Aku melihat jam tangan yang terpasang di tangan kiriku. Sudah lebih dari tiga puluh menit aku menunggu di luar kantor guru ini setelah ayah meninggal kan ku sendirian. Katanya aku akan di antar oleh seorang guru, tapi sampai sekarang seonggok manusia belum juga muncul dari pintu coklat itu.
Aku duduk sambil menghela nafas, hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke tujuh belas. Tidak ada yang spesial maupun menarik seperti sebelum-sebelumnya. Mungkin semua orang yang mengenal ku tidak ingat bahkan tidak tahu tentang hari ulangtahun ku, termasuk ayah dan ibu. Tapi tidak apa, diberikan hidup dan sehat sampai sekarang saja aku sudah bersyukur.
"Kelas kamu di ujung yaa, mari bapak antar" Ucap seorang guru mengejutkanku yang tengah melamun, sontak aku langsung berdiri dan menghampirinya. Ia mempersilahkan ku berjalan duluan, nampaknya ia adalah seorang guru olahraga di lihat dari seragamnya yang mencolok memakai celana training khas bergaris biru.
Aku mengeluh dalam hati. Lagi-lagi, aku harus berpindah sekolah karena urusan pekerjaan ayah dan ibu, ini adalah kali kelima aku berpindah-pindah sekolah. Aku harap sekolah dengan penampilan sederhana ini akan menjadi tempat terakhir kalinya aku menuntut ilmu dalam masa putih abu, karena sungguh aku begitu bosan untuk terus bertemu dengan orang-orang baru setiap saat.
Aku sudah menginjakkan tahun ke 2 di masa putih abu. Dimana tahun ini mungkin akan ada banyak sekali tugas dan materi yang harus aku kuasai. Namun karena pekerjaan ayah dan ibu ini, aku menjadi sedikit kesulitan untuk fokus pada satu kurikulum. Walaupun di setiap sekolah menggunakan kurikulum yang sama, namun aku pastikan metode mereka berbeda-beda dalam penyampaiannya. Dan aku akan kesulitan dalam memahaminya.
"Ini kelas kamu yaa, gurunya sudah ada di dalam. Bapak mau mengajar dulu" pamitnya setelah menunjukkan pintu kelas di depanku ini.
Aku tersenyum ramah menatapnya, aku tebak guru ini adalah guru favorit anak perempuan. Karena dilihat dari perawakan nya guru ini masih terlalu muda sekitar 27 tahun-an. Apalagi badannya yang atletis dan kulit putihnya itu. "Terimakasih banyak pak" ucapku sebelum ia beranjak pergi.
Aku berbalik badan menghadap pintu di depanku ini. Aku tak merasa grogi maupun resah, karena mungkin aku sudah terbiasa melakukan hal ini beberapa kali.
"Tok tok tok..."
Aku menotok pintu berwarna coklat dan kuning terang ini sambil menunggu jawaban dari dalam sana.
"Iya silahkan masuk..." Jawab sebuah suara nyaring dari dalam. Aku pastikan itu adalah suara dari seorang guru perempuan.
Akhirnya dengan keyakinan penuh, aku membuka pintu kelas yang sedikit berkarat ini sampai menimbulkan bunyi 'kreeeet'. Seisi kelas memandang ke arahku yang mungkin tampak asing bagi mereka. Aku hanya bisa menahan ekspresi ramah ku.
"Loh ada anak baru?" Ucap sebuah suara lelaki.
"Awww gantengg bangett" kali ini pekik seorang perempuan berdandan menor bak mau kondangan. Aku lihat beberapa siswi lainnya juga sampai melongo ketika melihat ku masuk.
"Silahkan masuk nak"
Aku berjalan ke arah guru perempuan itu setelah ia persilahkan. Susana kelas nampak sedikit gaduh dan berisik, dominan teriakan wanita mengisi penuh ruangan ini. Apa ada yang salah denganku kah?. Aku tersenyum canggung ke arah ibu guru tadi sebelum aku berdiri di sampingnya.
"Perkenalkan nama ibu, ibu Sari. Ibu mengajar kelas matematika. Kamu anak baru yang di ceritakan Bu Heru ya?" Aku menengok ke arahnya seakan tak mengerti. Aku? Di ceritakan?. Apa aku sudah terkenal lebih dulu sebelum masuk sekolah ini kah?
"Maaf bu, saya tidak paham hehe" aku tertawa renyah membuat para perempuan di kelasku ini menjadi tambah berisik. Lagian kenapa mereka se-berisik itu sih?
"Ah tidak apa, dia bilang kamu sangat tampan. Dan ternyata memang benar hehe" kekehnya sambil menatapku.
Jadi karena itu, lagi-lagi aku harus di hadapkan keadaan seperti ini. Padahal aku rasa, aku ini tidak terlalu tampan sangat. Di sekolah sebelumnya pun sama, ribut karena paras ketika aku muncul.
"Ehem berhenti anak-anak!". Tiba-tiba ia memotong keributan. "Sekarang perkenalkan diri kamu nak" ia kembali menyilakan.
"Perkenalkan nama aku Iyan. Dhafi Riyan Firdaus" aku memperkenalkan diri.
"Hai Iyan, apa kabar"
"Kamu tinggal dimana?"
"Udah punya pacar belom?"
"Kiww kiww-"
Aku sedikit melotot mendengar seruan-seruan tak senonoh itu, lebih tepatnya aku kaget. Baru pertama kali aku melihat kelakuan spontan perempuan yang seperti ini. Begitu tak tahannya kah mereka keindahan duniawi? Aku sedang tak memuji diriku sendiri, tapi aku sedang bingung mengapa mereka bertingkah seperti itu.
"Wuu dasar gatelan!" Gerutu para murid cowok. Nampaknya mereka kesal.
"Kaya ga pernah liat cogan aja lu pada"
"Jadi cewek kok murahan!"
"Eh kemaren juga waktu cewek baru itu masuk kalian lebih parah ya!" Timpal para perempuan.
"Iya tuh, dasar buaya!"
"Eh sudah sudah. Kok malah jadi ribut, kasian ini Iyan baru saja masuk bukannya di sambut dengan baik. Yasudah, Iyan sekarang kamu bisa duduk di sana. Sebelah Iko" ibu Sari mempersilahkan membuat ku langsung berjalan ke belakang, bangku yang dimaksudkan.
Suasana kelas sedikit membaik setelah aku duduk dan mulai menyimak penjelasan ibu Sari. Walaupun tak sedikit perempuan di kelas ini yang beberapa kali menoleh ke belakang untuk sekedar menengok ku. Aku tidak mau ke ge-eran, tapi begitulah kenyataannya.
"Heh" Lelaki di samping ku ini menyikutku setelah beberapa menit aku duduk. Matanya yang sipit serta rambutnya yang begitu rapi menambah kesan chindo-nya.
"Iya?" Aku menatapnya sambil berusaha mengeluarkan buku dari tas.
"Lo jangan macem-macem ya disini, jangan sampe lo buat geng pojok depan pada marah sama lo" ucapnya. Aku yang tak mengerti ucapannya langsung saja aku tengok tempat yang ia maksud. Disana sudah ada empat pasang mata yang sedang menatapku secara sengit. Apa mereka sedang main kedip-kedipan kah? "Heh! Jangan noleh tolil!!" Ia menggerutu.
"Loh, ngapain gue buat mereka marah?" Aku kembali menatap lelaki yang sedikit pendek di dekatku ini. Yang ku tahu namanya Iko kalau tidak salah tadi.
"Karna lo terlalu ganteng" ucapnya lirih.
"Hah!! Apa hubungannya?" Sergapku masih tak faham apa yang di maksud Iko ini, ku siswa yang duduk di depanku sampai menoleh ke belakang. Wajah datarnya menandakan bahwa ia terganggu karena suaraku. Aku tersenyum ke arahnya hingga kemudian ia beralih dengan sangat angkuh.
Iko berniat melanjutkan perkataannya.
"Karna-"
Tring......
Bel istirahat berbunyi nyaring hingga membuat rasa penasaran ku sirna. Ibu Sari pamit dari kelas setelah menyelesaikan jam mata pelajaran matematika kami.
Aku berkenalan dengan Iko, lelaki yang tubuhnya lebih pendek dari ku dan sedikit pelupa orangnya.
"Gue Iko, ini buku catatan gue bisa lo bawa buat di pelajari atau disalin di rumah. Pastinya materinya agak sedikit berbeda walaupun kurikulum di sekolah lama lo kurikulum nya sama kan? Makanya gue peka haha" kekehnya. Aku benar-benar berbinar menatap tiga buku catatan yang ia taruh di depanku, aku kaget. Aku buka salah satu buku tersebut, sedikit terkejut karena tulisan ini begitu rapi dan membuat mata segar.
"Ini tulisan lo?" Aku melongo, tulisan ku sendiri bahkan tak sebagus dan serapi ini.
"Iya lah, gue nolep-nolep gini rajin ya. Walaupun sering pelupa" keluhnya.
Akhirnya dengan senang hati aku menerima buku tersebut untuk ku pelajari di rumah. Aku rasa mungkin Iko ini akan menjadi rekan baikku di sini, aku harap. Semoga saja aku tidak pindah sekolah lagi.
Selang beberapa menit kemudian, aku yang sedang mengobrol dengan Iko ini tiba-tiba dihampiri oleh segerombolan perempuan. Mereka mengerubuti meja sampai berdesakan. Hingga salah satu mereka membuka suara.
"Kenalin, gue Clarissa" wanita menor di depanku mengulurkan tangannya sambil tersenyum manis. Lebih tepatnya 'sok manis'. Aku rasa mungkin dia ini ketua dari geng yang mengerubuti aku dan Iko ini. Nampak sekali dari dandanannya seperti ketombe di selipan rambut.
"Iya" ucapku datar tanpa menjawab uluran tangannya.
Sekejap suasana menjadi canggung, ia membulatkan matanya dan menarik tangannya kembali. Mungkin ia malu karena tak ku hiraukan.
"Lo udah punya pacar?" Tanyanya random.
Aku kaget, apa mereka benar-benar tidak punya malu. Padahal mereka juga sekelas denganku kan. Apakah benar kiasan urat malu yang putus itu benar adanya?
"Udah, nih Iko pacar gue" aku merangkul Iko di sampingku, dan bodohnya Iko malah membalas perlakuan ku. Sungguh aku tak menyangka.
"Iya, kita udah jadian" ucap Iko sambil melingkarkan tangannya di perutku. Aku kaget sendiri sambil menahan geli.
"Ih najis, girls!! Kita cabut!!!. Amit-amit, ganteng-ganteng kok cucunya Ragil!! MAHO" Ia kegelian seperti ulat bulu, bahkan teman-temannya juga mengikuti tingkahnya.
"Ewww najiestt bangett"
"Amit-amit jabang bayi, sampe Fir'aun ngojek gak bakal gue deket-deket tuh anak!" Nampaknya perempuan tadi menanggapi dengan serius.
Setelah mereka tak nampak lagi, aku dan Iko melepaskan tawa yang tadi sempat tertahan hebat. "Gila ya tuh cewek, serius bener hidupnya" Iko tersendat hingga menangis karena tertawa.
Sedang asik tertawa tiba-tiba Iko menatapku dengan tajam. "Oh iya Yan!, lo jangan sampe mendekati, penasaran apalagi buka pintu sanggar seni yang ada di samping ruang OSIS, itu haram".
Aku mengelap air mata yang sempat menetes karena tawa tadi, aku masih kegelian. "Loh emang kenapa?" Tanyaku penasaran.
"Itu larangan dari dulu-dulu, ruangan itu angker dan terlarang. Siapapun gak boleh masuk ke sana, tanpa terkecuali. Katanya kalo ada yang masuk bakal metong keesokan harinya. Semua anak baru wajib banget tau tentang hal ini, kaya lo" jelasnya dengan serius.
Aku terdiam, namun tawaku kembali pecah beberapa saat setelahnya. Perutku semakin sakit mendengar kalimat Iko barusan. Ada-ada saja, mungkin Iko kira aku akan percaya dengan hal tidak masuk akal seperti itu.
"Heh malah ketawa!" Ia menggerutu. Aku masih tak menghiraukan karena asik tertawa.
"Lah lagian lucu, mana ada hal kek gitu" aku masih saja berkelakar.
"Ini serius!"
"Loh, lo percaya?" Aku menahan tawa sampai gigiku sedikit terlihat.
"Iya" Iko mengangguk yakin.
"Bwahahaha" aku tak sengaja membesarkan volume tawa, untung saja kelas sedang sepi karena jam istirahat.
"Ya elah ni orang" Iko mengeluh.
"Ada ya orang kek lu" aku ikut mengeluh.
.
.
.
Jam terakhir pun dimulai, kali ini aku menyimak pembahasan dari ibu Anggi sebagai guru IPA. Ia sedang menerangkan bagian dan fungsi dari organ dalam manusia.
"Paru-paru juga berfungsi sebagai tempat pertukaran udara, O² yang masuk akan di sebarkan ke seluruh tubuh dan sisa yang di hasilkan akan di keluarkan dalam bentuk CO²" aku menyimak betul-betul pelajaran ini, karena ini juga salah satu mata pelajaran favorit ku setelah bahasa Inggris.
"Nah, mungkin Iyan dan Iko bisa bantu ibu?" Selah bu Anggi menatapku dan Iko yang sedang bengong memahami. Aku sedikit terkejut karena namaku terpanggil.
"Siap bu" balas Iko.
"Tolong ambilkan ibu Torso di ruang OSIS bisa?" Ucapnya.
Aku menengok muka Iko yang sedikit kaget. Tapi ternyata setelah aku sadari, tidak hanya Iko yang memasang muka seperti itu namun beberapa siswa yang dekat dengan kursiku, ku sadari ia memasang ekspresi rancu seperti orang kaget dan kaku. Aku bingung, mengapa mereka terlihat kikuk begitu.
"Boleh bu" aku menjawab yakin membuat Iko mendelik ke arahku.
"Biar saya aja yang temenin bu" kali ini seorang lelaki yang duduk tepat di depan ku mengacungkan jari. Dia adalah lelaki bermuka jutek yang tadi terganggu.
"Oke silahkan, berarti Iko tetap di kelas yaa"
Iko mengangguk kaku, membuat ku sedikit curiga.
Akhirnya aku dan lelaki ini tadi keluar dari kelas menuju ruang OSIS yang aku sendiri pun tak tau letaknya dimana. Aku menyejajari ia berjalan, meski langkahnya sedikit cepat. Tubuhnya sedikit lebih tinggi dariku, kulitnya putih, matanya sayu dan datar serta hidungnya mancung.
"Hei lo jangan kecepetan bisa ga?" Aku menegur, karena sungguh aku mengikutinya seperti sedang berlari.
Ia melirik ku dengan ekspresi yang masih sama tanpa menjawab. Langkahnya masih sama dengan tempo cepat. Kurasa tipe orang ini adalah orang yang cuek dan sok cool.
"Kaya lagi ngomong sama setan" umpat ku sedikit kesal.
Tak lama, akhirnya aku dan anak ini sampai di depan ruangan bertuliskan 'Ruang Osis'. Anak ini membuka pintu dan segera melangkah. Aku mengikutinya, namun tiba-tiba ia berbalik badan.
"Lo tunggu di sini" ia berkata tegas membuatku mengangguk. Suaranya yang berat serta mata datarnya itu sedikit membuat dirinya terlihat aneh menurut ku.
Akhirnya aku pun hanya diam di tempat sambil menunggu anak ini mengambil barang yang di butuhkan. Aku melihat sekeliling sambil berniat menghafal. Terlihat di sebelah kanan ruangan ini ada sebuah sanggar Pramuka lalu dilanjutkan dengan ruang rapat, ruang guru lalu ruang kelas hingga ke pojok. Aku cukup kagum, meski tampilan sekolah SMA TUJUH LIMA ini terlihat sederhana namun luas juga ternyata.
Sampai sedang asik memperhatikan, tiba-tiba aku menangkap sebuah objek yang membuatku penasaran. Di sebelah kiri ruang OSIS ini ada sebuah pintu ruangan yang terpisah dinding beberapa meter dari ruang OSIS.
Aku menyipitkan mata, kalau di perhatikan model pintunya sedikit berbeda dari ruangan lain. Terlihat sedikit kuno dan antik. Tiba-tiba aku teringat akan ucapan Iko beberapa menit lalu. Apa itu ruangan yang konon katanya angker? Ruang sanggar Seni?
Karena penasaran, aku berjalan ke arah pintu tersebut, hanya beberapa langkah saja. Dan benar, pintu kayu ini memang terlihat sangat kuno seperti ukiran jaman kerajaan dulu-dulu. Majapahit mungkin yang hanya aku ingat.
Pintu ini di gembok dengan kuat, mungkin saja rumor itu memang se-menakutkan itu di sekolah ini. Padahal apa gunanya percaya pada mitos tersebut? Ku ketuk pintu itu tiga kali, berharap ada jawaban dari dalam. Padahal jelas-jelas tidak ada siapapun di dalam, bodohnya aku.
Akhirnya setelah beberapa menit, aku pergi menjauh dari pintu ruangan tersebut dan kembali di tempat awal menunggu anak itu. Namun tiba-tiba, sebuah perasaan gelisah datang tiba-tiba. Tidak ada angin dan udara, aku merasa merinding sekujur tubuh sampai aku memeluk lengan sendiri selama beberapa saat.
Aku menoleh ke kanan dan kiri sambil sesekali mengusap pundak. Dingin itu masih merambah di pundak, rasanya seperti di elus tangan yang baru saja memegang es batu. Seperti itulah rasanya. Aku mengedarkan pandangan lagi, sampai aku terhenti di titik objek yang tadi aku hampiri.
Aku menilik seksama pintu artistik itu lagi dengan pandangan tajam. Hingga aku sadar ada sesosok perempuan yang berjalan menuju ruangan tersebut dari belakang arahku, aku yang sedang mematung menjadi sedikit kaget dengan kedatangannya. Kulitnya putih dengan rambut kuncir kuda dan perawakannya yang tinggi.
Ia terhenti di depan ruang sanggar Seni kuno itu, dan merogoh sakunya. Ia mengeluarkan kunci dan langsung menancapkannya pada gembok yang menggantung di sana. Aku bingung, bukankah kata Iko ruangan itu tidak boleh di buka? Atau anak pelupa itu sedang mengerjai ku?
Aku masih memandang ke arah wanita itu yang tanpa sadar sedang aku perhatikan. Namun tiba-tiba saja setelah ia berhasil membuka gembok, ia menoleh ke arahku dengan cepat hingga aku merasa sedikit terkejut di tempat.
Setelah aku sadar bahwa ia sedang melihatku aku tersenyum ke arahnya. Namun tiba-tiba, ekspresi muka datar wanita ini berubah menjadi ekspresi yang sedikit membuat merinding. Ia meringis lebar dengan mata yang melotot.
Ulu hatiku memanas melihat senyumnya tersebut, hingga aku kembali dibuat kebingungan setelah mendengar kalimat yang wanita ini lontarkan setelah nya.
"Mikul nduwur, mendem jero"
Ia mengucapkan kalimat itu dengan lirih dan sendu seperti angin, namun anehnya kata per kata itu bisa ku dengar. Bahkan dengan sangat jelas hingga membuat perasaan merinding tadi kembali hadir. Aku berkeringat, padahal cuaca sedang tidak panas.
Wanita itu mengalihkan perhatiannya dariku dan melanjutkan aktivitasnya lagi. Ia masuk ke ruang sanggar seni itu dengan ringisannya yang tak ia sudahi.
"Aneh banget" aku berusaha menenangkan diri. Aku rasa badanku akan meriang karena udara tadi. Perutku sedikit mual dan lidahku terasa pahit.
Aku penasaran, siapa perempuan itu dan mengapa dia melihatku dengan ekspresi menakutkan tadi.
Akhirnya karena rasa penasaran yang tumbuh dalam diriku begitu besar, aku berniat menyusul masuk ke ruang sanggar Seni itu. Namun sebuah suara membuat ku terhenti.
"Nih lo bawa" lelaki tadi keluar dari ruang OSIS sambil membawa torso yang sebesar manusia itu di tangannya. Aku langsung menerima tanpa penolakan, karena ia memberikan paksa tentunya. Hal ini membuat ku lupa tentang hal yang baru saja terjadi.
"Berat banget jir, gotongan kek" keluhku.
"Cemen, gitu aja ga kuat" ia mencemooh membuat ku kaget, tak menyangka dia bisa menjawab sepedas itu juga ternyata. Tanpa basa basi, ia ikut memegang sisi yang lainnya.
"Jutek amat jadi manusia" umpatku sambil membopong bagian kepala Torso.
Akhirnya dengan cepat kami berdua pergi meninggalkan ruang OSIS dan kembali ke kelas dengan membawa benda tiruan manusia ini. Sebenarnya aku hendak bertanya padanya tentang ruang sanggar Seni yang katanya angker tadi. Namun aku urung karena aku rasa tidak ada gunanya juga bertanya pada orang jutek seperti dia.
...Bersambung....
Aku pulang dengan tergesa-gesa sambil memacu motor matic berwarna ungu pucat yang aku miliki. Yeah, walaupun ayah dan ibuku menyuruh untuk memakai motor yang gagah dan tinggi seperti anak-anak sultan ,aku langsung saja menolak keras tawarannya. Aku sama sekali tak mau di anggap pamer atau sok berada ketika berniat mencari ilmu di sekolah.
Aku bergegas masuk rumah setelah memarkirkan motor kesayangan ku itu di garansi. Ada dua mobil serta dua motor ninja besar yang terparkir di sana, serta motorku tadi yang baru ku parkir-kan. Aku langsung masuk ke dalam kamar dan mencari benda yang ku butuhkan. Aku lupa menaruhnya dimana, karena aku masih belum bisa beradaptasi penuh dengan rumah baru ini.
Aku membuka lemari dan membolak balik tumpukan baju, ku cari di atas meja belajar sampai-sampai aku menilik ke bawah kolong kasur. Hingga aku temukan benda yang ku maksud ternyata tergeletak di dalam laci meja yang letaknya di samping kasur.
Lantas aku mengambil beberapa butir sesuai dosis yang tertulis di wadahnya lalu menaruhnya kembali takut benda ini dilihat oleh ayah maupun ibu. Sungguh, merepotkan sekali memang kalau punya penyakit migrain sampai harus minum obat seperti ini. Kadang sakitnya bisa terasa tiba-tiba seperti tadi, dan kebetulan aku lupa membawa obat-obatan ini ke sekolah. Mungkin kalau ibu tahu aku mengkonsumsi obat, dia akan marah besar padaku. Biarlah, selagi ia tak melihat maka semuanya akan aman.
Aku bergegas masuk ke dalam kamar mandi setelah membereskan perlengkapan sekolah ku. Baju putihku ini sudah bau kecut setelah ku hirup, mungkin karena tadi aku sempat berkeringat ketika mengambil Torso di ruang OSIS. Belum lagi karena di kerubuti para perempuan tadi, bahkan ketika aku ingin pulang masih saja mereka cegat hanya untuk meminta nomor telepon atau sekedar berfoto.
Aku mendesah kesal sambil mengunci pintu kamar mandi. Aku menatap cermin yang terpajang di sisi kiri bak mandi, sampai-sampai sesuatu membuat ku kaget tak menyangka ketika melihat pantulan ku sendiri disana.
"LAHH!? KOK GUE MASIH PAKE HELM SIH?" Aku menatap bingung diriku sendiri sambil menggerutu. Ku lepas helm bogo yang ternyata masih bertandar di kepala dari tadi dan kembali keluar kamar untuk menaruhnya di atas meja. Aku menjadi merasa sangat bodoh sekarang.
Aku menggeleng sambil berdecak lirih karena sungguh, aku tak menyangka aku bisa selupa itu sampai harus memakai helm ke kamar mandi. Apa gara-gara aku berteman dengan Iko sampai sifatnya menular? Haha itu tidak mungkin kan.
Akhirnya karena sudah tak nyaman dengan bau badan sendiri yang baunya sudah seperti bau ikan asin, aku mandi dengan air panas dari shower dengan basuhan di kepala hingga kaki. Hal tersebut aku ulang beberapa kali karena rasanya sungguh nikmat sekali.
Aku sengaja menggunakan air panas untuk mandi, karena badanku sedang terasa sedikit tidak enak. Rasanya seperti seseorang yang akan masuk angin. Perutku sedikit kembung hingga beberapa kali aku kentut. Hehe.
Beberapa menit kemudian, aku sudah menyelesaikan kewajiban mandiku. Aku menggosok gigi sambil menatap wajahku sendiri di dalam cermin. Aku mengenakan kaos oblong hitam dengan handuk yang ku lilitkan di pinggul.
Sedang asik menggosok area gigi yang sulit ku jangkau sambil bergumam, tiba-tiba saja aku teringat akan sesuatu yang tadi siang ku alami. Perempuan itu, kenapa ia tersenyum begitu aneh ketika melihat ku?. Itu bukanlah senyuman yang ramah, bisa ku simpulkan kalau itu senyuman yang mengerikan bagiku. Dan apa yang ia ucapkan tadi?
"Mikul nduwur, mendem jero..."
Aku mengernyit sambil memikirkan kalimat tersebut, apa ada maksud dari kalimat itu. Apakah ada sesuatu yang ingin ia sampaikan, namun aku tak mengerti tentang bahasa jawa. Memang aku sendiri memiliki darah jawa dari ibuku, tapi aku tak bisa bahasa jawa karena dari kecil aku sudah hidup di perkotaan jauh dari budaya ngapak.
Aku mengakhiri gosokan gigi ini, ku ambil air yang mengucur dari kran untuk berkumur beberapa kali. Setelah nya, aku kembali menatap cermin di hadapan ku. Dan seketika saja aku langsung melompat ke belakang setelah menyadari ada sesuatu yang bisa membuat ku celaka. Lewat beberapa detik saja mungkin mukaku sudah hancur dengan potongan cermin yang menancap banyak di pipi.
Cermin ku pecah dan berhamburan kemana-mana, untung saja aku sigap melompat dan tak terpeleset setelah mengetahui kalau cermin ini akan meledak. Dadaku sedikit ngilu karena aku tak menduganya, lagian sedikit aneh mengapa cermin ini bisa pecah begitu saja sih. Padahal tidak ada benda yang ku tabrakan atau sengaja terpantuk. Atau mungkin karena faktor suhu karena tadi aku menggunakan shower air panas? Tetapi biasanya juga tidak seperti itu dan aman-aman saja ketika di rumah yang dulu-dulu.
Daripada energi ku habis untuk berfikir, akhirnya aku bergerak cepat untuk membereskan potongan kaca yang berhamburan di pojok kamar mandi menggunakan sorok dan sapu.
"Apa gue main aja ya ke rumah Iko?" Pikirku terbesit sambil mengambil beberapa potongan kaca.
"Ashhhh, shitt!!"
Tak sengaja, ternyata jari telunjuk ku terkena goresan tajam dari remukan kaca tersebut membuat ujung jarinya mengeluarkan cairan merah yang kental. Terasa sedikit perih ketika aku basuh dengan air.
.
.
.
^^^"Ik, share lock rumah lo dong. Gue otw kesono!"^^^
"Lah beneran?"
^^^"Yaiyalah, gue pengin main. Temenin gue cari jajan"^^^
"Emm, gue ga ada di rumah Yan"
"Lagi di rumah Kakek gue"
^^^"Oh gitu"^^^
^^^"Yaudah besok aja deh gue mainnya"^^^
"Okeyyy"
Aku kembali merebahkan tubuh, niatku ingin bermain ke rumah Iko menjadi urung. Mau bagaimana lagi, anak itu sedang di rumah kakeknya. Padahal aku hanya ingin keluar karena bosan di rumah dan ingin mencari jajanan, sekaligus melihat-lihat suasana baru di lingkungan ini. Pasti akan sangat enak sekali.
Ku lihat jam dinding yang ada di atas pintu kamar. Jarum jam nya menunjukkan angka delapan lebih tiga puluh menit. Aku bangkit dari tempat tidur dan menuju ke meja belajar, ku keluarkan sebuah buku bersampul merah dengan sebuah nama yang terletak di pojok bawahnya. 'Eiko Bagus Baskara'. Aku membuka satu persatu lembar buku itu dan mulai mencatat hal-hal yang penting. Iko mungkin memang anak yang rajin, dari tulisan dan kelengkapan catatan nya saja bisa ku pahami dengan jelas. Aku bahkan tidak menyangka kalau tulisannya bisa serapi dan sebagus ini.
Sembari menulis, aku cukup bertanya serta kebingungan, mengapa ayah dan ibu belum juga pulang. Padahal perutku sudah keroncongan menunggu ibu pulang dan masak dari sore tadi. Apa mungkin mereka ada lembur kah, tapi tidak mungkin jika waktunya bersamaan sedangkan perusahaan tempat mereka saja berbeda. Lagipula, mengapa mereka tidak memberikan kabar dulu padaku kalau ingin pulang selarut ini.
Tak lama, akhirnya dengan keadaan yang setengah sadar karena kelelahan setelah menulis, perlahan pandangan ku gabur sedikit demi sedikit. Hingga akhirnya semua nampak hitam pekat. Aku melayang di ruang mimpi dan alam bawah sadar ku. Aku tertidur pulas dengan keadaan masih duduk di meja belajar dan dengan perut yang kosong melompong.
.
.
.
Paginya.
Aku sudah rajin dan rapi memakai baju seragam pramuka. Beberapa badge seperti nama Ambalan sekolah dulu dan beberapa TKK masih terpasang karena aku belum sempat mencopot nya. Aku berjalan ke arah motor sambil sesekali menengok ibu yang sedang menyiram bunga di teras.
"Mau berangkat nak?" Ia bertanya tanpa menoleh ke arahku.
"Iya Buu" aku menjawab se sopan mungkin, tentunya karena ia adalah wanitaku.
"Yaudah hati-hati ya Yan" ia tersenyum ke arahku. Tadi pagi buta aku sempat bertanya padanya mengapa ia pulang larut, ternyata mobil yang ia bawa mogok di jalan. Aku sedikit geram karena ibuku tidak memberi kabar padaku saat ia kesusahan, katanya ia tak ingin merepotkan ku yang sedang beristirahat setelah seharian sekolah.
Aku berjalan ke arahnya dan menyalimi tangannya. "Kalau ada apa-apa kabarin Iyan bu, jangan begitu lagi yaa? Apalagi pulang nya sampai pagi buta" ucapku sendu dan sedikit memelas. Jujur aku sangat tak tega pada ibu, mengapa juga ia harus kekeuh ikut banting tulang pergi bekerja.
Ibu hanya tersenyum sekilas. "Harusnya ibu yang minta maaf nak karena gara-gara ibu kamu ga sempet makan malam" pandangannya berubah menjadi sendu.
Aku tak kuasa melihat tatapan ibu yang begitu akhirnya aku mencoba mengganti topik lain. "Ah gapapa bu, udah biasa. Eh btw ayah belum juga pulang bu? Tumben" aku menangkap raut wajah ibu yang tak biasa. Ia terlihat sedikit kaget, bahkan ada raut bingung yang ia tampakkan.
Pertanyaan ku, mengapa ia terlihat begitu?
"Ah ayah, katanya dia menginap di kantor Yan. Ada deadline yang harusnya selesai hari ini. Makanya ayah gak pulang dan ijin sama ibu tuh tadi malem" ucapnya di sertai senyum manis yang ia punya.
Aku mengangguk memahami, ternyata benar kalau ayah itu lembur bahkan sampai tidak pulang ke rumah. Sungguh, aku sangat kagum pada lelaki yang ku anggap sebagai pegangan hidupku itu.
Akhirnya setelah berpamitan pada ibu, aku berangkat menuju sekolah menggunakan motor ungu kesayangan ku itu. Aku sengaja datang lebih awal ke sekolahan karena akan mampir ke sebuah tempat di sana. Aku harap waktu yang ku punya ini cukup untukku mendapatkan media yang aku inginkan.
Dua puluh menit setelah memacu kuda besi, akhirnya aku memasuki area parkir sekolah yang masih kosong hanya ada motorku dan satu motor lagi entah milik siapa. Aku memarkirkan motor di sebelah motor matic berwarna hitam itu. Aku rasa ini milik penjaga sekolah kalau tidak paling milik siswa lainnya.
Karena tak mau membuang waktu lagi, akhirnya aku berjalan mencari tempat yang akan aku datangi. Aku berjalan menuju aula sekolah, namun bukan tempat itu yang akan aku tuju. Melainkan ruang di sebelahnya lagi, dimana banyak sekali buku bertumpuk disana.
Aku membuka pintu bertuliskan 'PERPUSTAKAAN' itu. Awalnya aku kira pintu ini terkunci, namun setelah ku dorong sedikit keras ternyata pintunya bisa terbuka lebar. Nampak dari mataku ada lima lemari yang berbaris rapi di tengah ruangan. Aku mulai masuk ke dalam setelah mencari saklar lampu dan menyalakannya untuk mempermudah pandangan.
Aku sedikit terkejut, ternyata ruangan ini sedikit kotor dan bau tengik. Apa mungkin tempat ini sangat jarang di jajah para murid sampai terlihat seperti tidak terurus. Kalau memang iya sungguh memalukan, padahal tempat inilah yang bisa mereka andalkan jika pengetahuan mereka kurang.
Aku menutup hidung karena bau ruangan ini, ku ambil beberapa buku setelah ku lihat sampul nya, perlu ku kibas dulu sebentar karena hampir semua buku di sini terlihat usang dang berdebu. Dugaan ku, pihak sekolah sudah tak menghiraukan ruangan ini sampai-sampai bisa di bilang kalau perpustakaan ini sama hal nya dengan ruangan sanggar seni. Terbengkalai!.
Hanya buku materi kelas 11 saja yang ku ambil sebagai bahan aku belajar nanti. Mau bagaimana pun, materi yang harus ku pahami pastinya sangatlah banyak dan berbeda di sini. Serta, buku catatan Iko saja tidak cukup untuk ku tinjau. Apalagi itu hanya satu mapel saja.
Beberapa menit memilah, aku sudah membopong tiga buku tebal di tanganku, kurasa ini sudah cukup sebagai bahan acuan belajar. Meski sedikit kesal karena bau ruangan akhirnya aku keluar dari sana dan berjalan menuju kelas setelah memasukkan buku-buku ini, tak lupa juga aku menutup kembali pintu berderit itu. Akhirnya aku bisa menghirup nafas lega.
Kelasku tinggal beberapa langkah lagi, aku hanya perlu melewati tiga kelas yang berjejer dimana ada tangga menuju kelas lantai dua juga. Tapi kelasku tidak di lantai dua, hanya saja terletak di paling pojok sendiri dan sangat dekat dengan kantin.
Aku berjalan melewati anak tangga yang menuju lantai dua tersebut, namun setelah beberapa langkah dari anak tangga sebuah suara nyaring memekik keras membuaku terkejut dan penasaran. Aku menghentikan langkahku dan berbalik badan mencari sumber suara.
"Aaaaaaa....."
"Suara siapa tuh?" Aku mengedarkan pandang, suasana masih sepi karena tidak ada siapapun yang bisa ku lihat selain kelas dan bangku yang berjejer. Apa suara itu berasal dari kelas lantai dua?
Hingga kemudian, tak lama seseorang berlari menuruni tangga dengan tergesa-gesa. Muka dan penampilannya yang mencolok bisa aku pastikan itu adalah teman sekelas ku. Aku mengernyit, bukankah suara tadi berasal dari lantai dua? Lalu mengapa dia berlari tunggang langgang begitu. Dan, kenapa ia berlari sambil menutup hidungnya?
Aku melotot melihat orang itu berlalu secepat kilat tanpa memperdulikan ku yang sudah ia tatap beberapa detik lalu, pandangan kami sempat bertemu. Ia berlari menuju gerbang sekolah, mau kemana dia? Apa dia kabur dari sesuatu kah. Aku berniat sekali untuk mengejarnya namun ada sesuatu yang menahan ku. Entahlah, hatiku tak merasa kalau aku harus melakukan itu. Aku tidak harus mengejar anak tersebut.
Perasaanku menjadi tidak enak hingga akhirnya lagi-lagi suara itu kembali bergema dengan sangat jelas, bahkan dadaku sampai bergetar ketika mendengar nya.
"TOLOOONGG"
Benar, suara itu berasal dari lantai dua. Aku langsung saja berlari menaiki tangga karena aku penasaran siapa yang berteriak meminta tolong sepagi ini. Apa yang orang itu butuhkan hingga ia berteriak histeris seperti itu. Apakah ia butuh bantuan, atau ia dalam kesulitan.
Sesampainya aku di atas dengan terengah-engah, aku menoleh ke kanan dimana tak jauh dari sana seorang perempuan dengan rambut yang terurai sedang duduk di lantai dan memeluk lututnya sendiri. Aku berlari ke arahnya secepat mungkin, namun semakin dekat dengan perempuan itu tiba-tiba bau busuk seperti bangkai tercium kuat dan sedikit mengganggu pernafasan ku. Aku berusaha tak menghiraukannya karena keadaan perempuan ini jauh lebih penting bagiku.
"Heh lo kenapa?" Tanyaku panik setelah menepuk pundak perempuan ini sambil berjongkok, nampaknya ia sedang sangat ketakutan pada sesuatu.
Tanpa adanya jawaban, tiba-tiba saja tubuhku ia sergap dengan kuat hingga aku jatuh terduduk dengan ia yang memelukku dengan erat. Mukanya ia sembunyikan di kerah baju pramuka yang ku pakai. Dan, apa ini? Ia menangis? Apa dia ketakutan?
"Hei lo kenapa?" Tanyaku panik, aku sebenarnya risih karena tak pernah dipeluk begini. Apalagi oleh seorang wanita yang tak ku kenal.
Ia menengok wajahku hingga pandangan kami bertemu, matanya merah padam dengan kondisi rambut yang acak-acakan. Ingusnya keluar dari hidung yang menunjukkan kalau ia benar-benar tidak baik-baik saja.
"Eve, dia- dia MATII DI SANAA!!!" Ia teriak sambil menunjuk ruang kelas yang pintunya sudah terbuka. Suaranya terdengar putus-putus, menurut ku suaranya hilang karena sudah habis ia gunakan untuk berteriak dan menangis.
Aku mengerjap cepat karena tak mengerti yang ia ucapkan. Meski begitu, hatiku sedikit ngilu mendengar kalimat tadi karena sungguh perasaan ku menjadi benar-benar tak enak.
Akhirnya dengan paksaan, aku melepaskan pelukan perempuan mungil ini dan berniat masuk ke dalam kelas untuk mengetahui apa penyebab ia menangis sampai begitu. Perempuan berbadan kecil ini meraung-raung kencang sambil memeluk lutut nya lagi sama seperti yang ia lakukan sebelumnya.
Aku berhenti menghiraukannya, kini aku sudah melangkah masuk ke dalam kelas yang sedikit remang-remang pencahayaannya. Bau busuk yang tadi sempat ku hirup kini menjadi semakin kuat setelah aku memasuki kelas ini
"Bau apa sih ini?"
Aku mengedarkan pandangan untuk mencari saklar, sambil menutup hidung karena tak tahan dengan baunya. Ku tekan saklar berwarna putih setelah ku temukan ia berada dekat sekali dengan pintu. Lampu pun menyala dengan cepat membuat ku langsung dapat menangkap apapun yang ada di ruangan itu.
Dadaku berdebar dengan sangat kuat sampai aku sendiri bisa mendengar debarannya, ada rasa takut, merinding, kasihan sekaligus iba yang bercampur menjadi satu. Lihatlah, di salah satu bangku yang terletak di pojok aku bisa melihat sesosok badan yang tengah duduk dengan badan bagian dada yang ia tidurkan di meja. Kedua tangannya ia luruskan dengan posisi kepala menghadap ke kiri. Dengan jelas aku bisa melihatnya dari kejauhan.
Aku memberanikan diri untuk mendekat ke arahnya, meski bau ini masih saja mengganggu ku. Badanku gemetaran hebat melihat ini semua, kulitnya terlihat sangat pucat dan kekuningan. Mata yang ia tampilkan hanya menyisakan putihnya saja dengan mulut yang ia buka lebar. Dan yang lebih membuat ku merinding setelah ku perhatikan, perempuan ini adalah perempuan yang kemarin aku lihat. Dia adalah perempuan yang masuk ke dalam ruang Sanggar Seni kemarin siang.
Aku tak yakin bahwa itu adalah dia, namun setelah ku perhatikan itu memang dia. Lihatlah, ia meninggal dengan menyunggingkan senyumnya, persis seperti yang kemarin ia lakukan padaku. Aku melongo hingga akhirnya aku lunglai dan terjatuh.
Aku tersungkur menabrak kursi karena begitu takut dan merinding, sekujur tubuhku terasa panas dingin bahkan mau pingsan rasanya karena lemas. Sampai sesuatu mengalihkan fokusku. Tanpa sengaja ku lihat tangan mayat perempuan ini karena terselip sebuah kertas di sana,aku cukup penasaran.
Hingga beberapa detik kemudian beberapa orang muncul dari luar, kurang lebih ada enam orang yang masuk ke dalam kelas dengan nafas ter engah-engah. Dan, dua di antaranya bisa aku kenali dengan baik siapa mereka.
"Iyann??" Salah satunya memanggil namaku. Ia langsung berlari ke arahku dan merangkul keluar. Sedangkan kelima orang lainnya malah mual-mual di dalam sambil mengamati mayat perempuan itu. Namun karena tubuhku yang sudah begitu lemas, akhirnya aku kembali tersungkur pingsan dengan rangkulan Iko yang masih ku gunakan.
...Bersambung....
Aku membuka mata perlahan setelah ku hirup bau menyengat sebuah minyak yang tak asing lagi bagiku. Kepala ku terasa sedikit sakit dan linu, pandangan ku juga masih remang hingga beberapa menit kemudian aku bisa melihat semuanya dengan jelas.
Aku terbaring di kasur dengan selimut bergaris hijau yang menutup setengah badan. Aku mengedarkan pandangan walau kepala ku ini masih terasa sakit. Ada banyak sekali obat di atas meja serta dua kursi yang dimana ada dua sosok manusia yang sedang fokus menatap handphone masing-masing.
"Oi, gue di mana?" Ucapku lemas sambil berusaha duduk.
"Udah sadar lo Yan?" Ucap Iko sambi berusaha menahan ku agar tetap berbaring.
"Jangan duduk dulu dungu" Kecam satu orang lagi, yaa itu adalah si anak jutek. Aku sedikit kesal dengan kalimat yang ia lontarkan pada orang yang sedang lemas, seperti tidak ada bahasa yang lebih sopan saja.
"Arghhh" kepalaku berdenyut ketika aku berusaha untuk bangkit, hingga mau tak mau aku hanya bisa berbaring.
"Gimana keadaan lo Yan?" Tanya Iko terlihat khawatir.
"Gue gapapa, cuma pusing dikit kok" ucapku bohong, nyatanya kepalaku terasa sangat sakit seperti ingin meledak.
"Nih minum" sebuah tangan menyodorkan gelas berisi teh ke arahku. Aku melihat wajahnya yang terlihat datar.
"Kalian ngapain di sini? Dan lo-" aku menatap wajah orang itu.
"Nama gue HANS! HANSEN TAN" jelasnya menekan dan dingin. Suaranya begitu besar dan gagah.
"Yah lo, ngapain disini?" Aku melanjutkan pertanyaan.
"Lo tadi pingsan, minum teh ini" balasnya tak sesuai pertanyaan membuat ku sedikit gemas. Tapi setelah nya, aku tetap menerima pemberiannya tersebut.
Setelah kembali berbaring, aku baru teringat akan suatu hal yang membuat ku pingsan.
"Ik, mayat perempuan itu gimana Ik?" Tanyaku sedikit panik walaupun kepalaku masih berdenyut.
"Udah Yan, semua udah di urus kok. Mayatnya udah di bawa dan kita diberikan libur 3 hari sama pihak sekolah. Gue sama Hans sengaja di sini karena kita gak boleh pulang dulu kata kepala sekolah. Katanya sih ada yang mau di omongin" jelas Iko. Aku mengernyitkan dahi, apa yang akan kepala sekolah bicarakan sih.
Aku mengangguk, "terus cewek itu gimana?" Tanyaku lagi.
"Dia masih belum sadar Yan, dia di kasur sebelah tuh. Lo mau liat ga? Cantik tau hihihi" ucap Iko sambil cekikikan. Ia menunjukkan gorden pembatas yang tertutup.
"Dasar buaya buntung" gumam lelaki bernama Hans ini. Mungkin dia memang orang yang ketus begitu kepada semua orang.
"Eh, lo kenapa masih disini? Gak mau pergi kah" Aku sengaja mencemooh.
"Ga boleh kah?" Ia menatap datar ke arahku. Tumben, biasanya saja ia begitu irit bicara. Namun kali ini dia terlihat lebih normal dari kemarin.
"Ya boleh si, eh tapi... Btw tadi sebelum kejadian gue liat lo turun tangga. Dan lo mimisan?" Tanyaku sedikit mengintimidasi. Dan aku sedikit bingung melihat reaksinya yang rancu. Ia terlihat kaget dan sempat melirik ke arah kiri sekilas sebelum akhirnya ia menjawab.
"Gue kena tangan Dea tadi" ia menjawab sambil mengalihkan pandangannya.
"Cewe yang nge reog tadi?" Aku meyakinkan membuat nya mengangguk datar.
Menurut ku, mungkin Hans berniat juga menolong gadis yang berteriak ketakutan tadi. Namun karena si perempuan bernama Dea kaget seperti waktu awal ku temui, tak sengaja Hans tertimpuk olehnya sampai hidungnya berdarah. Itu opini ku, namun tak tau kenyataannya bagaimana sih.
Iko dan Hans kembali duduk ke bangku hijau tadi. Aku terdiam cukup lama sambil menggulirkan layar handphone yang kini aku mainkan. Sakit kepalaku kini sudah sedikit hilang dari sebelumnya, mungkin karena efek teh hangat dan minyak kayu putih yang mereka tempelkan di dahi.
Aku terdiam sambil membayangkan rupa mayat itu tadi, walaupun pandangan ku masih saja menatap pada layar handphone. Aku tidak bisa melupakan peristiwa tadi dengan begitu mudah. Rasa iba, penasaran dan takut masih bercampur menjadi satu di dalam benak. Sungguh, ku rasa aku tidak akan bisa tidur malam ini.
"Menurut kalian, dia dibunuh atau bunuh diri?" Suara Hans memecahkan keheningan. Spontan aku yang masih berbaring dan Iko yang sedang fokus membaca komik langsung memandangnya dengan serius. Aku beralih, kali ini aku mencoba duduk dengan bersandar pada dinding di belakangku.
Aku mengedikkan bahu. "Kenapa lo ber- spekulasi begitu? Siapa tau dia emang meninggal dalam keadaan seperti itu tanpa bunuh diri ataupun di bunuh kan?" Aku menjawab.
"Menurut gue itu ga masuk akal, harusnya kalo dia meninggal di dalam kelas dalam kondisi seperti itu akan ada yang sadar. Entah itu satpam penjaga ataupun karyawan sekolah lainnya" Jelasnya membuat ku bingung.
"Maksud lo apaan?" Iko menutup komiknya dan kini berfokus pada Hans.
"Maksud gue, mayat cewek itu sudah berbau. Yang artinya dia meninggal sudah cukup lama sebelum dia mengeluarkan gas tidak enak, menurut pengetahuan gue minimal mayat manusia bisa mengeluarkan aroma bangkai itu sekitar dua sampai tiga hari. Jadi kalo semisal benar aroma bangkai tadi berasal dari mayat si cewek maka artinya dia sudah lebih dulu meninggal beberapa hari yang lalu" jelasnya. Sungguh, ia berdalih seperti seorang yang mengetahui banyak hal. Namun penjelasannya ini logis dan cukup masuk akal bagiku.
"Jadi, maksud lo cewek itu udah dibunuh duluan sebelum di temukan mati di sana?" Ucapku menyimpulkan.
"Iya, lebih tepatnya mungkin ini pembunuhan berencana. Tapi gak tau deh gue cuma ngarang haha" ia menatapku datar, sedatar tawanya yang aneh.
"Tapi keren juga si karangan lo, kaya di film detektif-detektif gitu loh" Iko malah memuji Hans sambil berbinar.
"Tentu, Hans gitu loh" Hans tersenyum sombong sambil melihat ke arahku dan Iko. Aku hanya menatapnya dengan aneh, untuk apa dia senang karena karangannya di puji begitu sih.
"Udah-udah, gak usah ngomong aneh-aneh. Lagian polisi juga bakal ngurusin mereka kok, jadi kita tinggal nonton aja. Kalo kita di butuhkan buat wawancara sebagai saksi ya kita tinggal maju aja" Iko mencairkan keadaan. Aku setuju dengannya. Selain anaknya clingy, dia juga suka melawak di beberapa waktu.
"Btw gue mau merekrut kalian" tiba-tiba Hans mengubah topik. Dia mengeluarkan sebuah buku batik kecil bersampul ungu dan sebuah bolpoin yang ia taruh di saku.
"Rekrut apaan?" Aku penasaran, apa yang anak ini lakukan.
"Osis angkatan Kaka kelas sebentar lagi Purna tugas. Gue sedang mencari bakal yang bakal gue tarik ke masa jabat selanjutnya. Dan kalian masuk" ia terlihat menulis dua buah nama di dalam bukunya.
Aku yang mengetahui hal tersebut langsung saja tak terima. Aku melotot ke arahnya dan beranjak ingin memukul kepala anak ini.
"Ih ogah banget sih ikutan kek gitu-gituan. Buang waktu gue" aku menggerutu. Malas sekali jika aku benar-benar di ikutkan pada hal seperti itu. Membosankan, lebih baik fokus untuk mengejar nilai. "Ik, lo ga gabung kan?" Aku menatap Iko.
"Wahh, boleh juga nih. Gue penasaran, jangan lupa promosiin gue jadi ketos ya Hans" kebalikannya, aku tertegun melihat Iko yang sangat antusias. Ada apa sih dengan mereka berdua, mereka begitu aneh.
"Oke, kalo gitu lawan lo ada gue" Hans berkata datar membuat Iko menyeringai lebar kegirangan.
"Oiii, gue kagak susah di ikutin juga kali!" Aku sedikit berteriak membuat Iko yang tengah senyum-senyum sendiri itu langsung kaget, dan Hans yang hanya menyipitkan matanya.
Tak lama, gorden yang berada di samping ku berbunyi karena dibuka secara tiba-tiba. Di sana menampakkan sebuah kepala dengan badannya tak kelihatan karena tertutup gorden.
"Brisik tolol! Kalian gak tau apa ini UKS" seorang gadis mungil memarahi kami yang sedang berdebat. Ia nongol dengan muka yang terlihat kesal. Rambutnya ia biarkan terurai rapi, kulit sawo matangnya terlihat begitu pas dengan mukanya yang mungil. Suaranya kecil dan bertenaga, dan sebuah kacu melintang di leher. Kurasa dia adalah anak PMR.
"Nama lo siapa?" Hans malah bertanya pada perempuan ini.
"Dea! Kenapa sih ribut. Gak tau apa ada orang sakit. Pusing gue tuh ngobatin kalian-kalian, jangan dong kalian nambahin gue stress sama suara adu mulut kalian yang gak berguna kek kentut sapi!"
Buset, ternyata perempuan ini lebih ketus dari yang bertanya.
"Oke, gue daftarin lo juga" Hans melakukan hal yang sama beberapa detik lalu. Menuliskan nama Dea di buku kecil miliknya.
"Dih apa-apaan Lo!!!" Dea berteriak kencang sambil menampakkan badannya dan beranjak ke arah Hans.
Aku memijit pelipis dan sedikit mengeluh. "Ada-ada aja kelakuan orang-orang ini. Keknya gue harus banyak istirahat".
.
.
.
Setelah aku keluar dari ruang kepala sekolah, aku menemui Hans dan Iko yang tengah duduk kepanasan di depan aula. Masih-masing dari mereka memegang plastik dengan adanya sedotan kecil di dalamnya. Itu es cekek.
Beruntunglah aku yang bisa dengan cepat memulihkan badan. Nampaknya pingsan tadi hanya karena kaget belaka sampai aku tak kuat menahan takut.
Ku rampas minuman di tangan Iko dan menyedot es jeruk yang sedang ia nikmati. Iko hanya menatap datar sambil menggeleng.
"Srooottttt"
"Abisin aja sekalian" Iko menggumam pelan dengan mata yang ia pelototkan namun dengan senyum yang ia kembangkan. Ternyata es yang ku minum ini hampir habis.
"Eh eh maap, besok gue ganti deh Ik hehee" aku cengengesan sambil mengembalikan jajanannya.
"Besak besok besak besok" ia menerima dengan muka yang terlihat ngambek. "Besok libur" ia melanjutkan ucapannya.
"Oh iya juga, kenapa besok libur?" Tanyaku agak bingung. Apa mungkin karena kejadian barusan kah.
"So ugly. Kejadian tadi pagi membuat siswa heboh dan ribut sampai-sampai ada yang nangis minta pulang. Mereka ketakutan sampe akhirnya kepala sekolah membubarkan kita dan yeah, kita libur tiga hari. Gue yakin beritanya akan muncul di televisi malam ini" Hans menjelaskan dengan sangat detail dan baik, aku hanya mengangguk sebagai tanda paham.
"Gue jadi kepo, apakah cewek itu mati karena murni dia mati, atau karena dia di bunuh ya?" Iko berspekulasi.
"Oh iya-" aku menyela membuat mereka menatapku. Keadaan sekolah sudah sangat sepi karena para murid di perbolehkan pulang dari pagi tadi. Kami mulai berjalan ke arah parkiran setelah tadi sempat di wawancarai oleh beberapa polisi di dampingi kepala sekolah mengenai kronologi penemuan mayat tersebut.
"Apa?" Hans dan Iko bertanya serentak sambil menikmati gorengan yang mereka bawa. Nampaknya mereka jajan tanpa mengajakku.
"Atau jangan-jangan dia mati karena-" aku menjeda kalimat ku sambil merogoh sesuatu di dalam kantong. "-Karena dia masuk ke ruang sanggar seni kah"
Deg...
Deg....
Deg.....
Hans dan Iko melotot menatapku, mereka nampak kaget dan tak percaya atas apa yang aku katakan.
"Lo ngomong apa sih?" Hans berkata dengan suara lirih. Mukanya sudah merah padam. Aku tak tahu mengapa ia terlihat begitu marah.
"Gada pengulangan" aku tak menggubris.
"Gila, lo tau dari mana Yan?" Iko penasaran. Ia terlihat antusias dengan disertai rasa takutnya.
"Gue liat sendiri kemarin, waktu ambil Torso sama lo" aku menatap Hans yang kini terlihat panik.
"Kenapa ga lo cegat!??" Hans bertanya seperti orang kesurupan. Ia terlihat marah dengan muka yang merah seperti itu.
"Gue tau apaa?" Aku menatap Hans dengan pandangan pasrah. "Gue ga percaya kek gituan!" Aku berucap mantap. Niatku tadi cuma iseng menggabungkan peristiwa gadis itu masuk ke ruang sanggar Seni. Tapi kenapa mereka menjadi panik? Apa memang benar karena perempuan itu masuk ke dalam ruang sanggar seni lalu ia mati.
Rasanya itu mustahil dan sangat tidak logis. Akhirnya aku membuka sebuah gumpalan kertas yang sempat aku ambil dan ku remas dari tangan mayat tadi. Mereka masih saja mengomeli ku mengenai hal yang tak penting itu, bodo amat dengan takhayul. Aku membuka kertas sedikit demi sedikit karena kusutnya begitu parah.
Setelah terbuka penuh aku mulai membaca setiap kata demi kata yang muncul dari atas.
"Suratku untukmu"
"Randi..."
Deg...
Aku langsung meremas kertas itu lagi dan langsung memasukkan nya kedalam saku setelah membaca judul dari kertas ini.
"Itu apaan?" Iko penasaran.
"Kertas contekan kemarin hehe lupa belum di buang" aku terkekeh sambil melanjutkan perjalanan.
"Ini masalah serius, sial" Hans bergumam kecil. Namun gumam-an miliknya cukup bisa aku dengar.
"Gila, sekolah kita bisa viral Yan kalo masyarakat tau si Eveline mati setelah masuk ruangan itu. Desas desus sekolah ini berhantu bakal kembali panas Yan!!!" Iko menggerutu di sepanjang jalan.
"Dan gue minta, lo berdua rahasiakan ini, semua siswa boleh tau tentang kematian Eveline. Tapi ga boleh tau tentang dia masuk ruang sanggar seni" Hans berucap dingin. Kenapa? Kenapa ia meminta hal tersebut.
"Lah kenapa?"
"Pasalnya, kita ga mungkin membuat nama sekolah kita jadi jelek. Dengan lo ngasih tau hal tersebut ke pihak polisi atau orang lain, sekolah kita akan di cap tidak baik oleh pandangan orang-orang. Tragedi 20 tahun lalu yang membuat sekolahan ini tutup bisa saja terjadi lagi pada angkatan tahun kita" Hans menjelaskan.
Aku lantas terkejut, sekolah ini pernah di tutup? Kenapa? Dan tragedi apa yang Hans bicarakan.
"Tragedi? Tragedi apa? Dan kenapa sekolah ini tutup?" Aku bertanya bagai orang yang sangat menginginkan jawaban.
"Lo ga tau?" Iko menatap ku serius.
"Engga, gue pindahan dari luar kota" aku menjawab polos membuat mereka menghembuskan nafas berat. Sebenarnya mereka ini kenapa, mengapa mereka tampak takut sekali dengan ruang sanggar seni setelah aku berbicara tadi?
"Jangan bahas disini, besok ke rumah gue. Akan gue jelasin. Dan inget-" ia menatapku tajam. "Jangan sampai orang lain tau tentang ini"
Aku mengangguk, orang ini benar-benar seperti psikopat. Caranya berbicara sangat mengintimidasi lawannya. Tapi itu terlihat cocok dengan wajah datar dan sejutek itu sih.
"Eh tunggu dulu," Iko menatap kami. Aku dan Hans menunggunya berbicara. Nampaknya Iko mempunyai pendapat lain yang lebih bermakna daripada takhayul tadi. Atau mungkin Iko memiliki spekulasi lain yang lebih masuk akal. Ah, kenapa kami jadi pusing memikirkan mayat Eveline. Dan apa yang akan Iko katakan.
"Mau gado-gado ngga?"
Aku melongo setelah mendengar pertanyaan Iko barusan. Ku sangka ia akan membahas hal yang lebih serius, namun ternyata hanya sebatas gado-gado.
"Serah lo deh" Hans jengah melihat Iko, begitupun aku yang ingin sekali memukulnya.
...Bersambung....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!