Hujan deras mengguyur kota yang telah lama mengalami kekeringan dan memunculkan senyum bahagia di setiap wajah yang menyaksikan.
Namun ada satu wajah yang terlihat sendu dan sedih seakan akan kembali lagi ke masa dimana ia merasakan rasa sedih itu, rasa sedih yang merubah hidupnya, yang membuatnya harus kuat dan mandiri menjalani kehidupannya hingga ia mampu menjadi apa yang di harapkan olehnya seperti sekarang ini.
Romisa berdiri di samping jendela yang hampir seukuran tinggi badannya, dengan kedua tangan di lipat di depan, namun mata cokelat sayu nya terlihat kosong seolah sedang menerawang ke ingatan masa lalunya, ada rasa sedih dan perih di balik manik mata cokelatnya.
Flashback on.
Mengingat kejadian yang dimana sang bunda meregang nyawa dengan darah bercucuran dibaluti derasnya air hujan, tepat di depan matanya dan dikala itu hanya tangisan yang mampu keluar dari bibir dan tubuh mungilnya, ia tak mampu berbuat apa-apa, hanya bisa menangis dan melihatnya, jemari tangan mungilnya mencoba menggoyangkan tubuh di depannya namun tak bergerak sedikitpun, hanya kata tolong dan bunda yang mengiringi di sela-sela tangisannya hingga membuatnya jatuh dan tak sadarkan diri.
Namun ketika matanya terbuka, tampak wanita sebaya sang bunda duduk di sampingnya dan tersenyum, ada yang salah dengan senyuman itu, senyuman yang tersirat kesedihan bercampur kekhawatiran di dalamnya, bagi orang dewasa dengan sekali lihat raut wajah seperti itu sudah pasti akan tau apa yang sedang dirasakannya.
"Bii, Bunda dimana? Tadi Misa lihat Bunda banyak darah?" tanyanya di selingi tangis kecil.
"Bunda sudah istirahat dengan tenang di surga, Neng yang kuat ya, Bibi akan selalu ada di samping Neng," jawab wanita itu dengan berusaha menyembunyikan rasa sedih.
"Surga? Kenapa Misa gak di ajak Bunda Bi, kata Bunda kan surga itu tempat yang indah," tanya gadis kecil itu yang masih polos.
Wanita itu hanya diam tanpa menjawab, dan merengkuh tubuh mungil gadis itu kedalam pelukannya dan samar terdengar tangisan kecil. Di usianya yang ke 5 tahun Romisa yang bisa dibilang masih belum mengerti dengan arti kehilangan harus di beritakan, bahwa orang yang sangat ia sayangi juga penompang hidup didunia ini diberitakan telah tiada, namun ada rasa sakit di hati nya yang ia belum mengerti itu, sehingga mengeluarkan bulir-bulir di mata cokelatnya.
Flashback off.
Krriing... krriing... krriing.
Dering telepon rumah membuyarkan lamunan Misa untuk kembali ke dunia nyata. kepalanya bergerak menoleh ke asal suara, dengan sedikit malas ia berjalan menghampiri suara itu dan mengangkat gagang telpon untuk di tempelkan ke daun telinga.
"Assalamualaikum," kalimat pertama yang dilontarkanya untuk menyapa orang di sebrang sana.
"Walaikumsalam, gimana keadaanmu?" Suara laki-laki di sebrang sana dengan nada cemas.
"Alhamdulillah, Misa baik-baik aja Paman, jangan terlalu khawatir terhadap Misa," jawabnya dengan tenang.
"Baiklah, tapi ingat jika adek butuh apapun hubungi Paman," dengan sedikit kecemasan terselip di dalamnya.
"Iya Paman. Assalamualaikum," Misa mengiyakan dan mengakhiri panggilannya.
"Walaikumsalam."
Orang-orang terdekatnya selalu mencemaskannya, karena hanya mereka yang tau dengan keadaannya. Seperti hal nya tadi orang yang sudah ia anggap seperti pamannya sendiri, padahal ia tidak ada kaitan darah dengannya, awalnya laki laki itu adalah seorang sekertaris kepercayaan sang ayah, namun semenjak ayahnya meninggal dunia, ayahnya itu mengalihkan perusahaan agar dikelola oleh laki laki yang sekarang sudah Misa anggap sebagai paman sendiri, karena memang ayah adalah anak tunggal dan waktu itu ia masih kecil.
Pernah ayah ingin mengalihkan semua tanggung jawab perusahaan ke sang istri, namun karena bundanya tidak suka dengan yang namanya jabatan seperti itu, sang istri akhirnya memilih mengurus yayasan amal seperti panti asuhan juga panti jompo, yang sekarang diteruskan oleh wanita yang ia panggil bibi, yang memang seorang asisten kepercayaan bundanya, sekaligus orang yang di amanatkan untuk menjaga ia hingga sekarang.
Karena hari sudah larut dalam kegelapan, Romisa berjalan memasuki kamarnya dan merebahkan tubuh mungilnya di atas kasur besar berukuran king size, tangannya meraih lampu di atas nakas di samping tempat tidur untuk mematikannya, dan tidak berapa lama matanya perlahan tertutup rapat menuju alam mimpi.
*****
Fajar mulai menyingsing dan bergantikan dengan mentari yang mulai menerangai keseluruhan bumi, sehingga memperlihatkan semua aktivitas setiap makhluk hidup di bumi ini.
Romisa berjalan menelusuri jalanan yang sudah ramai dengan orang-orang yang berlalu lalang, ia berjalan menunduk hanya fokus pada pijakan kakinya berlabuh, dan hanya sesekali ia mendongakkan kepala melihat ke kiri dan ke kanan hanya untuk menyebrangi jalanan besar.
Langkah kakinya terhenti di depan gerbang SMA Pelita, dan kini ia mulai memasuki pelataran sekolah tersebut dan menuju kantor guru.
Ya, Romisa adalah seorang guru di SMA Pelita, dilihat dari postur tubuhnya yang mungil dan dengan wajah yang terlihat imut itu, terkadang banyak orang yang mengatakan ia lebih pantas jadi muridnya di banding jadi pengajar, namun meskipun dengan keadaan dirinya seperti itu jangan di sangka kalau ia mempunyai otak yang jenius dan terbilang ber-IQ di atas rata rata orang sebayanya.
Dia menyelesaikan pendidikannya dengan umur masih muda, di umur 18 tahun ia sudah menyelesaikan S1, dan sekarang ia sudah mengabdi mengajar di SMA Pelita sebagai guru bahasa indonesia sekitar 2 tahunan.
Mereka yang kenal Romisa, tidak ada yang tau tentang status dirinya yang seorang pewaris tunggal dari perusahaan AG yang bisa dibilang lumayan besar di kota tersebut. Di kalangan masyarakat ia hanya di kenal sebagai seorang gadis yatim piatu yang tinggal di panti asuhan yang sekarang tinggal seorang diri.
"Pagi Bu Misa," sapa Bu Rina dari samping, yang mejanya berdekatan.
"Pagi," jawabnya ramah.
Bu Rina, ia sudah di anggap seperti sahabatnya di lingkungan sekolah karena hanya dia yang bisa membantunya, jika ia kesulitan di lingkungan sekolah.
"Bu Misa sudah sarapan? Nih, saya buatkan bekal untuk sarapan," sambar guru laki-laki Pak Dani, sambil meletakkan kotak makanan di atas meja.
"Sudah, makasih," jawabnya dengan ramah.
"Hmm, kalau gitu buat makan pas istirahat, dimakan yaa," ucap Pak Dani dan tersenyum.
Dia hanya membalasnya dengan anggukan kepala, Pak Dani berlalu meninggalkan dan kembali ke meja nya, mereka yang ada di dalam ruangan guru sudah tau dengan ia yang irit bicara namun meskipun seperti itu ia dikenal tetap ramah.
"Bu Rina, bekalnya buat ibu aja saya sudah sarapan di rumah," ucap Misa sambil menyodorkan bekal yang tadi di kasih Pak Dani ke Bu Rina.
"Hmm, makasih Bu Misa, tapi apa kamu nggak pernah ingin mencoba makanan dari dia yang ngasih ke kamu?" tanya Bu Rina sambil membalikkan badan menghadap ke orang yang di sampingnya.
"Saya pernah mencobanya kok bu," membalasnya sambil tersenyum.
"Baiklah, aku tau kamu memang selalu seperti ini," Bu Rina menerima lalu membuka bekal itu.
Pak Dani yang melihat dari kejauhan hanya bisa tersenyum, ia sudah tau jika membuat makanan untuk Misa pasti akan berakhir di tangan orang lain, tapi meskipun begitu tidak membuatnya sedih, ataupun menyerah karena memang tujuan utamanya ia memberikan bekal itu ke Misa, hanya untuk bisa melihat senyuman ramah juga agar bisa berhadapan dengan Misa secara dekat.
Teng...teng...
Suara bell menandakan akan di mulai memasuki pelajaran pertama sekolah.
Misa membawa buku ajar dan mulai berjalan ke kelas yang akan di ajar nya sekaligus ia menjadi wali kelas di kelas tersebut, ia melewati lorong dan beberapa kelas langkahnya melambat berbelok memasuki kelas.
"Assalamualaikum, pagi anak-anak," ucap Misa di selingi senyum manis di depan para murid.
"Walaikumsalam, pagi juga Bu guru," jawab murid-muridnya.
Romisa tersenyum. Membuka buku absen dan mulai mengabsen satu persatu anak didiknya. Setelahnya, ia menyambar sebuah buku paket.
"Baiklah, seperti yang telah ibu janjikan minggu lalu, hari ini ibu akan adakan kuis."
"What kuis Bu? Aduh saya belum belajar malamnya," celetuk salah satu muridnya mengeluh.
"Nggak boleh protes, ibu kan sudah ingatkan minggu lalu."
"Tapi buu-"
"Tidak ada tapi-tapian. Soalnya cukup mudah, jadi pasti bisa."
"Tetap aja menurut saya susah Bu, sesusah mendapatkan hatimu," ucapnya dengan gombalan.
"Jangankan elo Pak Dani yang ganteng dan baik aja nggak bisa tuh, dapetin hatinya," celetuk teman sebangkunya.
"Huuuu...," murid-murid lainnya menyoraki.
Brak.
Misa menggebrak meja hingga murid-murid diam seketika. Ia menghembuskan napas pelan dan tersenyum tenang.
"Ibu beri waktu untuk membaca ulang pelajaran, kuis akan di mulai 10 menit lagi." Tegas Misa.
"Baik bu."
Murid-muridnya mulai sibuk membuka buku dan menyiapkan alat tulis untuk kuis.
*****
Bell istirahat sudah berbunyi, Misa keluar dari kelas dan mulai melangkahkan kakinya untuk ke kantor.
"Bu Misa," panggil salah satu murid.
"Iya, ada apa?" Misa menoleh pada orang yang memanggilnya dan tersenyum.
Oh Tuhan senyumannya itu loh, manis banget. Gumam Hendri dalam hati.
"Hmm, anu bu, Egi dia udah 3 hari gak masuk sekolah," ucapnya dengan sedikit terbata.
"Ikuti ibu ke kantor, kita bicaranya dikantor saja," jawab Misa dengan tenang dan mulai berjalan.
Murid laki-laki itu hanya berjalan mengikutinya dari belakang, sesampainya di meja, Misa duduk berhadapan yang hanya di halangi meja sebagai pembatas.
"Baiklah, katakan," ucap Misa bertanya akan maksud muridnya.
"Ini Bu, Egi udah 3 hari ini tidak masuk sekolah dan tanpa keterangan."
"Udah coba di telepon pihak keluarga atau yang bersangkutan, dan tanya kenapa nggak masuk sekolah?" tanya Misa.
"Udah berapa kali di telepon tapi nggak pernah di angkat Bu, dan saya pernah datang ke rumahnya, kata pembantu di rumahnya Egi selalu berangkat ke sekolah," tutur murid itu dengan nada serius.
"Ke tempat yang biasa dia kunjungi kamu pernah coba mencarinya?" tanya Misa lagi.
"Udah juga Bu, kata orang di sana Egi selalu kesana dari pagi sampai siang, dan saya cuman bisa mengunjungi tempat itu di waktu sepulang sekolah Bu, kan mana mungkin saya juga ikutan bolos," jawab murid itu dengan tatapan tak pernah lepas dari Misa.
Kalau dia mengunjungi rumahnya juga mengunjungi tempat tongkrongannya sepulang sekolah, berarti Egi pulang kerumahnya malam. Gumam Misa dalam hati, merenung berpikir.
"Baiklah, gini aja kita tunggu sampai besok, jika dia masih saja belum berangkat ke sekolah, kamu kunjungi rumahnya di pagi hari, nanti ibu izinkan ke bagian absen, tapi hanya dalam 1 pelajaran saja kamu ibu kasih izin."
"Baiklah Bu, kalau begitu saya permisi Bu." Murid itu bergegas berdiri untuk permisi.
Misa mengangguk dan tersenyum kecil sebagai tanda mengiyakan.
"Kenapa lagi Bu Misa?" tanya Bu Rina.
"Entahlah Bu Rina, biasa si Egi murid di kelas bikin masalah lagi," jawab Misa di akhiri helaan napas lelah.
Rina mendengus. "Anak itu rupanya," ucapnya dengan raut wajah sebal. "Yang sabar ya Bu, punya murid kayak gitu emang harus legowo..hehe."
Misa hanya menganggukkan kepala pelan dan tersenyum kecil.
"Ke kantin yuk Bu Rina, waktu istirahat masih ada kan?" Ajak Misa dengan melihat jam yang melekat di pergelangan tangannya.
"Hayuk, aku juga laperr," balasnya dan berdiri.
BERSAMBUNG...
Waktu terus berjalan sampai waktunya pulang dari mengajar Romisa merapikan mejanya yang sedikit berantakan.
"Bu Misa, pulang bareng yuk, udah lama juga nggak pulang bareng nih," ucap Bu Rina yang berdiri di depan meja.
Misa menyampirkan tas selempang ke bahu nya dan keluar area meja. "Ayuk, kebetulan kaki saya sedikit pegel."
Tertawa kecil. "Dasar Bu Misa," balasnya dan menggandeng tangan Misa keluar ruangan menuju parkiran motor.
"Bu Misa nggak ada niatan pakai motor? Kan lumayan jarak dari rumah ibu ke sekolah cukup jauh," tanya Rina menoleh pada orang di sampingnya.
"Nggak Bu, lagian olahraga juga sih." Membenarkan tas selempang di bahu yang melorot tali tanganya. "Ekhem... Bu Rina gimana kalau panggilan kepada saya jangan pakai ibu, rasanya kurang enak di dengar, lagian kita kan udah akrab," sambung Misa dengan sedikit hati-hatian.
"Haha, iya juga ya padahal kamu lebih muda dari saya, baiklah saya panggil Misa aja gimana?" tanya Rina dengan bibir masih melengkungkan senyuman.
"Baiklah, Bu Rina," balasnya dengan tersenyum.
"Saya juga di panggil Rina aja ya," ucap Rina mengedipkan sebelah mata. Yang di balas anggukkan dan tawa pelan dari Misa.
Sesampainya di parkiran.
"Misa tunggu dulu disini ya, saya ngeluarin motor dulu," ucap Rina saat keduanya telah sampai di dekat pagar besi. Lalu meninggalkannya saat telah mendapat anggukkan kepala dari Misa.
Dari kejauhan, terlihat Pak Dani berjalan ke arah gadis mungil itu.
"Eh Bu Misa, mau pulang bu?" tanya Pak Dani berbasa basi yang sekarang berdiri di hadapan Misa.
Melirik sekilas. "Iya Pak."
"Mau bareng saya Bu, kan searah jalannya dengan saya," tawar Pak Dani dengan harapan di iyakan oleh orang yang ditawari nya.
"Nggak, makasih Pak, tapi saya akan bareng Bu Rina," tolak Misa dengan halus dan menunjukkan senyum ramah.
"Hmm... baiklah," balas Pak Dani, ada gurat kekecewaan di raut wajahnya.
Misa mengapa begitu sulit untuk berada didekatmu. Gumam Dani dalam hatinya dengan mata masih melihat orang dihadapannya, namun yang dilihat hanya menunduk cuek.
"Eh ada Pak Dani, mau pulang Pak?" tanya Rina yang baru sampai di depan mereka dengan motornya.
"Ah... iya Bu," jawab Pak Dani dengan sedikit kikuk karena ketauan memandangi Misa.
"Ayuk Misa naik," perintah Rina yang langsung di turuti Misa menaiki jok belakang motor.
"Kami pulang duluan ya Pak, Assalamualaikum," ucap Rina sebelum melajukan motornya.
"Iya... walaikumsalam, hati-hati bu Misa, bu Rina."
Misa dan Rina hanya tersenyum, dan mulai melajukan motornya meninggalkan area parkir.
Di tengah perjalanan, mereka banyak berbincang tentang masalah selama mengajar, dan tentang murid-muridnya yang terkenal bandel juga dengan tips bagaimana mengatasi mereka.
Hingga tak terasa Rina menghentikan motornya di depan rumah minimalis warna abu cerah dan dengan pagar hitam yang tingginya setengah badan, di halaman rumah itu di penuhi dengan tanaman hunga anggrek bermacam warna sehingga menambah kesan indah rumah minimalis itu.
"Alhamdulillah udah sampe, ayuk Rin masuk dulu," tawar Misa sambil turun dari motor.
"Boleh nih mampir dulu," goda Rina pada Misa sambil tersenyum.
"Boleh dong, ayuk nanti di buatin teh hijau kesukaan kamu di dalam."
"Baiklah, kalau di tawarin teh hijau sih saya mau," balasnya dengan tersenyum.
"Yaudah saya parkirin motor dulu yah," sambungnya dengan mengarahkan motornya memasuki pekarangan rumah minimalis yang pagarnya sudah di buka lebar oleh Misa.
"Waah... anggreknya tambah lagi nih, waktu terakhir kesini belum lihat ada anggrek warnanya bercorak seperti ini," tanya Rina sambil meraba kelopak anggrek berwarna kemerahan yang ada corak putih dan orange nya.
"Ah, itu baru beli sih dari toko dekat panti," sahut Misa sambil berjalan ke arah pintu.
"Bagus banget ya pekarangan kamu Misa, adem dan tenang, ini yang membuat saya senang mampir ke rumahmu," ucap Rina sambil mendudukkan dirinya di kursi teras.
Misa hanya tersenyum menanggapinya.
"Yuk Rina masuk kedalam, saya buatkan teh nya dulu yah," ajak Misa dan membukakan pintu rumahnya lebar.
Namun yang di ajak masih enggan untuk berdiri karena rasa nyaman masih melingkupi dirinya, tak berselang lama Misa datang dengan dua gelas minuman yang satu minuman hangat dan yang satunya lagi dingin. Misa meletakkannya di atas meja.
"Kamu masih favorit aja yah sama jus ini padahal rasanya nggak enak banget," ucap Rina sambil menunjuk jus melon dihadapannya.
"Hehe, namanya juga lidah orang pasti berbeda beda Rina, contoh nya kamu dan saya, saya suka jus ini dan kamu suka sekali dengan teh hijau yang padahal menurut saya rasanya hambar," balas Misa dan tersenyum.
"Iya juga sih," jawab Rina cengengesan, dan tangannya mulai mengambil gelas minuman itu untuk menyesapnya.
"Hmm, teh hijau buatan kamu itu yang membuat saya ketagihan, meskipun kamu tidak menyukainya tapi rasanya bisa pas dan seenak ini, " jabar Rina setelah menyesap minumannya.
"Kamu memang pintar memuji yaa Rina, padahal saya belum pernah mencicipinya meskipun saya membuatnya, dan bisa saja apa yang kamu ucapkan itu hanya untuk menegur saya," ucap Misa ikut mengambil gelas jus dan meminumnya.
"Kamu memang selalu seperti itu, selalu merendah dan tidak mau mendengar kenyataan bahwa memang kamu pantas di puji Misa," balas Rina dengan tersenyum dan kembali menyesap teh hijau nya.
Misa lebih memilih diam meneguk jus nya. Rina melirik jam di pergelangan tangan dan waktu telah menunjukkan jam 4:00.
"Waduh." Mata nya sedikit melotot kaget saat melihat benda bulat yang menempel di pergelangan tangan.
"Kenapa Rin?" Heran Misa dengan alis tertaut.
"Ah, kayaknya udah sore nih Misa, saya pulang yah, lagian kamu kayaknya belum shalat juga ya," ucap Rina dan beranjak berdiri.
"Eh, iya sih belum shalat, kamu nggak shalat di sini aja Rina." Ikut beranjak berdiri.
"Nggak ah Mis, deket ini kok rumahnya palingan berapa menit juga nyampe rumah," balas Rina sambil berjalan kemotornya.
"Yaudah hati-hati ya Rina," ucap Misa sambil cipika-cipiki ala perempuan kalau mau pamit dan baru ketemu.
"Makasih ya teh nya, Assalamualaikum," pamit Rina dengan mengeluarkan motornya keluar pekarangan.
"Walaikumsalam. Iya Rina," balas Misa melambaikan sebelah tangan.
Setelah memastikan sahabatnya itu pergi, Misa mengambil nampan yang berisi gelas kosong, dan masuk kedalam rumahnya.
Dari balik pohon sebrang jalan, tampak seorang laki-laki dengan bawahan memakai celana abu SMA dan atasan putih yang di lapisi jaket hitam melekat di tubuhnya, manik matanya yang berwarna grey terfokus pada seorang gadis yang berdiri di depan rumahnya yang sedang tersenyum manis pada sahabatnya, ada senyuman kecil di bibir laki-laki tersebut. Setelah yang dilihatnya itu hilang dari pandangannya, ia pun berlalu meninggalkan tempat itu, gadis yang dilihatnya itu adalah Misa.
*****
Kriing....kriing....kriing.
Dering telepon rumah menghentikan lantunan ayat suci al-Qur'an yang di lantunkan Misa.
Misa berjalan ke arah meja nakas lalu mengangkat benda yang terus berdering itu.
"Assalamualaikum Paman," sapa Misa pada orang yang di sebrangnya.
"Walaikumsalam dek, paman ganggu adek nggak?" tanya laki-laki dari sebrang telepon ada nada ragu terselip dalam kalimatnya.
"Nggak Paman, ada apa Paman? Kenapa suara mu seperti sedang gusar?" tanya balik Misa dengan suara tenang.
"Hmm, adek bisakah nanti besok kamu ke perusahaan sebentar, ada hal penting yang ingin paman sampaikan mengenai perusahaan dan wasiat ayah mu," ucap laki-laki tersebut dengan sedikit kehati-hatian saat menyebutkan kata (wasiat ayah).
"Tapi besok pagi Misa ada kelas paman, gimana ya?" Bimbang Misa menggigit bibir bawahnya.
"Apa nggak bisa kamu izin setengah hari atau simpan tugas ke anak didik mu lewat sahabat mu itu?"
"Baiklah Paman, Misa besok ke kantor, tapi mungkin hanya sebentar saja. Misa nggak bisa ninggalin kewajiban Misa gitu aja."
"Iya adek cuman setengah hari, ya sudah paman tutup teleponnya ya, jaga diri baik-baik dek, Assalamualaikum," ucap Pamannya dan mengakhiri panggilan.
"Walaikumsalam," sahut Misa dan meletakkan kembali gagang telpon.
Misa berbalik dan kembali ke atas sejadahnya untuk melanjutkan bacaan al-Qur'an yang tadi sempat tertunda.
*****
Di rumah yang begitu megah bagaikan istana dengan pekarangan yang sangat luas, sangat indah jika di pandang dari luar. Namun, siapa yang tau jika keadaan di dalam rumah tersebut dalam keadaan kesedihan karena sang kepala pemilik rumah sedang dalam keadaan sakit keras.
"Ayah, cepatlah sembuh aku sangat menyayangi mu ayah, aku dan adik-adik membutuhkanmu," ucap pria dengan prawakan gagah dan wajah tampannya menambah kesempurnaan dirinya.
"Apakah kamu sudah tau permintaan ayah, ayah menginginkanmu mewujudkan permintaan ayah nak," tutur pria paruh baya yang sedang berbaring yang di panggil ayahnya itu dengan nada suara yang pelan nan serak.
"Iya ayah aku sudah tau, dan aku akan berusaha untuk mewujudkannya," jawab pria itu dengan nada tenang.
"Terimakasih Nak, kelak kamu akan tau, permintaan ayah ini baik untuk mu."
"Hmm." Pria yang di hadapannya hanya bergumam pelan dan menatap ayahnya dengan sayu.
*****
Pagi hari Misa sudah bersiap beraktivitas kembali dengan memakai celana bahan warna hitam, baju navy longgar hampir selutut dan kerudung hitamnya tercetak di wajah mungil yang menambah kecantikan wajahnya meskipun tanpa polesan make-up , Misa berjalan menuju kejalanan yang agak ramai untuk menunggu taxi yang lewat.
Semalam ia sudah menitipkan tugas untuk anak didiknya di kerjakan selama ia nggak hadir di sekolah lewat Rina, dan untungya Rina bersedia di bebankan olehnya meskipun ia banyak bertanya dengan alasan Misa yang izin setengah hari itu.
Misa merentangkan sebelah tangan untuk memberhentikan taxi yang akan melewatinya, dan sebuah taxi berhenti tepat di depannya, ia membuka pintu penumpang dan masuk ke dalam, taxi itu mulai melaju lambat.
"Pak ke perusahaan AG," perintah Misa pada pak supir yang duduk di kursi kemudi.
"Baik Neng," balas Pak Supir melirik kaca depan dan tersenyum.
Keheningan terasa di dalam mobil tersebut, pandangan Misa terus melihat keluar jendela mobil dan terlihat jelas ada yang dipikirkannya.
Ayah, wasiat apa sebenarnya yang ayah sampaikan ke paman untuk Misa, semoga wasiat ayah tidak menyangkut Misa untuk meneruskan perusahaan.
Mobil yang di tumpangi Misa masih melaju dengan kecepatan sedang, membelah jalanan kota yang sudah ramai dengan kendaraan lain.
Lampu jalan berubah merah dan mobil yang di tumpanginya berhenti. Misa melihat ke arah luar jendela sebelahnya, matanya sedikit memicing untuk memperjelas apa yang dilihatnya, seorang laki laki dengan celana abu SMA sedang duduk bersantai di bawah pohon yang rindang, terlihat laki laki tersebut sedang berkutat dengan buku dan pensil di pangkuannya dan earphone menempel di telinganya.
"Bukankah itu Egi, mengapa dia ada di tempat seperti ini, bukannya ke sekolah? Apakah ini tempat tongkrongannya yang selalu dia kunjungi?" gumam Misa pelan.
Lampu merah telah berubah jadi hijau yang menandakan harus melaju kembali mobil yang dinaikinya.
Tidak berselang lama, mobil yang di tumpanginya terhenti di depan gedung yang cukup tinggi, Misa membayar ongkos yang harus di bayar dan keluar dari dalam mobil, taxi yang di tumpanginya telah melaju kembali kejalanan namun Misa masih berdiri dan menatap gedung di hadapannya.
Ayah lihatlah perusahaan ayah sekarang sudah menjulang tinggi, sehingga Misa melihatnya harus mendongakkan kepala, Ayah tidak salah mempercayakan perusahaan ini pada Paman Reno.
Misa mulai melangkahkan kakinya kedalam gedung itu, para pegawai kantor yang berpapasan hanya acuh tak acuh memandang dirinya, karena memang semua pegawai di sini tidak ada yang tau bahwa dirinya adalah seorang ahli waris dari perusahaan tersebut. Langkah kaki Misa terhenti di depan meja resepsionis.
"Ada yang bisa saya bantu dek?" tanya wanita yang sepertinya sebaya dengannya.
Wanita itu memanggilnya dengan sebutan adek mungkin karena melihat tubuh mungil dan wajah imut Misa sehingga berpikir bahwa Misa masih remaja SMA.
"Bisa bertemu dengan Pak Reno?" ucap Misa dengan tenang.
"Apa adek sudah buat janji?" tanyanya.
"Sudah, saya Romisa keponakannya."
"Baiklah, sebentar ya dek saya tanya dulu pada Pak Reno nya," ucapnya dan mulai menelpon pada atasanya
Misa tersenyum dan mengangguk, ia kembali mengedarkan pandangannya ke sekitar gedung.
"Baik dek, sudah di tunggu di ruangannya, di lantai 27 ruangannya," ucap Resepsionis tersebut dan memberikan arahan ke Misa.
"Baiklah, terimakasih," ucap Misa dengan senyuman manis.
Misa berjalan memasuki lift dan menekan tombol angka no. 27, lift itu bergerak perlahan naik membawa Misa ke lantai yang di tujunya.
Ting... suara pintu lift terbuka menandakan Misa telah sampai di lantai 27, sebuah lorong kecil di lantai itu, di ujung lorong terdapat sebuah meja kerja dan seorang perempuan cantik sedang berkutat dengan komputernya.
Misa menghampiri meja tersebut yang langsung di sambut dengan senyuman ramah oleh wanita tersebut dan mempersilahkannya untuk langsung masuk keruangan yang katanya Paman Reno telah menunggu nya.
Misa membuka pintu ruangan tersebut, terlihat pamannya sedang duduk di kursi kerja, dan ketika melihat Misa memasuki ruangannya, Paman Reno berdiri dan tersenyum ceria melihat anak dari almarhum majikannya ini tumbuh dengan sangat baik.
Memang setelah kejadian sang bunda meninggalkan dunia, Paman Reno jarang bertemu dengannya hanya dapat di hitung jari pertemuannya dengan Misa, dan ini pertama kali nya juga Misa menginjakkan kaki di perusahaan ayahnya.
BERSAMBUNG...
"Assalamualaikum," ucap salam Misa sambil mendorong pintu ruangan di depannya.
Terlihat Pamannya sedang duduk di kursi kerja.
"Walaikumsalam adek," balasnya dengan senyum tulus.
"Adek naik apa kesini? Kenapa tidak minta di jemput sama supir Paman?" tanya Reno sambil berjalan menghampiri Misa yang masih berdiri di ambang pintu.
"Naik taxi Paman."
"Duduklah dek, kenapa canggung seperti itu? Ini kan di perusahaan adek sendiri jangan canggung seperti itu," mempersilahkan Misa duduk di sofa.
"Paman, ada kepentingan apa meminta Misa datang langsung ke perusahaan? Biasanya kan kalau menyangkut perusahaan, suka langsung datang ke tempat Misa," tanya Misa, setelah dirinya duduk di sofa dan kini Paman Reno duduk di sofa sebrangnya.
"Gini adek, karena umur mu sudah memasuki kepala 2, paman akan memberikan surat wasiat ayah mu yang tersimpan selama ini, dan menurut paman ini adalah waktu yang tepat," tutur Paman Reno menjelaskan maksud mengundangnya.
"Benarkah Ayah menyimpan surat wasiat untuk Misa?" tanya Misa antusias yang di balas anggukkan kepala.
"Jika hanya tentang surat wasiat ayah, kenapa Paman sampai menyuruh Misa kemari?" tanya Misa meminta kejelasan.
"Kamu akan tau dek, adek sudah tau kan tulisan tangan ayah, untuk memastikan ini surat wasiat asli atau palsu nya," ucap Paman Reno memastikan.
"Misa tau Paman, karena Misa yang selalu membolak balikkan buku harian ayah."
"Baiklah," Paman Reno beranjak dari duduknya dan berjalan mengambil sesuatu dari brankas yang terkunci menggunakan pin.
"Inilah surat wasiat ayah mu dek yang sebelum meninggal menitipkannya pada Paman." Menyodorkan amplop panjang berwarna cokelat ke hadapan Misa.
Dengan kehati-hatian Misa meraih amplop dihadapannya.
"Apa Misa harus membacanya sekarang, Paman?" tanya Misa, ada nada sendu di setiap kata yang di tanyakannya.
Paman Reno hanya mengangguk mengiyakan, lalu Misa mulai membuka amplop tersebut dan membaca surat yang terselip di dalamnya.
Assalamualaikum,
Romisa Arya Putri Wiguna, putri ayah yang sangat ayah sayangi.
Maafkan ayah sayang, yang tidak bisa mendampingi hidupmu, maafkan ayah nak.
Ayah tidak bisa menjaga mu dan mendidik mu seperti orang tua semestinya.
Tapi ayah yakin putri ayah kelak akan menjadi putri yang solehah dan cantik seperti bundanya.
Romisa sayang, ayah selalu berharap semoga putri ayah akan selalu tersenyum bahagia dan menjadi wanita bidadarinya surga seperti bunda mu naak.
Romisa, maafkan ayah, ayah harus menyampaikan berita ini.
Maafkan ayah jika ayah ini egois dan tidak memikirkan perasaan mu sayang, tapi ayah sudah terlanjur membuat perjanjian terhadap sahabat ayah, untuk menyatukan mu dengan anak laki-lakinya, sekali lagi maafkan ayah nak dengan perjanjian ini, ayah hanya tidak ingin menjadi pengingkar janji, jika ayah sudah tiada namun orang yang melakukan perjanjian itu masih mengingatnya, untuk itu, jika ada seorang laki-laki yang bermarga belakang PUTRA dan menagih janji itu, dialah nak sahabat ayah.
Nak, keputusan ada di tanganmu, ayah hanya menyampaikan soal perjanjian yang terucap waktu kamu masih berumur 1.5 tahun, dan ayah hanya takut sahabat ayah masih menganggap serius perjanjian itu dan datang kepada mu, jadi ayah menyampaikan yang sesungguhnya.
Ingat, romisa sayang, jangan merasa terbebani dengan berita ini, ayah hanya menyampaikan yang mesti kamu tau, keputusan ada di tanganmu nak.
Dan Romisa putri ayah, jalankanlah perusahaan ayah jika kamu sudah siap, karena semua saham yang tertanam di perusahaan, ayah memberikannya atas nama dirimu nak, karena putri ayah hanya kamu seorang, jadi jalankanlah dengan bijak perusahaan itu, tapi jika kamu mempunyai sifat sama seperti bunda mu yang tidak suka dengan jabatan seperti itu peganglah perusahaan ayah di tangan kepercayaan ayah juga kamu nak.
Romisa sayang, jaga dirimu baik baik dan selalu menjalankan kewajibanmu yaa nak, meskipun keluarga kita tidak kental dengan pengetahuan agama, namun kewajiban dan perintah-Nya harus kamu jalankan selalu, karena itu adalah kebahagianmu di dunia juga akhirat kelak.
Wasalamualaikum.
Dari ayahmu (Arya wiguna).
Tak mampu menahan rasa sedih, rindu, sakit berkecamuk dalam hati dan pikirannya, air matanya terus turun dengan derasnya, mengingat bagaimana ayahnya menulis surat ini yang seakan akan sudah tau akan ajalnya.
Memang Misa tau penyebab kematian ayahnya karena sakit jantung. Dia meninggal ketika Misa masih berusia 3 tahun dan 2 tahun setelahnya sang bunda menyusul, meninggalkan kembali Misa karena di tusuk oleh segerombolan preman ketika menjambret tas miliknya, dan keadaan itu membuat Romisa kecil selalu trauma mengingat kejadian dimana bundanya di jambret dan di tusuk di bagian perut dan dadanya.
Melihat Romisa menangis tersedu sedu dengan napas mulai tersengal, Paman Reno panik dan langsung mengambil air putih menyodorkannya ke depan Romisa agar di minum, tak lupa juga mengusap usap lembut puncuk kepala gadis mungil itu karena dengan begini dia akan kembali tenang.
"Adek tidak apa-apa kan? Apa ada yang sakit?" tanya Paman Reno dengan nada khawatir.
"Mi..sa tidak apa-apa, Pa...man," jawab Misa terbata karena napasnya masih sedikit tersengal, lalu ia mengambil tisu yang di atas meja.
Jawaban Misa membuat paman Reno menjadi semakin panik.
"Maafkan Paman dek, karena Paman membuatmu mengingat kembali kejadian itu," ucap Paman Reno merasa bersalah.
"Paman tidak perlu minta maaf, ini sudah takdir Misa dari tuhan, karena memang jodoh, rezeki dan maut sudah Tuhan rencanakan untuk setiap hamba-Nya," tutur Misa dengan nada suara serak karena habis menangis.
"Iya Dek Paman paham, namun setiap takdir itu ada yang duka dan suka, dan takdir duka inilah yang kadang membuat kita sulit menerimanya dan butuh waktu lama untuk mengobatinya dan terkadang tidak ada obatnya," balas Paman Reno dan menatap sendu.
Misa hanya membalasnya dengan senyuman dan terdiam.
Benar kata Paman, takdir duka ini sulit obatnya, seperti aku yang sulit mengobati luka yang menganga ini setiap terlintas gambaran bunda berlumuran darah.
Melihat Misa terdiam dan termenung, Paman Reno berdehem untuk membuyarkan lamunan Misa.
"Bagaimana dek, adek sudah tau maksud dari surat wasiat itu?" tanya Paman Reno yang mulai tenang.
"Iya Paman, siapakah sahabatnya Ayah yang berlatar belakang nama putra ini?" Menatap Pamannya dengan serius.
"Keluarga besar Putra, dan tuan besar Putra masih ingat dengan perjanjian yang di ucapkan bersama oleh ayah mu?"
"Benarkah!" Dengan nada sedikit meninggi.
"Benar, karena sewaktu kemarin paman kedatangan utusan dari keluarga tersebut untuk menagih janji itu, dan sebenarnya ada sedikit masalah juga mengenai perusahaan," tutur Paman Reno.
"Masalah? Apa itu paman?" Alis Misa berkerut menatap menyelidik.
"Masalah penurunan saham hingga bisa di katakan krisis, tapi keluarga putra yang sebagai pemilik perusahaan terbesar akan membantu masalah krisis ini, karena pikir tuan besar Putra mereka akan menjadi satu keluarga." Paman Reno menatap gelisah takut Misa tersinggung.
"Tapi paman tidak mengatakan bahwa adek sudah setuju mengenai perjodohan ini, jadi adek masih bisa menolak jika memang tidak cocok di hati adek, jangan merasa terbebani hanya masalah perusahaan yang sedang mengalami krisis dek, jadi pikirkan baik-baik dulu." Sambungnya.
Sebenarnya aku sih nggak mau kalau di jodohin seperti ini, tapi kalo perusahaan ayah sedang dalam masa krisis, apa aku akan seegois itu membiarkan perusahaan yang sudah ayah bangun dari nol ini jatuh begitu aja.
"Paman apakah tidak ada cara lain, selain kerja sama dengan perusahaan Putra?" tanya Misa.
"Masih ada namun mungkin butuh waktu lama untuk pulih nya." Ucap Paman Reno menatap teduh.
Sejenak Misa menghela napas panjang. Merenungkan beberapa detik untuk keputusan yang akan di pilihnya. "Jika begitu, baiklah Paman, Misa terima perjodohan ini," jawab Misa dengan mantap.
"Kamu yakin dek?" tanyanya meyakinkan.
Misa mengangguk dan menghembus napas kasar.
"Tidak mempertimbangkan lagi?" Tanya Paman Reno memastikan.
Misa menggelengkan kepala. "Misa yakin pilihan Ayah tidak akan salah."
Beberapa detik kedua nya terdiam saling terpaku. "Baiklah jika itu keputusan mu dek," Paman Reno berkata di iringi helaan napas pelan. Kemudian ia berdiri dari duduknya.
"Dek, mau makan apa? Paman akan menyuruh Sekertaris untuk memesankannya," tanya Paman Reno yang sudah akan berjalan ke arah meja kerja.
"Tidak perlu Paman, Misa akan ke sekolah, nanti bisa di sekolah aja sekalian makannya."
"Yasudah, hati-hati dek, mau di antar supir," tawarnya lagi.
"Tidak perlu juga Paman, Misa bisa naik taxi saja, takutnya Misa akan ketauan," jawab Misa, dan berdiri akan pamit.
Paman Reno yang mengerti maksudnya, mengiyakan keinginan Misa.
"Baiklah, jaga dirimu dek, dan hati-hati di jalan," menghampiri Misa dan mengusap lembut puncuk kepalanya.
"Misa pamit ya Paman, Assalamualaikum," berlalu dan meninggalkan ruangan tersebut.
"Walaikumsalam dek," balasnya.
Adek Romisa semoga ini baik untuk diri mu dan masa depan mu, karena pilihan tuan Arya tidak akan salah.
*****
Misa berjalan keluar dari gedung itu, dan memasuki taxi yang sudah ada di depannya.
"Pak SMA Pelita ya," ucapnya pada supir.
"Baik, dek."
Mobil pun melaju kembali dengan kecepatan sedang membelah jalanan, Misa masih termenung dengan keputusannya itu.
Di tengah kegundahan pikirannya Misa teringat dengan murid laki-laki yang bernama Egi, dan melihat keluar jendela yang kebetulan sedang melewati tempat tadi. "Sepertinya dia sudah ke sekolah," gumamnya pelan karena tidak menemukan sosok itu di tempat semula.
Mobil yang di tumpangi Misa pun berhenti di tempat tujuannya, Misa membayar ongkosnya dan keluar dari taxi.
Misa memasuki pelataran sekolah dan melangkah menuju kantor guru.
Udah pergantian jam keberapa ya, kenapa masih pada belajar di kelas, pikir Misa sambil melihat jam yang melekat di pergelangan tangannya.
"Bu Misa," panggil seseorang dari belakang.
Misa menghentikan langkahnya dan menoleh, tampak pak dani menghampiri ke arahnya.
"Tumben bu Misa baru dateng, bukannya ada kelas pagi tadi?" tanya Pak Dani yang sudah ada dihadapannya.
"Iya Pak, tadi sudah titip tugas juga pada Bu Rina untuk murid sebelum izin," jawab Misa dengan tenang.
"Oh gitu, ada apa? tumben bu Misa izin," tanyanya.
"Hanya sedikit masalah saja Pak," dengan senyum ramah.
"Yasudah saya kembali ke kantor ya Pak," pamit Misa hendak melangkah kembali.
"Bu Misa tidak apa apa kan?" Pak Dani kembali bertanya mengurungkan niat Misa untuk melangkah.
"Saya tidak apa-apa Pak, saya permisi, Assalamualaikum," jawab Misa tersenyum dan akhirnya melangkahkan kakinya kembali.
"Walaikumsalam," jawab Pak Dani dengan masih berdiri dan memperhatikan Misa yang mulai menjauh darinya.
Sepertinya dia habis menangis? Ada apa sebenarnya? Semoga dia baik baik saja.
Langkah kaki Misa terhenti ketika dirinya sudah sampai di depan meja, ia melihat Rina tampak sibuk dengan buku latihan para murid di meja samping.
"Assalamualikun Rina."
Mendengar sapaan dari sahabatnya, Rina menghentikan kegiatannya dan menoleh ke arah suara. "Walaikumsalam, eh Misa, sudah selesai urusannya?"
"Alhamdulillah, makasih loh Rina atas bantuannya," ucap Misa dan duduk di kursi.
"Yailah Misa kayak sama siapa aja kamu ini, gak usah pake makasih segala kali," balas Rina di selingi tawa kecil.
"Iya Rina, kamu juga kalau ada perlu apa-apa langsung saja minta bantuan ke saya, jangan sungkan."
"Tenang saja Mis, ke kamu mah saya nggak bakalan sungkan lagi... hehe," godanya.
Teng...teng...
Bunyi bell menandakan waktunya istirahat.
"Mis, kantin yuk. Laper nih dari tadi periksa terus buku yang isinya bahasa asing semua, jadi tenaga ku kekuras nih," ajak Rina dengan nada manja.
"Hehe, ayuk kebetulan perutku juga laper nih belum di isi dari pagi," Misa tersenyum melihat sikap sahabatnya ini dan mengiyakan ajakannya.
Mereka pun beranjak menuju kantin untuk mengobati rasa lapar di perutnya.
BERSAMBUNG...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!