Assalamualaikum, selamat datang di karya baru author. Semoga suka dan jangan lupa tinggalkan jejaknya ya. Terima kasih. 😘
Happy reading... 🤗🤗🤗
...💝💝💝...
"Kau sudah berjanji akan menua bersamaku Fio, tapi kenapa kau meninggalkan aku dan anak-anak kita." Rangga menangis tergugu di depan pemakaman istrinya. Kini tinggal ia seorang diri yang duduk bersimpuh didepan gundukan tanah yang menelan jasad istrinya, seluruh keluarganya telah pulang untuk menenangkan putri kecilnya yang tak hentinya menangis.
Fiona, wanita cantik yang rela mengubur semua mimpinya demi hidup bersama Rangga. Fiona rela tak melanjutkan cita-citanya yang ingin menjadi wanita karier yang sukses. Bahkan Fiona rela berhenti kuliah dan memilih untuk membangun rumah tangga bersama Rangga. Saat itu kedua orang tua Rangga memang terus mendesaknya untuk segera menikah karena telah menjadi pemimpin perusahaan menggantikan papanya.
Tahun pertama pernikahan, mereka dikaruniai seorang putri cantik bernama Kiara yang kini telah berusia empat tahun. Hari-hari yang mereka lalui dipenuhi dengan kebahagiaan, sekalipun tidak pernah terjadi cekcok di dalam rumah tangga mereka. Hingga Fiona kembali mengandung anak kedua mereka, bertambah lah kebahagiaan keluarga kecilnya. Namun, kebahagiaan itu adalah akhir dari kisah rumah tangganya.
Fiona meregang nyawa usai melahirkan bayi berjenis kelamin laki-laki karena mengalami pendarahan hebat yang diakibatkan oleh infeksi pada rahimnya (endometritis), dan tidak bisa terselamatkan.
Dunia Rangga runtuh seketika saat dokter mengatakan bahwa istrinya telah tiada. Jika tidak mengingat anak-anaknya mungkin ia juga sudah mengakhiri hidupnya. Demi Kiara putrinya dan bayinya yang bahkan belum sempat meneguk ASI pertama ibunya, Rangga harus kuat menjalani hidup tanpa istri yang sangat dicintainya.
"Aku harus bagaimana tanpamu Fio, bagaimana dengan anak-anak jika tidak ada kamu." Air mata Rangga tak hentinya mengalir. Sungguh demi apapun ia tidak sanggup kehilangan wanita yang sangat dicintainya. Fiona adalah dunianya, rumah tempatnya pulang. Tanpa Fiona ia seperti kehilangan arah.
.
.
.
Di rumah duka, dua pasang paruh baya sedang dilanda kebingungan karena kedua cucu mereka yang terus menangis. Sudah berbagai cara mereka lakukan namun kedua cucunya itu tak kunjung berhenti menangis.
Kedua orang tua Rangga bergantian menggendong Kiara, gadis kecil itu tak hentinya menangis dengan terus memanggil mamanya. Begitupun dengan kedua orang tua Fiona yang bergantian menggendong bayi mungil yang tak seberuntung kakaknya. Bayi berjenis kelamin laki-laki itu terpaksa harus dipulangkan hari itu juga karena duka yang menimpa mereka. Beruntungnya bayi itu terlahir dengan sehat dan tanpa kekurangan apapun sehingga dokter memberi izin untuk dipulangkan.
"Kia mau sama Mama. Kia mau ikut Mama. Hiks hiks hiks." Lirih gadis kecil itu terisak.
"Kia Sayang, jangan nangis ya, kita doakan agar Mama Kia diberikan tempat yang terbaik di Surganya Allah. Kalau Kia nangis, nanti Mama juga sedih di sana. Kia gak mau kan buat Mama sedih?"
Kia mengangguk tapi itu tak berhasil membuat gadis kecil itu berhenti menangis. Mama Sinta yang menggendong Kiara pun tak kuasa menahan air matanya.
"Kia anak yang pintar, jangan nangis ya. Lihat itu Adek bayi juga menangis gara-gara Kakak Kia menangis." Papa Digo mengambil alih menggendong Kiara.
Tangis Kiara perlahan mereda namun tak sepenuhnya berhenti menangis, sesekali masih terdengar isakan nya, kedua matanya yang menganak sungai kini tertuju memperhatikan adiknya yang menangis cukup kencang.
"Cup cup cup, Sayang minum susunya ya." Mama Zana pun masih dengan usahanya, yang terus menempelkan put!ng dot di mulut cucu keduanya, tapi bayi mungil itu selalu menolak dengan lidahnya dan terus menangis dengan kencang.
"Hei jagoan, Ayo dong minum susunya. Gimana mau kuat kalau gak minum susu." Papa Farhan yang menggendong cucunya itu pun tak kuasa menahan air matanya. Kenapa takdir sekejam ini. Bayi yang seharusnya berada dalam dekapan sang ibu, kini akan tumbuh besar tanpa sosok ibu.
"Mama, Papa." Flora datang dengan berurai air mata, saat dikabari bahwa kembarannya meninggal ia langsung meninggalkan kampus dan tanpa meminta izin pada dosennya. Tapi sayang ia tidak bisa melihat kakak kembarnya untuk yang terakhir kali, karena kakak tertuanya memberi kabar setelah pemakaman Fiona selesai. Tadi pagi mereka sempat video call, saat itu Fiona telah berada di rumah sakit, menunggu pembukaan lengkap untuk melahirkan bayinya. Dan Flora berencana akan ke rumah sakit setelah mata kuliahnya selesai. Tapi ia tidak menyangka jika akan terjadi duka seperti ini.
Flora menghampiri kedua orangtuanya, ia mengusap air matanya lalu mengambil bayi mungil itu dari gendongan papa Farhan. Ajaibnya bayi itu langsung terdiam ketika Flora yang menggendongnya. "Anak pintar," Flora lalu mengambil botol susu yang dipegang mama Zana, dan lagi terjadi keajaiban. Bayi yang sejak tadi menolak minum susu, langsung melahap put!ng dot itu ketika Flora yang memberinya.
"Tante," Kiara melambaikan tangannya pada Flora. Isakan gadis kecil itupun tak terdengar lagi ketika Flora datang. Papa Digo menurunkan Kiara dari gendongannya, dan Kiara langsung berlari memeluk Flora.
Kejadian yang tak terduga, mencengangkan sekaligus menakjubkan. Sejak tadi dua pasang paruh baya kewalahan menenangkan kedua cucu mereka, namun tak kunjung berhenti menangis. Tapi Flora, gadis itu mampu menenangkan kedua keponakannya dalam sekejap tanpa usaha apapun.
Apa itu yang dinamakan ikatan batin antar sedarah. Flora yang merupakan kembaran Fiona, mampu menenangkan kedua anak-anak kakak kembarnya.
...🍃🍃🍃...
Malam hari...
"Turut berduka ya Mas Rangga, semoga Allah SWT menempatkan Almarhumah di sisi-Nya dan semoga keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan dan keikhlasan."
Rangga hanya menanggapi dengan anggukan pelan kalimat bela sungkawa yang entah diucapkan oleh siapa, namun dalam hatinya mengucapkan kata 'aamiiin.' Sepanjang tahlilan berlangsung ia terus menunduk tanpa memperhatikan siapa saja yang datang dan sesekali menyeka air matanya yang terus berjatuhan.
"Rangga, istirahatlah Nak." Mama Sinta menyentuh pundak Rangga yang sejak tadi duduk dengan kepala yang terus menunduk. Pria itu bahkan tidak menyadari bahwa para tetangga yang datang membacakan yasin dan tahlil untuk almarhumah istrinya telah pulang.
Rangga terkesiap, ia menyeka air matanya yang tak berhenti berjatuhan kemudian berdiri dan mengayunkan langkahnya menuju kamar tanpa berpamitan pada mama dan keluarganya yang lain. Semuanya dapat memaklumi sikap Rangga saat ini, pria itu pasti sangat terpuruk atas kepergian istrinya.
Gerakan tangan Rangga yang hendak menekan handle pintu terhenti ketika mendengar isakan dari dalam kamarnya. Ia tahu betul itu adalah suara isakan Flora, beberapa saat lalu adik iparnya itu membawa Kiara dan bayinya untuk ditidurkan didalam kamarnya. Flora pun sama terpuruknya atas kepergian Fiona saudari kembarnya.
"Kenapa kak Fio pergi secepat ini? Kita pernah terpisah semasa kecil dan baru dipertemukan setelah kita sama-sama dewasa, tapi sekarang kak Fio benar-benar meninggalkan aku. Padahal masih ada banyak rencana yang belum kita selesaikan Kak, bahkan kakak belum melihatku menyandang gelar sarjana seperti keinginan Kakak. Ini adalah impian kakak yang ingin melihatku menjadi wanita karier yang sukses seperti cita-cita kakak dulu, tapi kenapa kakak pergi sebelum impian kakak terwujud. Hiks." Flora memeluk erat bingkai foto kakaknya, setelah menidurkan kedua keponakannya, ia tak hentinya menangis dengan terus memeluk foto Fiona.
Di luar kamar, air mata Rangga kembali berjatuhan mendengar apa yang dikatakan Flora, namun dengan cepat ia menyeka air matanya. Dengan tangan bergetar ia membuka pintu kamarnya.
Flora yang mendengar derit pintu terbuka, dengan cepat menghapus air matanya, kemudian beranjak mengembalikan foto Fiona ditempatnya semula.
"Pulanglah," kata Rangga tanpa melihat Flora yang berdiri di samping nakas.
Flora mengangguk, ia menoleh menatap kedua keponakannya yang telah terlelap diatas tempat tidur sebelum akhirnya keluar dari kamar. Flora berharap semoga Kiara dan adiknya malam ini tidak rewel.
Setelah pintu kamarnya tertutup, Rangga mendudukkan tubuhnya ditepi tempat tidur. Pandangannya berkabut menatap kedua anaknya yang tertidur diatas ranjang, dimana ia dan Fiona sering menghabiskan waktu bersama. Tadi pagi, Fiona masih berbaring diatas ranjang itu ketika mengeluhkan perutnya yang sakit. Tapi sekarang hanya tinggal aroma tubuh istrinya yang tersisa.
"Kenapa harus seperti ini Fio? Lihatlah anak-anak kita, mereka tidur dengan mata yang sembab. Kiara tak hentinya menangis memanggilmu, tapi untung ada Flora yang bisa menenangkannya. Dan si kecil, bahkan kau belum sempat memberikan ASI pertamamu padanya tapi kau..." Rangga tak sanggup meneruskan ucapannya. Tubuhnya bergetar seiring air matanya yang kembali luruh.
Tak terasa, waktu satu bulan telah berlalu...
Sosok Rangga yang humoris berubah dingin setelah kepergian istrinya. Namun, ia tak melepas tanggung jawabnya sebagai seorang ayah. Meski sikapnya berubah total, hanya berbicara seperlunya saja tapi perhatiannya pada anak-anak tidak berkurang sedikitpun.
Di samping itu, Flora setiap hari datang atas permintaan mama Sinta, karena hanya Flora lah yang mampu menenangkan Kiara, membujuknya yang terkadang mogok makan. Begitupun dengan si kecil, hanya bisa tenang bila bersama Flora. Mungkin karena Flora adalah kembaran ibu mereka, ikatan batin antara kedua saudari kembar itu, juga terikat pada Kia dan Azka anak-anak Fiona.
Flora akan datang pagi jika mata kuliahnya siang, begitupula sebaliknya dan akan pulang malam hari setelah menidurkan Kiara dan Azka. Rangga cukup terbantu atas kehadiran Flora karena dirinya sendiri tak mampu menenangkan kedua anaknya bila sedang menangis. Bayinya kerap kali terbangun pada dinihari. Rangga dan kedua orangtuanya harus bergantian terjaga menjaga dan menenangkannya. Belum lagi Kiara yang juga sering terbangun saat menjelang subuh, gadis kecil itu menangis mencari ibunya.
...🍃🍃🍃...
Hari ini Flora datang bersama kedua orangtuanya. Seperti biasa, setelah menidurkan si kecil yang telah diberi nama Azka sesuai dengan keinginan Fiona yang akan memberi nama itu jika anak keduanya laki-laki, Flora pun mengajak Kiara bermain di ruang keluarga. Di sana sudah ada orangtuanya dan orang tua Rangga serta Rangga sendiri.
"Flo, duduk sini." Mama Zana memanggil Flora sembari menepuk bagian sofa yang kosong disampingnya. Flora pun duduk di samping mamanya bersama Kiara.
Sepertinya akan ada pembicaraan serius, tapi Rangga maupun Flora tidak menyadari itu. Rangga dengan sikap dinginnya yang sejak tadi diam, padahal selama ini ia selalu bersikap ramah dan banyak bicara pada orangtuanya maupun kedua mertuanya. Rangga adalah sosok menantu idaman dimata mama Zana dan papa Farhan, tapi sikap menantunya itu berubah total setelah kepergian Fiona.
Flora pun yang sebenarnya adalah gadis pecicilan, suka berbuat onar dan kadang membuat kakak dan iparnya menjadi kesal. Tapi beberapa hari ini Flora mendadak menjadi seperti sosok Fiona dan sangat telaten merawat kedua keponakannya.
"Kia Sayang, Kia ke kamar dulu ya, jagain Adik Azka. Mau kan?" Mama Sinta mencoba membujuk Kiara agar meninggalkan ruangan itu.
Kiara mendongak menatap Flora, melihat tantenya itu mengangguk ia pun turun dari sofa lalu segera menuju kamar untuk menjaga adiknya. Lihatlah gadis kecil itu menurut sekali pada Flora. Sama persis ketika Fiona berkata, Kiara akan langsung mematuhi perkataan mamanya itu.
Setelah Kiara tak terlihat lagi, dua pasang paruh baya itupun mulai terlihat serius. Mereka berempat saling melempar pandangan, memberi kode agar membuka pembicaraan.
"Rangga, Flora, ada yang ingin kami bicarakan pada kalian berdua." Papa Digo membuka pembicaraan.
Rangga hanya melirik papanya sekilas, tak ada reaksi apapun yang dia tunjukkan. Berbeda dengan Flora yang mulai merasakan sesuatu, gadis itu menatap mama dan papanya penuh tanda tanya.
"Kami berempat sudah sepakat untuk menikahkan kalian berdua, karena...
Belum sempat papa Digo menyelesaikan ucapannya, Rangga sudah berdiri dan menatap mereka semua dengan tajam. "Apa kalian semua sudah tidak waras, huh? Baru 1 bulan yang lalu istriku meninggal tapi kalian sudah membicarakan pernikahan, dimana hati dan perasaan kalian semua?" Nafas Rangga nampak memburu. Syok dan marah bercampur menjadi satu mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh papanya. "Aku tidak mau!" Tolaknya mentah-mentah sembari melirik sekilas pada Flora yang juga nampak terkejut.
Flora pun berdiri, ia menatap kedua orangtuanya dengan tatapan kecewa. Tidak menyangka jika mereka malah berpikir untuk menikahkannya dengan kakak iparnya sendiri di saat masih suasana duka seperti ini. "Aku juga tidak mau!"
"Rangga, Flora tenang dulu, dengarkan kami dulu." Papa Farhan mencoba menenangkan keduanya.
Mama Zana menarik tangan Flora untuk duduk kembali, begitu pun dengan mama Sinta yang menarik tangan Rangga untuk duduk, dengan sedikit paksaan Rangga akhirnya kembali duduk.
"Jika kalian tidak bersedia membantuku untuk merawat anak-anakku, aku bisa menyewa pengasuh untuk Kiara dan Azka." Rangga berkata tanpa melihat siapapun yang ada di ruangan itu. Kedua matanya seketika memerah, sungguh ia tidak terima dengan saran gila itu. Baginya tidak ada siapapun yang bisa menggantikan posisi Fiona dihatinya, bahkan Flora kembaran istrinya sekalipun.
"Tidak Rangga, justru kami tidak ingin cucu kami dirawat oleh orang lain maka dari itu kami ingin kalian berdua menikah. Kia dan Azka akan mendapatkan kasih sayang sosok ibunya dari Flora. Kamu juga lihat sendiri kan, bagaimana Flora yang selalu bisa menenangkan kedua anakmu yang bahkan diantara kita semua tidak mampu melakukan itu termasuk kamu sendiri." Papa Digo menyuarakan penolakannya. Bukan hanya dia dan istrinya tapi besannya pun sependapat dengannya.
Rangga terdiam, ia tidak tahu lagi harus berkata apa. Yang ada dalam pikirannya sekarang hanya kedua anaknya. Melihat kedekatan Kiara dengan Flora, serta Azka yang bahkan belum mengerti apapun bisa tenang bersama Flora membuatnya tengah berpikir keras saat ini. Tapi sungguh hatinya menolak keras pernikahan itu, ia tidak sanggup menggantikan posisi Fiona dengan siapapun.
"Flo, tolong pikirkan nasib keponakanmu. Hanya kamu yang bisa memberikan kasih sayang sosok ibu untuk mereka." Mama Zana menggenggam tangan putri bungsunya itu, berharap Flora akan luluh dengan keinginan mereka.
"Tapi Ma, Aku masih kuliah dan juga aku sudah punya..." Flora tak sanggup meneruskan kalimatnya. Entah bagaimana perasaan Arkan jika tahu ia dipaksa menikah dengan Rangga, kakak iparnya sendiri.
Sama seperti Rangga, Flora pun menolak keras karena ia sendiri tengah menjalin hubungan dengan Arkan, yang merupakan masih saudara sendiri dan seluruh keluarganya tahu tentang hubungan mereka. Arkan adalah keponakan om Juna, adik ipar papa Farhan.
Dulu Arkan sudah hampir menikah tapi tiba-tiba saja kekasihnya ketahuan hamil dengan pria lain, dan jelas pernikahan itu harus dibatalkan karena seluruh keluarga tidak setuju Arkan menikahi wanita yang telah hamil dengan laki-laki lain. Di saat terpuruk, Flora selalu ada menghibur Arkan, hingga beberapa tahun berlalu mereka semakin dekat dan akhirnya sama-sama jatuh cinta.
"Kamu masih bisa tetap kuliah walau nanti sudah menikah dengan Rangga. Dan untuk Arkan, Mama yang akan memberi pengertian padanya." Ujar mama Zana.
"Ma, aku bersedia merawat Azka dan Kia, tapi tidak harus menikah dengan Kak Rangga." Flora masih berusaha menolak, berharap orangtua mereka setuju dengan usulannya.
"Tapi sampai kapan akan seperti itu terus, Flo. Dua keponakanmu butuh sosok ibu dan itu hanya akan mereka dapatkan darimu. Tante juga tidak akan pernah setuju jika Rangga menikahi wanita lain, karena wanita pilihan Rangga nanti belum tentu bisa menyayangi Azka dan Kia seperti kamu." Mama Sinta menatap Flora dengan penuh permohonan.
Flora hanya bisa menghela nafasnya dengan berat, ia juga tidak tahu harus berkata apa lagi untuk bisa menolak. Ia pun sangat tidak menginginkan pernikahan ini, tapi disisi lain ada dua keponakannya yang sangat membutuhkan dirinya.
"Aku ingin berbicara berdua dengan Kak Rangga." Pinta Flora.
Dua pasang paruh baya itupun lekas meninggalkan ruangan keluarga, memang sebaiknya Rangga dan Flora membicarakan hal tersebut secara empat mata.
Beberapa saat Rangga dan Flora hanya terdiam dengan pandangan tertunduk. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing, hingga Flora yang telah menentukan pilihan membuka suaranya.
"Aku mau menikah dengan Kak Rangga."
Rangga menarik sudut bibirnya mendengar penuturan adik iparnya itu, "Kamu tahu aku tidak akan pernah bisa menggantikan Fiona di hatiku dengan siapapun. Meskipun Fiona telah tiada tapi semua tentangnya akan tetap hidup selamanya dihatiku."
"Aku tahu seberapa besar cinta Kak Rangga pada Kak Fiona. Aku juga tidak akan mengambil posisi kak Fiona, dan kak Rangga tidak perlu khawatir, aku tidak akan menuntut apapun dari Kakak. Aku hanya ingin menjadi ibu untuk anak-anak kakakku. Aku menerima pernikahan ini hanya sebatas menjadi ibu untuk keponakanku." Flora begitu menekankan setiap kalimat yang ia ucapkan.
"Bagus, jadi aku tidak perlu lagi mengingatkan kamu akan posisimu. Hanya sebatas menjadi ibu untuk anakku, tidak lebih." Rangga pun sama, begitu menekankan kalimatnya.
"Tapi ada satu permintaanku yang harus Kak Rangga penuhi." Flora menatap kakak iparnya itu dengan serius.
"Apa?" Tanya Rangga dengan tatapan datar.
"Rahasiakan kesepakatan kita ini dari orang tua kita, biarkan mereka menganggap bahwa kita berdua memang sepakat untuk menikah, bukan hanya karena Azka dan Kia." Flora tertunduk setelah mengatakan itu. Ada banyak konsekuensi atas keputusannya ini, salah satunya ia harus memutuskan hubungannya dengan Arkan yang telah terjalin selama satu tahun, karena tidak mungkin ia masih menjalin hubungan dengan Arkan disaat ia sudah menjadi istri pria lain. Ia harus memupus kisah cintanya bersama Arkan demi dua keponakannya. Kiara dan Azka lebih membutuhkan dirinya.
Rangga beranjak dari tempat duduknya meninggalkan Flora tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tanpa adik iparnya itu memberitahu, ia lebih tahu apa yang harus ia lakukan.
"Aku harus bagaimana Fio? Kedua orang tua kita memintaku untuk menikahi adikmu agar anak-anak kita tetap mendapatkan kasih sayang seorang ibu." Gumam Rangga yang duduk di samping pusara sang istri dengan memeluk kedua kakinya. Tatapannya tertuju pada nisan kayu yang tertulis nama istrinya namun sorot matanya nampak kosong.
"Bahkan kedua anak-anak kita seakan mendukung agar pernikahan ini terjadi. Kiara dan Azka hanya akan tenang jika bersama Flora." Ucapnya lirih.
Setelah berbicara dengan Flora, Rangga langsung meninggalkan rumah dan datang ke pemakaman. Meski Fiona tidak dapat lagi mendengarkan keluh kesahnya tapi ia merasa tetap harus memberitahu istrinya. Anggap saja ia sedang meminta izin pada Fiona, seperti biasanya ia akan meminta izin kepada sang istri bila akan pergi bersama rekan-rekan kerjanya. Bedanya, sekarang ia sedang meminta izin untuk menikah lagi.
Konyol memang, di saat masih berduka kedua orang tuanya justru memintanya untuk menikahi adik iparnya sendiri, bahkan kedua mertuanya pun mendukung hal tersebut. Suka atau tidak suka dan rela atau tidak rela, ia harus menerima pernikahan itu demi kedua anaknya yang butuh sosok ibu.
Tentu tidak sulit bagi Kiara untuk menerima Flora sebagai pengganti mamanya. Selain memiliki wajah serupa, Kiara juga sudah sangat dekat dengan tantenya itu. Bahkan Azka yang belum mengerti apapun, suatu saat sudah dipastikan akan mengira Flora adalah ibu kandungnya selagi tidak ada yang memberitahu jika Flora adalah kembaran mamanya.
Tapi Rangga, sebagai seorang suami yang sangat mencintai istrinya, akan sangat berat baginya untuk menerima pernikahan itu. Meskipun ia menerimanya, itu semata-mata hanya demi anak-anaknya. Siapapun yang akan berdiri di sampingnya sebagai istri, tetap Fiona lah belahan jiwanya.
Entah sudah berapa lama Rangga hanya duduk memeluk kedua kakinya sembari menatap nisan istrinya, hingga desiran angin bertiup menerbangkan dedaunan disekitarnya membuatnya terkesiap. Rangga melirik arlojinya, ternyata sudah tiga jam ia berada di pemakaman. Penjaga makam yang melihatnya, pasti mengira dirinya sudah tidak waras. Satu bulan ini, ia ke kantor hanya untuk memeriksa berkas yang perlu ia tanda tangani setelahnya ia datang ke pemakaman, menghabiskan waktu berjam-jam dengan hanya duduk menatap pusara istrinya. Jika ada pertemuan dengan klien, ia menugaskan hal tersebut pada sekretarisnya.
"Sayang, aku pulang dulu ya. Aku usahakan akan sering-sering datang kesini, tapi maaf aku tidak bisa membawa Kiara." Rangga tertunduk sejenak, tanpa mengatakan kenapa, Fiona sendiri pasti tahu kenapa ia tidak bisa membawa Kiara ke pusara ibunya.
Rangga beranjak meninggalkan tempat peristirahatan terakhir istrinya dengan langkah berat. Sesekali ia menoleh menatap pusara istrinya seakan mengatakan, kenapa tidak aku saja yang berada di sana.
.
.
.
"Akhirnya Kamu pulang Nak, Mama dari tadi nungguin kamu." Mama Sinta menyambut kepulangan putranya dengan senyuman.
Rangga memalingkan wajahnya, ia tidak suka melihat mamanya tersenyum seakan wanita yang telah melahirkannya itu tidak sedang berduka seperti dirinya atas kepergian Fiona.
"Kamu belum makan siang, ayo Mama temani kamu makan." Mama Sinta menarik tangan Rangga menuju ruang makan, tapi putranya itu melepas cekalan tangannya.
"Aku gak lapar Ma, aku mau ke kamar istirahat." Kata Rangga. Baru ia akan melangkah, mama Sinta sudah lebih dulu menarik kembali tangannya.
"Pokoknya kamu harus makan Rangga, jangan sampai kamu sakit. Pikirkan nasib anak-anakmu. Kamu harus kuat demi mereka."
Akhirnya Rangga menurut. Benar kata mama Sinta, ia harus kuat demi Azka dan Kiara. Seandainya tidak ada kedua buah hatinya bersama Fiona, entah bagaimana ia akan menjalani hidup saat ini.
Mama Sinta menarik kursi untuk Rangga, setelah putranya itu duduk ia langsung menyajikannya makanan.
"Ayo makan Rangga, walau sedikit tidak apa-apa yang penting kamu makan." Mama Sinta menghela nafas panjang melihat Rangga hanya menatap makanannya. Ia tahu Rangga tak berselera makan karena mengingat Fiona yang selalu menyajikan makanan untuknya.
Fiona memang sosok istri dan menantu idaman, ia pun sangat terpukul atas kepergian menantu sebaik Fiona yang tidak pernah membantah dan selalu menebarkan kebahagiaan didalam rumah. Tapi sampai kapan Rangga akan terus berlarut-larut dalam kesedihannya, masa depan putranya masih panjang dan Rangga harus sadar akan hal itu.
"Rangga, ayo makan Nak." Tegur mama Sinta sekali lagi.
Rangga akhirnya memulai makan, dengan enggan ia menyuapi mulutnya. Makanan yang terlihat lezat itu terasa hambar di lidahnya, seperti hidupnya saat ini yang terasa hampa tanpa Fiona.
"Tadi Flora bilang, kalian sudah sepakat untuk menikah dan Mama senang sekali mendengarnya."
Rangga langsung berhenti mengunyah mendengar ucapan mamanya, ternyata itu yang membuat mama Sinta tersenyum saat menyambut kepulangannya tadi. Sebelah tangan Rangga mengepal dibawah meja, jika saja itu bukan mamanya pasti ia sudah memaki habis-habisan. Bagaimana bisa mamanya itu senang ia akan menikah lagi sementara baru satu bulan yang lalu mereka semua mengantarkan Fiona ketempat peristirahatan terakhirnya.
Rangga mengunyah dengan cepat makanan yang sudah terlanjur ada di mulutnya, setelah menelan ia langsung menenggak segelas air putih kemudian beranjak meninggalkan ruang makan tanpa mempedulikan teriakan mama Sinta yang memintanya kembali untuk melanjutkan makan.
Rangga masuk kedalam kamarnya dengan perasaan yang hancur, hatinya benar-benar sakit mendengar bahwa mama Sinta senang ia akan menikah lagi dengan adik iparnya sendiri.
Kedua matanya berembun menatap Azka dan Kiara yang terlelap diatas ranjangnya, hanya kedua anaknya itulah yang kini menjadi penyemangat hidupnya. Jika tidak ada mereka, mungkin ia hanya tinggal raga tanpa jiwa. Bagai burung yang tidak akan bisa terbang tanpa kedua sayapnya.
"Maafkan aku Kak,"
Suara yang berasal dari balkon kamar menyita perhatian Rangga. Pria itu melangkah pelan dan berhenti di balik pintu yang terhubung ke balkon. Dari celah pintu yang terbuka sedikit ia melihat Flora sedang menelepon.
"Maafkan aku, Kak Arkan. Bukannya aku gak sayang sama Kakak, tapi aku melakukan ini untuk anak-anak Kak Fiona."
Mama Zana sudah mengatakan bahwa ia yang akan memberi pengertian pada Arkan, tapi Flora merasa ia juga harus berbicara langsung pada Arkan. Memutuskan hubungan mereka secara baik-baik seperti awal mereka memulainya.
Tak ada sahutan dari seberang telpon, hanya terdengar beberapa kali pria patah hati itu menghela nafas panjang. Awalnya Arkan sangat senang ketika sang kekasih menelpon karena jarang sekali Flora menelponnya lebih dulu, ialah yang selalu menelpon kekasihnya itu bila sedang merindukan suaranya. Flora lebih suka berbalas pesan dengannya. Selama satu tahun menjalin hubungan, ini adalah ke dua belas kalinya Flora menelponnya, Arkan bahkan sampai hafal hal tersebut, itupun karena Flora hanya ingin mengucapkan selamat hari jadian pada tanggal jadian mereka setiap bulannya. Ia pikir, kali ini pun sama. Flora menelponnya untuk mengucapkan hari jadian mereka karena Flora menelpon tepat pada tanggal jadian mereka. Tapi ternyata tidak, Flora justru memutuskan hubungan dengan alasan yang membuatnya benar-benar patah hati.
Padahal, baru seminggu yang lalu Arkan mengatakan pada kedua orangtuanya akan mengikat Flora dengan cincin pertunangan, dan akan menikahi Flora setelah kuliahnya selesai. Tapi apa yang ia dengarkan hari ini dari kekasihnya sendiri sungguh membuat dadanya terasa sesak, bahkan rasanya lebih sakit dari ketika dulu pernah batal menikah karena calon istrinya ketahuan hamil dengan pria lain. Cintanya yang begitu besar pada Flora, ia sungguh tak rela kehilangan gadis itu.
"Sekali lagi aku minta maaf, Kak. Aku doakan semoga Kak Arkan mendapatkan gadis yang jauh lebih baik dari aku." Flora lalu mematikan sambungan teleponnya. Gadis itu terduduk di lantai bersamaan air matanya yang jatuh membasahi pipi. Ia mengusap dadanya yang terasa sesak. Ia sangat mencintai Akan, tapi hubungan yang telah terjalin selama satu tahun dengan penuh suka cita itu harus berakhir lantaran ia harus menikah dengan kakak iparnya sendiri, agar tali kasih sayang sosok ibu untuk Kiara dan Azka tidak pernah terputus. Tak bisa dipungkiri ia memang sangat menyayangi kedua keponakannya itu. Ia rela melepas Arkan pria yang dicintainya demi Kiara dan Azka.
Rangga yang sejak tadi berdiri dibalik pintu mendengar ucapan Flora, mengepalkan erat tangannya kemudian keluar dari kamar. Tak hanya dirinya yang merasa sakit karena paksaan harus menikahi adik iparnya sendiri disaat ia masih sedang berduka, tapi Flora juga jauh lebih tersakiti karena harus mengorbankan hubungannya dengan Arkan.
Rangga sangat tahu bagaimana hubungan keduanya, Arkan dan Flora bahkan pernah dinobatkan oleh seluruh keluarga sebagai sepasang kekasih yang ideal. Saling menjaga dan saling memahami satu sama lainnya. Sama seperti Rangga dan Fiona yang tak pernah terjadi cekcok dalam rumah tangganya. Begitupun Arkan dan Flora yang tidak pernah bertengkar meski masalah kecil, mereka berdua selalu akur dalam hal apapun. Tapi sayang hubungan ideal itu harus berkahir tanpa dikehendaki.
Apa boleh buat, mereka tidak bisa berbuat apapun. Keinginan para orang tua tidak bisa dibantah. Azka dan kiara juga butuh sosok ibu yang hanya bisa mereka dapatkan dari Flora. Prahara turun ranjang pun akan segera dimulai.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!