NovelToon NovelToon

Pembalasan Tuan Muda Yang Dianggap Sampah

1 : LDR Dan Berujung Diftnah

“Jadi yah, Sayang. Besok pas masuk ruang resepsi kita, semuanya bakalan dibuat seolah mereka sedang berada di hutan penuh keajaiban! Bertabur kunang-kunang, dan nuansa romantisnya juga dapat banget!” Hasna tersenyum manis menatap wajah tampan Rain, dan tak lain merupakan calon suaminya.

Hasna begitu antusias. Sebab bisa bersama layaknya kini dan itu dengan calon suaminya sendiri, tergolong menjadi hal yang sangat langka. Belum lagi, cara Rain menyikapi khususnya menatapnya dan itu penuh cinta. Semua kenyataan itu membuat hatinya jadi makin berbunga-bunga.

Sampai detik ini, Rain masih sibuk tersipu. Apalagi, ia dan Hasna sudah terbiasa LDR. Hingga hanya karena melihat wajah cantik Hasna dari jarak sangat dekat layaknya sekarang, ia sudah sangat bahagia.

“Bisa jadi, mereka juga mengira kamu nikahnya sama tarzan. Konsep resepsi pernikahan kita sehutan itu, kan? Sementara selama ini, kita selalu LDR. Sekadar jalan bareng saja, nyaris enggak pernah.” Rain merasa geli pada ucapannya sendiri.

“Untungnya kita hidup di zaman yang serba canggih. Bayangkan andai kita hidup di zaman dulu. Enggak kebayang gimana sibuknya para merpati hanya buat mengantar surat cinta kita!” lanjut Rain masih sambil tersenyum.

Dalam hatinya, Rain tengah sibuk memohon. Agar kebersamaannya dan Hasna terus berlangsung. Rain sungguh ingin menghabiskan waktunya hari ini bersama Hasna. Sebisa mungkin, ia ingin lari dari kesibukannya. Karena menjadi orang yang bekerja di belakang layar, selalu membuat waktunya terkuras habis.

Kencan atau sekadar kebersamaan romantis, benar-benar hanya wacana untuk seorang Rain. Bahkan meski satu minggu lagi, ia dan Hasna akan menikah. Jadwal syuting yang menggunung, tetap tidak bisa ia hindari. Beruntung, Hasna tipikal wanita sangat penyabar sekaligus pengertian. Meski Rain juga sadar, semua itu tetap ada batasnya.

Rain tahu Hasna juga wanita biasa yang ingin merasakan hubungan mereka secara nyata. Bukan hanya LDR dan menjadikan pesan sekaligus telepon sebagai komunikasi mereka. Terbukti, beberapa kali ia mendapat laporan dari Hasan. Hasan dan tak lain merupakan kembaran Hasna mengabarkan, bahwa Hasna kerap menangis sambil memandangi foto Rain.

“Oh iya, Sayang ... bagaimana kalau di resepsi kita, sekalian dikasih kuntilanak, wewegombel, termasuk pocong? Biar ada horor-horornya gitu. Aku yakin, itu bakalan lebih seru! Jadi, nanti kita sewa orang didandani gitu. Kita taruh mereka di sudut-sudut yang gelap, biar nuansanya jadi lengkap!” usul Rain sangat bersemangat.

Untuk kali ini, Hasna langsung menggeleng ngeri. “Big No! Yang ada, itu bisa merusak kesakralan acara kita.”

Belum sempat membalas, ponsel Rain yang pria itu taruh di dalam tas Hasna, berdering. Karena Rain juga yang menenteng tas Hasna, pemuda itu bisa mengambilnya dengan leluasa. Detik itu juga kebersamaan mereka jadi dihiasi rasa tidak nyaman. Rain menatap sedih Hasna, kemudian berganti pada layar ponselnya.

“S—sayang ....” Rain merasa sangat bersalah karena belum apa-apa, Hasna yang seolah sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi, sudah langsung sedih.

“Memangnya, kamu ada acara lain, selain meninjau lokasi resepsi kita? Aku pikir hari ini, kita bisa sekalian jalan-jalan, mumpung masih di puncak,” sedih Hasna seiring ia yang mengawasi sekitar.

Langit di sekitar daerah puncak kebersamaan mereka masih saja mendung. Tidak panas dan semilir angin turut menyertai. Suasana yang membuat Hasna betah. Hingga ingin melanjutkan kebersamaan mereka, meski sekadar jalan-jalan ke tempat wisata terdekat. Namun, tampaknya kali ini ia masih harus kembali mengubur keinginannya itu.

“Dua hari lagi aku pulang. Nanti aku kabari kamu. Setelah ini, kalau kamu mau jalan, ya jalan saja sesuka kamu. Nanti diantar pak Samsul, ya!” ucap Rain.

“Ini beneran udahan? Kamu beneran harus pergi?” sedih Hasna dengan suara yang makin lirih.

Ditodong begitu, Rain jadi menatap wanita berhijab merah muda di hadapannya, dengan tatapan khas orang bersalah. Meski berat, Rain berangsur mendekati Hasna, memeluknya erat.

“Lima menit, ... minimal peluk aku lima apa sepuluh menit lagi. Soalnya aku merasa, LDR setelah ini bakalan lebih lama,” rengek Hasna masih belum bisa mengakhiri kesedihannya. Kemudian, ia menengadah hanya untuk menatap Rain yang memang lebih tinggi darinya.

Untuk pertama kalinya Rain merasa, Hasna begitu sedih karena kesibukan Rain. Hasna bersikap seolah calon istrinya itu akan ia tinggal sangat lama. Padahal sesuai jadwal, harusnya mereka hanya tinggal LDR selama dua atau tiga hari lagi.

“Sebenarnya yang berat bukan LDR-nya. Melainkan kesedihan kamu karena LDR kita,” ucap Rain.

“Yang sabar, ya. Aku kerja buat masa depan kita. Jadi kamu jangan sedih-sedih. Nanti kalau sedih, sama papa kamu aku didor, sementara sama daddy aku, aku bakalan dirukiyah atau malah disunat habis,” ucap Rain.

Rain yang masih mendekap erat tubuh Hasna sesuai keinginan wanitanya itu, berangsur mengecup ubun-ubun Hasna berulang kali.

Pada akhirnya mereka tetap berpisah. Untuk mempersingkat jarak tempuh, Rain memutuskan untuk naik ojek. Sementara Hasna diantar sopir mereka. Namun baru Hasna sadari, calon suaminya meninggalkan dompetnya di dalam tas Hasna.

Perjalanan belum genap lima belas menit. Ojek yang membawa Rain makin memasuki pelosok sekitar puncak.

“Bapak sudah biasa ke sini?” tanya Rain berusaha akrab dengan tukang ojeknya.

“Belum, Mas. Ini kebetulan saja, tadi antar penumpang. Terus dapat orderan dari Mas, ya sudah sekalian!” balas tukang ojeknya sampai agak berseru agar terdengar lebih jelas oleh Rain.

Namun, bukannya fokus pada obrolan mereka, Rain justru terusik pada apa yang baru saja mereka lewati. Tadi, ada wanita muda dipanggul ke kebun teh oleh seorang pria. Keduanya tak hanya berdua karena masih ada beberapa pria muda. Fatalnya, sampai detik ini si wanita masih meminta tolong.

“Pak, ... Pak! Itu tadi ... wanita tadi, minta tolong!” sergah Rain. Jiwa kemanusiaannya langsung tergerak, apalagi ia melihat si wanita dibaringkan paksa di tengah kebun teh. “Berhenti, Pak! Berhenti! Ayo Pak, kita tolong dia!”

“Aduh, Mas. Kalaupun mau menolong, Mas harus hati-hati. Harus cari batuan dulu, cari masa. Takutnya malah Mas difitnah!” ucap tukang ojek yang memang langsung berhenti sesuai permintaan Rain.

Menolong harus menunggu bantuan, sementara yang harus ditolong sudah di ujung tanduk? Rain tidak bisa begitu!

Rain memutuskan untuk membayar tukang ojeknya karena pria tersebut tetap menolak ikut campur. Namun baru Rain sadari, dirinya meninggalkan dompetnya di dalam tas Hasna. Karenanya, ia membayar tukang ojeknya melalui dompet digital.

“T—tolong!”

Teriakan si wanita terdengar makin jelas seiring jarak Rain yang makin dekat dengan TKP. Sampai detik ini, Rain masih berlari. Ia paling tidak bisa ada kejahatan apalagi kejahatan kepada wanita dan itu berkaitan dengan se-ksualitas!

“Berhenti! Apa yang kalian lakukan?!” teriak Rain sama sekali tidak takut.

Ada empat pria muda sebaya Rain di sana. Rain dapati, si wanita yang sudah terkapar di sekat kebun teh. Wanita itu hanya memakai celan-a dalam, itu saja sudah diturunkan hingga paha. Rain sudah langsung menepis tatapannya dari pemandangan tersebut. Akan tetapi, ia mendekati si wanita guna melindunginya.

Yang membuat Rain lega, beberapa warga berdatangan. Mereka yang tampaknya pemetik teh, berbondong-bondong lari sambil memegangi tudung maupun apa yang mereka gendong di punggung.

Sempat kebingungan dengan apa yang terjadi, keempat pria dan tak lain merupakan pelaku, saling bertatapan. Kemudian, salah satu dari mereka yang celana levisnya sudah melorot, berteriak, “T-tolong! Ada pria sam-pah yang berusaha melec-ehkan Echa!” Kedua tangannya dengan cepat menarik ritsleting kemudian kancing celananya.

“Iya, Cha, kami enggak kenapa-kenapa, kan?” Sementara ketiga pria lainnya segera menolong wanita yang dimaksud.

Pria yang baru saja memakai celana levisnya, buru-buru berlagak layaknya pahlawan. Bogem mentah ia layangkan kepada Rain, dan ia sebut sebagai sam-pah. “B-ajingan kamu, ya!”

“Loh, kok jadi gini? Kalian main-main dengan saya?!” kesal Rain yang memang sampai terjatuh. Dari sudut bibir kiri maupun lubang hidung kirinya, ia dapati sampai berdarah.

2 : Gelap dan Sangat Sunyi

Dengan logat bahasa sunda yang begitu khas, warga yang telanjur datang, memastikannya kebenarannya kepada Echa.

“Benar, Cha, laki-laki itu sudah kurang a-jar ke kamu?”

Sampai di titik ini, Rain masih cukup bisa tetap bersikap tenang. Terlebih, pada kenyataannya Rain memang tidak bersalah. Alasannya ada di sana, murni untuk menolong si wanita yang ternyata bernama Echa. Sementara kini, ia tengah difitnah.

“Eh, Cha. Berani kamu jujur kalau pelakunya kami, mati kamu!” ancam salah satu dari pelaku, dan bernama Asep.

Sampai detik ini, Asep sengaja memapah Echa. Gayanya tak ubahnya seorang pahlawan kebajikan. Meski pada kenyataannya, kelakuannya mirip dakjal. Detik itu juga, Echa sudah langsung ketakutan menatap Asep.

Sadar semua mata, termasuk tatapan Rain, sudah tertuju kepadanya, mau tak mau Echa harus memberikan jawaban. Apalagi, beberapa warga yang datang, kompak meyakinkannya.

“Enggak usah takut, Cha. Kami semua bakalan bela kamu. Kami semua bakalan lindungin kamu. Apalagi di sini, kamu jelas korban!” yakin si bapak-bapak bernama Gino, dan dari tadi paling lantang menegakkan keadilan.

Rain yang sadar waktunya bisa terbuang sia-sia, berangsur menghela napas dalam. “Ya sudah Teh, sekarang Teteh jujur saja. Kalau ada apa-apa, nanti saya bantu. Kalau sampai butuh pengacara, saya juga bisa siapkan secepatnya!”

“Eh kamu ya, ngeba-cot segampang itu!” kesal Amir, si pria yang sempat membogem Rain.

Amir yang merupakan ketua dari gengnya, dengan sangat percaya diri menyudutkan Rain. Ia berkecak pinggang, berlagak gagah seolah dirinya memang tidak bersalah. “Jelas-jelas kamu pelaku, tapi sekarang dengan enggak ngotaknya, kamu justru sok berlagak pahlawan!”

Kini, Amir kembali berusaha membogem Rain. Namun kali ini, dengan perkasa, Rain menahan kepalan tangan Amir. Menggunakan tangan kanan, Rain melakukannya di tengah kedua matanya yang menatap murka kedua mata Amir.

“Kamu habis minum?” lirih Rain kepada Amir. “Memang dasar baji-ngan!” batinnya apalagi ketika yang ia tanya sudah langsung kebingungan.

Asep yang sadar Amir dalam bahaya, segera bertindak. Ia merogoh saku sisi celana panjang levis sebelah kanannya. Sebuah belati kecil ia keluarkan dari sana. “Cha!” bisiknya sambil menekan belatinya di perut kanan Echa. “Berani kamu melawan Amir, bukan hanya kamu yang mati. Karena keluargamu pasti juga!” bisiknya.

“Jangan bo-blok kamu, Amir itu anak juragan tanah di kampung kita! Mikir kamu!” bisik Asep lagi, kali ini sengaja mengancam.

Echa yang sudah sangat deg-degan juga langsung gemetaran. Ia mengangguk-angguk, kenyataan yang juga langsung membuatnya ditatap bingung oleh Rain. Karena kebetulan, pemuda sangat tampan itu menoleh kepadanya.

Fatalnya, tidak ada yang tahu ancaman yang Asep lakukan kepada Echa. Hanya Echa yang mengetahuinya. Karena meski sebelumnya Rain sempat mendekati Echa, Asep dan kedua rekannya sengaja mendorong Rain. Agar Rain tidak dekat-dekat dengan Echa, hingga mereka bisa mengancam Echa dengan leluasa.

“Nih cewek lama-lama bikin emosi. Masa iya, urusan sepele seperti ini harus ngundang mafia bapak mertua!” sebal Rain dalam hatinya.

Rain yang awalnya masih sabar, mendadak seperti disambar petir di siang bolong. Ia menatap tak percaya Echa. Wanita yang awalnya akan ia tolong itu tersedu-sedu, mengabarkan bahwa Rain telah meno-dainya.

“Hah? Kesur-pan kamu bilang begitu?” kesal Rain hendak mendekati Echa.

Namun, cangkul pak Gino sudah terlebih dulu menghantam kepala Rain. Rain langsung terkapar lemas menahan rasa pusing luar biasa karenanya. Kedua tangannya refleks meraba kepala, dan berakhir memeganginya. Saking sakitnya, Rain yang sadar dirinya langsung dikeroy-ok, justru tak bisa merasakan apa pun.

Rain mati rasa. Suara dari warga maupun Amir dan anak buahnya, juga perlahan tak dapat Rain dengar. Semuanya telanjur menyakitkan. Pandangan Rain yang awalnya perlahan kabur, kini benar-benar gelap. Termasuk juga dengan indra pendengaran Rain yang jadi tak berfungsi.

Gelap dan sangat sunyi, Rain tak lagi mengerti mengenai apa yang terjadi.

Echa yang menyaksikan sama sekali tidak merasa bersalah. Echa memilih melarikan diri. Apalagi, Rain tak hanya tak berdaya. Sebab Rain juga terluka parah. Hampir sekujur tubuh Rain, dipenuhi darah segar. Selain itu, kedua mata Rain juga sudah seutuhnya terpejam.

Tak ada lagi tanda-tanda kehidupan dari Rain. Hingga warga yang melakukan aksi main ha-kim sendiri, mulai berhenti menghaki-mi.

“Sebentar, ... sebentar,” ucap pak Gino berangsur menunduk.

Belum apa-apa, Amir dan Asep, kompak saling lirik. Keduanya terdiam tegang dan perlahan melipir meninggalkan kebersamaan.

“Si pemer-kosa ini masih bernapas, tapi sudah sangat lemah. Kumaha atuh, ini?” ucap pak Gino meminta pendapat.

Setelah pak Gino pastikan, di sana sudah tidak ada Echa, Amir, maupun Asep. Karenanya, mereka menanyakan solusi kepada kedua anak buah Amir.

“Kalau tahu polisi, kita bisa dihukum atau malah diper-as, Uwa Gino!” Ucap Salman, selaku anak buahnya Amir.

Kemudian, Rozi temannya Salman dan berdiri di sebelahnya, membenarkan. “Kalau begitu kita buang saja dia ke sungai. Asal ini enggak bocor, harusnya aman!” yakinnya.

Setelah mengawasi penampilan Rain, Rozi menyadari bahwa Rain bukan orang sembarangan. “Tampangnya orang kaya ini mah. Wajib diperiksa atuh, setiap sakunya. Sekalian jaket sama bajunya juga mani bagus gitu!” batinnya.

Karenanya, Rozi sengaja mengajak Salman untuk memboyong Rain ke sungai di sebelah. Di sana, ada jembatan dan sungainya berarus sangat deras. Sesuai rencana, keduanya sengaja membuang tubuh Rain. Disaksikan warga, Rozi yang sudah mengantongi ponsel Rain, sengaja menela-njangi Rain.

“Biar jadi mayat tanpa identitas. Ini bisa kita makin aman!” yakin Rozi. Padahal, alasannya melakukannya ia memang ingin memiliki pakaian Rain. Termasuk, celana dal-am Rain, Rozi juga sampai mengambilnya.

Disaksikan semuanya, tubuh Rain yang mereka anggap samp-ah, dibuang ke sungai berarus deras. Di lokasi tersebut dan terbilang pelosok, mereka yakin, Rain akan berakhir menjadi mayat tanpa identitas. Atau malah, menjadi santapan ikan dan binata-ng bua-s.

Di tempat berbeda, Hasna menatap bingung dompet dan beberapa barang Rain yang ada di dalam tasnya.

“Si sayang kebiasaan. Dompet, kacamata, semuanya di sini,” batin Hasna mendadak tersentak lantaran sang sopir mengerem mendadak.

“Astaghfirullah, Pak. Bapak enggak apa-apa, kan? Kenapa Bapak mengerem mendadak?” lembut Hasna seiring ia yang berusaha berdiri. Barang-barang Rain keluar dari dalam tasnya, setelah ia menjatuhkan tasnya akibat sang sopir mengerem mendadak.

Padahal, alasan sopir Hasna mengerem mendadak karena ada motor mendadak tergelincir dari atas. Motor tersebut dikendarai oleh Asep yang membonceng Amir. Keduanya terluka parah karena motornya saja sampai ringsek.

3 : Doa Tulus yang Melindungi

“Jangan turun, Pak.” Hasna masih menatap tajam apa yang ada di depan sana.

Sang sopir yang awalnya akan turun, menjadi tidak jadi. Pria paruh baya bernama pak Samsul itu mengikuti arahan Hasna. Pak Samsul mengendarai mobil, melewati Asep dan Amir dengan sangat hati-hati.

Amir dan Asep, kedua pria itu Hasna yakini bukan pemuda baik-baik. Bukan hanya dari fisiknya yang kurus dan penuh tato, tetapi cara keduanya berkendara. Ngebut dan mendadak nyungseb. Hasna bahkan yakin, keduanya juga tengah berada di bawah pengaruh alko-hol bahkan lebih.

“Manusia sekarang sudah banyak yang dakjal, Pak. Kecelakaan sendiri, atau membuat diri celaka, terus minta orang lain tanggung jawab.”

“Apalagi bukannya berpikir kurang bijak, yah Pak. Di daerah yang masih terbilang pelosok, kadang lebih kejam dari keadaan di ibukota.”

“Kalau di ibukota sih, aku yang baru pindah karena mau ikut mas Rain, konsep hidup mereka gini. Hidup kamu ya urusan kamu, hidupku urusanku. Kamu enggak usah ikut campur.”

Hasna yang meski masih menyikapi dengan tenang, sudah bisa melihat gelagat licik dari Amir dan Asep.

Di belakang, Asep dan Amir yang melihat mobil mahal milik Rain, langsung beringas.

“Hadang-hadang, minta tanggung jawab!” ucap Amir. Si anak juragan tanah yang selalu merasa paling kaya sekaligus merasa paling berkuasa, tapi kelakuannya bikin orang sibuk mengelus dada.

“T-tolong ... t-tolong!” teriak Asep dan langsung diikuti juga oleh Amir.

Maksud Asep dan Amir tentu mencoba mengumpulkan masa. Agar rencana keduanya berhasil. Syukur-syukur, rencana mereka lancar jaya seperti kepada Rain.

Ulah Amir dan Asep, membuat Hasna menggeleng tak habis pikir. Sementara pak Samsul, tampak berpikir-pikir. Pak Samsul bermaksud berhenti dan menyelesaikan secara baik-baik.

“Tetap jalan, Pak. Orang seperti mereka memang sesa-mpah itu. Apalagi dengan luka-luka mereka, mereka bisa menjebak kita lebih leluasa!” ucap Hasna masih sangat tenang.

Namun karena Amir dan Asep sampai lari menghadang mereka, Hasna memutuskan untuk turun dari mobil.

“Biar saya saja yang turun, Mbak. Takut ada apa-apa,” sergah pak Samsul yang memang takut. Apalagi selain perempuan, Hasna merupakan calon istri Rain dan notabene bos pak Samsul.

“Harusnya mereka yang takut ke saya, Pak!” ucap Hasna yang kemudian menghampiri Asep dan Amir.

“Astaga, ... yang keluar bidadari, Bos! Mani geulis gitu!” sergah Asep mendadak sangat gugup. Jantungnya mirip mesin pompa air yang ru-sak. Jeglag-jeglug sangat berisik.

Tak kalah gugup, Amir yang sudah langsung terpesona kepada Hasna, segera berbisik, “Langsung bawa saja ke kebun teh terdekat! Atau kalau enggak, bawa ke gubuk terdekat!” Kendati demikian, kedua matanya tidak bisa untuk tidak menatap takjub sosok Hasna. Padahal andai ia tahu bahwa wanita di hadapannya merupakan calon istri pemuda yang telah mereka fitnah, tanggapannya pasti sudah beda.

“Sudah terluka parah, aroma pun alkoh-ol dan ro-kok, masih saja kurang aj-ar. Kalau ada mas Rain, sudah dicok-el mata kalian!” batin Hasna.

Dalam sekejap, Hasna loncat bertumpu pada mobil bagian depan. Tubuh Hasna melayang di udara. Saat itu juga, kaki kanannya bekerja menendang dagu Asep kemudian Amir. Keduanya terkapar, sementara pak Samsul yang menyaksikan, tak bisa berkomentar.

“Semoga siapa pun, termasuk mas Rain, terhindar dari sampa-h seperti mereka!” batin Hasna yang sudah kembali duduk elegan di tempat duduk penumpang.

“Pantas mas Rain klepek-klepek, usaha banget dapetin Mbak Hasna. Sekeren ini ternyata bidadarinya mas Rain. Dibela-belain kan, yang awalnya ngebet mau nikah sama janda, jadinya maunya sama Mbak Hasna!” batin pak Samsul buru-buru menutup pintu penumpang untuk Hasna.

Melalui lirikan, Hasna tak sengaja melihat ponsel Rain yang keluar dari saku celana Amir. Hasna yang sangat paham sampai balik badan sambil terus menatapnya serius. Akan tetapi, Hasna tak melakukan penyelidikan lebih lanjut. Hasna bahkan membiarkan pak Samsul melanjutkan perjalanan mereka.

“Tapi mirip banget sama punyanya mas Rain, ya. Sarung ponselnya, itu mirip yang aku kasih. Masa iya, ada yang sekebetulan ini? Meski memang sarung hape itu banyak yang jual ...,” batin Hasna mulai merasa tidak nyaman. Hatinya jadi gelisah.

“Ya Allah, semoga mas Rain dijauhkan dari marabahaya. Andai pun memang sampai harus mengalaminya, tolong mudahkan beliau dalam menyelesaikannya,” batin Hasna benar-benar tulus.

Amir dan Asep berakhir sekarat. Sementara ponsel Rain yang keluar dari saku belakang celana levis panjang Amir, justru jadi incaran pemulung yang lewat.

Pemulung tersebut tak hanya mengambil ponsel Rain. Namun juga semuanya. Apalagi selain Amir dan Asep dalam keadaan sekarat, di sana juga sepi.

Di tempat berbeda, doa tulus Hasna benar-benar sampai kepada Rain. Rain yang harusnya hanyut mengikuti arus dan menghantam bebatuan besar, justru menepi dan terdampar ke pinggir sungai. Sampai detik ini, Rain memang masih tak sadarkan diri. Selain itu, di sana benar-benar tidak ada orang lain.

“Lindungi di mana pun mas Rain berada ya Allah ....”

Setiap doa tulus Hasna seolah melindungi sekaligus menarik Rain ke alam sadar. Kedua mata Rain bahkan mulai bergerak-gerak lemah, nyaris terbuka.

Namun, diam-diam Echa sudah duduk harap-harap cemas di depan sebuah meja penuh asap. Suasana di sana mirip ruang perdukunan pada kebanyakan. Suasana yang cenderung gelap, dihiasi sesajen lengkap. Seorang pria yang Echa panggil Abah Dartam, sibuk komat-kamit. Kedua jemari tangan pak Dartam melakukan ritual di antara asap.

“Bagaimana, Bah? Abah bisa melihat calon suamiku?” sergah Echa dan yang dimaksud itu Rain. Di hadapannya, kedua mata pak Dartam sudah sepenuhnya terbuka.

Pak Dartam menghela napas dalam. Ia menatap Echa sambil mengangguk-angguk. “Ada yang melindungi dia. Perlindungan ini yang bikin terawangan Abah terganggu. Namun, bisa dipastikan bahwa dia akan selamat!”

Mendengar itu, Echa langsung tersenyum lega. “Syukurlah ... berarti saat bertemu nanti, kami tinggal menikah, Bah.”

“Tolong juga agar Amir dan anak buahnya berhenti menggangguku yah, Bah!” sergah Echa yang telanjur jatuh cinta pada pesona Rain.

***

Seiring bergulirnya waktu, kenyataan Rain yang tak kunjung memberi kabar, membuat Hasna bahkan semuanya khawatir.

“Pesan-pesanku kompak centang satu. Nomor mas Rain juga enggak bisa dihubungi.” Hasna mondar-mandir di kamarnya. Kedua tangannya menggenggam ponsel berikut tasbih, sangat erat.

“Meski mas Rain tengil bin jail, masa iya, empat hari tetap enggak mengabari?”

“Masa iya, ini bagian dari kejutan romantis dari beliau?”

“Acara syuting memang baru beres dua hari lagi, tapi masa iya ....” Tak mau stres sendiri karena tak kunjung mendapatkan kabar Rain, Hasna memutuskan untuk pergi ke rumah orang tua Rain.

Kebetulan, Hasna yang memang orang kampung, sudah tinggal di rumah bersamanya dengan Rain. Rumah terbilang mewah yang Rain siapkan secara khusus untuk Hasna.

Satu minggu sudah Hasna tinggal di sana bersama mamanya. Selain agar terbiasa, Hasna juga sengaja mengatur segala sesuatunya. Namun karena hari pernikahannya dan Rain sudah di depan mata, dan itu kurang dua hari lagi, suasana di sana terbilang ramai. Kenyataan tersebut terjadi karena keluarga besar Hasna baru saja tiba. Semuanya sengaja menginap di sana.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!