Putri Aurasia, menaiki menara Kota Anatric. Di sekelilingnya, terdapat sekitar puluhan algojo dan para dayang istana, serta rakyat Kekaisaran Iresical, yang siap untuk menyaksikan Putri Kekaisaran mereka dihukum mati. Para rakyat yang hadir, menatap Putri Aurasia dengan dingin dan amarah yang membara. Kebencian yang mendalam, telah tertanam dalam hati mereka.
"Cepat habisi wanita pembunuh itu!"
"Dasar kau, wanita yang keji!"
"Kami tidak pernah mengakuimu sebagai Putri Iresical!"
"Seharusnya kau tidak lahir, dasar anak durhaka!"
"Kau sama seperti ibumu, seorang pembunuh!"
Dengan wajah yang mencerminkan kekecewaan besar dan rasa takut yang mendalam, Putri Aurasia memandang rakyatnya. Putri Aurasia menghela napas gelisah.
"Aku," tutur Putri Aurasia, membuka suara dengan tegas, dan berusaha menyembunyikan rasa takutnya. Suaranya yang terdengar begitu nyaring, mengheningkan keributan dan cacian yang diutarakan orang-orang kepadanya. "Aku datang ke sini untuk mati, atas perintah Yang Mulia Putra Mahkota Iresical, yang bijaksana," ujarnya melanjutkan, dengan pandangan miris yang perlahan muncul pada wajahnya.
"Tidak peduli kalian semua memanggilku si Putri selir, tidak peduli kalian menyebutku sebagai Putri terburuk yang pernah dimiliki oleh Iresical, tidak peduli kalian menyebutku anak durhaka."
"Karena aku akan selalu menegaskan pada kalian, bahkan diakhir hayatku, bahwa aku bukanlah seorang pembunuh, dan bukanlah putri dari seorang pembunuh!" Putri Aurasia mengakhiri kalimat terakhirnya dengan menitikkan air mata.
Para rakyat pun kembali melemparkan hinaan dan cacian kepada Putri Aurasia. Tidak peduli dengan apa yang disampaikan oleh Yang Mulia Putri. Kepercayaan mereka telah hilang sepenuhnya terhadap Putri Aurasia.
Sendangkan para algojo, berjalan mendekati Putri Aurasia. Salah seorang dari algojo tersebut membawa satu botol kaca bening dengan ramuan racun bewarna hitam di dalamnya. Putri Aurasia meminum ramuan tersebut dengan berat hati. Begitu selesai meneguk seluruh ramuan tersebut, Putri Aurasia lantas tertunduk lemah dan tersungkur ke lantai.
Semua orang yang menghadiri proses eksekusi tersebut, akhirnya bersorak dengan gembira. Memberikan ucapan rasa syukur kepada Tuhan, karena telah menghukum orang yang telah membunuh Kaisar mereka.
...♤♤♤♤♤...
...The Frost Hair~...
..."Bulan purnama, engkau menampilkan keindahan yang tak tergambarkan. Di tengah langit malam yang sunyi, engkau bersinar begitu sendu. Setiap kali pandangan ini mencapaimu, rasanya engkau hadir untuk mengisi kesendirianku. Aku melihatmu sebagai teman setiaku. Aku tak seberkenan ketika orang lain juga tertarik pada cahayamu yang menawan di malam hari. Engkau adalah penjaga malamku, seharusnya engkau hanya ada untukku. Cahaya lembutmu, aku ingin hanya milikku. Keinginan untuk menggelapkan pandangan mereka, agar mereka tak lagi terpesona olehmu. Tetapi egois ini membuatku semakin terasing. Dan kau perlahan menjauh, meninggalkanku di dalam gelap....
...Ini menyakitkan. Meski demikian, aku bersyukur. Pada detik-detik terakhir hidupku, engkau muncul dengan cahayamu yang lembut. Cahaya itu memelukku, merangkul dengan hangat sebelum akhirnya Tuhan mengajakku."...
...The Black Hair~...
..."Bunga, engkau sungguh memesona. Setiap kali mata ini bertemu denganmu, getaran positif terasa mengalir melalui diriku. Aku enggan untuk menyentuhmu, bahkan mencabutmu dari akarnya. Ini bukan berarti aku tak merasa tertarik padamu, tetapi lebih kepada rasa khawatirku akan melukaimu. Aku berpikir cukuplah jika kau dibiarkan aman dari ancaman bahaya yang bisa merusak pesonamu....
...Namun, ternyata aku keliru. Aku tak menyadari bahwa engkau membutuhkan lebih dari itu. Tanpa aku sadari, engkau mulai layu dan akhirnya gugur meninggalkanku. Seharusnya aku memberimu nutrisi yang cukup, memberikan cahaya yang kau butuhkan, dan menyiramimu setiap hari....
...Jika aku diberi kesempatan untuk melihatmu tumbuh kembali, aku akan memindahkanmu ke dalam pot bunga. Kau akan menjadi temanku, menemani setiap langkahku. Aku akan merawatmu, memberikan apa yang engkau butuhkan, dan menjagamu agar tetap berkembang dengan keindahanmu yang khas. Kita akan bersama-sama merasakan pesona tumbuhan yang hidup dalam harmoni dengan dunia di sekitarnya."...
...♤♤♤♤♤...
Hormat kepada semua pembaca yang saya cintai,
Dengan tulus, saya ingin menyampaikan bahwa setiap karya yang saya tulis adalah hasil dari pemikiran dan imajinasi pribadi saya. Tujuan utama saya adalah menyajikan cerita dan gagasan yang murni dari hati dan pikiran saya sendiri.
Saya ingin menegaskan bahwa jika terdapat kesamaan dengan karya orang lain, itu murni kebetulan belaka. Tidak ada maksud untuk menyinggung pihak lain atau merugikan siapa pun. Saya menghargai keberagaman ide dan kreativitas dalam dunia tulis-menulis.
Terima kasih atas dukungan dan pemahaman Anda. Semoga karya-karya saya dapat memberikan inspirasi dan kesenangan bagi Anda semua.
^^^Dengan rasa hormat,^^^
^^^Indah La^^^
Sebuah tamparan yang begitu keras mendarat dengan mulus di pipi Miya. Gadis yang masih mengenakan seragam sekolah itu, memegang pipinya yang terasa panas. Meski dengan kepala yang tertunduk, mata Miya menatap tajam Papanya yang berada di depannya saat ini. Keheningan pun terjadi beberapa saat di ruang keluarga yang terasa sangat panas.
Papa Miya berdecak. "Hanya dengan nilai delapan puluh tujuh ini, mau jadi apa kamu?" teriak pria paruh baya itu dengan kemarahan, seraya membanting selembar kertas ulangan milik Miya ke atas meja. "Kenapa semakin hari nilaimu malah tambah buruk?!" Papa Miya melanjutkan dengan suara yang semakin tinggi.
"Semester kemarin turun dari rank satu ke rank empat paralel. Semester akhir ini mau rank berapa lagi? Rank lima? Rank enam?" Papa Miya tak kuasa menahan amarahnya. Apa lagi bila mengingat peringkat Miya yang menurun.
"Dasar anak bodoh! Dimana otak kamu?!" tutur Papa Miya geram pada anaknya sendiri, seyara menunjuk-nunjuk kepala Miya beberapa kali. "Kamu pikir biaya sekolah dan bimbelmu itu murah? Setelah lulus dari kuliahmu dan mendapat pekerjaan, belum tentu kamu bisa mengembalikan semua uang itu sepenuhnya." Papa Miya menghela napas panjang. "Jika kamu tidak kunjung berubah, bagaimana bisa kamu akan lolos di Oxford, universitas impian kamu itu!?"
"Itu impian Papa. Miya gak pernah bermimpi untuk masuk Oxford!" Setelah mendengar keluh kesah Papanya yang dirasa berlebihan, akhirnya Miya membuka suara juga. Alisnya yang terlipat dan tatapan tajam menciptakan aura ketidaksetujuan yang kuat dengan pernyataan Papanya.
"Argh!" Miya meringis kesakitan, begitu Papanya kembali melayangkan tamparan yang sangat keras dan berhasil membuat Miya tersungkur ke lantai.
"Dasar anak tidak berguna! Beraninya kau melawan orang tuamu! Berhenti memandangku dengan tatapan seperti itu!" balas Papa Miya dengan amarah yang memuncak, benar-benar muak melihat wajah putrinya.
"Yana! Nasihati anakmu itu!" perintah Papa Miya pada Yana, Mama Miya. Papa Miya pun melangkah meninggalkan ruang keluarga.
Yana yang sedari tadi hanya memperhatikan ayah dan anak itu, akhirnya berdiri dari sofa dan mendekati Miya. Yana menghela napas ringan, sebelum akhirnya tersenyum lembut pada putri semata wayangnya itu. Tangan kanan Yana pun menyentuh bahu Miya. "Kamu harus bertanggung jawab atas masa depanmu, Miya. Ini bukan main-main," ujar Yana menatap Miya dengan lekat.
"Dan kamu juga tidak boleh melawan pada orang tuamu," lanjut Yana seraya tersenyum lembut. "Meskipun papamu terlihat keras, ketahuilah itu demi masa depanmu yang cerah."
"Aku tahu, beberapa hari lagi adalah pembagian peran drama pada ujian praktek kesenianmu, kan? Ingat Miya, kami telah mengeluarkan biaya yang besar untuk les drama. Jadi, berusahalah. Semoga kamu mendapatkan peran utama dan nilai yang tertinggi untuk ujian kali ini."
"Sekarang, kembalilah ke kamarmu dan lanjutkan belajar," suruh Yana seraya tersenyum lembut, sebelum akhirnya ia melangkah meninggalkan Miya di ruang keluarga sedirian.
Manik Miya berotasi, mengelilingi ruang keluarga yang terasa begitu suram. Setelahnya, gadis itu pun memilih untuk masuk ke kamarnya. Setibanya di kamar, Miya melempar tas sekolahnya ke sembarang arah. Kakinya melangkah ke cermin besar yang berada di samping lemari pakaian.
Pada cermin itu, Miya mendangi dirinya dari ujung kaki hingga puncak kepalanya. Terlihat sangat berantakan. Rambut panjangnya yang sudah acak-acakan dan pakaiannya yang telah kusut. Tangan Miya bergerak merapikan rambutnya, untuk melihat lebih jelas luka tamparan pada wajahnya. Miya menghela napas panjang. Berpikir bagaimana cara menyembunyikan luka di pipinya ketika ingin keluar nanti?
Tangan Miya pun beralih untuk membuka kancing seragamnya satu per satu. Begitu selesai melepas seragamnya, Miya menatap bahunya, bahu yang di pegang Mamanya tadi. Memar berwarna ungu mewarnai bahu Miya. Bukan mengelus untuk memberikan ketenangan pada putrinya, melainkan Yana menyubit dan memintal daging bahu Miya dengan sangat kencang.
Miya tersenyum miris. Maniknya kembali memperhatikan seluruh tubuhnya yang terpancar pada cermin. Sangat kurus. Miya merasa tubuhnya telah hancur, karena selalu di paksa belajar terlalu keras. "Ini sungguh memuakkan."
...♡♡♡♡♡...
"Aku mencintai orang lain."
Miya memegang dadanya yang terasa sesak. Meskipun sudah mengetahui fakta itu sejak lama, Miya tidak menyangka rasanya akan sesakit ini bila mendengar pengakuan itu secara langsung dari orang yang dicintainya.
"Aku salah, berpikir bahwa perasaanmu terhadap wanita itu akan hilang seiring berjalannya waktu. Wanita yang bahkan tidak pernah ada untukmu." Mata Miya mulai berkaca-kaca. Ia bahkan tidak dapat melihat dengan jelas pria yang berada di depannya saat ini.
"Apa maksudmu? Aku bahkan tidak pernah bercerita tentangnya, Miya," ujar pria itu dengan tatapan yang mendalam pada Miya.
"Aku sudah mengetahui segalanya, Setia," sahut Miya dengan suara serak dan senyuman miris.
"Aku terlalu naif, karena berharap kau akan mencintaiku dan berharap kau akan tulus padaku suatu hari nanti." Miya menepis air matanya yang sudah mengalir bebas di pipinya. Gadis itu pun berbalik dan melangkah cepat ke arah pintu keluar.
"Miya, tunggu!" Pria dengan nama Setia itu dengan cepat menahan tangan Miya, tetapi gadis itu menepis tangannya dengan kasar.
Miya menoleh tajam, tatapannya menusuk Setia seperti pedang yang membelah udara. "Jangan bicara denganku lagi, jangan temui aku lagi, sebelum kau membawakan cincin dan menikahiku, Setia." Setelah usai menyampaikan pesan terakhirnya, Miya pun keluar dari apartement milik Setia.
Setelah beberapa langkah, Miya kembali menoleh ke arah pintu apartement dengan nomor 222 itu. Miya kembali tersenyum miris, malu dengan dirinya sendiri karena berharap Setia akan keluar dan mengejarnya. Bodoh, batinnya sebelum akhirnya ia benar-benar keluar dari gedung apartement itu.
Saat itu, hujan mulai turun dengan deras di luar, menciptakan suara gemuruh yang seolah-olah menggambarkan kekacauan perasaan Miya. Bukan dari keluarga atau orang yang di sukainya, Miya hanya mengharapkan sedikit cinta dari mereka. "Benar, sebaiknya jangan pernah menaruh harapan pada manusia."
...♡♡♡♡♡...
".... Juliet diperankan oleh Natalie Margareta, Romeo diperankan oleh Owen Horison, dan peran terakhir, Rosaline, diperankan oleh Miya Levyna. Sekarang silahkan kalian lanjutkan untuk latihannya. Saya akan mengambil properti terlebih dahulu. Liam, bantu saya!" Setelah menyampaikan peran untuk ujian praktek para siswa, Bu Eliza pun beranjak dari ruang kelas.
Miya menghela napas panjang, begitu mengetahui ia tidak mendapatkan peran utama, Juliet. Bisakah Miya mendapat nilai tertinggi bila ia hanya akan melakukan beberapa adegan dan mengucapkan sedikit dialog? Papa dan mamanya pasti akan memarahinya lagi, karena tidak mendapatkan peran utama setelah melalui les drama dan seleksi peran.
Miya keluar dari ruang kelas dan berjalan menuju rooftop. Ia benar-benar membutuhkan angin segar untuk saat ini. Setibanya di rooftop, Miya duduk di tepi pagar pembatas. Seraya angin bermain-main dengan rambut panjangnya yang terurai, Miya memandangi suasana sekolah dari atas gedung.
Apa yang akan terjadi jika aku terjun dari atas sini? batin Miya bertanya, dengan tatapan kosong ke bawah. Tidak-tidak! Apa yang aku pikirkan? Miya menepuk pipinya dengan kedua tangannya, menyadarkan dirinya dari pikiran sesat yang terlintas sesaat.
Miya menghela napas panjang. Sejak beberapa hari yang lalu, perasaannya selalu tidak tenang. Meskipun hanya masalah-masalah kecil yang ditemuinya, entah kenapa ini terasa begitu berat.
Miya menoleh, tiba-tiba terdengar langkah kaki pelan di belakangnya. Seorang gadis mengenakan setelan hitam mendekat. Miya menyuguhkan senyum tipis, "Hai! Apa yang sedang kau lakukan-"
"Jika aku tidak bisa memiliki Setia, maka tidak ada seorang pun yang berhak atasnya," potong gadis itu, melihat Miya dengan tatapan tajam.
Mata Miya membulat sempurna saat gadis itu mendorong bahunya dengan penuh tekanan. Dalam hitungan detik, tindakan gadis itu membuat kepala Miya terasa berat. Tangan Miya berusaha untuk mencapai pembatas rooftop, tetapi tidak sempat. Ia pun terhuyung, jatuh dari gedung sekolah.
...♡♡♡♡♡...
Di tengah suasana yang begitu menegangkan, suara tangisan seorang bayi terdengar begitu keras, sebagai pertanda dari kehidupan baru yang dimulainya. Di tengah kekacauan ini, para dayang istana sibuk bergerak dengan cemas. Di atas tempat tidur, ibu muda terbaring dengan tenang, namun wajahnya mencerminkan keletihan dan kelemahan setelah usaha besar yang dilakukan untuk melahirkan bayi kecilnya.
Setelah membersihkan sang bayi, para dayang pun membantu ibu muda untuk memberikan posisi ternyaman pada sang bayi dipelukannya. Sang ibu memandang buah hati kecilnya dengan senyum merekah.
Di tengah suasana yang begitu menegangkan, suara tangisan seorang bayi terdengar begitu keras, sebagai pertanda dari kehidupan baru yang dimulainya. Di tengah kekacauan ini, para dayang istana sibuk bergerak dengan cemas. Di atas tempat tidur, Yoshiko, sang ibu muda terbaring dengan tenang, namun wajahnya mencerminkan keletihan dan kelemahan setelah usaha besar yang dilakukan untuk melahirkan bayi kecilnya.
Setelah membersihkan sang bayi, para dayang pun membantu sang ibu muda untuk memberikan posisi ternyaman pada sang bayi dipelukannya. Yoshiko, memandang buah hati kecilnya dengan senyum merekah.
"Yoshiko, putri kita sangat cantik, sepertimu," ungkap Edward, ayah dari sang bayi, dengan tersenyum hangat, seraya mengelus lembut pipi bayi kecilnya.
Kemudian, Edward, dengan penuh kehati-hatian mengambil bayi perempuannya dari pelukan Yoshiko. "Aurasia Hanover of Iresical," tutur Edward, dengan lantang memberi nama sang bayi.
"Nama yang begitu indah, Edward," bisik Yoshiko pada suaminya, masih berusaha tersenyum sebelum akhirnya menutup mata dengan lemah.
Kedamaian hanya berlangsung sebentar. Mereka menyadari dengan duka mendalam bahwa ibu muda ini telah meninggalkan dunia. Dengan berat hati, para dayang itu menatap bayi yang menangis, merasa iba pada nasib bayi kecil yang telah kehilangan sosok yang amat berarti dalam hidupnya. Edward pun memandang jenazah istrinya dengan mata kosong, sembari menggendong bayi perempuannya yang tak henti menangis.
...♡♡♡♡♡...
Aurasia, seorang Putri dari Kekaisaran Iresical, baru saja melihat dunia ini, sayangnya ia telah kehilangan ibunya beberapa minggu yang lalu. Sekarang, Putri mungil ini berbaring dengan tenang di atas ranjang bayi yang sangat nyaman. Meskipun penglihatannya belum sepenuhnya jelas, ia tersenyum dengan keanggunan yang tak tertandingi saat merasakan keberadaan seseorang di hadapannya.
Tiba-tiba, suara tangisan yang keras merobek keheningan di ruangan itu. Putri Aurasia menangis, seolah-olah ia terkejut oleh sesuatu yang baru saja terjadi.
"Bettie ... Putri ... Istana Spirit."
Suara samar yang terdengar seperti bisikan yang lemah mengisi udara, dan hanya bayangan manusia yang tak dikenal tampak dalam pandangannya.
Kemudian, seorang wanita berambut coklat, dengan lembut memeluk Putri Aurasia yang menangis, berusaha menenangkan hati bayi kecil itu dengan kelembutan yang tiada tara. Putri Aurasia, perlahan-lahan, menghentikan tangisannya, dan akhirnya, dia tersenyum kepada sosok wanita yang semakin jelas di matanya.
...♡♡♡♡♡...
^^^7 tahun Kemudian~^^^
Setia, aku merindukanmu...
Di tepi danau yang sunyi, duduklah seorang Putri yang berbalut gaun berwarna emerald. Putri yang memiliki kulit seputih salju yang membuatnya seakan tidak memiliki pembuluh darah, warna rambut serupa frost yang langka, dan mata kuning bersinar bagaikan emas yang merupakan gen murni Keluarga Kekaisaran. Putri kecil itu tengah menatap langit yang tercermin indah di atas permukaan danau yang tenang.
Sepertinya ingatanku sudah kembali, seutuhnya, batin Putri kecil itu, dengan tatapan kosong.
"Yang Mulia Putri Aurasia."
Suara panggilan yang terdengar jelas namun begitu lembut, membuat Aurasia lantas menoleh ke arah seorang wanita berambut coklat yang mengenakan pakaian pelayan, datang dari arah istana tua yang terletak tidak jauh dari danau.
"Ada apa, Bibi?" tanya gadis kecil berambut frost itu, dengan senyuman manis yang terkuas di wajahnya.
"Saya akan pergi ke pasar, Yang Mulia," sahut dayang wanita bernama Bettie, yang baru saja tiba di dekat Aurasia.
Aurasia tersenyum hambar. "Bolehkah aku ikut, Bibi?" tanya Putri kecil itu lagi, meski sudah tahu akan jawabannya.
Bettie memandang Aurasia dengan tatapan penuh perasaan. "Maafkan aku, Yang Mulia. Ibu Kota terlalu bahaya untuk Anda," ungkap Bettie dengan penuh kerendahan hati.
Dimana tempat di luar tembok Istana Spirit yang aman untukku? batin Aurasia, dengan tatapan hampa memandang pada danau yang tenang.
"Yang Mulia, kumohon jangan bersedih. Dalam waktu dekat, saya berjanji akan membawa Anda ke luar," ucap Bettie dengan upaya menenangkan hati Putri kecil yang kesepian di istana tua ini.
"Benarkah, Bibi? Bibi berjanji?" tanya Aurasia dengan penuh semangat dan wajah yang berseri-seri.
"Iya, saya berjanji, Yang Mulia," sahut wanita berambut coklat itu dengan senyuman hangat.
Putri berambut frost itu berdiri dan memeluk Bettie dengan lembut. "Aku menyayangimu, Bibi."
Bettie pun membalas pelukan Aurasia dengan penuh kehangatan. "Saya juga sangat menyangi Anda, Yang Mulia."
Beberapa saat kemudian, Bettie pun melepas pelukannya dengan lembut. "Baiklah, Yang Mulia, saya pamit undur diri," ujar Bettie, sebelum akhirnya ia melangkah menuju gerbang belakang istana tua tersebut.
Aurasia pun menatap kepergian Bettie yang semakin menjauh, melewati gerbang besi hitam yang cukup besar, hingga akhirnya wanita itu benar-benar menghilang dari pandangannya.
Bibi, Bettie. Ia sangat menyayangiku, sampai-sampai ekspresi wajahku berubah sedikit saja, ia akan langsung berkeliling dunia untuk mencari kebahagiaan untukku. Kasih sayang yang bahkan tidak pernah aku dapatkan sebelumnya.
Aurasia menghela napas panjang. Manik emasnya memandang ke arah langit biru dengan awan putih yang tersebar di sana.
Sudah tujuh tahun, sejak aku bereinkarnasi ke dalam tubuh ini. Sampai umur tiga tahun, aku masih merasa bahwa Aurasia adalah aku, tubuhku. Aku bersikap seperti bayi biasa yang tak tahu apa-apa.
Namun, sejak usiaku menginjak umur empat tahun, ingatanku tentang dunia nyata, di mana aku adalah Miya, mulai kembali kepadaku. Ingatanku tumbuh perlahan, membawa kenangan dari kehidupanku sebagai Miya. Masa kecil, masa remaja, dan sampai ketika kehidupanku berakhir.
Sebelumnya aku tidak pernah percaya pada reinkarnasi. Tetapi kini, aku malah mengalaminya sendiri. Aku, Miya Levyna, telah bereinkarnasi ke dalam tubuh karakter fiksi, Aurasia Hanover, seorang putri jahat dalam cerita novel yang berjudul "Mahkota di Musim Semi".
"Mahkota di Musim Semi", sebuah novel romansa fantasi dengan tema kerajaan pada abad pertengahan. Mengisahkan tentang seorang Putri dari Kekaisaran Iresical, yang bernama Maryella Hanover of Iresical. Ia memiliki kemampuan yang luar biasa, yaitu kekuatan untuk mempercantik dan menyuburkan tanaman. Selain parasnya yang cantik, sikapnya yang baik juga membuatnya menjadi kesayangan semua orang. Rakyat Iresical pun menjulukinya sebagai Putri Saintess, yang hanya dilahirkan setiap seratus tahun sekali.
Namun, tentu saja ada peran antagonis yang menggangu kehidupan Maryella yang sempurna. Si antagonis tersebut adalah Aurasia, saudari tiri dari Maryella. Aurasia adalah seorang putri yang selalu mendambakan kasih sayang, cinta, rupa, dan harta. Sayangnya, sangatlah sulit bagi Aurasia untuk mendapatkan itu semua, karena ia hanyalah anak dari seorang selir.
Saat hari kelahirannya tiba, ibu dari Aurasia meninggalkannya untuk selamanya. Aurasia pun diasingkan oleh Kaisar dan tumbuh di Istana Spirit yang merupakan istana terbengkalai. Di Istana Spirit, Aurasia hanya memiliki satu dayang yang merawatnya, yaitu Bettie. Bettie mencintai Aurasia seperti anak kandungnya sendiri, hingga Aurasia melupakan bahwa ia adalah seorang Putri Kaisar yang dicampakkan.
Namun, kasih sayang Bettie yang begitu hangat harus berakhir, ketika Aurasia menginjak usia sepuluh tahun. Bettie meninggal dunia akibat penyakit misterius yang dideritanya. Untuk menggantikan peran Bettie, Kaisar menepatkan dayang baru untuk melayani Aurasia. Dayang baru itu bernama Anne. Anne memperlakukan Aurasia dengan sangat buruk. Aurasia benar-benar menderita saat Anne menjadi dayangnya, atau disini, Aurasia yang menjadi dayangnya Anne?
Itulah masa lalu Aurasia sebelum akhirnya ia bertemu dengan tokoh utama pria, Loyd Crowring of Systrofi. Aurasia jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Loyd. Ia pun mulai berbohong dan berani melawan Anne, agar bisa keluar dari Istana Spirit dan bertemu dengan Loyd.
Aurasia mendatangi Kaisar dan menuntut hak-haknya selama ini. Aurasia ingin menjadi seorang Putri yang diakui Kaisar, dengan ini ia akan lebih mudah untuk menemui Loyd. Kaisar yang melihat tampang Aurasia yang sangat kurus dan tampak hidup dengan tidak baik, langsung merasa bersalah dengan tindakannya di masa lalu yang menjauhkan putri bungsunya itu.
Aurasia pun memanfaatkan rasa bersalah Kaisar untuk menuruti semua keinginannya. Kaisar bahkan menjadi begitu tunduk, hingga tak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah, hanya untuk memenuhi keinginan Aurasia.
Maryella dan saudara kandungnya, Putra Mahkota Florian, berusaha membawa Kaisar Edward kembali ke keluarga bahagia mereka sebelum kedatangan Aurasia. Loyd, sang tokoh utama pria menjadi armor yang kuat untuk Maryella dari segala serangan Aurasia.
Segala permainan Aurasia berakhir tragis. Kejahatannya terungkap di depan keluarga Kekaisaran dan para bangsawan. Florian, Putra Mahkota Iresical yang saat itu memegang kekuasaan tertinggi, memutuskan mengasingkan Aurasia ke Istana Spirit. Dan tak hanya itu, Aurasia juga dipaksa meminum racun yang membuat tubuhnya membusuk dan mati secara perlahan dan menyakitkan.
Itulah sebagian cerita tentang Aurasia yang aku ingat dari novel. Sekarang rencanaku adalah menghindari semua adegan dengan para tokoh utama dalam novel ini. Aku ingin keluar dari Istana Spirit dan tinggal di tempat yang jauh dari Iresical. Tapi tubuh dan usiaku masih terlalu kecil untuk melakukan perjalanan sendiri. Bisa-bisa aku diculik ketika berjalan-jalan sendirian dan dijual pada tempat perbudakan. Membayangkannya saja sudah mengerikan.
Sejak aku mulai bisa berbicara, aku selalu berusaha meyakinkan Bettie untuk membawaku keluar dari Istana Spirit. Tetapi ia hanya membawaku jalan-jalan di sekitar hutan yang mengelilingi istana ini. Meski hutannya tampak indah, tapi tetap saja ini bukan keluar dari istana yang aku maksud.
Tetapi, kali ini aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan. Aku harus membuat Bettie benar-benar membawaku keluar dari istana tua ini. Yah, meskipun aku sudah berpikir seperti ini sejak lama dan selalu mendapatkan hasil yang nihil. Tapi tidak apa-apa, aku akan terus mencoba!
Aurasia kembali memandang danau dan menghembuskan napas. Sepertinya aku harus berhenti mengunjungi danau ini.
Putri berambut frost itu berdiri dan menuntun langkahnya dengan pasti menjauh meninggalkan danau tersebut. Matanya terlihat dalam pemikiran yang mendalam, karena di tempat ini, pertemuan antara Aurasia dan Loyd yang mengubah segalanya terjadi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!