NovelToon NovelToon

Mas Sekdes I Love You

Bab 1

Aruni cewek umur 24 tahun ini sedang duduk bosan mendengarkan kedua orang tuanya yang bicara dengan sahabat mereka. Ismara dan Adi teman sejak mereka di bangku sekolah menengah pertama.

Aruni memang sering diajak untuk bertemu dengan Ismara dan Aldi, tapi selalu dia tolak. Aruni selalu berdalil kalau obrolan orang tua sama anak muda itu tidak menyambung. Namun, malam ini kedua orang tuanya memaksa dia ikut. Tidak ada penolakan dengan alasan apapun.

“Ma, kapan kita pulang?” bisik Aruni di telinga mamanya.

“Sebentar lagi sayang,” jawabnya.

Aruni menyenderkan tubuhnya ke sandaran kursi, mulutnya sudah meruncing. Dia mulai belingsatan, karena bosan. Biasanya dia sisa harinya digunakan untuk rebahan, kini untuk menunggu orang tua hangout.

Kedua mata Aruni mengikuti arah lambaian tangan Ismara. Aruni tidak berkedip melihat cowok masih dengan seragam warna coklat serta tas rasel di punggungnya. Kalimat yang muncul pertama dalam hatinya, ganteng.

“Akhirnya datang juga kamu, duduk,” pinta Ismara.

Cowok itu duduk setelah menyalami kedua orang tua Aruni. Sedangkan sama Aruni hanya menganguk dan senyum tipis. Aruni pun membalas dengan senyuman saja.

“Kenalkan ini Panji anak kami.” Ismara memperkenalkan Panji.

“Anak kamu gagah banget lho. Gantengnya turun dari kamu, Di,” Dwi memuji Panji.

“Anak kamu juga cantik.”  Adi menepuk lengan Dwi dengan wajah malu dipuji seperti itu.

Pujian dari Adi itu seakan tidak ada artinya apa-apa bagi Aruni. Menurutnya itu hanya basa-basi orang tua. Karena tidak enak kalau mengatakan yang sejujurnya.

Namun, pujian yang diberikan papanya untuk Panji, Aruni setuju. Memang dia ganteng, terlihat dewasa dan bijaksana. Tidak dipungkir untuk pertama kali melihat langsung tertarik untuk melihatnya. Perlu digaris bawahi, sekadar melihat.

“Sebenarnya papa sama mama minta Panji ke sini ada apa?” ucapnya datar.

Wajahnya tampak lelah, dia terlihat memaksakan diri untuk datang ke tempat itu.

“Baiklah, karena Panji sudah datang kita akan mulai. Kita semua berkumpul di sini untuk membahas perjodohan kalian,” kata Ismara.

Lontaran kata Ismara membuat Aruni dan Panji kaget. Mereka berdua mendadak seperti tersambar petir di cuaca yang sangat cerah.

“Maksud tante apa? Uni tidak mengerti?” Aruni masih mencerna ucapan Ismara meskipun perkataan sudah sangat jelas.

“Jadi kami sudah menjodohkan kalian sejak kecil. Sekarang kalian sudah besar, dan sudah waktunya untuk menikah,” jelas Tuti.

“Kalian mau kan?” ucap Ismara dengan kedua mata yang berbinar.

“Nggak!”jawab Aruni dan Panji bersamaan.

“Loh kenapa?” Adi kaget.

“Ma, pertama Panji sudah punya pacar. Kedua Panji nggak kenal dan ketiga Panji nggak suka.” Panji menatap Aruni tajam.

Panji mendadak benci dengan Aruni, yang semestinya dia tahu kalau Aruni juga tidak tahu masalah perjodohan ini.

“Makanya kalian kenalan. Kita akan adakan pertunangan kalian awal bulan ini,” Ismara memutuskan tanpa persetujuan keduanya.

“Tunggu dulu tante, kan Uni belum setuju. Lagian Uni belum mau menikah,” ujar Aruni.

“Uni, umur kamu sudah cukup untuk menikah. Lalu apa lagi yang mau ditunda,” ujar mamanya.

“Ma, Uni tahu. Tapi bagi Uni umur 24 tahun itu masih terlalu muda. Ini tahun 2023 bukan tahunnya Siti Nurbaya pakai jodoh-jodohin segala,” protes Aruni.

“Mama sama tante Tuti sudah sepakat. Pokoknya kalian harus menikah. Titik.”

“Panji nggak mau!” sentaknya lalu beranjak dari kursi.

Cowok jangkung itu meninggalkan restauran dengan marah. Kesal orang tuanya tidak menghargai perasaannya. Dia sudah mengatakan memiliki pacar tapi diabaikan begitu saja.

*****

“Ji, Panji,” panggil Adi.

“Iya Pa.” Panji menuruni tangga cepat menuju ke ruang tamu di mana papanya memanggil dirinya.

“Panji, kamu itu nggak sopan main pergi saja,” omel mamanya.

Ismara tidak enak dengan keluarga Aruni, mereka sudah lama menunggu. Baru ketemu beberapa menit sudah ditinggal pergi begitu saja oleh Panji.

“Kalau cuma mau bahas masalah tadi, lain kali aja ya pa, ma. Panji capek,” keluh Panji.

Panji baru saja pulang perjalanan dinas, sudah lima hari dia berada di kota Tegal. Pulang-pulang malah suruh mampir ke restauran yang jaraknya jauh dari rumah. Dan lebih parahnya, mendadak disuruh menikah dengan orang yang tidak dikenal.

“Ji, kamu harus terima pernikahan ini,” paksa papanya.

“Benar Ji, mama sama papa sudah terlanjur janji. Kalau anak kami berlainan jenis maka kita akan menjodohkan kalian,” Ismara memberikan penjelasan alasan perjodohan.

“Panji sudah punya pacar, Ma,” papar Panji.

“Putuskan saja, gampang kan,” tutur Ismara dengan enteng.

“Ma!” seru Panji. “Pokoknya Panji nggak mau menikah dengan cewek itu!” Panji kembali lagi ke kamarnya.

Panji melempar bantal ke lantai, napasnya memburu karena emosinya yang meluap. Kedua orang tuanya benar-benar tidak mau mengerti dirinya.

Panji sudah menjalin hubungan dua tahun sama pacarnya. Bagaimana bisa dia dengan mudah memutuskanya. Setelah dua tahun membangun kemistri, melewati suka duka bersama. Hanya karena perjodohan yang alasanya tidak masuk akal.

*****

Aruni memutar lagu Bruno Mars yang berjudul Uptown Funk, dia juga ikut berteriak-teriak menyanyikan lagu itu. Menari dengan  sesuka hatinya. Aruni berbeda dengan Panji, dia lebih cuek dan tidak terlalu memikirkan pembahasan semalam.

Setelah mendengar penolakan dari Panji, dia menjadi santai. Perjodohan pasti akan batal karena kedua belah pihak menolak. Berbeda kalau Panji menerima, pasti Aruni akan melakukan sesuatu untuk membatalkannya.

“Uni!” teriak mamanya.

Tuti mematikan lagu, bagitu pula Aruni menghentikan tarian bebasnya di depan kaca.

“Mama apaan sih.” Aruni memandangi mamanya.

“Kamu yang apa-apaan, ini masih pagi. Kamu putar lagu kencang. Tetangga pada protes terganggu sama kelakuan kamu,” omel mamanya yang sudah menjadi makanan sehari-hari Aruni.

“Ah, itu pasti tetangga rese. Nggak bisa lihat orang senang,” kelit Aruni.

“Dikasih tahu, jawab aja.” Tuti menjewer Aruni.

Putrinya itu sudah bukan anak SMA lagi tapi kelakuannya masih seperti anak SMA yang susah diatur.

“Ma, sakit!” pekik Aruni.

“Makanya nurut sama orang tua. Dikasih tahu jawab aja.” Tuti melepaskan jewerannya.

Aruni mengelus telingannya yang lumayan panas. “Gimana coba kalau telinga Uni lepas,” celotehnya.

“Ganti saja sama panci,” jawab Tuti seenaknya.

“Jahatnya mama sama anak sendiri.” Aruni meruncingkan bibirnya.

“Oiya Uni, besok malam minggu kamu jangan ke mana-mana. Kalau bisa pulang dari toko lebih awal,” pinta mamanya.

“Ada apa memang?” Aruni menyisir rambut yang setengah kering dengan jari kirinya.

“Tante Ismara sama Om Adi bakalan datang ke rumah,” ucap Tuti dengan tangan yang sibuk melipat selimut Aruni.

“Ngapain?” Aruni menghentikan aktivitasnya.

“Ya kita mau bahas hari pertunangan kalian,” Tuti menumpuk bantal-bantal yang masih berserakan sampai ada yang terjatuh di lantai.

“Mama, jelas-jelas anaknya tante Ismara itu nggak suka sama Uni. Kenapa dipaksakan. Gimana kalau dia sudah punya pacar?” tanya Aruni yang membuat mamanya terdiam.

“Jangan egois ma jadi orang tua, jangan hancurkan kebahagiaan anak hanya karena ego kalian semata. Uni pamit dulu ya.” Aruni mencium punggung tangan mamanya dan berlalu keluar kamarnya.

Aruni belum terpikir untuk membangun sebuah rumah tangga. Apalagi itu perjodohan, yang mana belum ada cinta di antara mereka. Yang terberat dari semua itu, Aruni tidak mau dianggap sebagai pelakor.

Dia tidak mau dihujat satu Indonesia karena mengambil kebahagiaan dari orang lain. Sekarang kan sedang marak perselingkuhan, pelakor, dia bisa gila kalau sampai dihujat.

Bab 2

Ujung bibir Aruni tertarik lebar, melihat dua karyawannya yang menatap dirinya dengan tatapan tajam. Dia menyadari kalau dirinya salah, sudah terlambat selama setengah jam.

“Nggak usah manyun gitu, baru juga setengah jam.” Aruni membuka kunci gerbang toko miliknya.

Aruni membuka toko milik neneknya yang sudah tutup semenjak meninggal dunia. Aruni tidak mau menyia-nyiakan aset yang sudah ada. Sehingga dia menghidupkannya dengan versi yang lebih modern.

“Gimana mau sukses, datang aja molor.” Bayu mendorong pintu bagar besi berwarna biru.

“Lihat ini make up gue luntur.” Novia memutar wajah dengan jari telunjuknya.

“Maaf, mama gue ini pagi-pagi ceramah,” jawabnya sembari membalik tulisan close menjadi open.

Bayu dan Novia adalah karyawan yang juga merangkap sebagai sahabat Aruni. Mereka kenal semenjak kelas XI. Jadi mereka bicara santai selayaknya sahabat meskipun notabenenya Aruni adalah bos mereka.

“Menurut kalian kalau gue tiba-tiba menikah gimana?” tanya Aruni dengan santai.

“Apa?” Bayu yang sedang mengangkat kertas hvs, menjatuhkan begitu saja.

“Gue nggak salah dengar?” Novia membawa tumpukan kertas di etalase dekat Aruni berdiri.

“Kalian berdua nggak usah lebay deh, kan seandainya.” Aruni duduk menghidupkan dua komputer yang dia gunakan untuk mengedit, print dan lain-lain.

“Memangnya lo punya pacar?” Bayu kembali mengangkat kardus hvs yang sudah dia jatuhkan.

“Nggak ada,” jawabnya tanpa beban.

“Terus?” Novia penasaran, dia tahu sahabatnya itu selama ini jomlo. Dan memang susah untuk didekati cowok. Dia masih ingin bersenang-senang.

“Gue dijodohin.” Aruni menaruh tanganya di puncak kursi. Dia menatap kedua sahabatnya dengan wajah biasa saja. Tanpa beban sedikit pun, malah cengar-cengir.

“Lo terima?” Bayu mendekati Aruni.

“Nggak, makanya gue mau minta saran sama kalian. Cara untuk membatalkannya?”

“Tua ya cowoknya?” terka Novia.

“Bukan tua lagi keknya Nov, aki-aki bau tanah kayaknya,” ledek Bayu.

“Sembarangan kalian ya, cowoknya masih muda ganteng. Lo lihat pasti klepek-klepel,” papar Aruni.

 Novia mengerutkan keningnya. “Terus, kenapa lo tolak?”

“Nggak suka, masih belum kenal.”

Dengusan keluar dari Bayu dan Novian mendengar curhatan pagi ini. Mereka meninggalkan Aruni meneruskan aktivitasnya yang tertunda.

*****

Aruni menatap mesin foto kopi yang bekerja dengan gesit. Cahaya lampu scanner berkedip saat menyalin setiap detail kertas yang di masukan.

Meskipun tangannya sibuk memasukan kertas demi kertas tapi otaknya kembali tertuju dengan ucapan mamanya sebelum berangkat kerja.

“Heh! Malah melamun. Lihat noh banyak orang antre.” Bayu menepuk pundak Aruni sampai dia kaget.

 Aruni mengambil kertas hasil foto kopi, segera memberikan ke pelanggan. Hari ini pelanggan lumayan banyak, melebihi hari biasanya. Meskipun baru buka dalam satu bulan ini tetapi pelanggannya sudah banyak.

Aruni jongkok saat melihat cowok yang semalam dikenalkan oleh kedua orang tuanya. Lalu berjalan jongkok masuk ke gudang.

“Lo kenapa?” Novia ikut jongkok.

“Nov, lo layani pelanggan dulu,” bisik Aruni.

“Ada apa sih? Gue jadi takut?” Novia masih belum mau berdiri.

“Heh! Kalian pada ngapain. Itu pelanggan sudah banyak yang antre!” seru Bayu.

“Nov, lo layani dulu itu cowok yang pakai seragam. Kalau sudah selesai gue keluar,” pinta Aruni.

“OK.”

Setelah lima belas menit Panji selesai belanja, Aruni langsung keluar membantu Bayu dan Novia. Toko alat tulis Aruni memang strategis. Dekat dengan sekolahan, kantor Balai Desa dan tepi jalan raya. Ditambah itu toko ATK satu-satunya diareanya.

“Uni, kenapa lo ngumpet?” tanya Novia yang masih sibuk menghitung belanjaan.

“Cowok tadi yang bakalan dijodohin sama gue,” ucapnya tanpa memindahan pandanganya dari komputer.

“Heh! Mas Panji!” jerit Novia.

Aruni menaruh jari telunjuknya di bibir agar Novia menurunkan nada suaranya. Karena teriakannya itu sudah menyita perhatian para pelanggan yang datang.

“Lo harus cerita detail sama gue.”

*****

Aruni menaruh kepalanya di meja sebelum makanan yang di pesan datang. Dia mendadak pusing, orang yang dijodohkan ternyata perangkat desa yang dekat di tokonya.

“Beneran lo dijodohin sama Mas Panji?” tanya Bayu.

“Kalau Mas Panji memang ganteng. Kalau gue jadi lo nggak bakalan menolak. Tapi yang jadi masalah Mas Panji sudah punya pacar,” tandas Novia.

“Dan pacarnya itu anaknya Pak Lurah. Nggak main-mainkan,” imbuh Bayu.

Aruni melipat kedua tangannya di dada, memutar bola matanya untuk mendapatkan ide yang cemerlang untuk membatalkan perjodohan konyol orang tuanya itu.

“Gue nggak peduli dia pacarnya siapa, yang jadi masalahnya sekarang. Gimana caranya gue buat menolak. Kasihan kan gue kalau nantinya dituduh pelakor,” cicit Aruni.

“Baru denger ada orang cerita mengasihani dirinya sendiri karena jadi pelakor. Biasanya kasihan sama orang lain, yang jadi pacarnya, atau istrinya.” Bayu menggelengkan kepalanya. Memang selalu beda pemikiran sahabatnya yang satu ini.

“Ya kan gue nggak ada niatan buat jadi pelakor. Wajarlah gue mengasihi diri gue sendiri,” Aruni membela dirinya sendiri.

“Btw, lo kok bisa kenal dijodohkan sama Mas Panji?”

“Itu karena orang tua kita sahabatan. Alasanya dijodohkan karena sebatas janji mereka. Kalau anaknya beda jenis, mau dijodohin. Konyol nggak meraka?” ucap Aruni dengan dengusan yang keras.

“Emang diluar BMKG tante Tuti sama om Dwi, pantes turun ke anaknya.” Bayu tidak heran lagi kalau Aruni suka aneh, toh orang tuanya juga seperti itu.

“Atau gue minta di masukin lagi aja ya, biar gue bisa daftar jadi istri Rafathar atau Rayyanza.” Aruni menatap Bayu dan Novia sambil senyum-senyum.

“Tuh kan baru dibilangin sudah kumat.” Bayu menggelengkan kepala, sering kali mengelus dada gara-gara tingkahnya yang unik.

Novia menyenggol-nyenggol lengan Aruni, lalu menunjuk ke pintu masuk rumah makan. Segerombolan perangkat desa yang mulai antre memesan menu untuk makan siang.

“Ya Allah, gue baru saja menghindar kenapa harus ketemu lagi di sini.” Aruni menutup wajahnya dengan tangan kanannya.

Aruni mendadak mengibaskan rambut coklat sebahunya, bahkan dengan berani Aruni memandang cowok jangkung yang berekspresi datar saat diajak bicara temannya.

“Uni, lo punya berapa kepribadian sih. Bisa-bisanya lo sekarang kayak terbar pesona setelah tadi ngumpet-ngumpet.” Novia terheran-heran melihat perubahan sikap Aruni.

“Emang otaknya gesrek, Nov.”

Aruni mengangkat tangan setinggi dadanya. “Gue baru sadar, kemarin di pertemuan dia cuma datang kira-kira nggak lebih dari lima menit. Pastinya nggak kenal gue dong,” ucapnya sambil cengar-cengir.

Namun, dugaan Aruni salah Panji mengenali wajah cewek yang dibencinya dalam waktu sekejab.

“Sepertinya dia kenal sama lo, lihat tatapannya?” bisik Novia. Tatapan Panji tajam, sampai membuat Novia bergidik.

Aruni memalingkan pandangannya. “Sepertinya. Sudah yuk balik kerja.”

Aruni mencoba mengabaikan, dia mencoba untuk menjalani hidupnya seperti biasanya. Dia tidak mau terkecoh karena perasaan yang tidak pasti.

Bab 3

Aruni masih berguling dengan bantal guling dan selimut tebalnya. Meskipun beberapa kali diingatkan untuk segera siap-siap tapi dia tidak kunjung beranjak.

Tontonan di ponselnya masih lebih menarik daripada acara yang akan diadakan di rumahnya.

“Uni!” teriak Tuti. Dia menarik selimut sampai menghilang dari tubuhnya.

“Mama, kenapa sih?” Aruni merengut saat kesenangannya diganggu oleh mamanya.

“Kenapa-kenapa, buruan mandi. Ini sudah pukul 18.00, sebentar lagi tante Ismara datang,” omel Tuti.

Aruni duduk bersila. “Ma, kenapa nggak mama aja yang tunangan.”

“Heh!” Tuti menepuk lengan kanan Aruni. “Sembarangan kalau ngomong.”

Aruni terkekeh, dia senang sekali menggoda mamanya.

“Ma, Uni itu belum mau menikah. Uni masih mau jalan-jalan, berkarir, sukses,” cicit Aruni.

“Uni, kamu juga bisa melakukan semua itu setelah punya suami. Malahan bisa jalan-jalannya nggak cuma sama Bayu dan Novia. Tapi sama suami, bisa mesra-mesraan tanpa dosa,” papar Tuti.

“Nyatanya setelah menikah mama tidak bisa bebas. Pergi harus izin suami, masak, cuci baju, ngurusin rumah. Uni belum bisa mama,” tukas Aruni sembari melambaikan tangan kirinya.

“Pokoknya Uni nggak mau nikah sekarang, mana nggak kenal lagi.” Aruni menjatuhkan tubuhnya lagi. Menarik selimut sampai menutupi sampai kepala.

“Kalau kamu nggak mau siap-siap, mama tidak akan memberikan izin kamu buka toko. Mama akan jual toko itu,” ancam Tuti.

Aruni bangun, dia langsung loncat mencegat mamanya yang hendak keluar dari kamarnya.

“Mama, jangan begitu dong. Itu namanya curang pakai jual toko.”

“Makanya kamu sekarang segera siap-siap, dan ingat kamu harus terima perjodohan ini.” Tuti mengusap pipi Aruni.

“Satu lagi, pakai baju yang sopan. Awas pakai celana pendek sama kemeja,” Tuti menunjuk tubuh Aruni.

Aruni berjalan dengan menghentak-hentakkan kakinya. Ancaman yang diberikan mamanya itu membuat dia tidak bisa berkutik. Haruskan dia kehilangan toko yang baru saja berjalan selama satu bulan.

“Pikir dong Uni, ayo mikir.” Aruni menepuk-nepuk keningnya.

Aruni berjalan mondar-mandir untuk mendapatkan sebuah ide cemerlang agar dia bisa membatalkan pernikahan dan toko tetap ada padanya.

Aruni menjentikkan jari tengah dengan ibu jari saat dia menemukan ide yang brilian.

“Kenapa nggak gue ambil saja sertifikat tanah toko, habis itu kabur. Uni-Uni lo memang cerdas.” Aruni memuji dirinya sendiri.

Aruni berjalan mengendap-endap menuju kamar mamanya. Dia mengawasi sekitar, saat kedua orang tuanya sibuk mempersiapkan pertemuan kedua dengan keluarga Panji. Aruni menyelonong masuk.

Aruni mencoba membuka brangkas tempat penyimpanan dokumen-dokumen penting.

“Loh, kok sandinya salah?” Aruni mencoba beberapa kali memasukan sandi tapi tidak berhasil.

Menurut Aruni tidak ada yang dengan sandinya, dia ingat jelas ketika kedua orang tuanya nomor sandi.

Sepertinya kedua orang tuanya sudah mengantipasi segala sesuatu yang terjadi. Aruni keluar dengan kesal, rencananya berlianya itu ternyata sudah terbaca jauh oleh kedua orang tuanya sebelum dia menemukan ide itu.

Karena sudah tidak bisa menghindar akhirnya Aruni menurut saja daripada kehilangan tokonya. Aruni dandan sederhana, dengan make up tipis natural.

Aruni memakai gaun casual  putih ramping vestidos  dengan lengan pendek yang membuat dirinya terlihat elegan. Dan rambut yang digerai dengan aksen kepang.

“Aduh calon mantuku cantik banget,” puji Ismara.

“Lihat Ji, kalau papa masih muda pasti kesengsem sama Aruni,” tambah Adi.

Dandanan Aruni malam ini memang membuat terpesona keluarga yang datang. Namun, tidak dengan Panji. Dia menatap sekilas, itu pun dengan tanpa ekspresi karena tidak ada ketertarikan sama sekali. Di matanya hanya pacarnya yang paling cantik dan menarik hatinya.

Aruni bisa melihat kalau di matanya itu ada kekesalan luar biasa. Dia tidak tahu apa usaha kedua orang tuanya hingga membuat Panji ikut datang ke rumahnya.

“Begini Tuti, Dwi kita ajukan saja tanggal pertunangan mereka berdua,” kata Ismara.

“Kalau aku sih setuju-setuju saja. Gimana Uni sama Panji saja,” Tuti menyerahkan hari pertunangan kepada mereka.

“Uni, Panji, gimana?” tanya Adi.

“Gimana kalau tiga atau empat tahu lagi Om?” ceplos Aruni sembarangan.

“Itu kelamaan sayang, kita kan mau cepat-cepat,” tutur Adi halus.

“Panji menolak --,” Panji menghentikan ucapanya ketika Ismara memegang tangan Panji.

“Panji, kita sudah bahas kan masalah ini,” Kata Ismara.

“Kalau memang Mas Panji menolak, maka dengan senang hati  Uni terima,” jawab Aruni dengan senang.

“Uni, kamu sudah siapa konsekuensinya?” bisik mamanya.

“Begini saja, pertunangan kita lakukan sekarang saja,” kata Adi.

“Aku setuju,” kata Ismara.

“Jangan ngaco ma, pa. Lagian Panji juga belum menyiapkan apa-apa untuk pertunangan.”

“Papa sama mama sudah menyiapkan.” Ismara mengeluarkan kotak cincin warna merah dari tasnya.

Panji mendengus. “Ma!”

“Kamu terima pertunangan ini atau melihat mama sakit?” bisik Ismara.

Panji menarik napas dalam-dalam. “Baiklah, Panji akan menerima pertunangan ini.”

“Lho, lho, kenapa mendadak menerima?” Aruni bingung. Dia awalnya senang mendengar penolakan Panji menjadi kesal setelah Panji berubah pikiran.

“Uni, kami memang dari rumah sudah berniat bakalan melamar kamu. Dan Panji sudah setuju dari awal, dia hanya gugup.”

Puji syukur telah terucap dari kedua orang tua Panji dan Aruni. Sedangkan anak mereka diam menjalani takdir mereka karena paksaan orang tua.

*****

Aruni melihat cincin yang sudah melingkar di jari manisnya. Dia tidak menyangka kalau kisah cintanya berakhir ditangan kedua orang tuannya.

Padahal dia sudah membayangkan kalau kisah cintanya itu indah. Bertemu, berkenalan, pedekate, lalu pacaran. Seperti orang-orang, yang dengan bangga memamerkan pertunangan dan juga pernikahannya.

Aruni memfoto tangannya lalu mengirimka ke Novia, dia hanya bisa membagikannya. Dia belum mau membuat geger teman-temannya.

Ponselnya langsung berdering setelah satu menit pesan gambar terkirim.

“Uni, lo tunangan?” tanya Novia tanpa sapa dan salam.

“Iya, baru saja selesai acaranya,” nada bicara Aruni masih sewot.

“Gila, lo beneran mau menikah dengan orang yang tidak dikenal?”

“Iya, dan lo tahu pernikahan gue sebulan lagi,” Aruni sedih.

“Bercanda lo nggak asyik deh.”

“Gue nggak bercanda, tunggu saja nanti undangan gue.”

“Secepat itu?” Novia masih tidak percaya sahabatnya akan melepas lajang dengan waktu singkat.

“Yakin, menikah itu sekali seumur hidup lho Uni. Lo nggak mau pikir-pikir lagi?” katanya lagi.

“Mau nolak atau kabur juga nggak mungkin. Karena ancamannya toko.”

“Jadi lo mengorbankan kebahagiaanya lo demi toko?”

“Iya Nov.”

“Lo selalu bilang kalau seumur hidup itu terlalu lama. Lo juga bilang hanya mau menikah dengan orang yang sefrekuensi dan saling mencintai satu sama lain,” cerocos Novia.

“Gue tidak bisa menjalankan prinsip yang gue pegang sejak lama. Toko gue,” rengek Aruni.

Aruni menarik benda pipih dari telingannya, dia menjatuhkannya bersamaan dengan tubuhnya. Aruni menatap langir-langit. Mimpi-mimpinya sebentar lagi akan menghilang, dia akan segera menjadi istri orang.

“Selamat tinggal masa remajaku, selamat tinggal duniaku.” ucap Aruni sembari menutup kedua matanya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!