NovelToon NovelToon

Istri Gendut Yang Dibenci

Menikah dengan wanita Obesitas

"Ini jebakan namanya!"

Elvan benar-benar dibuat jengkel oleh kedua orang tuanya. Bagaimana tidak, selama ini ia menjalani kehidupan dengan baik. Namun belakangan, dirinya mendapatkan fakta perjodohan yang rupanya telah diatur dua pasang suami-istri hanya karena hutang budi. 

Dulu saat kecil, Elvan sudah divonis memiliki penyakit bawaan yang cukup serius di jantung. Keluarga dari calon mempelai-nyalah yang selama ini membantu pengobatan hingga ke luar negeri. Bahkan tak hanya itu, ia bisa kuliah sampai S2, pun dari dua orang yang digadang-gadang akan menjadi mertuanya. 

"Saya tidak akan sudi menikah dengan gajah bengkak itu. Apakah Ayah dan Ibu tidak berpikir dulu sebelum menjodohkan anakmu ini dengan perempuan yang memiliki 90% lemak di tubuhnya?" 

Dengan pakaian casual bermerek yang cukup mahal, dada pria berusia dua puluh tujuh tahun itu kembang kempis. Rasa kecewa yang amat dalam saat dirinya tahu akan dijodohkan oleh Erika tiga puluh tahun, putri dari pemilik perusahaan besar, tempat ayah Elvan bekerja selama puluhan tahun.

"Kau jangan berkata seperti itu, Kau hanya belum kenal Nona Erika," bujuk sang Ayah hati-hati.

"Alaaah!" Elvan tidak ingin mendengar apapun lagi. Pria itu langsung buru-buru melenggang pergi meninggalkan kedua orang tuanya. 

***

Beberapa bulan berikutnya…

Seorang gadis dengan berat badan mencapai 190 kilogram memijat tengkuk leher yang terasa pegal. Akhir-akhir ini ia terlihat sangat sibuk dengan pekerjaannya sebagai seorang CEO di perusahaan orangtuanya sendiri. 

Erika Rawles, gadis yang sejak kecil dibebaskan makannya oleh kedua orang tua. Membuatnya tumbuh menjadi perempuan berbadan besar yang bahkan tak sedikit orang menyayangkan. 

Gadis itu sebenarnya cantik dengan posturnya yang tinggi. Hanya tertutup lemak saja, hingga membuatnya terlihat jauh lebih tua dari usia yang sesungguhnya. 

"Malam, Bu Erika," sapa Pak Udin si pegawai pantry. 

"Malam, Pak." 

"Ini nasi goreng kambing, kebab, dan minumannya." 

Kedua mata Erika langsung berbinar melihat semua makanan berlemak serta tinggi kalori yang beberapa waktu lalu ia pesan melalui aplikasi jasa kurir.

"Letakan di meja situ saja, Pak." Erika menghentikan pekerjaannya. 

Tak lupa menyimpan ribuan kata tulisan yang baru saja ia ketik sebelum mendekati pria berusia lima puluh lima tahun di dekat sofa. 

"Sudah selarut ini masih lembur saja, Bu." 

Erika hanya tersenyum menanggapi. Dirinya sudah duduk menghadap banyaknya makanan yang tersaji. 

"Ada lagi yang dibutuhkan, Bu Erika?" 

"Tidak, Pak." 

"Kalau begitu saya pamit pulang. Karena jam kerja saya sudah selesai sebenarnya sejak satu jam yang lalu." 

"Ya ampun— maaf ya, Pak?" Erika merasa bersalah. 

"Tidak apa-apa, Bu." Pak Udin tertawa sambil memeluk nampan kosong. "Mohon maaf, saya mau langsung permisi." 

"Tunggu sebentar!" 

Erika bangkit, berjalan cepat mendekati meja kerja. Kemudian merogoh dompet yang ada di dalam tas, sebelum kembali lagi pada pria yang usianya sudah tidak muda lagi.

"Ini untuk bonus lembur ya, Pak." 

"Waduh, Bu. Masa tiap malam saya harus dapat uang lembur sebanyak ini." Pak Udin belum menerima dua lembar ratusan ribu yang disodorkan.

"Tidak apa. Terimalah—" Erika langsung meletakan uang tersebut ke tangan beliau.

"Makasih banyak ya, Bu. Semoga kebahagiaan senantiasa menyertai hari-hari Bu Erika. Terlebih, sebentar lagi hendak menikah." 

"Hahaha, Aamiin. Kasih saya doa terbaik terus, ya Pak." 

"Pasti, Bu. Kalau begitu saya pamit pulang dulu. Selamat malam." 

"Selamat malam, hati-hati di jalan." Erika tersenyum, posisinya masih berdiri menanti hingga pria itu menghilang dari pandangan. 

Semua lampu sebagian besar sudah dimatikan, hanya tinggal ruangan CEO dan sang sekretaris. Erika memang biasa pulang hingga pukul satu dini hari. Sifat rajin bekerja yang menurun dari kakek dan ayahnya membuat Erika bahkan tidak pernah memikirkan untuk pacaran seperti kebanyakan gadis muda lainnya. 

Erika kembali berfokus pada makanan yang amat menggugah selera di atas meja. Namun sebelum itu, ia ingin melihat kegiatan calon suaminya dulu sambil menikmati signature chocolate. 

Senyumnya mengulas, melihat tubuh atletis yang dipamerkan Elvan dengan background alat fitnes. 

"Aku masih tidak percaya, seminggu lagi aku akan menikah dengan laki-laki ini." 

Kembali mengingat beberapa pesan chat yang dikirim untuk Elvan dengan waktu yang berbeda. Erika membuka kolom chat pribadinya. Dan mendapati belum ada satupun yang di buka. 

Kadang ia berpikir, benarkah pernikahan yang akan dijalankan tidak akan melibatkan cinta satu sisi saja? 

Ia menggeleng. Sekarang ia sendiri saja belum ada rasa cinta, 'kan? Jadi sangat wajar kalau Elvan juga sama. Mereka kan orang asing yang tiba-tiba dijodohkan. Belum lagi usia Elvan yang lebih muda darinya tiga tahun. Pasti pria itu masih sangat canggung untuk berkomunikasi dengannya. 

Tak ingin berlama-lama memandangi wajah tampan sang calon suami. Erika buru-buru keluar dari aplikasi chatting dan fokus pada makanan diatas meja.

*** 

Hari-H. 

Dengan gaun pengantin warna putih yang melekat di tubuh besar Erika. Serta setelan jas yang terlihat lues di tubuh Elvan. Mereka pun disandingkan dalam upacara sakral pernikahan. 

Tak sedikit, dari para tamu undangan saling berbisik. Ada yang menyayangkan orang setampan Elvan harus menikah dengan wanita berbadan besar itu. Ada juga yang mempertanyakan keselamatan suaminya saat malam pertama dengan nada ejekan.

"Beruntung kalau kita memiliki uang banyak. Ingin menikah pun tinggal pilih. Entahlah setelah ini, semoga saja laki-lakinya tidak mati tertimpa beratnya tubuh Bu Erika." 

Gelak tawa yang sedikit ditahan terdengar di tengah-tengah acara. Mengejek dan menghina wanita yang selalu mereka hormati di tempat kerja. 

"Lihat-lihat pria itu tertekan sekali," seorang pria menunjuk ke arah Elvan.

"Dia mungkin sedang memikirkan bagaimana caranya untuk kabur malam ini." 

"Hahaha…"

Semua cibiran dan hinaan baik dari tamu laki-laki ataupun perempuan tak di sadari Erika. Karena rasa bahagianya melepas masa lajang hari ini benar-benar menutupi semua itu. Bahkan ekspresi keterpaksaan yang ditunjukkan Elvan tatkala menyematkan cincin di jarinya yang gemuk itupun tak disadari. 

Ya, semua tertutup rasa bahagia yang ia rasakan ketika akhirnya bisa memiliki pasangan. 

Setelah acara selesai. Mereka berdua langsung pulang ke rumah baru yang sudah disiapkan orang tua Erika. Elvan yang duduk di sisinya sama sekali tidak bersuara. Tatapan pun terus terlempar keluar jendela.

Erika memaklumi, toh ia juga sama. Masih malu-malu untuk mengajaknya bicara. Jadilah, perjalan ini dihiasi dengan kebisuan dari keduanya. 

Hingga sampai di depan rumah. Elvan hanya keluar tanpa memperlihatkan tindakan romantis sebagaimana pasangan yang baru menikah. 

Dari dalam mobilnya, gadis itu terus memandangi pria yang baru beberapa jam yang lalu resmi berstatus suami, masuk begitu saja ke dalam rumah tanpa menunggunya.

"Silahkan, Bu Erika." Sang asisten pribadi di rumah itu membukakan pintu. 

Fokus Erika kembali. Gadis itu tersenyum sambil pelan-pelan turun dari dalam mobil mewahnya.

"Mbak, sudah siapkan makan malam?" Tanya Erika pada perempuan langsing di hadapannya. 

"Makan malam sedang disiapkan, Bu." 

"Jadi belum selesai?" 

"Benar," jawabnya sopan.

"Kalau begitu tunggu beberapa menit. Saya akan ke dapur." 

Dengan penuh semangat gadis bertubuh gemuk berjalan cepat memasuki rumah besarnya dengan Elvan. 

Sementara sang asisten pribadi hanya tersenyum tanpa menunjukan rasa keheranan. 

Karena memang, seperti itulah Erika. Gadis kaya raya yang tak pernah sombong bahkan pandai memasak. Ia pasti ingin memasak hidangan makan malam pertamanya bersama sang suami. 

Setelah pernikahan.

Di depan kamar, ia sudah disambut oleh pelayan laki-laki yang bekerja di rumah itu. 

"Bapak didalam?" Tanyanya.

"Iya, Bu." 

Erika tersenyum. "Kamu boleh kembali dengan pekerjaanmu." 

Laki-laki di depannya mengangguk sopan sebelum melenggang pergi. 

Kini tinggal Erika yang berdebar saat hendak memasuki kamarnya dengan Elvan. Ia bahkan bingung, ingin berekspresi apa saat berduaan dengan suaminya di dalam kamar. 

Perlahan menarik nafas kemudian menghembuskan sama pelan. Perempuan bertubuh gempal mulai membuka pintu. 

Di dalam… 

ia tak mendapati sang suami. Mungkin sedang di kamar mandi pikirnya. Ia langsung memasuki ruangan ganti. Melihat semua barangnya dan Elvan sudah tertata rapi di tempatnya, Erika merasa senang. 

"Oh—" 

Mendadak teringat sesuatu. Sebuah kado pernikahan yang disiapkan untuk suaminya.

Buru-buru ia mendekati laci yang memiliki efek menyala terang secara otomatis setelah dibuka.  Di dalamnya ada satu kotak berukuran sedang. Erika meraihnya dengan hati-hati. 

Helaan nafas bercampur senyum terukir di wajahnya yang bulat. Arloji dengan desain khusus akhirnya ia dapatkan juga, tepat tiga hari sebelum pernikahan. 

"Ku harap suamiku suka," gumamnya sebelum kembali meletakan kotak tersebut ke tempat semula.

Sebagai seorang istri ia menyadari kewajibannya melayani Elvan sepenuh hati. Tidak peduli dengan status kekayaan yang jauh diatas sang suami. Ia harus tetap menghormati Elvan tanpa memandang status sosialnya, karena itulah yang diajarkan keluarga Sena Hartono.

Tertegun sebentar memandangi deretan baju di lemari. Erika berpikir pakaian mana yang pas untuk laki-laki itu. Karena sepertinya mereka tidak akan kemana-mana, mungkin setelan rumahan lebih cocok. 

Dengan semangat yang membara, tangan gempalnya mulai menggeser satu-persatu beberapa baju yang tergantung. Hingga tiba pada setelan yang menurutnya akan keren di pakai sang suami. 

"Yang ini saja." 

Melangkah sedikit tergopoh ke sudut lain. Wanita bertubuh gempal menggantungkan pakain yang akan digunakan suaminya. 

Masih sibuk kesana kemari di dalam ruang ganti. Menyiapkan serta menata ulang sesuai seleranya. Erika sampai menghabiskan beberapa menit ditempat yang berisi banyaknya perlengkapan fashion. Hingga perempuan itu dibuat terkejut saat pintu kamar ganti terbuka. Ia pun reflek menoleh ke arah pintu.. 

"S-Suamiku?" Senyumnya melebar sempurna. 

Elvan berdiri tanpa ekspresi. Ya, respon serupa pun ditunjukkan oleh Elvan yang terkejut saat melihat wanita itu ada di depan mata. 

Ck! Rasanya eneg sekali melihat si babi ini… batinnya. 

Erika tampak gugup melihat Elvan yang hanya menutupi area pinggang hingga ke lutut, kembali melangkah masuk mendekati lemari.

"A-anu, aku sudah menyiapkan baju untukmu." 

Pria itu tak menggubris, ia tetap memilih pakaiannya. Dilihat semua baju yang ada kebanyakan bukan bawaan dia sendiri. Melainkan pakaian baru yang sengaja dibeli istrinya.

"Mana baju saya?" tanyanya datar tanpa menoleh. 

"Itu semua bajumu." 

Elvan menggeleng. Ia terus mencari pakaian yang ia bawa dari rumah. Namun tak satu potong pun pakaian miliknya yang ditemukan. Pria itu menghela nafas kasar. 

"Suamiku, apakah kau tidak suka semua pakaiannya?" tanya Erika hati-hati. 

Aku lebih tidak suka melihat wajah berlemak mu itu. Elvan menjawab dalam hati. 

"Aku akan mencoba menghubungi asisten pribadi di rumah ini untuk mencarikan baju yang lain."

"Tidak perlu!" Elvan mengambil asal pakaian casualnya. 

Sebenarnya ia bukannya tidak suka dengan baju-baju keren ini. Hanya tidak mau saja memakai barang-barang yang dibeli Erika. Pria itu pun langsung berjalan mendekati pintu hendak keluar.

"Kau mau kemana?" 

"Kau pikir aku akan ganti pakaian di depanmu?" jawabnya ketus.

"Tetaplah di sini. Biar aku yang keluar." 

Tubuh besarnya dipaksa melangkah cepat mendahului sang suami menuju pintu. Dan setelah pintu tertutup Elvan mendengus sebal. 

"Dasar babi jelek!" hinanya dengan gestur geli. 

Ia buru-buru memakai baju. Seolah khawatir wanita gendut itu kembali masuk dan menerkam tubuhnya. Walau sebenarnya tak mungkin hal itu terjadi.

Di luar, Erika tersipu malu saat mengingat bentuk tubuh profesional milik Elvan. Kakinya bahkan lemas, terseret pelan menuju ranjang tidur yang luas dan nyaman. 

Tangan gempalnya menempel ke dada. Erika senyum-senyum sendiri tatkala bayangan liar melayang-layang di kepala setelah sang suami keluar dari ruang ganti. 

"Haruskah aku mandi juga?" 

Erika mengendus bau badanya sendiri. 

"Kurasa tidak bau. Lagipula aku kan hendak masak makanan malam. Ya ampun aku hampir lupa." 

Bergegas bangkit, perempuan itu menuliskan memo untuk Elvan kalau dia saat ini ada di dapur. Setelah selesai menulis, ia pun meletakan kertasnya dibawah ponsel milik suaminya yang tergeletak di atas nakas.

"Aku masak dulu ya, suamiku…" rasa bahagia setelah memiliki pasangan membawa langkahnya seperti melayang keluar kamar. 

Erika membayangkan ide hidangan utama yang akan mereka santap nanti malam. Bahkan ia pun berencana untuk menghias meja makan agar lebih romantis.

….

Selang beberapa detik pria itu sudah terlihat rapi. Elvan keluar ruang ganti tanpa mencari wanita gemuk tadi. Diambilnya ponsel dan dompet, tanpa memperdulikan kertas memo yang ditulis Erika terjatuh ke lantai sebelum ia baca. Kemudian pergi begitu saja.

Sore ini, dia harus menenangkan pikiran dan bersenang-senang setelah selama seharian tertekan akibat menyembunyikan perasaan jijiknya ketika bersanding dengan perempuan gendut itu. 

Elvan sebenarnya sudah berusaha keras untuk menolak perjodohan. Namun Ayahnya justru mengancam akan mencabut segala fasilitas termasuk menarik bisnis yang selama ini dipegang Elvan. Hingga mau tak mau ia harus patuh atas keinginan konyol itu dan mengorbankan mimpi besarnya yakni menikah dengan wanita yang dicintai.

Karena ia sendiri sebenarnya sudah punya kekasih yang rencananya akan dinikahinya tahun depan. Namun semua kandas hanya karena sang Ayah yang tak ingin kehilangan investor terbesar di perusahaannya. 

Hidangan yang menjadi dingin

Dentuman musik bersuara keras yang diiringi sorak sorai para pengunjung klub menemani malam Elvan yang terasa suntuk.

Kehidupan yang biasanya dipenuhi warna seketika berubah monokrom setelah upacara sakral tadi di langsungkan. Bak ketiban sial, ia harus meninggalkan Veni yang cantik demi menikahi wanita berbody besar seperti Erika.

"Sialan!" umpatnya setiap kali mengingat senyum Erika yang menurutnya amat menjijikan. 

Pria itu menikmati minumannya dalam sekali teguk. Setelah itu menuang lagi isi yang ada di dalam botol. 

Triiiiiing… 

Dering ponsel membuatnya bersusah payah merogoh saku celana. Dilihat nama yang tertulis Si Babi dalam layar gawai tersebut. 

"Brengsek! Untuk apa Dugong jelek ini menghubungi ku. Dia pikir aku sudi menyentuh kulit badaknya itu?" 

Tak ingin terus-menerus diganggu pria itu langsung mematikan data seluler. Setelah itu kembali asik menikmati malam gemerlapnya di dalam bar. 

***

Di tempat lain, Erika tertegun. Ketika panggilan pertamanya tidak di respon oleh Elvan. Kemudian saat mencoba untuk menghubungi lagi, ponsel Elvan justru mati. 

Wanita dengan double  chin  di dagu terus berusaha menghubungi suaminya. Walau tetap saja usaha yang ia lakukan tak membuahkan hasil. 

"Kau kemana suamiku? Padahal makan malam sudah siap." 

Ditatapnya semua hidangan yang tersaji cantik di atas meja. Dengan di hiasi lilin-lilin yang memunculkan efek romantis. 

Kruuuuukkk… 

suara perutnya yang lapar membuat Erika menyentuh bagian tubuh yang buncit itu dengan kedua tangan. Benar, semua hidangan ini sebenarnya sudah menggugah nafsu makannya sejak tadi.

Namun Erika harus menahannya demi menunggu Elvan walau entah sampai jam berapa laki-laki itu akan pulang. 

"Mungkinkah, Dia sedang ke rumah orang tuanya mengambil pakaian?" 

Ia baru ingat, tadi Elvan amat kelimpungan mencari pakaiannya sendiri. Bisa jadi kan, supirnya lupa membawakan koper milik pria itu. Hingga ia harus mengambilnya sendiri.

"Iya, bisa jadi seperti itu. Paling perginya tidak lama, aku masih bisa menahannya." 

Erika tersenyum sambil meletakan lagi ponsel di atas meja. Tangannya bergerak membenahi rambutnya yang panjang sepunggung, tak lupa memeriksa riasan wajah demi memastikan penampilannya tidak berlebihan. 

Sudah menunggu lebih dari tiga jam. Pria itu tak kunjung kembali, hingga menimbulkan risau di benak perempuan dengan dress berukuran triple XL. 

Langkahnya bahkan kini terlihat mondar-mandir di sisi meja sambil memandang keluar jendela yang lebar serta tinggi menjulang. 

Kenapa suamiku belum pulang juga. Dia pergi kemana ya? Atau jangan-jangan ada apa-apa di jalan?

Erika menggigit ujung kuku ibu jarinya. Menanti sang suami yang tak ada kabar, tiba-tiba pergi begitu saja sejak sore tadi.

Sepertinya aku harus menghubungi ibu mertua. Agar pikiran ku tidak kemana-mana.

Tergopoh mendekati meja makan, tangan gempal Erika menyambar ponsel. Setelah menemukan nomor sang ibu mertua Erika gegas menekan tombol panggil. 

Deru panggilan melengking beberapa saat, suara wanita paruh baya pun menyapa dari seberang. 

"Halo, ibu. Ini aku, Erika." 

"Oh, Nak Erika. Ada apa, Nak?" 

"Maaf, Ibu. Erika ingin tanya, apakah Elvan di rumah ibu?" 

Yang di seberang terdiam sejenak sebelum menjawab, "iya, Nak. Tadi Elvan datang setelah itu tiba-tiba merasa tidak enak badan. Sekarang sedang tidur."

"Tidak enak badan?" Erika mendadak cemas. 

Elvan ku pasti kelelahan setelah mengikuti serangkaian acara pernikahan sejak kemarin. 

"Kalau begitu aku langsung kesana saja, ya?" 

"Aaah, menantuku. Sebaiknya tidak usah. Ini sudah terlalu malam, sebaiknya Kau istirahat. Dan datanglah besok pagi—" 

"Tapi aku tidak akan tenang kalau tidak datang malam ini juga, Bu." 

"Tenanglah, Elvan baik-baik saja. Dia hanya butuh istirahat. Jadi tidak perlu memaksakan diri untuk datang malam-malam. Kau juga pasti lelah, 'kan?" 

"Iya, Bu," jawabnya lirih.

"Ya sudah, tidak perlu khawatir. Sekarang istirahat saja. Sampai bertemu besok." 

"Anu— bu?" Belum selesai bicara, panggilan telepon sudah terputus. 

Erika memandang layar gawai yang sudah menampilkan menu utama. Helaan nafas terdengar pilu. Ia merasa bersalah karena tidak peka dengan kondisi fisik suaminya tadi. Padahal sebagai seorang istri, seharusnya dia paham. 

"Aku benar-benar bukan istri yang baik." Erika tertunduk menyalahkan diri sendiri. 

Kini dirinya sudah kehilangan nafsu makan, padahal sejak tadi perutnya terus memunculkan kode lapar. 

Greeeeeeg… suara kursi yang terdorong, wanita itu bangkit kemudian pergi meninggalkan seluruh hidangan lezat yang telah menjadi dingin di atas meja. 

***

Di rumah Elvan… 

Seorang wanita paruh baya nampak kebingungan melihat Elvan yang tiba-tiba pulang diantar temannya dalam kondisi mabuk. 

Beruntung, sang suami sudah terlelap sejak satu jam yang lalu. Jadi Beliau bisa dengan mudah membawa putranya masuk kedalam rumah tanpa mendengar ocehan kemarahan Suaminya karena seharusnya anak itu ada di rumah bersama istrinya.

Tapi sekarang, Elvan justru telah pulas, tengkurap di atas ranjangnya sendiri.

"Kasian putraku…" menatap iba sambil menyelimuti tubuh Elvan.  Ia pun bangkit dan memutuskan untuk kembali ke kamarnya sendiri.

Berikutnya Regina dibuat terkejut ketika keluar kamar sudah mendapati Lusi di depan pintu. 

"Ya, Ampun. Kau membuat ibu terkejut." 

"Kak Elvan di dalam, ya?" tanyanya ingin tahu. 

"Biarlah, Kakakmu pasti butuh waktu untuk menerima wanita gendut itu." 

"Ckckck, malang sekali. Dia harus meninggalkan Kak Veni yang seorang model, demi si buntelan karung. Hahaha…" 

Lusi tertawa mengejek. Sementara sang ibu hanya diam saja turut menyesalinya. Karena sejatinya ia juga tidak setuju putra tampannya menikah dengan gadis itu. Walaupun Erika sendiri adalah seorang anak konglomerat terkaya nomor tiga di Indonesia. Sang pewaris group company generasi kelima di keluarga Hartono.

"Haduuuuh, kalau aku jadi Kak Elvan pasti sudah bunuh diri." 

"Huuuush! jangan bicara seperti itu. Kalau kakakmu dengar dan dia benar-benar melakukan itu, bagaimana?" 

Lusi cekikikan sambil menutup mulutnya. 

"Omong-omong, Kau dari mana jam segini baru pulang?" Regina berkacak pinggang. 

"Jalan-jalan lah, aku kan masih muda–" balasnya. 

"Dasar Kau ini, suka sekali melempar batu di danau yang tenang. Kalau Ayahmu marah lagi bagaimana?" 

"Biar saja… mulai saat ini aku harus belajar menentang Ayah. Karena aku tidak mau, bernasib sama seperti Kak Elvan. Yakni melakukan pernikahan politik demi agar perusahaan Ayah tidak bangkrut. Bukankah itu sama saja menjual anak?" 

"Tutup mulutmu, memangnya orang tuamu ini apa? Sampai menjual anak. Kau hanya tidak paham situasi…" 

Gadis di hadapannya merespon malas. Seperti tak ingin mendengarkan apapun yang sedang berusaha dijelaskan sang ibu. 

"Sudah balik saja ke kamar mu. Ibu sudah mengantuk. Lagi pula besok pagi kakak iparmu itu pasti akan datang ke rumah ini."

"Ya ampun… sepertinya aku harus berlindung. Khawatir rumah ini akan roboh ketika kaki gajahnya menapak di lantai rumah ini." 

"Hei-hei, jangan begitu." Ibu Regina turut menertawakan, walau setelahnya berusaha keras meredam. "Sudah tidur saja sana. Jangan bicara yang aneh-aneh. Intinya besok Kau harus menjaga sikap. Okay!"

"Yaaaa…yaaa…" Lusi melenggang pergi. Meninggalkan sang ibu, yang sepersekian detik berikutnya menyusul.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!