" Sayang, kamu pasti bisa. Kamu adalah wanita yang hebat. Kamu kuat?"
" Mas, kalau aku tidak bisa menemanimu hingga akhir hayat mu, kamu harus berjanji satu hal padaku. Kamu harus terus bahagia, kamu tidak boleh menangis."
Fawwas Nakula Dewandaru, seorang dokter yang berusia 29 tahun itu terlihat pucat pasi saat melihat sang istri yang hendak melahirkan. Dia sangat khawatir, ketika dihubungi oleh asisten rumah tangganya bahwa sang istri mengalami pendarahan. Jika dihitung, saat ini usia kandungan istrinya belum sampai pada hari persalinan. Masih ada waktu setidaknya 3 minggu lagi dari hari perkiraan lahir. Tapi ternyata ketuban disertai darah segar merembes keluar dari sela paha sang istri.
Fawwas menggenggam erat tangan sang istri, dia tidak ingin melepaskan tangan Aira barang sedetikpun. Tapi bagaimana pun ia harus melepaskan tangan Aira saat Aara meminta nya untuk menunggu ke luar.
" Kak tunggu lah di luar, aku harus melakukan tindakan operasi. Pendarahan Kak Aira sungguh banyak, ia sudah kehabisan air ketuban jadi tidak bisa melakukan persalinan normal. Apakah kakak setuju dengan operasi ini?"
Fawwas langsung mengangguk, " lakukan yang terbaik untuk menyelamatkan istriku Ra. Aku mohon."
" Kak berdoalah, aku akan berusaha semaksimal mungkin. Aku juga ingin kakak ku selamat."
Fawwas tidak bisa banyak bicara lagi. Aira dibawa ke ruang operasi dan Aara lah yang akan mengoperasinya. Sahaara Gemma Ananta adalah adik dari Sahira Jemma Ananta, mereka kakak beradik yang hanya terpaut usia 1 tahun. Semasa kecil mereka selalu dibilang sebagai anak kembar karena memiliki paras yang mirip. Keduanya sama-sama cantik.
Tak tak tak
Suara langkah kaki menggema di lorong rumah sakit. Terlihat dua pasangan paruh baya sedang berjalan menghampiri Fawwas. Gauri Jayashre Singh dan Bisma Triguna Dewandaru merupakan orang tua dari Fawwas. Risma Tripurwasih dan Rezky Ananta adalah mertua Fawwas. Raut kekhawatiran jelas terlihat di wajah mereka. Sebagai dokter, Bisma tahu bahwa kondisi menantunya saat ini sedang tidak baik.
" Mari kita berdoa, semoga Aira dan bayinya selamat," ucap Bisma. Sebenarnya dia juga panik. Tapi tidak mungkin dia menunjukkan hal tersebut.Situasi di sini sedang sangat kisruh, harus ada yang menyenangkan.
Bahkan Gauri mencengkeram erat lengan suaminya. Bibirnya bergetar, ia sungguh takut terjadi apa-apa dengan sang menantu. Baru tadi siang padahal mereka saling berbicara,
" Andai saja aku tidak pulang tadi. Seharusnya aku tidak meninggalkannya sendiri di rumah," gumam Gauri.
" Kak, bukan salah Anda. Kita tahu itu, semua terjadi begitu saja di luar prediksi. Bahkan aku yang ibu kandungannya saja diminta pulang oleh dia," sahut Risma--ibu dari Aira.
Owaaaaaaak
Beberapa saat kemudian, suara tangis bayi terdengar dari ruang operasi. Kelima orang tersebut terkejut, semua mengucapkan syukur karena bayi nya sudah lahir. Terlebih Fawwas, dia bahkan sampai menitikkan air matanya. berkali-kali dia mengucapkan syukur karena anaknya sudah lahir ke dunia.Tapi setelah itu, seroang perawat keluar dari ruang operasi dengan berlari. Semua tentu bingung dengan keadaan itu kecuali Fawwas dan Bisma. Kondisi itu sangat familiar bagi mereka berdua. Dan tanpa permisi Fawwas memilih masuk.
Meskipun terlihat tidak tahu aturan, tapi Fawwas masuk dengan menggunakan jubah operasi. Dia sangat membulatkan matanya melihat layar monitor yang menunjukkan keadaan pasien.
" Aara! Kenapa Aira?"
" Kak, Kak Aira mengalami pendarahan hebat sebelum masuk ke sini. Aku harus mengeluarkan bayinya apapun yang terjadi, semua atas keinginan Kak Aira."
Fawwas sungguh tidak mengira istrinya berkata seperti itu. Ia melihat Aira yang sangat pucat dan lemah. ( Operasi caesar tidak dilakukan bios total, dan hanya menggunakan bius lokal saja sehingga Aira tetap sadar)
" Mas, jangan salahkan Aara. Ini semua aku yang meminta. Mas, jika aku tidak bisa menjaga anak kita, aku mohon jagalah dia. Dan aku mohon kamu akan tetap bahagia. Satu pinta ku jangan menangis mas, aku ingin kamu tetap tersenyum." Aira berucap dnegan sangat lemah. Fawwas sungguh ingin menangis sekeras-kerasnya melihat dan mendengar kondisi juga setiap apa yang Aira ucapkan. Tapi dia jelas tidak bisa melakukan itu.
" Ra, aku ingin melihat anakku," pinta Aira.
Aara memberikan bayi yang baru lahir itu kepada sang kakak. Aira tersenyum melihat anaknya. Anak perempuan yang cantik itu membuat Aira tersenyum.
" Maafkan bunda sayang karena mungkin bunda tidak akan bisa bersamamu dan melihat perkembanganmu."
" Kak, jangan bicara begitu. Kakak akan sehat, kakak akan melihat anak kakak besar nanti," potong Aara cepat. Dia tentu tidak ingin mendengar ucapan sang kakak tersebut.
Sedangkan Fawwas dia hanya diam. Dia tahu istrinya tidak akan bisa bertahan. Sebagai dokter dia paham betul dnegan hal tersebut.
" Aara, kakak ada satu permohonan. Tolong rawat Neida, ya aku menamakannya Neida yang berarti anggun. Aku ingin kamu merawat Neida, dan juga tolong jaga Mas Fawwas. Maaf Aara kalau kakak akan banyak merepotkan mu di masa depan."
***
Malam itu, mejadi malam terakhir bagi Sahira Jemma Ananta, dia menghembuskan nafasnya yang terakhir setelah mengatakan apa yang ingin dia katakan. Fawwas tidak menampilkan tangisnya sama sekali sesuai apa yang diamanatkan oleh almarhumah istrinya. Fawwas juga menyematkan nama sang istri dalam nama putrinya. Neida Sahira Dewandaru, itulah nama panjang sang putri.
Suasana penuh duka meliputi keluarga besar Dewandaru dan juga Ananta. Pun dengan keluarga Dwilaga--keluarga dari paman Fawwas.
para kerabat dan sahabat dekat satu persatu mendatangi kediaman Fawwas untuk mengucapkan belasungkawa. Dan, malam itu juga Sahira dimakamkan. Aara beserta kedua orang tuanya yakni Risma dan Rezky sangat tidak menyangka bahwa Aira meninggalkan mereka secepat ini.
" Maafkan aku kak, sebagai dokter mu bahkan aku tidak bisa menyelamatkanmu." Aara tergugu disamping pusara sang kakak. Tubuhnya lalu direngkuh oleh Risma, ia menguatkan putri keduanya itu dan berkata bahwa semua ini adalah takdir dari Yang Maha Kuasa.
" Sayang, dokter hanyalah sebuah profesi. Dokter bukanlah Tuhan yang bisa menentukan hidup dan mati manusia."
Bisma juga menepuk punggung Aara. Selain itu adalah adik ipar Fawwas, Aara juga merupakan salah satu dokter terbaik yang dimiliki RS Mitra Harapan.
Namun sepertinya kata-kata dari ibu dan kepala rumah sakit itu tidak membuat hati Aara baik-baik saja. Dia tetap masih merasa bersalah karena tidak bisa menyelamatkan nyawa sang kakak. Tangis Aara memnag tidak terlihat tapi hatinya sangat hancur sekarang ketika kakak satu-satunya kini sudah meninggalkannya dan tidak akan pernah kembali selama-lamanya.
" Aku akan menjaga Neida seperti apa yang Kak Aira mau," lirih Aara disela rasa sesak yang memenuhi dada.
TBC
7 hari setelah kepergian Aira, Aara kembali ke rumah sakit. Tapi dia tidak bisa bekerja sepeti biasa, setiap menghadapi pasien, Aara akan berkeringat dingin dan tubuhnya bergetar. Bahkan ia meminta perawat untuk memindahkan semua pasiennya ke rekan dokternya yang lain.
Awalnya Aara pikir ini adalah keadaan sementara, namun sudah satu minggu kemudian dia tetap mengalami hal yang sama ketika menerima pasien. Kondisi ini tentu di dengar oleh Bisma. Aara pun diminta untuk bertemu langsung dengan Bisma.
"Apa benar yang dikatakan oleh orang-orang itu Aara?" tanya Bisma to the poin. Bagaimanapun Aara adalah dokter kandungan terbaik yang dimiliki RS Mitra Harapan. Bagaiman bisa dia menjadi dokter yang dibicarakan karena takut kepada pasien? Ini sungguh membuat Bisma kebingungan.
" Iya, Dokter. Saya~"
" Panggil Appa, sudah ku katakan ketika kita sedang bicara berdua kamu panggil aku seperti almarhumah Aira memanggilku. Pun dengan Gauri, panggil dia Amma," potong Bisma cepat. Pria paruh baya itu memang sudah mengaggap Aara sepeti anak nya sendiri. Bahkan lama sebelum Fawwas dan Aira menikah. Bisma yang tidak memiliki anak perempuan sungguh menyukai pribadi Aara yang ceria. Siapa sangka Fawwas menikah denan Aira sehingga Aara pun juga sering terlibat di acara keluarga.
Setali tiga uang dengan Bisma, Gauri juga menyukai Aara. Meskipun Aara dan Aira sama-sama cantik tapi pribadi Aara dan Aira berbeda. Aara lebih ceria dan Aira sedikit pendiam. Namun baik Bisma dan Gauri sama-sama menyukai keduanya.
" Coba ceritakan apa yang kamu rasakan?" tanya Bisma lagi.
" Iya Appa, jadi ... ."
Akhirnya Aara bercerita dengan semua yang dihadapi beberapa hari ini. Kalau boleh menyimpulkan, sepertinya Aara mengalami trauma. Dia tidak percaya diri dengan kemampuannya setelah Aira meninggal. Ia langsung merasa dirinya tidak kompeten dan takut untuk mengahadapi pasien. Aara takut apa yang menimpa sang kakak terjadi juga pada pasien yang lainnya.
" Aara takut ada pasien yang meninggal gara-gara Aara, Appa," ucap Aara disertai dengan isakan nya.
Bisma sungguh tidak menyangka bahwa Aara akan mengalami sebuah rasa trauma seperti itu. Tapi Bisma juga tidak bisa memaksa Aara untuk bekerja di saat kondisi psikis gadis itu sedang tidak baik-baik saja.
" Ambillah cuti Ra, bukannya apa-apa tapi Appa rasa kamu memang harus tenangkan lah hatimu dulu, dan mungkin kamu bisa merawat Neida. Siapa tahu dengan merawat Neida kamu bisa kembali lagi seperti dulu." Bisma memberikan usulan yang bijak. Kondisi ini jelas tidak bisa dipaksakan.
Aara mengangguk, tampaknya keputusan untuk cuti adalah keputusan yang tepat. Ia jelas tidak bisa menangani pasien dalam kondisi sekarang ini.
🍀🍀🍀
Di Kediaman Dewandaru, Gauri saat ini sedang sangat kesal melihat putranya yang sudah 2 minggu masih berdiam diri di kamar dan tidak keluar barang sebentar pun. Ia tahu bagaimana rasanya kehilangan, namun bukan berarti kita harus berlarut-larut bukan. Gauri bahkan sudah kehilangan sang ibu saat usianya 5 tahun dan dia juga barus saja kehilangan ayahnya setahun yang lalu.
Dugh
Dugh
" Fawwas, keluar kamu. Kalau tidak keluar juga, Amma akan dobrak pintu kamar kamu. Mau sampai kapan hah di kamar terus. Apa kamu akan akan seperti ini terus? Kamu tidak kasihan sama putrimu? Kamu bahkan dari dia lahir tidak melihatnya. Jika seperti ini terus Amma tidak akan mau bicara lagi dengan mu. Kamu masih ingat ajaran agama kan, bersedih boleh tapi tidak untuk berlarut-larut."
Gauri memilih untuk untuk pergi dari depan putra pertamanya itu. Gauri benar-benar kesal. Ia merasa tidak enak dengan keluarga besannya, sejak Aira meninggal, Fawwas belum melihat sang putri. Nedia ada di rumah keluarga Ananta di rawat oleh Risma dan juga Aara. Terlebih sekarang Aara cuti dari rumah sakit, gadis itu bertekad untuk merawat anak dari kakaknya itu sendiri.
" Aira, apa yang harus aku lakukan, hiks," gumam Fawwas ditengah tangisnya. Ia benar-benar belum bisa mengikhlaskan kepergian sang istri.
Fawwas menikah dengan Aira ketika mereka bertemu tidak sengaja di sebuah kafe. Saat itu ia melihat Aira yang kebingungan akan berdiri dari tempat duduknya. Hari itu adalah hari pertama Aira datang bulan dan ia lupa membawa pembalut. Darah menstruasi itu tembus pada dress nya yang berwarna cerah. Aira sungguh malu. Dan Fawwas yang mengetahui itu menawarkan jasnya untuk dipakai oleh Aira.
Dai situlah mereka berkenalan dan menjalin hubungan baik. Hanya dalam waktu kurang dari setengah tahun, Fawwas langsung meminang Aira. Dan sebulan menikah kabar kehamilan Aira membuat dua keluarga bahagia. Namun rupanya takdir kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Total hanya dalam kurun waktu satu setengah tahun Fawwas dan Aira bersama. Meskipun singkat, Fawwas sangat mencintai istrinya tersebut.
" Apakah jika aku tidak bertemu dengan mu, kamu masih akan ada hingga sekarang? Apakah jika kamu tidak hamil maka kamu masih bisa ku lihat. Aira sayang, aku sungguh merindukanmu."
Rindu yang tidak terbalas adalah rindu dengan seseorang yang beda alam. Sungguh itu sungguh menyakitkan dan menyesakkan. Seperti yang dirasakan Fawwas kali ini. Dengan erat dia memeluk foto pernikahannya.
Namun tiba-tiba dia teringat dengan kata-kata sang ibu mengenai Neida. Ada rasa bersalah yang menyusup ke relung hatinya. Benar dia kehilangan Aira, tapi jelas dia tidak boleh mengabaikan buah hatinya. Bukankah Neida merupakan satu-satunya peninggalan Aira yang berharga.
" Maafkan ayah sayang, ayah sungguh egois. Nanti ayah akan menjemputmu. Kita akan tinggal bersama. Maafkan aku Aira, sejenak aku lupa dengan anak kita. Kamu pasti akan marah jika tahu aku mengabaikan anak kita."
TBC
Neida Sahira Dewandaru, nama itu disematkan kepada putri Fawwas dan Aira. Neida adalah nama pemberian Aira, Sahira adalah nama Aira, lalu Dewandaru adalah nama keluarga dari Fawwas.
Tap! Tap! Tap!
Suara langkah kaki yang berasal dari kamar Fawwas membuat Gauri dan Bisma tersenyum. Mereka lega karena sang putra sulung akhirnya mau keluar juga dari kamar. Tapi sepertinya ekspresi Fawwas berbeda dari sebelumnya. Wajah yang selalu ceria dan dihiasi senyum kini hanya datar dan dingin. Sebuah hembusan nafas kasar di keluar dari mulu Gauri. Ia tahu betul suasana hati sang putra.
" Apa rencanamu sekarang?" tanya Gauri tanpa basa-basi
" Menjemput Neida, kembali ke rumah. Bukan rumah ini tapi rumah ku bersama Aira," tegas Fawwas. Ya saat ini dia sedang berada di rumah kedua orang tuanya. Dia memiliki rumahnya sendiri, karena setelah menikah Fawwas memutuskan untuk tinggal terpisah dari orang tuanya maupun orang tua Aira.
" Tapi, jika kamu pulang ke rumah mu, siapa yang akan merawat Neida?" Gauri tentu bingung dengan apa yang sekarang dikatakan oleh Fawwas. Karena Gauri semenjak hari pertama Neida dilahirkan, selalu wira-wiri untuk ikut merawat. Pihak Keluarga Ananta tidak ingin cucu mereka dirawat orang yang tidak memiliki hubungan keluarga.
" Aku bisa mencari perawat dan baby sitter, dia adalah putriku, maka aku akan memutuskan yang terbaik untuknya," tegas Fawwas.
" Fa, pikirkan dengan baik, bagaimana pun Neida pasti menjadi salah satu pelipur lara bagi keluarga Ananta atas kepergian Aira. Appa yakin, mereka tidak mau jauh-jauh juga dari Neida." Kali ini Bisma yang angkat bicara. Dia sudah cukup mendengarkan ucapan istri dan anaknya, dan apa yang dikatakan oleh kepala keluarga itu cukup membuat Fawwas terdiam.
Apa yang dikatakan Appa benar juga. Tapi dia kan putriku, bukankah wajar jika aku ingin membawanya pulang?
Fawwas berbicara dalam hatinya. Nampaknya ia sekarang berada dalam sebuah dilema. Tapi itu akan ia pikirkan nanti, saat ini hal yang paling penting adalah pergi menuju rumah Keluarga Ananta. Ia juga merindukan Neida.
Fawwas mengakhiri sesi sarapannya lebih dulu. Dia sama sekali tidak menyentuh makanan yang ada di atas meja. Fawwas hanya meminum susu lalu berpamitan. Gauri dan Bisma hanya saling pandang, ini adalah pukulan berat bagi Fawwas, tapi dia harus bangkit untuk Neida. Neida sudah kehilangan ibunya, jadi tentu dia harus mendapat perhatian lebih dari sang ayah.
Tok! Tok! Tok!
Ceklek
" Assalamu'alaikum."
" Waalaikumsalam, Eh Kak Fawwas, silakan masuk. Neida baru saja tidur."
Aara ternyata yang membukakan pintu untuk Fawwas. Tidak sepeti biasanya, Aara melihat kakak iparnya itu nampak seperti sosok yang berbeda. Biasanya Fawwas akan memandang dengan hangat dan selalu tersenyum, tapi ini tidak. Pandangan matanya begitu dingin dan ekspresinya sangat datar. Yaah, siapa orang yang tidak berduka jika ditinggal pergi selamanya oleh belahan jiwanya.
Awalnya Fawwas duduk diruang tamu, tapi ia teringat Neida dan minta diantarkan ke tempat Neida. Dengan perlahan Aara membukakan pintu kamar Neida yang dulu adalah kamar Aira. Kamar Aira disulap menjadi kamar Neida semenjak bayi itu dibawa pulang dari rumah sakit. Kamar dengan nuansa nude itu memang adalah kamar pribadi Aira, tidak banyak yang diubah. Hanya ditambahkan sebuah box bayi dan lemari yang berisi perlengkapan dari Neida.
Tes
Air mata Fawwas menetes saat melihat putrinya yang begitu mungil. Setelah Neida lahir ke dunia, baru sekali saja Fawwas menggendongnya yakni saat mengadzani. Setelah itu dia belum lagi menggendong Neida.
Melihat Fawwas yang sedang emosional, Aara memilih keluar dari kamar, ia akan membiarkan ayah dan anak itu untuk saling melepas kerinduan.
" Apa Fawwas yang datang?" tanya Risma--ibu dari Aara.
" Iya Bu, Kak Fawwas yang datang, sekarang dia sedang di kamar Neida," jelas Aara.
Risma hanya mengangguk, tidak banyak respon yang keluar dari wanita paruh baya itu.Dia cukup tahu bagaimana Fawwas kehilangan. Bahkan saat ini dia pun sebagain ibu masih sangat sakit harus melihat putrinya masuk ke tanah kubur. Orang tua mana yang tidak merasa sedih kehilangan buah hatinya.
" Bu, jika Kak Fawwas meminta Neida pulang bersama nya, biarkan saja jangan dihalangi. Bagiamana pun itu putrinya," ucap Aara tiba-tiba. Risma diam, apa yang dikatakan oleh puri bungsunya itu memang benar, akan tetapi dia sangat berat jika Fawwas membawa pergi Neida.
" Ra, bolehkah ibu meminta sesuatu dari mu?"
Aara mengernyitkan keningnya, belum pernah sang ibu berkata ini selama dia hidup 26 tahun. Dan saat ibu nya berkata demikian, jantung Aara berdegup kencang. Ia merasa akan ada sesuatu yang mungkin diluar kemampuannya
" A-apa bu. Mengapa tiba-tiba ibu bicara begini?"
" Ra, permintaan ibu mungkin sedikit menodai harga dirimu dan juga kelewatan. Mungkin ibu egois, tapi sungguh ibu hanya kasian kepada keponakanmu. Bisakah kamu melakukan terapi laktasi, agar bisa memberikan ASI kepada Neida?"
" Apa? Tapi~"
Tap! Tap! Tap!
suara langkah kaki terdengar sehingga pembicaraan Aara dengan Risma pun arus berhenti. Itu adalah Fawwas yang berjalan mendekat sambil menggendong Neida. Ia terlihat tidak kaku sama sekali saat membawa Neida pada tangannya.
" Di tadi terbangun, aku mencari susu nya tapi tidak ada. Makanya aku membawanya keluar," ucap Fawwas datar tanpa ekspresi sama sekali.
Aara langsung berlari ke dapur membuatkan susu untuk Neida. Saat dia memegang botol susu milik Neida, ucapan Risma terngiang di kepalanya. " Bisakah kamu melakukan terapi laktasi agar bisa menyusui Neida?" Sungguh tidak pernah terbayangkan bagi Aara saat ibunya meminta hal seperti itu. Dia tentu bingung dengan ide yang baginya diluar nalar.
Tapi ketika memikirkannya, itu merupakan adalah hal yang benar. Neida memang membutuhkan ASI. Mencari donor, jelas membuat keluarga tidak percaya. Dan induksi laktasi merupakan salah satu cara yang bagus.
TBC
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!