Bu Mar. Pembantu yang bekerja di sana. Bu Mar bertugas untuk memasak. Biasanya dia akan datang setelah Afandi berangkat kerja. Dan pulang sore harinya, setelah menyiapkan makan malam. Dan untuk bersih-bersih mereka memperkerjakan satu orang lagi. Yaitu Bu Siti. Dia juga datang pagi pulang sore, karena selain bersih-bersih dia juga menjadi tukang cuci dan gosok. Afandi ataupun Ella lebih senang mempekerjakan tetangganya yang kurang mampu. Dari pada mencari orang lain, dari yayasan. Yang jelas bisa menginap.
Rumah Bu Mar pun, tidak terlalu jauh dari rumah Afandi. Hanya dengan jarak jalan kaki 15 menit. Makanya, Bu Mar memilih untuk tidak menginap di sana. Sedangkan Bu Siti, rumahnya lebih jauh. Lagi pula Bu Siti mempunyai suami yang harus di urus karena stroke. Sedangkan Bu Mar hanya seorang janda. Tentu lebih bebas jika, sesekali di suruh menginap di rumah tuannya.
Sekarang Afandi dan Ella. Mereka memilih menjaga Vania di rumah sakit. Karena keadaan Vania yang masih lemah. Maka di anjurkan untuk rawat sampai keadaannya pulih. Mereka bahkan tidak mengabarkan Adira yang berada di rumah. Mereka hanya menelpon Bu Mar, menyuruhnya untuk menginap di rumah, untuk menjaga dan menemani Adira selama mereka berada di rumah sakit.
"Adira, ini Bu Mar. Yuk kita makan sama-sama." panggil Bu Mar dari balik pintu kamar Adira.
Adira keluar dengan mata sembab. Bu Mar sedih melihat Adira. Namun dia tidak bisa apa-apa. Dia hanya memeluk Adira. Dan itu, berhasil membuat tangisan bocah tersebut meledak.
"Ayah sama Ibu gak sayang sama Adira." raung Adira memukul pelan punggung Bu Mar.
Setelah menenangkan dan memastikan Adira makan. Bu Mar mengajak Adira tidur. Dan Adira malah mengajak Bu Mar, untuk tidur sekamar. Bahkan Adira menangis kembali di pelukan Bu Mar.
"Bu Mar, kenapa Ayah dan Ibu tidak menyayangi aku." tanya Adira setelah dia agak tenang. Bu, juga merupakan panggilan untuk Bu Mar, karena Ella tidak ingin mengajarkan anak-anaknya memanggil asisten dengan panggilan Mbok, ataupun sejenisnya.
"Siapa yang bilang begitu? Mereka sayang Adira kok. Buktinya mereka khawatir pada Adira. Makanya menyuruh Bu ?ar nginap di sini." bela Bu Mar. Bu Mar bukan tidak tahu. Jika Adira, di bedakan oleh orang tuanya. Namun, dia bukan lah, orang yang suka bergosip jadi bagaimana kehidupan rumah tuannya tidak akan pernah di ceritakan pada siapa pun.
"Tapi, kenapa mereka tidak menelpon ku. Atau membawaku sekalian?" memeluk Bu Mar.
"Itu karena mereka tidak tega mendengar mu menangis. Nanti saat mereka menelepon mu langsung, kamu pasti nangis kan? Lagipula, anak-anak tidak baik tinggal di rumah sakit. Berbeda dengan Kak Vania, dia memang butuh perawatan di rumah sakit." jelas Bu Mar sambil mengusap kepala Adira.
Setelah mengeluarkan seluruh isi hatinya pada Bu Mar. Akhirnya Adira bisa tidur dengan nyenyak. Tentu saja di dekapan Bu Mar.
"Sungguh kasihan nasib mu nak." batin Bu Mar. Air matanya pun ikut menetes melihat Adira yang nyaman dengan pelukannya.
Seminggu telah berlalu. Vania sudah lebih sehat. Sekarang saatnya masuk sekolah. Kebetulan Vania sudah kelas satu SMP sedangkan Adira masih kelas enam SD. Adira turun sambil berlari dari tangga lantai dua. Dia berniat pergi sekolah bersama dengan Ayah dan Kakaknya.
"Ayah, ikut ya."
"Kamu naik ojek di depan saja. Lagian sekolah kamu beda arah sama Kak Vania. Nanti Ayah putarnya kejauhan kalau kerja." tolak Afandi.
"Baiklah." ujar Adira memilih keluar rumah dengan lesu.
"Sarapan dulu." teriak Ella yang baru muncul dari dapur, saat melihat Adira berjalan ke arah keluar.
"Kalau tidak sarapan, maka tidak mendapatkan uang jajan." sambung Ella, Dan Adira langsung menghentikan langkahnya dan itu membuat Ella tersenyum. Karena ancamannya berhasil. Begitu juga dengan Afandi. Dia langsung menuju ke arah Adira.
"Baiklah, aku tidak jajan hari ini." ucap Adira tanpa menoleh dan membuat langkah Afandi terhenti.
"Dira ..." lirih Afandi. Namun Adira tetap berlalu keluar. Dia sengaja memelankan langkahnya di halaman rumah. Karena masih berharap jika orang tuanya mengejarnya untuk memberikan uang jajan. Namun, sampai saat dia sampai di jalanan dekat pangkalan ojek, tidak satu orang pun keluar dari rumahnya.
"Tega ..." ucap Adira tersenyum tipis.
Adira langsung menaiki ojek tersebut. Kebetulan di saku bajunya ada uang simpanannya. Dan itu cukup untuk bayar ojek pulang dan pergi.
🍁🍁🍁🍁🍁
Malam harinya, Ella selalu memastikan Vania tidur dengan nyaman. Apalagi kamar Vania bersebelahan dengan kamarnya. Sedangkan kamar Adira ada di lantai dua. Dia juga pernah ingin melihat dan memastikan keadaan Adira. Namun sayang, Adira selalu saja mengunci pintu kamarnya.
Malam ini, setelah mengambil kunci serep yang dulu sempat hilang. Ella menuju lantai dua. Dia merasa jika sekarang Adira mulai menjauhinya. Lagi pula, Ella juga sadar, semua itu gara-gara dia yang selalu mengabaikan Adira.
Gelap, pandangan pertama yang di lihat Ella. Dia baru tahu kalau anaknya menyukai tidur dalam keadaan gelap. Perasaan dulu dia pernah membeli lampu tidur untuk Vania dan juga Adira.
Ella merogoh saku bajunya, di menyalakan lampu senter yang berada di ponselnya. Karena untuk menghidupkan lampu, dia takut Adira terbangun. "Kenapa berserakan sekali." gumam Ella melihat banyaknya kertas yang berserakan.
Ella mengutip beberapa kertas, yang terlihat penuh coretan. Di kertas tersebut tertulis aku benci kalian. Ella paham betul, jika tulisan tersebut pasti tertuju untuknya.
"Maaf ..." bisik Ella mengelus dan mencium pucuk kepala Adira.
Adira, yang mendapatkan sentuhan dari Ibunya terjaga. Dia menikmati setiap sentuhan Ibunya tanpa bersuara. Setelah Ella keluar, tangis Adira pecah. Dia baru merasakan kembali sentuhan yang telah lama di rindukan.
Di kamar, Ella menceritakan apa yang di temukan dari kamar Adira. Bahkan, untuk lampu tidur yang tidak bisa digunakan lagi, Ella tidak tahu. Padahal, untuk Vania, Ella sudah mengantikan yang lainnya.
"Bagaimana, kalau Adira beneran membenci kita." isak Ella pada suaminya.
"Tidak mungkin Bu. Mungkin saja, kertas-kertas itu di tujukan ada teman-temannya yang lain." ujar Afandi menenangkan istrinya.
Pagi harinya, Ella memanggil Adira untuk sarapan bersama, dan Afandi juga menawarkan diri untuk mengantarkan Adira. Tentu saja, Adira merasakan jika orang tuanya telah menyayanginya lagi.
Hari ini, di lalui Adira dengan perasaan gembira. Apalagi, saat oang sekolah Ibunya juga menyiapkan beberapa makanan kesukaannya tidak lupa juga makanan kesukaan Vania.
"Untuk hadiah ulang tahun mu kemarin, nanti malam Ayah ngajak kita ke mall, dan kamu boleh memilih hadiah apapun kesukaan mu." ucap Ella setelah membereskan dapur.
"Baik lah, terimakasih Ibu." ujar Adira senang.
"Kamu juga siap-siap ya sayang. Dan kamu juga boleh memilih apapun." kata Ella pada Vania.
Mendengar ucapan Ibunya Adira langsung berkata. "Bu, boleh gak, kalau kita perginya bertiga aja. Sama seperti saat Ibu dan Ayah merayakan hari spesial Kak Vania. Aku yang di larang ikut oleh Kak Vania." lirih Adira.
"Ooo .... Jadi kamu mau balas dendam?" cetus Vania.
"Bukan Kak, aku cuma ingin menghabiskan waktu bersama Ibu dan Ayah. Sama halnya dengan Kakak." bela Adira.
"Dan kamu, mau ngerebut Ibu dan Ayah? Aku udah cukup mengalah ya dari pagi. Ibu dan Ayah hanya menatap mu. Ayah juga mengantar mu sekolah, sampai-sampai aku hampir telat. Dan Ibu memasak makanan kesukaan mu, tapi aku gak bisa mencicipinya karena alergi." teriak Vania.
"Tapi Ibu juga memasak makanan kesukaan Kak Vania." bantah Adira.
"Memang iya, tapi karena melihat makanan kesukaanmu, aku jadi eneg, tahu gak?"
"Ta-tapi ..."
"Sudah sudah ,,, Adira kamu makan di kamar aja ya. Jangan bertengkar. Nanti sakit Kakak mu kambuh." bela Ella.
Vania tersenyum sinis melihat kepergian Adira. Dan dia terlintas ide untuk membatalkan kepergian Adira dan orang tuanya nanti malam.
"Padahal, aku juga ingin membeli Adira kado Bu. Aku sengaja menyisihkan sedikit demi sedikit uang jajan ku." isak Vania setelah melihat Adira memasuki kamarnya.
"Sudah-sudah ... Ibu juga gak mungkin meninggalkan mu sendiri. Ibu takut kamu kenapa-napa. Sekarang kamu makan ya." ujar Ella mengelus rambut panjang anaknya.
🍁🍁🍁🍁🍁
Sore harinya Afandi pulang kerja. Dia langsung menyuruh anak dan istrinya siap-siap. Mereka akan berjalan lebih awal untuk menghindari kemacetan, berhubung hari ini akhir pekan.
Adira, langsung bergegas memasuki kamarnya. Dia bersenandung dan berputar-putar di dalam kamarnya. Adira merasa hari ini adalah hari kebahagiannya. Dia langsung memilih baju terbaik yang di milikinya. Sebelumnya, tentu saja Adira sudah mandi terlebih dahulu.
Baru saja, Adira hendak turun tangga, terlihat Ayah dan Ibunya berlari sambil membopong tubuh Vania.
"Ayah, Ibu ..." lirih Adira menjatuhkan bobot badannya sambil terisak. "Sekali saja, lihat lah aku. Anak mu." isak Adira dengan air mata yang mengalir.
Di perjalanan, Afandi dan Ella seakan lupa tentang perjanjiannya dengan Adira. Mereka panik dan khawatir dengan keadaan Vania. Tadi Vania di temukan pingsan di lantai, dekat lemari oleh Ella.
"Bu ..." lirih Vania memegang kepalanya.
"Sabar ya nak, sebentar lagi kita sampai ke rumah sakit." ujar Ella yang memangku kepala Vania.
"Apa yang kamu rasakan sayang." tanya Afandi dari belakang setir.
"Cuma pusing Yah... Aku gak apa-apa." keluh Vania.
"Gak apa-apa bagaimana? Tadi kamu pingsan nak." sahut Ella.
"Aku gak apa-apa Bu, Ayah. Kita pulang aja ya. Kasihan Adira." lirih Vania, membuat Afandi dan Ella mengingat janji mereka.
"Tapi,,, kita mampir sebentar aja ya. Kita ke klinik aja, biar cepat. Kita cek keadaan kamu. Lagian Adira pasti paham." kata Afandi tegas.
Vania langsung tersenyum menang. Akhirnya niatnya untuk membatalkan rencana orang tuanya berhasil.
🍁🍁🍁🍁🍁
Adira memasuki kamar dan menguncinya. Tak lupa pula dia mengganjal pintunya dengan kunci buatan dari kayu, karena mewanti-wanti agar Ibunya tidak bisa masuk. Bukan apa-apa. Karena dia hanyalah ingin sendiri, meluapkan rasa kecewanya sendiri.
Adira langsung menghempaskan tubuhnya ke kasur, tanpa mengantikan pakaiannya. Dia menangis dalam diam. Mengingat bagaimana Vania tersenyum penuh kemenangan ke arahnya.
"Andai harapanku bisa terkabulkan, tolong berikan aku penyakit yang lebih parah dari Kak Vania. Agar aku merasakan bagaimana mereka memelukku dan memperlakukan aku layaknya anak mereka sendiri." lirih Adira memejamkan matanya.
Jam sembilan malam, Afandi, Ella dan Vania sampai rumah. Kebetulan tadi pasien di klinik agak ramai. Afandi langsung menemani Vania masuk kamar. Sedangkan Ella, ingin melihat Adira di kamarnya.
Krik ,,, Ella mencoba membuka pintu kamar Adira. Namun, terkunci dari dalam, kemudian dia pergi mengambil kunci serep yang disimpannya tak jauh dari kamar Adira.
"Kenapa gak bisa dibuka." gumam Ella saat mencoba mendorong pintu kamar tersebut. "Adira, ini Ibu. Tolong bukain pintunya ya." bujuk Ella sambil mengetuk pintu kamar Adira.
Di dalam, Adira yang mengetahui Ibunya mencoba membuka pintu hanya duduk diam. Dia ingin menunggu, sejauh mana usaha Ibunya untuk membujuknya. Sejauh mana usaha Ibunya untuk berusaha membukakan pintu kamarnya.
"Adira, tolong bukain pintunya. Ibu mau bicara." masih mencoba mengetuk pintu. "Adira, Ibu tahu kamu pasti belum tidur. Bukain pintunya."
Setelah mencoba beberapa kali, akhirnya Ella menyerah. Dia mengganggap jika Adira sudah ketiduran, makanya tidak mau membukakan pintu untuknya.
Ella langsung turun dari lantai dua, dia memasuki kamar Vania. Di Sana terdapat Afandi yang masih duduk berbincang-bincang dangan Vania.
"Bagaimana dengan Adira Bu?" tanya Afandi melihat istrinya masuk.
"Sepertinya dia ketiduran." jawab Ella. "Kamu istirahat ya sayang. Ibu sama Ayah masuk kamar dulu." ucap Ella mengecup kening Vania. Kemudian disusul oleh Afandi.
Keesokan harinya, kebetulan hari minggu. Adira bangun dengan malas. Karena semalam dia menangis sampai ketiduran. Apa lagi saat melihat usaha ibunya seperti acuh tak acuh dalam merayunya.
Jam sudah menuju pukul sepuluh pagi, namun Adira belum juga keluar dari kamarnya. Dia enggan menatap wajah menjengkelkan dari saudarinya. Namun, karena sudah tidak tahan dengan perutnya yang terus-terusan minta di isi. Akhirnya Adira memutuskan untuk turun.
"Kemana semua orang?" gumam Adira melihat keadaan rumah yang sepi.
Adira langsung menuju dapur, disana ada Bu Mar yang lagi masak, dan Bu Siti sedang bersih-bersih.
"Kok sepi." tanya Adira.
"Eh, Adira baru bangun? Tadi Ibu sama Bapak kayaknya masuk kamar lagi deh." seru Bu Siti, memperhatikan penampilan Adira dengan mata sembab.
Ella memang menyuruh agar ART memanggil Vania dan Adira dengan sebutan nama, tanpa embel-embel di belakangnya.
"Ooo, Kak Vania?" tanya Adira lagi.
"Masuk kamar juga." balas Bu Mar yang mendengar pertanyaan Adira. "Adira mau makan? Bentar ya, Bu Mar siapkan dulu. Tadi, sebelum kesini Bu Siti membeli lontong sayur, khusus untuk Adira. Ya, kan Bu?" tanya Bu Mar, di angguki oleh Bu Siti.
Adira bersorak senang. Karena lontong merupakan salah satu menu sarapan favoritnya. Namun, dia jarang mendapatkannya. Karena kalau pagi urusan sarapan, Ibunya lah yang menyiapkannya.
"Habis dari ini, Bu Mar mau ke pasar. Mau belanja mingguan. Adira mau ikut?" tawar Bu Mar.
"Mau Bu, lagian aku bosan di rumah terus." seru Adira. "Tapi ..." mengingat harus meminta izin pada orang tuannya.
"Ibu sudah memberi izin kok, begitu juga dengan Bapak. Mereka memberi izin pada Bu Mar." kata Bu Mar seolah tahu apa yang dipikirkan oleh Adira.
Setelah sarapan, Adira langsung berlari ke kamarnya untuk bersiap-siap. Sekarang disini lah, mereka. Di pasar yang sesak dan juga becek. Namun, Adira tidak mempermasalahkan itu. Baginya yang penting bisa jalan-jalan menikmati dunia luar. Tidak melulu rumah dan sekolah.
Setelah merasa belanjaannya cukup. Bu Mar pun membawa Adira ke sebuah kedai. Mereka mampir untuk menikmati bakso. Adira cukup senang saat bakso berada di hadapannya. Dia melahap habis makanan tersebut tanpa tersisa. Bu Mar, bisa melihat pancaran kebahagiaan dari gadis kecil di sampingnya.
"Kita pulang ya." ajak Bu Mar.
Sore harinya, Afandi, Ella dan Vania sedang menikmati minuman dan aneka cemilan yang di siapkan Bu Mar sebelum pulang. Mereka duduk di teras samping, dekat dengan ruang keluarga. Sedangkan Adira hanya menonton televisi di ruang keluarga. Dia malas bergabung dengan orang tuanya. Apalagi ada Vania di antara mereka.
Afandi bangkit dari duduknya. Dia duduk di samping Adira. Namun, Adira yang sedang fokus menonton tidak menghiraukan Ayahnya yang ikut duduk di sampingnya.
"Maaf ya untuk yang semalam." ujar Afandi merangkul pundak Adira.
Deg ,,, Mengingat kejadian semalam, entah kenapa mood Adira langsung berubah. Matanya langsung berembun. Namun, dia mati-matian menahan agar air matanya tidak tumpah. Apalagi bayangan senyum Kakaknya selalu saja terbayang.
"Sekarang siap-siap lah, karena kita akan berangkat sekarang juga." perintah Afandi.
"Gak usah Yah. Aku sudah bosan." lirih Adira beranjak sambil menekan remote untuk mematikan siaran televisi.
Afandi hanya menatap anaknya yang menjauh. Kemudian dia memilih untuk menyusul Adira ke kamarnya.
Vania yang sejak tadi menyadari Ayahnya mendekati Adira, hanya mengepalkan tangan geram. Pasalnya dia tidak ikhlas kalau kasih sayang dari orang tuanya terbagi. Dia hanya ingin menikmatinya sendiri. Mungkin karena dia terbiasa di manja dan juga disayang.
"Adira, Ayah masuk ya." pinta Afandi membuka setengah pintu. Namun, Adira tidak peduli. Dia sibuk dengan buku-bukunya.
Walau tanpa izin. Afandi tetap memaksa masuk. Dia melihat dengan jelas. Jika Adira menghapus air matanya dengan cepat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!