Hari Senin, hari yang akan ku lalui seperti biasanya. Tidak terlalu sibuk tapi tidak terlalu senggang juga.
Kegiatan awal ku dimulai dengan menyiapkan sarapan untuk Ayah dan Adik laki-laki ku. Tak lupa juga dengan ku.
Pagi ini aku tidak memasak Nasi Goreng seperti biasanya, kemarin Ayah berpesan bahwa beliau lagi ingin sarapan dengan roti tawar berselai Nanas kesukaannya, ditambah Kopi Susu panas. Sebagai anak perempuan pertama yang memiliki sifat penurut, aku mengabulkan apa yang diminta Ayah untuk sarapannya pagi ini.
Setelah aku melumuri selai di dua lembar roti tawar, tak lupa aku juga melumuri roti tawar dengan selai Ovomaltine untuk Adik ku. Leo.
Leo; Adik laki-laki ku yang masih duduk di bangku sekolah kelas 3 SMA jurusan IPA. Jujur saja, sampai saat ini aku masih tidak percaya bahwa Leo masuk ke jurusan IPA, sebab yang aku tahu dari penilaian ku Leo lebih cenderung menyukai ke arah hal-hal berbau sejarah ketimbang menghitung rumus Fisika atau Kimia.
Kemudian Ayah ku, namanya Adam; bekerja sebagai pegawai kantoran tetap di perusahaan swasta yang bergerak dibidang e-commerce. Semenjak Ibu ku meninggal dunia ketika aku berusia 16 tahun akibat Diabetes, tenaga Ayah tak ada habis nya untuk bekerja di perusahaan sambil merangkap peran sebagai Ibu untukku dan Adikku.
Jika ada seseorang yang ingin mengetahui tentang Ayah, aku adalah orang pertama yang sangat antusias menceritakan tentang bagaimana kasih sayang serta jerih payah Ayahku yang tak henti merawat dan menjaga ku serta Leo.
"Roti aku sudah dibikinin belum kak?" tanya Leo setelah turun dari tangga, sudah mengenakan seragam sekolah putih abu-abu sambil menenteng tas ransel berwarna hitam. Leo menarik kursi dan duduk sambil menaru tas di sebelah kursi duduk nya. Roti yang sudah aku siapkan masih belum disentuh, sebab kedua tangan nya sudah sibuk mengetuk layar ponselnya. Belum lama dia menanyakan rotinya, saat aku menyodorkannya tidak langsung dimakan. Perilaku anak jaman sekarang sudah benar-benat membuatku menggelengkan kepala.
Melihatnya masih sibuk dengan ponsel aku berdecak kesal, lalu memintanya segera untuk menghabiskan sarapannya.
"Dimakan dulu sarapannya, Leo. Hp nya ditaruh dulu sana!"
Leo hanya berdeham panjang, namun tidak melakukan apa yang aku suruh. Dengan luapan kesal aku mencubit lengannya hingga ia tersentak.
"Auu.. sakit kak!" Leo mengerang sambil menatapku kesal. Sebelah tangannya sibuk mengelus bekas cubitan di tangan satunya.
"Cepat dimakan rotinya. Nanti Ayah marah kalau makanan mu belum disentuh," Titah ku lagi sambil mengancam Leo. Leo melirik roti itu sesaat, namun kembali sibuk dengan ponsel di kedua tangan nya. Roti nya baru dia capit di mulut, belum mengunyahnya.
"Leo, habiskan makanan mu sekarang!" Titah Ayah yang sudah duduk di kursi. Leo langsung meletakkan ponsel nya diatas meja, kemudian melahap roti itu.
Aku kembali berdecak sambil memandanginya dengan tatapan sinis, menggurutu dalam hati pada Leo karena hanya menurut pada Ayah saja. Kesal.
Tak lama Ayah membuka pembicaraan baru di meja makan. "bagaimana dengan sekolah kamu Leo? lancar kan nggak ada masalah?"
Leo menganggukkan kepala dengan mulut masih mengunyah, lalu ia berbicara setelah makanannya habis di dalam mulut. "lancar kok, Yah. Tapi Bulan ini Leo akan mulai sering kerja kelompok, jadwal praktek juga sudah keluar."
"ingat Leo, kamu sudah kelas 3. Usahakan nilai mu untuk tidak turun. Jangan lupa apa yang kamu janjikan sama Ayah."
"jangan khawatir,Yah. Leo selalu ingat apa yang Leo janjikan. Pastinya Leo akan lebih semangat belajar lagi," ujar Leo dengan senyum membanggakan diri.
Menjadi seorang Arsitektur adalah impian Leo sejak lama. Tentu saja Ayah selalu mendukung apapun keinginan anaknya supaya tercapai. Sebelum lulus sekolah pun, Leo sudah mendaftarkan dirinya di Universitas jurusan Arsitek yang berada di Singapur. Dan juga ia sudah melakukan survei jika ia berkuliah di Indonesia; Institute Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia menjadi pilihan Leo jika ia tidak lolos di Singapur.
Ayah menepuk bahu kanan Leo sebanyak dua kali sambil tersenyum senang. "Good Boy,"
Mulut ku hanya sibuk mengunyah roti sambil mengamati pembicaraan antara Leo dan Ayah. Wajah Leo begitu semangat setelah mengucapkan tujuannya dengan lantang.
Aku akui tekad Leo demi meraih masa depannya patut diacungkan jempol, kalau bisa sampai 4 jempol deh. Berbanding terbalik dengan ku yang masih santai menjalani hari seperti tidak ada beban. Jujur saja, sampai saat ini aku pun belum ada merencanakan masa depan ku mau diarahkan kemana. Bisa dikatakan aku belum memiliki 'Hiu kecil' di dalam diriku. Jika ditanya apa tujuan hidupku selanjutnya, yang ada aku akan berpikir gamang.
Bukan itu saja, hal-hal yang berbeda antara aku dan Leo cukup terlihat signifikan. Leo yang memiliki sifat yang supel, disenangi banyak orang, dan banyak memiliki Tropi piala yang terpajang di lemari khusus piala di kamarnya. Dan aku kebalikannya.
Aku lebih suka mengasingkan diri, bukan berarti aku takut dengan lingkungan sosial. Aku tidak sepintar Leo -- tapi aku tidak bodoh juga -- aku juga banyak mengumpulkan lembaran sertifikat tentang diriku yang aktif dalam kegiatan sosial dan serta keikut sertaan dalam kegiatan seminar dan mentoring.
Tin .. Tin ..
Terdengar suara klason motor dari arah luar rumah. Leo segera menghabiskan susu lalu mencium punggung tangan Ayah dan aku.
"Leo berangkat duluan ya, Ayah sama Kak Bian hati-hati!"
"Hati-hati juga Nak!" Pekik Ayah ketika Leo berjalan menuju pintu sambil melambaikan tangan nya.
Setelah sarapan kami habis, Ayah turut bangkit untuk bersiap berangkat kerja bersama ku.
Lalu kami memasuki mobil dan mulai berjalan mengitari jalan aspal.
Ahh.. aku lupa memperkenalkan diri. Aku Bianca, aku hanya seorang gadis yang terlihat biasa-biasa saja, yang selalu menjalani hari monotonnya dengan langkah yang diusahakan seringan mungkin.
Dan inilah cerita kehidupan ku.
Pernahkah aku mengatakan bahwa hidupku seringan kapas? Tidak bukan? Syukurlah kalau begitu.
Aku tahu kalian sedang bertanya kenapa aku mengatakan seperti itu. Baiklah aku akan menceritakan pada kalian.
Belum lama ini --sekitar satu jam lalu-- dunia ku seolah runtuh, waktu berhenti berdetak, dan aku sulit bernafas seakan oksigen di permukaan Bumi menipis.
Ya aku tahu kata-kata ku terlalu puitis, mendramatisir, berlebihan. Okay.
Setelah kalian mendengarkan apa sebab-alasan ku kenapa aku mengatakan itu, aku yakin pasti kalian eneg.
"maaf Bi, kita sudahi hubungan ini. Kita putus."
"aku rasa kita sudah nggak cocok lagi. Maaf ya."
Bagaimana rasanya jika kamu tiba-tiba diputusin pacar dengan alasan kita sudah tidak cocok?
Baik, katakan aku berlebihan jika aku mengatakan dunia ku runtuh karena aku diputusin seorang pacar --ralat, sudah jadi mantan. Tapi asalkan kalian tahu, bagaimana pun hatiku sakit saat hubungan yang sangat ku jaga dan terlihat baik-baik saja --dimata ku-- jarang bertengkar, kalau pun ada kami bisa menyelesaikannya dengan cepat, tapi aku harus menerima kalau hubungan ini harus berakhir sia-sia.
Hubungan yang sudah aku jalani selama 2 bulan, dimana aku baru pertama kali pacaran dengan seorang laki-laki most wanted seantera kampus.
Menyukainya dalam kurun waktu lama, dan akhirnya hubungan kami semakin dekat hingga ia meminta ku sebagai pacarnya. Tentunya aku bahagia.
Siapa sih yang tidak bahagia bisa berpacaran dengan laki-laki yang sudah lama kamu taksir?
Walau faktanya hubungan kami dijalani backstreet.
Hanya Karin --sahabat ku sejak SMA-- yang mengetahui hubungan ku. Leo tahu juga, tapi dia cuek. Kalau dia tahu aku putus mungkin dia tidak peduli.
Alasan kami backstreet karena hubungan kami terbilang baru banget, aku dan dia cukup segan jika mempublikasikan hubungan kami ke semua orang. Terutama ia memiliki banyak fans di kampus, dari junior hingga senior.
Sehingga kami memutuskan untuk menjalani hubungan kami seperti air mengalir, tahunya malah kandas ibarat ban mobil kempes. Angan ku bisa langgeng dengannya pupus setelah aku mendengar sebuah fakta yang berhasil mengguncangkan hatiku.
"denger-denger Jeanne mengundang Erick ke Birthday Party nya di weekend besok, terus Erick mengiyakan. Kata anak-anak mereka lagi dekat."
Mendengar itu aku sudah tidak tahu apa yang harus aku lakukan selain menangis sesegukan didepan Karin.
Aku tidak peduli jika mahasiswa lainnya melihat ku menangis ditengah kantin kampus yang cukup ramai. Tapi kegiatan ku tidak memiliki daya tarik menjadi tontonan asik bagi mereka.
Karin berusaha menenangkan ku dengan menepuk bahuku pelan sambil mengatakan sabar.
Kata sabar tidaklah cukup untuk mengobati luka ku. Yang ada tangisan ku makin menjadi.
"kalau dia memang sayang sama kamu, nggak mungkin dia putusin kamu terus langsung deketin Jeanne..."
"...kecuali dari awal dia sudah nggak sayang lagi sama kamu."
Hatiku semakin nyeri mendengar ucapan Karin, dimana kata-kata itu menyerempet ke kenyataan.
Kalau memang Erick sayang sama aku, tidak mungkin setelah putusin aku ia langsung mendekati Jeanne.
"lupain dia aja Bi. Cowok kayak dia nggak pantas buat kamu. Buktiin kalau kamu baik-baik aja setelah diputusin sama dia."
Aku belum ada menyahut omongan Karin. Kadang mulut itu memang gampang buat berucap, tapi pas dilakuin itu sulit. Ditambah hati malah jadi ngilu.
"kita datang ke Party Jeanne, kamu dandan yang cantik supaya banyak yang lirik. Aku yakin Erick bakalan menyesal putusin kamu."
Aku mengerutkan dahi sembari mengusap wajah ku yang masih sembab, "party Jeanne?"
"iya." Karin mengangguk. Lalu ia mengeluarkan sesuatu dari tas jinjingnya berwarna abu-abu, 2 kartu undangan yang tertulis Jeanne's Party disana. Design kartu yang cantik dengan tulisan timbul disana, menandakan bahwa acara akan digelar meriah dan mewah.
"kita diundang ke party-nya. Nanti kita ke Butik mama ku, pilih pakaian sebagus mungkin buat pergi ke party. Aku akan bantu kamu buat cari pakaian yang cocok."
Aku hanya mengangguk dengan pikiran gamang. Tapi apa yang dikatakan Karin benar, aku tidak bisa menangisi Erick terus padahal dia tidak menangisi ku sama sekali.
Tak ada salahnya juga aku mengikuti arahan Karin untuk mampir ke Butik dan melihat-lihat pakaian yang akan ku kenakan nanti.
Satu per satu aku melihat pakaian yang tergantung menumpuk di wardrobe. Setelah kami tiba di Butik mamanya Karin, Karin meninggalkan ku sesaat untuk menemui mamanya di ruang kerja yang berada di lantai 3.
Aku melirik baju blink-blink silver, pakaian yang begitu terbuka menampilkan belahan dada dan mengekspos seluruh area punggung. Segera aku mengembalikan pakaian itu ke tempat asalnya, mendadak aku merinding memikirkan bila aku memakai pakaian itu.
Pulang-pulang aku malah dikerokin karena masuk angin.
Pandangan ku kembali berpencar, sibuk mencari pakaian yang cocok untuk ku pakai. Tapi aku belum menemukan satupun yang sesuai, hingga Karin menghampiriku dengan beberapa pakaian yang ia tengger di satu lengannya.
Karin meminta ku untuk mencoba semua pakaian yang ia bawa, kali ini aku menyukai pakaian pilihannya. Dan aku menyukai salah satu pakaiannya yang tertutup dibagian depan namun terbuka dibagian punggung, setidaknya pakaian itu dikategorikan masih aman untuk ku pakai.
Aku memilih pakaian tersebut dan segera ingin ku bayar ke kasir, namun Karin tidak meminta ku membayarnya.
Beruntungnya aku mempunyai teman kayak Karin, lumayan kan punya pakaian baru dan bagus tanpa harus menguras uang jajan.
***********************************
"kakak mau kemana?"
Leo memperhatikan ku dari ujung kepala ku sampai ujung kaki, lalu balik lagi menatap ku dengan tatapan aneh.
Aku memang jarang berdandan dan memakai pakaian bagus, wajar saja kalau Leo memandangiku seperti itu.
"mau pergi." balas ku sambil memeriksa isi clutch ku supaya tidak ada yang tertinggal.
"tumben pakai pakaian bagus, diajak nge-date?"
"tidak," sela ku langsung. "kakak udah putus."
"oh!"
Benar kan apa kata ku kalau Leo tidak akan peduli. Heran deh tidak ada ekspresi simpati sedikitpun.
Sebelum Leo mengajak ku berbicara lagi, terdengar bunyi klakson mobil datang menandakan bahwa Karin sudah tiba menjemput. Tanpa bertanya Leo sudah tahu kalau itu adalah Karin, dia sudah hapal dengan nada deru mobil dan klakson mobil Karin.
Bergegas aku melangkah keluar sembari berpamitan dengan Leo.
***********************************
Kami tiba di sebuah gedung mewah dibilangan Jakarta Selatan. Sebelum kami melangkah memasuki gedung aku kembali memeriksa penampilan ku, melihat ada pantulan diriku terlihat jelas di kaca mobil orang lain aku mempergunakan kesempatan untuk memoles lipstick lagi dan menyisir rambut ku.
Sesaat aku memandangi diriku disana, memantapkan hati ketika aku akan bertemu dengan Erick nanti.
Tapi aku percaya jika Erick masih memiliki perasaan terhadap ku. Kami belum lama putus, sudah pasti Jeanne adalah pelarian Erick.
Aku melangkah bersama Karin dengan langkah anggun seolah kami sedang catwalk di fashion show ternama, melewati beberapa tamu Jeanne yang belum memasuki Aula tengah.
Acara digelar di dalam Aula luas dan megah berada di lantai 1. Kami disuguhkan dengan alunan musik merdu dan padatnya para tamu yang berkerumunan sendiri-sendiri, bisa ku lihat jika tamu yang Jeanne undang bukan hanya anak-anak kampus saja. Aku akui Jeanne memang terkenal pandai bergaul, siapapun kenal dengan Jeanne.
Apalagi Jeanne juga seorang Selebgram. Aku tidak perlu menjelaskannya lagi pada kalian betapa terkenalnya Jeanne.
Kami menghampiri posisi Jeanne yang berada ditengah Aula, dan sempat langkah ku tersendat ketika Erick bersisian dengan Jeanne.
Laki-laki yang sudah memutuskan ku belum lama ini sedang tertawa bahagia bersama Jeanne, satu tangannya merangkul pinggang Jeanne dengan mesra. Pemandangan itu berhasil meletupkan amarah dan sedih ku.
Karin mengucapkan selamat pada Jeanne terlebih dahulu, disusul aku kemudian. Sesaat pandangan ku dan Erick bertemu, namun Erick langsung memalingkan pandangannya pada Jeanne.
Berusaha keras aku menahan rasa panas di rongga dadaku.
Aku dan Karin menyingkir dan duduk di table bersama teman-teman jurusan ku. Acara dimulai dengan hikmat dan diakhiri dengan acara bebas yang sudah melantunkan lagu DJ cukup keras. Mendengar dentuman lagu itu membuat kepala ku mau pecah, tapi aku belum bisa mangkir sebab Karin sedang diajak minum oleh teman-teman ku.
Aku memilih duduk diam di table dan meminum soda kaleng.
"eh dia datang tuh!" seru salah satu teman ku sambil menunjuk seseorang, wajahnya yang memerah sehabis minum tak menyulitkannya untuk menunjuk seseorang yang ia maksud.
Kami yang terpancing seruan teman ku menoleh kearah tunjuknya, seorang laki-laki mengenakan jaket kulit hitam dan shirt putih sedang berbicara dengan temannya sambil memegang gelas minuman.
"itu siapa?" tanya Karin memperhatikan laki-laki itu.
"itu Arshaka. Gila dari jauh aja ganteng banget!"
Aku membuka dan menyipitkan kedua mata ku agar aku bisa melihat laki-laki yang dimaksud. Remang lampu menyulitkan ku untuk menatapnya.
Masih sibuk memperhatikan orang itu, aku mendengar segala pujian yang dilayangkan pada laki-laki itu. Tapi yang aku dengar pujian itu mengarah bahwa dia adalah laki-laki badboy yang sangat disukai para perempuan.
Aku tercenung mendengar dia masih duduk dibangku SMA. Seharusnya dia tidak berada disini, sebab pesta Jeanne banyak suguhan minuman alkohol.
"terakhir dia deket sama Lisa. Denger-denger mereka juga udah pernah having sex, dan sampai sekarang Lisa masih ngejar-ngejar Shaka."
Di lingkungan pertemanan ku, having sex sudah dianggap biasa oleh mereka. Mau tidak mau aku harus menerima keadaan itu walau pikiran ku masih kolot.
Bagiku having sex masih tabu untuk ku bicarakan. Tidak sembarangan dilontarkan apalagi jika pikiran kita belum terlalu open.
Tapi Having sex tidak selalu mengandung kata kotor, bagiku itu adalah ilmu pengetahuan. Aku tidak menampik hal itu, karena suatu saat nanti aku akan membutuhkan ilmu itu demi masa depan ku bersama laki-laki yang akan bersama ku kelak.
Terlalu banyak berpikir aku tidak sadar jika laki-laki yang sedang dibicarakan menghampiri table kami, ternyata dia kenal dengan teman-teman ku.
Aku memperhatikan kegiatannya yang sedang asik mengobrol dengan salah satu teman ku bernama Samuel. Pembicaraan mereka tak terlalu terdengar oleh ku karena suara mereka tenggelam dengan dentuman musik yang semakin keras.
Tapi aku tidak peduli, jadi aku memilih untuk menengok ponsel ku dan melihat-lihat semua akun media sosial ku disana. Sembari scrol aku meneguk minuman soda ku.
Sebelum aku menghabiskan minuman ku, pandangan ku bertemu dengan pandangannya. Cukup lama kami terpaku aku segera mengalihkan pandangan ku kembali menatap ponsel.
Tapi aku merasa bahwa aku diperhatikan, sehingga aku mendongak dan kembali mengalihkan pandangan ku ketika laki-laki yang bernama Arshaka masih menatap ku, yang kini menatap ku dengan lekat.
"kamu mau pindah Bi? Kamu diliatin sama Arshaka terus."
Karin sadar kalau laki-laki itu tak henti menatap ku, aku mengiyakan ajakan Karin dan kami pergi meninggalkan table.
Aku dan Karin memutuskan untuk duduk di minibar yang berdekatan dengan dance floor. Ketika aku menyapu pandangan, aku menangkap sosok Erick dan Jeanne sedang menari disana.
Aku bisa lihat bagaimana mereka tertawa lepas, begitu menikmati lagu mengiringi tarian mereka.
Aku juga bisa lihat senyum Erick begitu tulus pada Jeanne. Senyum yang tak pernah ia bagikan padaku. Hatiku mencelos, mengingat semua ucapan Karin berkeliaran didalam kepala ku.
Mungkin Erick memang tidak memiliki perasaan apapun padaku.
Kalau itu benar, kenapa dia bilang dia suka sama aku? Kenapa dia minta aku jadi pacarnya?
Kenapa dia begitu mudah mematahkan hatiku disaat aku lagi sayang-sayangnya?
Hatiku sakit, terasa hatiku diremas kuat oleh sesuatu tak kasat mata. Letupan panas memenuhi rongga dadaku sampai ke ubun-ubun. Perasaan ini sungguh menyiksa.
Melihat ada minuman kalengdidepan ku, aku membuka dan meneguk minuman yang terasa pahit dan panas didalam tenggorokan ku.
"ya Tuhan, barusan aku minum apaan?"
Aku memeriksa label kaleng, seketika nafas ku tercekat ketika aku melihat bahwa minuman yang aku minum adalah alkohol.
Sial!
Segera aku menjauhkan minuman itu sejauh mungkin. Dan buru-buru aku bangkit dari bangku untuk mencari Karin, terakhir Karin pamit kalau ia pergi ke toilet.
Namun langkah ku limbung, untungnya aku belum berhasil terjatuh karena ada seseorang membantu memapahku.
"kamu mabuk."
Aku menoleh kesamping, mendapati seorang laki-laki mendekati ku dengan simpulan senyum.
Samar-samar aku memperhatikan laki-laki, senyum ku terbit sebab Erick lah yang memapah ku.
"Erick," panggilku lirih padanya. Senyum ku semakin mengembang saat ia membalas senyuman ku.
"aku percaya kalau kamu masih sayang sama aku, Erick."
Spontan aku mengalungkan tangan ku ke leher lalu aku kecup bibirnya untuk pertama kali.
Ternyata ciuman pertama itu memang begitu memabukkan. Bahkan ada rasa manis yang menguar di bibir ranumnya, hingga cecapan ku semakin keras.
"aku suka ciuman mu," dia mengucap kata itu dengan suara serak nan dalam setelah ciuman kami terlepas, suaranya membuat hatiku berdesir.
Namun seketika aku sadar, suara itu bukanlah suara Erick. Aku menatap wajahnya lagi dan mencerna didalam kepala ku yang terasa melayang ke udara.
Laki-laki yang sedang memelukku bukanlah Erick. Tapi laki-laki yang bernama Arshaka.
Aku mencoba menjauhkan diri darinya, tapi terlambat, pelukannya semakin ia eratkan lalu ia mengecup bibirku.
Ciuman yang mengundang beberapa pasang mata memperhatikan kami.
***********************************
Ku gerakkan kaki ku untuk melangkah menuju kelas, lalu aku disambut oleh beberapa pasang mata memandang ku penuh penilaian.
Lirikan mereka terus mengintai ku sampai aku terduduk didalam kelas, bahkan lirikan itu masih terasa oleh ku saat kegiatan kelas berlangsung, juga setelah keluar dari ruangan pandangan mereka tak luput menatap kehadiran ku dengan bisikan samar yang masih bisa aku tangkap,
"oh dia yang ciuman sama Arshaka di party Jeanne,"
"eh, beneran dia yang ciuman sama Arshaka?"
"kok dia bisa dekat sama Arshaka sih?"
Aku mulai muak, ini bukan satu hari aku diperlakukan seperti ini, sudah 3 hari setelah acara party Jeanne digelar aku bagaikan buronan kelas kakap. Sulit bergerak bebas seakan dunia tak memperbolehkan ku berkeliaran kemanapun.
Ku pikir keadaan akan kembali seperti semula jika aku tidak menggubris perilaku mereka. Namun keadaan lagi tidak memihak padaku.
Bukan hal ini saja yang membuat ku muak, setelah acara sialan itu laki-laki bernama Arshaka juga terus bermunculan didepan ku selama 3 hari ini.
3 hari berturut-turut aku mendapati sosoknya sedang berkumpul dengan anak kampus, entah didepan halaman sambil merokok atau menemukannya sedang makan di kantin.
Saat ini aku sedang duduk sendirian di teras kedai kafe samping gedung kampus, tempat dimana aku suka menyendiri sambil menikmati kegiatan monoton ku. Mendengarkan musik menggunakan earphone lalu melamunkan hal-hal yang tidak jelas: entah tentang kuliah ku, keadaan Ayah dan Leo, dan memikirkan bagaimana nasib ku dimasa depan.
Karin sudah pulang duluan untuk membantu Ibunya di Butik. Awalnya aku ingin ikut ke Butik tapi aku mendadak ada urusan sama dosen prodi, dan setelah selesai aku memutuskan duduk termenung di kafe saja.
Kalau lagi melamun pikiran ku cukup kritis. Dalam benak ku bertekad untuk melakukan perubahan kecil demi memiliki kehidupan yang maju.
Tapi saat aku ingin menjalaninya, tekad ku meluap entah kemana.
Kadang aku sendiri heran dengan diriku seperti ini. Kayak tidak ada gairah hidup, tapi aku happy-happy aja.
Kemudian aku mengecek ponsel dan membuka semua media sosial ku: melihat beranda instagram, membaca cuitan di twitter, lalu menonton video di youtube.
Tiba-tiba ada seseorang datang, meletakkan 2 gelas kopi diatas meja dan duduklah orang tersebut didepan ku. Aku mendongakkan pandangan ku, melihatnya yang sedang tersenyum seperti teriknya matahari.
Begitu menyilaukan, sampai mata ku pedih melihatnya.
"pantas saja disini panas. Ada matahari didepan ku."
Baru saja aku mengibaratkannya seperti matahari, dia melayangkan gombalan receh menggunakan topik matahari juga.
Kamu juga kayak matahari, bikin gerah hati.
Kehadirannya tak aku acuhkan, aku kembali fokus memandangi ponsel ku. Tapi dia tak membiarkan ku untuk tak mengacuhkannya, jadi dia terus mengajak ku bicara.
"kata Muel kamu sering pesan kopi disini sambil nunggu teman kamu, siapa namanya? Karin ya, bener nggak?"
Aku tak menggubris ucapannya, masih terpaku memandangi ponsel. Malas.
"weekend ada acara nggak? Kalau nggak ada, kita nonton di bioskop yuk. Atau kamu mau jalan-jalan? Atau kamu mau belanja sesuatu, aku temani." ucapnya sambil menopang dagu dengan satu tangannya, ia terpaku memandangiku namun aku tak berniat membalas tatapannya. Melirik saja tak minat.
Aku masih terdiam didepannya, hingga aku tersentak kaget saat dia merebut ponsel ku secara paksa. Lalu ia mengantongi ponsel ku kedalam saku celana seragam abu-abunya ketika aku ingin merebut ponselku.
Kegiatan kami mulai dilirik oleh pengunjung kafe yang mayoritas adalah anak-anak kampus. Hmm gawat sudah, nama ku makin sering dicibir oleh seisi gedung kampus.
"kalau ada orang ngajak kamu bicara, tatap mukanya. Masa aku harus mengajari mu beretika saat berbicara dengan orang lain?"
Tanpa perlu dia katakan aku sudah tahu cara etika berkomunikasi dengan lawan bicara.
Masalahnya aku tidak mau berbicara padanya.
"kembalikan hp ku!" titah ku dengan satu tangan terjulur ke depan. Ketika aku mendekatinya dan ingin meraih tangannya, ia menyingkir dan menepis tangan ku.
"weekend aku jemput kamu dirumah."
Arshaka, laki-laki yang harusnya menghormatiku karena umurku lebih tua 3 tahun darinya justru memperlakukan ku semena-mena dan memaksa ku untuk menuruti kemauannya.
Memangnya dia siapa?
"jangan aneh-aneh deh! Kalau mau jalan sama perempuan lain aja sana, bukan sama aku. Sekarang kembalikan ponselku!"
Aku mencoba mendekatinya lagi, merogoh saku celana, tapi dia menghindari perlawanan ku dengan mencengkram lengan ku.
Memang cengkramannya tidak sakit tapi aku tidak suka dia menyentuhku seperti itu.
Lalu ia mulai melepaskan tangan ku ketika aku mengerang tak suka padanya.
"katakan mau dulu baru aku kembalikan."
"ya Tuhan!" aku mencengkram rambutku kesal. "aku harus melakukan apa supaya kamu tahu kalau aku tidak mau pergi dengan mu?"
"aku anggap kamu mau pergi sama aku, aku jemput kamu jam 8 malam."
Aku tak habis pikir dengan semua pikirannya saat ini. Aku terpaku kesal memandanginya, lalu ia meletakkan ponsel ku diatas meja.
Sebelum dia pergi, beberapa saat dia mengelus kepala ku lembut dan melayangkan senyuman padaku.
Lalu ia pergi meninggalkan ku dengan perasaan campur aduk: kesal, marah, jengkel, tapi aku penasaran.
Dia bilang dia akan menjemput ku dirumah, tapi bagaimana bisa? Dia kan tidak tahu dimana rumah ku. Aku pun belum memberitahukan dimana alamat ku padanya.
Sudahlah, aku tidak peduli. Mungkin dia hanya iseng mengangguku saja.
Segera aku memesan taksi online untuk pulang ke rumah.
Hari ini dia berhasil membuat mood ku buruk.
**********************************
Setelah pertemuan di kafe, aku tak menampaki sosok Arshaka di area kampus.
Hari-hariku kembali berjalan normal, anak-anak kampus tidak lagi membicarakan ku, juga mereka tidak lagi menatapku aneh. Kembali dengan diriku yang tidak terlalu penting didalam kehidupan mereka.
Tentunya aku lebih nyaman seperti ini, merasa bebas dan lega. Sebab aku tidak suka menjadi pusat perhatian.
Aku asik menonton tv di ruang tengah, menonton channel talk show yang dibintang Sule dan Andre Taulany. Rumah yang sepi dan hening jadi berisik oleh tawa ku melihat Sule menyamar sebagai salah satu pesulap yang terkenal dikalangan masyarakat.
Rumah hanya ada aku seorang, Leo dan Ayah sedang pergi ke gerai ikan hias. Sekarang ini mereka berdua lagi mempunyai hobi baru yaitu mengoleksi ikan hias. Setelah pulang kerja tadi siang Ayah membawa akuarium baru yang cukup besar, dan sekarang mereka sedang mencari penghuni baru di akurium tersebut.
Ting... Tong...
Bel rumah terdengar oleh ku, namun aku belum langsung beranjak dari sofa. Setelah aku berhenti tertawa melihat kekocakan Sule dan Andre di tv aku baru melangkah ke pintu.
Aneh, tumben banget Ayah dan Leo memencet bel ketika pulang. Biasanya mereka akan langsung masuk, kalau pintu dikunci mereka akan berteriak memanggil ku.
Aku memutar kunci dan menarik kenop pintu. Lalu aku membelalak terpaku melihat Arshaka berdiri didepan ku, mengenakan hoodie putih dengan jeans berwarna hitam.
"hai Bi..."
Menatapnya dari ujung kepala sampai ujung kaki, lalu kembali memandangi wajahnya tak percaya.
"kok kamu belum siap-siap? Aku kan sudah bilang bakal jemput kamu jam 8."
Spontan aku membalikkan badan dan melihat jam dinding menunjukan jam 8 malam. Dia beneran datang dan tepat waktu.
"kam-- kamu beneran datang? Kok bisa?" tanya ku terbata-bata.
"Arsha.."
Kami berdua serempak menoleh ke sumber suara, mendapati Ayah dan Leo sudah pulang sembari menenteng plastik yang terisi ikan hias.
"eh Leo..." sapa Arshaka santai, lalu ia berjalan mendekati Ayah dan mencium punggung tangannya sebagai tanda hormat.
"kalian, saling kenal?" tanya ku penuh penasaran. Lalu Leo berkata,
"kenal. Kan Arsha satu sekolah dan sekelas sama aku."
Aku terdiam speechless.
***********************************
"kok kamu diam terus? Lagi dapet ya?"
Aku tak menanggapi ucapan Arshaka sedari tadi. Kepala ku pening, isi kepala ku semeraut, mau pecah rasanya.
Aku duduk terdiam disamping Arshaka, selama perjalanan dia tak henti mengajak ku berbicara. Topik-topik umum dan receh ia layangkan dengan senyum yang tak pernah padam sejak dia berhasil membawa ku pergi dengannya.
Setelah Leo mengatakan jika ia dan Arshaka saling kenal, dan mengatakan bahwa Arshaka suka main ke rumah, barulah aku mengerti kenapa dia begitu PD mengatakan akan menjemputku dirumah.
Dia mengenalku sebagai kakaknya Leo, beberapa kali ia pernah main ke rumah dan mendapati ku yang terlalu asik dengan duniaku sendiri.
Mau tidak mau akhirnya aku pergi dengannya sebab Ayah langsung mengiyakan keinginan Arshaka.
Juga aku tambah melongo ketika Arshaka berhasil membujuk Ayah dengan mengatakan hal yang tidak-tidak pada Ayah,
"om, saya mau ajak kak Bian pergi keluar. Saya janji nggak akan lama om."
"memangnya mau pergi kemana?"
"mau ajakin kak Bian jalan-jalan om. Kalau om berkenan, saya lagi dekati kak Bian. Mohon doa restunya ya om,"
Mengingat itu kepala ku semakin berdenyut pusing.
"kamu sakit? Mau aku belikan obat?" tawarnya ketika mobilnya berhenti didepan minimarket.
Jadinya kami hanya jalan-jalan menikmati padatnya Ibukota, tidak ke Mall ataupun pergi nonton bisokop yang ia tawarkan diawal.
Aku tidak berharap kok, justru aku akan puas kalau dia paham bahwa aku tidak nyaman bersamanya.
Tapi terlihat dia tidak paham, atau sengaja tidak tahu.
Lalu ia kembali setelah memasuki minimarket, ketika di mobil ia mengeluarkan beberapa botol air mineral dan makanan ringan.
"makan gih, aku beliin kamu snack kesukaan kamu nih."
Aku tercengang melihat ia membelikan snack yang aku suka: ciki tortila dan kentang, juga ada pie dan stik coklat.
"kamu tau dari mana aku suka semua ini?" tanya ku dengan dahi berkerut.
"anggap saja aku secret admire mu," jawabnya sambil tersenyum.
"aku serius!"
"aku juga serius Bi..."
Dia berdeham singkat,
"...bukan secret admire juga sih. Aku benar-benar cari tahu kamu setelah kita berciuman di party Jeanne."
"apa?" tanya ku tak percaya.
Dia mengendikkan bahu singkat.
Lalu aku berucap, "dengar ya, ciuman itu adalah ketidaksengajaan. Kamu tahu kalau aku menciummu karena aku mabuk."
Saat aku sadar bahwa aku bukan mencium Erick di party Jeanne, segera aku menjauhkan diri dari Arshaka. Lalu buru-buru pergi meninggalkan gedung itu walau langkah ku sempoyangan.
Tak lama Karin menyusul ku lalu membawaku ke rumahnya untuk menginap semalam. Hingga paginya aku baru pulang ke rumah setelah keadaan ku benar-benar baik seperti orang normal.
Ayah memang tak pernah melarang ku untuk mencoba meminum alkohol, namun aku merasa segan saja sebab Ayah tak pernah membahas itu padaku. Aku malah jadi tahu diri bahwa alkohol tak bagus untuk tubuhku, walau kebanyakan orang mengatakan alkohol ada sisi baiknya.
"yes, i know..."
"...meski tidak sengaja tapi aku suka." lanjutnya lagi dengan memampang wajah polos.
"suka?" dengus ku sinis, lalu mengalihkan pandangan ku kesamping sambil menyila tangan ke dada.
"aku dengar kamu player, jarang terlihat bersama dengan 1 perempuan saja. Kenapa kamu malah dekati aku hanya karena ciuman tak berarti itu?"
"bagimu tak berarti, tapi bagiku iya." sahutnya santai tapi terdengar tegas.
"hah??" pekik ku melotot padanya.
"kamu menilai ku dari pendapat orang lain. Gimana kalau kamu sendiri yang menilai ku secara langsung?"
"bilang aja kamu mau deket-deket sama aku."
"emang iya."
Aku memutar manikku kesal.
"kenapa harus aku? Kenapa nggak sama perempuan lagi?"
"aku cuma mau kamu, Bianca."
"aku nggak mau." putus ku galak, namun ia malah terkekeh geli menatapku.
"aku akan buat kamu mau sama aku."
"kamu nggak bisa paksa aku."
"aku bisa..."
Sebelum ia mengucapkan sesuatu lagi, ia membenarkan posisinya agar ia menghadap padaku. Maniknya begitu lekat menatap ku dengan dalam, seakan ia mengunci ku supaya aku tidak bisa lolos darinya.
Lalu ia tersenyum.
"...akan aku pastikan kamu jadi milik ku, Bianca."
**********************************
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!