Bahkan dalam badai hujan dan petir yang menyala-nyala di luar panti asuhan aku masih bisa mendengar tangisan Lori yang melengking berderu bersahut-sahutan dengan bunyi petir, suaranya terdengar mengkhawatirkan. Tangisan Lori menggema di sepanjang lorong, jadi aku dengan mudah bisa menemukannya di lantai dua di dekat tikungan lorong. Lori berdiri di depan pintu kamar mandi, dia menggigil memeluk tubuhnya sendiri sambil terus menangis aku bergegas menutup mulutnya dengan tanganku dan memintanya untuk segera diam atau para pengasuh akan bangun dan kita akan dalam masalah. Nyonya Marta paling tidak suka jika ada anak tidak tahu diri yang mengganggu tidurnya, jika kau pernah melihatnya terbangun tengah malam, dengan mata merah melotot, rambut mencuat acak-acakan seperti penyihir dan rahang yang mengeras karena kesal, kau akan segera mengerti mengapa kami tidak boleh membangunkannya. Wajah murka Nyonya Marta yang menyeramkan bisa membuat anak nakal manapun akan kencing di celana.
Lori baru berumur tujuh tahun dan kejadian ini membuat tubuh kecilnya terguncang, dia terlihat sangat ketakutan. hanya anak-anak tidak punya otak yang tega mengganggu dan menakuti anak sekecil Lori di tengah malam seperti ini, dan aku tahu siapa para berandalan itu. Pika dan teman-teman sudah mengincar Lori sejak tadi pagi, itu karena kotak kardus yang dibawa Lori bersamanya.
Aku melepas jaketku dan memakaikannya pada Lori, aku menarik resleting jaket agar dia merasa hangat, aku mengusap pipinya yang basah karena air mata, merapikan rambut poninya.
Aku mencoba untuk menenangkan Lori.
"Apa kau baik-baik saja?" tanyaku.
Lori mengangguk kecil, air matanya masih mengalir dari sudut matanya.
"Apa mereka melukaimu?" aku bertanya lagi.
Lori menggeleng dan sambil menahan air mata dia bergumam pelan, "Mereka membawanya, aku melihatnya aku bersumpah, aku ingin menghentikannya tapi mereka mengatakan kalau aku tidak pergi mereka akan mengunciku di dalam loteng. Kak Sia aku tidak ingin dikunci dalam loteng, di sana itu gelap dan ada hantunya."
"Kau aman sekarang, tidak ada yang akan membawamu ke sana aku berjanji," kataku.
Lori tampak bingung dan takut.
Aku menatap Lori berusaha untuk meyakinkannya bahwa tidak akan ada yang menyakitinya.
Aku berkata, "Kau tahu mereka ada di mana?"
Lori tampak ragu-ragu, sepertinya dia takut sesuatu yang buruk akan menimpanya jika dia banyak bicara, jadi aku menggosok kedua lengan kurusnya.
"Tidak akan ada yang tahu kalau kita bertemu di sini," kataku bersungguh-sungguh, "kita harus menyelamatkan Mike kan?"
Lori berseru, "Apa mereka akan membunuhnya?"
Lori tampak akan meraung lagi jadi aku menekan kedua pipinya dengan telapak tanganku.
"Tidak, kurasa mereka tidak akan berani melukai Mike tapi, kita harus cepat-cepat menemukannya. Pika itu kadang-kadang suka jadi gila dan di luar sedang ada badai hujan, kau harus memberitahuku mereka ada di mana?" kataku.
Lori tampak akan terdiam sangat lama lalu kemudian pelan-pelan dia mengangkat tangan kanannya menunjuk ke arah tangga di lantai tiga.
Di lantai tiga, di ujung lorong ada sebuah gudang tak terpakai, Pika dan teman berandalan nya pasti ada di sana.
Aku berkata, "Sekarang kembalilah ke ranjangmu, jangan sampai Nyonya Marta melihatmu keluar tengah malam."
Lori bertanya, "Apa kau akan menghajar mereka?"
"Kurasa aku akan menjambak rambutnya, bagaimana menurutmu?" kataku.
Mendengarnya Lori tidak bisa menahan senyum kecilnya yang manis.
"Aku butuh bantuanmu, apapun yang terjadi malam ini, besok pura-pura lah untuk tidak tahu apapun, apa kau bisa melakukannya?" aku meminta.
Lori akhirnya mengangguk dan aku mencium keningnya. Lori pergi sambil sesekali melihat ke belakang memastikan bahwa aku masih berdiri menatapnya. Aku menunggu hingga Lori pergi menghilang di balik tembok lorong lalu aku bergegas menaiki tangga ke lantai tiga menuju gudang. Aku mengepalkan tanganku, ada urusan yang harus diselesaikan dan aku akan memastikan kalau kawanan berandalan menyebalkan itu akan mendapatkan balasan setimpal dari perbuatannya, beraninya mereka membawa Mike, menakuti Lori dan mengganggu tidurku.
Aku membuka pintu gudang dan menemukan Pika, Bona, Mia, sedang menunduk mengaduk-aduk isi kotak kardus, mereka tampak seperti anjing yang mencari sisa makanan di tempat sampah.
Saat Pika menyadari aku sedang melihat mereka, Pika berdiri dengan cepat. Bahu Pika menegang, wajahnya campuran kaget dan malu. Bona dan Mia serempak mengikuti bos mereka menunjukkan muka pencuri yang tertangkap basah.
"Ck ... Ck ...," kataku.
Aku berjalan masuk dan menutup pintu di belakangku.
"Lihat siapa yang mengendap-endap di dalam gudang dan mencuri," seruku.
"Kami tidak mencuri," kata Pika, angkuh seperti biasanya.
"Oh ya," kataku.
Lalu, aku menunjuk leher Bona yang terkesiap dan berseru, " lalu apa yang ada di leher temanmu itu, seingat aku dia tidak pernah punya kalung seperti itu."
Seketika wajah bulat Bona memerah, membengkak seolah balon yang akan meledak. Bona cepat-cepat melepas kalung manik-manik di lehernya dan melemparnya kembali ke dalam kotak di dekat kakinya.
"Aku tidak ... aku hanya meminjamnya sebentar, mencobanya di leherku, aku tidak berniat mengambilnya," kata Bona tergagap.
Mia mencoba menyembunyikan kaca rias kecil di tangannya ke balik punggung dan tersenyum kaku seolah, aku tidak bisa melihat perbuatan buruknya.
"Sepertinya kalian lupa dengan sembilan peraturan utama," kataku.
Aku mengingatkan Pika, dan gerombolan berandalan itu kalau-kalau mereka lupa betapa pentingnya sembilan peraturan utama dan tidak ada siapapun yang boleh melanggarnya kecuali mereka ingin berakhir mengenaskan.
Sembilan peraturan utama dibuat bahkan sebelum Nyonya Marta mendirikan panti asuhan ini, peraturan pertama dan yang paling utama dari sembilan peraturan utama adalah tidak boleh mengolok-olok atau bicara jelek tentang nyonya Marta baik di depannya ataupun di belakangnya. Yang kedua: tidak boleh bahkan dalam pikiranmu untuk mencuri, tidak ada ampun bagi pencuri.
Mia yang paling penakut bergetar ketakutan, aku ingin menakuti mereka lagi tapi aku segera teringat pada Mike, kucing milik Lori.
Mike tidak bersama gerombolan berandalan itu dan itu membuatku khawatir.
"Ini semua tidak dipakai lagi, mereka tidak memerlukannya lagi, tidak akan ada yang mencarinya," kata Pika.
Pika mencari alasan mencoba membela diri tapi aku tidak terlalu peduli lagi padanya.
Aku menunduk untuk melihat di antara tumpukan kursi kayu, meja dan di sela lemari, tapi tak melihat Mike ada di sana.
"Bukan karena tidak dipakai lalu bisa menjadi milikmu, mencuri tetaplah mencuri, jika nyonya Marta tahu kalian akan berakhir di tiang gantungan," kataku.
Aku memutar badan melihat sekeliling gudang.
Aku mencari di antara tumpukan kardus dan kasur bekas dan tidak menemukan Mike, dia tidak ada ada di sana, karena jika dia ada di dalam gudang ini, kucing itu pasti akan meloncat keluar dari persembunyiannya dan menghampiriku.
Bona sepertinya memperhatikanku mencari sesuatu dan menebak dengan menggunakan isi kepalanya yang kosong.
"Kau bisa mengambil juga, kami tidak akan memberitahu siapapun," kata Bona, "ada banyak barang bagus di sini, asal …."
Aku menghela nafas dan menatap Pika.
"Dimana kalian menyembunyikannya?" tanyaku.
"Apa?" kata Pika.
Pika memutar ujung rambutnya yang bergelombang, bertingkah seperti dia cantik saja.
"Jangan pura-pura, aku tahu kalau kalian membawa Mike," kataku.
Pika memasang wajah bodoh.
"He, siapa?" seru Pika.
Aku menegakkan bahuku dan berkata, "Kucing hitam yang kalian ambil dari Lori, itu kucing kami."
Pika menatap langit-langit dan berkata, "Kucing apa itu aku belum pernah melihatnya."
Mia membuka mulut dan mengatakan sesuatu tanpa bersuara tapi aku tahu artinya : 'kucing itu'.
Pika segera memelototi Mia hingga dia kembali menutup bibirnya rapat-rapat.
"Tidak ... tidak ... kami tidak membawanya, kau bisa mencari di tempat lain dia tidak ada di sini," jawab Pika.
Tapi, aku bisa melihat kalau Pika berbohong.
Ini mungkin sudah lewat jam satu malam, hujan belum berhenti turun, petir menyambar seperti hujan bom yang jatuh dari langit. Aku mengantuk, lelah, terlebih aku mengkhawatirkan Mike, aku harus membuat Pika membuka mulut dan menemukan Mike segera.
Aku berkata, "Aku tahu kalian yang membawanya, apa yang sudah kalian lakukan pada Mike?"
Aku menatap Pika dengan tajam. Aku memberi Pika pesan dengan sorot mataku bahwa aku tidak akan mengulangi pertanyaanku lagi bahwa dia harus menjawabnya sekarang sebelum aku melakukan sesuatu yang buruk pada rambut gelombang kesayangannya yang menyebalkan.
"Oh, Maksudmu kucing hitam kecil jelek dan bau itu," seru Pika.
Pika akhirnya mengaku, tapi caranya meledek Mike membuatku tambah kesal.
Mia menunjukkan wajah jijik dan berkata, "Kucing dekil itu terlihat seperti baru saja keluar dari dalam kubangan di kuburan."
Kami memang menemukan Mike di pemakaman tak jauh dari halaman belakang panti asuhan tiga hari yang lalu, tapi dia tidak dekil dan bau, kami membersihkannya dan merawatnya dengan baik. Bagiku dan Lori, Mike sudah seperti keluarga baru dan tidak ada yang boleh mengganggu keluargaku. Lagipula Mike jelas lebih baik dari Mia yang tidak punya otak, dia juga lebih bersih dari Bona yang suka makan permen di malam hari dan tidak menggosok gigi lagi hingga membuat giginya kuning dan berlubang.
"Jika kalian berani menyakiti kucingku," aku mengancam.
Pika memasang gerakan ingin muntah lalu dia berseru, "Aku bahkan tidak sudi menyentuh kucing jelek itu, kucing itu mungkin membawa kutu dan sebangsanya, itu sangat menjijikkan!"
Aku mengeram.
"Berhenti menjelekkan Mike atau kau akan menyesal."
Pika selalu bertingkah seolah dia lebih baik seolah dia punya hak mengejek siapapun.
Aku geram dan sudah mengepalkan tinjuku tapi aku mencoba bersabar sebentar lagi dan memberi Pika kesempatan sekali lagi.
"Baiklah, beritahu aku di mana kalian menyimpan Mike?" tanyaku.
Sepertinya Pika ingin mempertahankan sedikit harga dirinya di depan dua anak buahnya, dia berkacak pinggang dan mencondongkan tubuhnya ke arahku dan bicara dengan congkak.
Pike berseru, "Menurutmu aku akan memberitahumu? dasar kau anak burung bangau!"
Dan itu adalah sebuah kesalahan fatal, tidak ada yang boleh meledekku sebagai anak burung bangau, kesabaranku hilang, amarahku yang sudah di ubun-ubun akhirnya meledak.
Tepat saat kilat menyambar aku berlari melompat ke atas kursi lalu menerjang Pika hingga dia terjatuh. Aku menindih Pika dengan tubuhku, aku menekankan tangan kiri ku ke bahunya, menunjukkan kepalan tangan kananku ke wajahnya dan mengancamnya sambil menggertakkan gigi depanku.
"Katakan sekarang atau aku akan memukulmu?" kataku.
Pika mengerang lalu dia tiba-tiba mulai menyerang balik. Pika menjerit histeris lalu mencakar pipiku dan mencoba menjambak aku.
Aku bertahan sekuat tenaga, menahan pukulan ku agar tidak meninju wajahnya. Aku sepuluh tahun dan Pika lebih tua dua tahun dariku tapi aku tidak akan kalah dari anak manja ini. Pika berteriak seperti kehilangan akal sehatnya aku membalas teriakannya. Pika berhasil meraih ujung rambutku dan menariknya sangat kencang hingga aku terseret ke lantai, aku melepaskan kepalan tanganku dan balas menarik rambutnya. Aku dan Pika bergulung-gulung di lantai, perkelahian kami menjadi tak terkendali, kepalaku terbentur kaki kursi, lalu membentur sesuatu yang sekeras batu, tapi aku tidak peduli, selama aku masih bisa menyerang gadis menyebalkan itu aku tidak akan mengalah.
Aku mendengar, Bona memekik dengan suara tertahan.
"Apa kalian sudah gila? Berhenti bertengkar, berhenti berteriak! Nyonya Marta bisa terbangun, kita semua bisa dicambuk!" pekik Bona.
Untuk sesaat aku tidak peduli dengan Nyonya Marta, aku tidak peduli dengan sembilan peraturan utama: no 5 jangan berkelahi atau kalian akan merasakan akibatnya.
Saat sibuk menjambak rambut Pika, aku mendengar Mia bersuara.
"Dia ada di sana, kucingmu ada di sana, kumohon berhentilah," seru Mia.
Mendengar pengakuan Mia, aku berhenti menjambak dan mendongak pada Mia.
Aku mengabaikan Pika yang terus menjerit dan berusaha menendangku, aku melihat Mia melirik ke seberang ruangan, aku menoleh pada jendela yang berguncang karena diterpa angin dan hujan.
"Kalian membiarkan kucing kecil itu di luar sana saat badai hujan!" teriakku.
"Dia mencoba mengigit kami jadi kami meletakkannya di sana, " kata Mia tergagap.
"Pergi dari sini atau aku akan membuat hidungmu berdarah!" bentakku.
Mia menatapku seolah aku orang gila yang sedang mengamuk lalu dia berlari keluar, Bona tergopoh-gopoh menyusulnya.
Aku melepaskan cengkraman tanganku di bahu Pika. Pika duduk di lantai terengah-engah memegangi lengannya yang sakit, dia mengancam akan membalas suatu hari nanti, dia mengatakan bahwa ini belum selesai kemudian dia berdiri dan menyeret kakinya pergi menyusul dua temannya yang lain.
Aku meludah di lantai, gusiku berdarah, merasakan lenganku ngilu dan pipiku perih, Pika mencakar wajahku dengan kukunya yang panjang seperti kucing liar.
Aku segera bangun dan menyebrangi ruangan gudang. Saat membuka pintu jendela, angin kencang menyentak ku hingga aku terdorong ke belakang, badainya sangat buruk.
Aku tidak menemukan Mike di balkon tentu saja dia tidak mungkin berdiri diam di balkon di tengah badai hujan seperti ini. Kucing penakut itu pasti pergi ke suatu tempat untuk berteduh, tapi dimana? Hujan deras yang masuk ke balkon membuatku segera basah kuyup. Aku berjalan hingga ke pinggiran pagar dan menoleh ke bawah saat cahaya kilat menyambar-nyambar aku bisa melihat ke halaman samping yang penuh dengan semak, aku bersyukur karena tidak mendapati Mike tergeletak di halaman, jatuh dari lantai dua bisa membuat kakinya patah. Aku menunduk dan memanggil Mike dan tidak mendapatkan jawaban.
Jika Mike tidak jatuh ke halaman berarti dia di atas atap, kegilaan apa yang membuatnya berada di atas sana! Aku menyandarkan bahuku di pagar dan mendongak untuk melihat ke atas ke pinggiran atap tapi hujan menerpa wajahku hingga aku tidak bisa melihat apapun.
Lalu, aku mendengar suara kecil di dalam bunyi berisik hujan, aku memanggil Mike dan hanya mendapatkan jawaban dari bunyi petir. Aku memanggil lagi dan lagi tapi suara kecil itu tidak muncul lagi hingga aku merasa aku mungkin saja salah mendengarnya, suara kecil itu mungkin hanya suara besi yang terkena hujan.
Ketika aku hendak menunduk untuk mencari lagi di halaman, kepala mungil Mike muncul di bibir atap. Mike tampak seperti bola hitam kecil, bulunya lembek karena kehujanan, tubuhnya menggigil gemetaran.
Mike mengeong ketakutan dan tampak menyedihkan, entah sudah berapa lama dia ada di sana.
"Oh kau ada di sana, bagaimana caramu naik ke sana?" kataku.
Mike mengeong, dia mencoba untuk berdiri lebih ke pinggir atap.
Aku merentangkan kedua tanganku dan berkata, "Tidak apa-apa aku akan menangkap mu, Mike, ayo loncat ke sini."
Mike terdiam, dia tampak ragu-ragu, aku mencoba meyakinkan nya.
"Jangan takut Mike, ini aku! tidak akan ada yang menyakitimu lagi, loncat ke sini, di atas sana berbahaya," kataku.
Mike tak bergerak, aku terpaksa berbohong.
Aku berseru, "Kau pasti lapar, aku punya segelas susu hangat untukmu tapi kau harus turun dari sana."
Demi mendengar segelas susu hangat, Mike yang kelaparan akhirnya bergerak turun tapi kaki kurusnya yang gemetaran dan hujan dan genteng yang licin membuatnya hampir terpeleset jatuh. Hampir jatuh membuat nyali Mike langsung ciut, dia kembali ke belakang hingga aku tak bisa melihatnya lagi. Entah bagaimana caranya ya, Mike si kucing penakut itu bisa naik ke atas atap tapi dia terlalu penakut untuk turun.
Aku memanggil Mike tapi suaranya malah makin menjauh, tak ada jalan lain aku harus memanjat naik ke atas.
Lori pasti menangis ketakutan jika dia ada di sini dan melihatku melepas sandal tidur dan memanjat ke atas pagar balkon. Aku meniti pagar hingga ke ujung balkon.
Berdiri di atas pagar adalah sebuah kebodohan tapi melompat mencoba meraih talangan air di atap adalah sebuah kegilaan.
Aku sudah meloncat setinggi mungkin tapi talangan itu masih terlalu tinggi hingga aku gagal meraihnya dan hampir terjatuh ke bawah. Jika saja aku tidak sempat berpegangan pada pagar aku pasti sudah terjatuh ke halaman.
Sambil bergelantungan di pagar aku menggeser tubuhku ke samping hingga ke dekat tembok dan meraih pipa air yang ada di dinding di samping balkon, pipanya licin hingga aku tergelincir dan melorot berkali-kali. Aku mencengkeram pipa itu kuat-kuat dan perlahan memanjat hingga ke atas. Aku berayun seperti monyet melompat meraih talangan air yang berada satu meter di samping pipa. Dari talangan air, aku menaikkan tubuhku ke atas atap.
Berjalan di atas atap saat badai hujan seperti berjalan di lereng curam yang licin. Dengan air yang mengalir deras di bawah kaki, aku bisa terpeleset kapan saja. Tapi, aku lebih mengkhawatirkan petir nya, mereka menyambar-nyambar dan tampak sangat dekat, seolah mereka berusaha membidik ku dari langit hanya saja belum berhasil, belum!
Aku tidak boleh berlama-lama di atas sini atau petir itu pada akhirnya akan berhasil menggosongkan kepalaku.
Aku melihat sekeliling dan menemukan Mike sedang mematung di bagian ujung barat puncak atap, bagus!
Aku naik ke puncak atap dan merentangkan kedua tanganku lebar-lebar lalu berjalan meniti puncak atap seperti pemain sirkus.
Mike menoleh ke arahku dan aku meneriakinya, "Tetap di sana Mike, jangan bergerak, jangan membuat ini jadi semakin sulit, aku akan ke sana!"
Mike berdiri membeku menungguku, dia terus mengeong seakan dia ingin mengatakan sesuatu. Aku berjalan meniti hingga ke ujung atap di bagian barat. Aku menunduk mengambil Mike, dari atas tempatku berdiri aku bisa melihat area bermain yang sudah rusak, pohon beringin tua tempat anak-anak bermain ayunan, pagar reyot yang membatasi pemakaman. Melihat ke bawah membuat kepalaku terasa berat, dari ketinggian ini jika terjatuh aku bisa celaka, leher dan kakiku bisa patah, aku memeluk Mike di dadaku dan berbalik untuk pulang.
Sambil meniti jalan, aku mengatakan pada Mike bahwa dia aman sekarang, bahwa aku dan Lori menyayanginya lalu sesuatu yang aneh terjadi.
Mike mendongak padaku, mata bulat hijaunya bercahaya menatapku. Di tengah suara angin, badai hujan, dan guntur, dengan suara seperti anak laki-laki berumur delapan tahun kucing itu mengatakan sesuatu yang menakutkan.
Mike berkata dengan sangat jelas.
"Aku juga menyayangimu Sia."
Kaget, membuatku terperanjat ke belakang. Kaki kiriku mengait kakiku yang lain, punggungku menghantam genteng sebelum aku tergelincir dan bergulung, aku mencoba meraih pinggiran atap tapi tak berhasil, aku bisa melihat petir menyambar saat aku jatuh.
Aku jatuh menghadap langit malam yang retak oleh kilat, aku jatuh lebih cepat dari turunnya hujan. Aku memeluk Mike erat-erat, kurasa aku akan mati malam ini. Aku akan pergi meninggalkan dunia ini, meninggalkan sepasang baju lusuh di lemari, tiga potong kue kering yang kusimpan selama dua hari, meninggalkan Nyonya Marta yang bengis, meninggalkan Lori yang merupakan satu-satunya temanku, satu-satunya orang yang akan menangisiku di pemakamanku, aku akan pergi meninggalkan dunia ini bersama nasib burukku.
Kabar baiknya aku akan segera bertemu dengan kedua orang tuaku di surga.
Aku sudah tinggal di panti asuhan Nyonya Marta sejak aku bayi. Aku tidak pernah tahu seperti apa kedua orang tuaku. Aku sering bertanya-tanya seperti siapa ayah dan ibuku, apakah mereka tinggi? apa ayahku berkulit coklat sepertiku? siapa yang mewariskan mata sipit ini padaku? rambut yang selalu acak-acakan meskipun disisir berkali-kali ini karena aku mirip ayah atau ibuku? aku tidak tahu jawaban semua pertanyaan itu, aku tidak pernah melihat kedua orang tuaku dan tidak punya foto mereka.
Ayah dan ibuku hanya meninggalkan nama pengenal yang diikat di tanganku sewaktu aku bayi, nama Alesia adalah satu-satunya warisan yang mereka tinggalkan untukku, hanya itu yang mereka berikan padaku. Sewaktu kecil, jika aku berulah, Nyonya Marta sering mengatakan di depan kelas bahwa dia curiga kalau seekor burung bangau yang meletakkan ku di sini di depan pintu panti asuhannya, itu membuat banyak anak panti meledekku dengan sebutan anak burung bangau dan aku harus meninju mulut mereka satu persatu agar mereka menutup mulut mereka.
Aku berharap bisa melihat kedua orang tuaku, sesuatu yang mungkin hanya bisa terjadi jika aku sudah meninggal dunia.
Saat aku membuka mata, kupikir aku sudah di surga dan akan bertemu orang tuaku tapi aku malah melihat gorden hijau tua yang selalu kulihat sepanjang hari. Aku mendapati diriku tidur di ranjangku di bangsal anak perempuan. Aku berpikir kalau apa yang terjadi semalam hanyalah sebuah mimpi. Sebuah Mimpi yang anehnya terasa nyata, mimpi yang meninggalkan bekas luka cakar yang masih terasa perih di pipiku. Aku terbangun dengan punggung dan lengan yang terasa pegal.
Aku berbaring sendirian di kamar saat hari sudah siang dan itu sesuatu yang aneh. Nyonya Marta tidak pernah membiarkan ada anak panti yang tidur hingga melewati jam sepuluh pagi kecuali dia sakit atau lumpuh, atau pingsan atau sudah mati. Dengan ketakutan aku bergegas melempar selimut dan segera memeriksa kedua kakiku, mengecek tangan, perut dan merasa lega karena semua anggota tubuhku masih utuh. Aku baik-baik saja.
Aku sedang mengecek kepalaku apakah masih ada di tempatnya ketika Nyonya Sofi datang membawa nampan berisi makanan dan baju. Nyonya Sofi berjalan terburu-buru, badannya yang besar dan gemuk membuatnya tampak seperti oleng, kaki besarnya menghasilkan bunyi gedebuk di lantai.
Aku menatap Nyonya Sofi dan dia memicingkan mata sipitnya padaku.
"Syukurlah kau sudah bangun," kata Nyonya Sofi.
Rangka ranjangku berderak menderita ketika Nyonya Sofi duduk di pinggir ranjang.
"Apa aku akan dihukum?" tanyaku.
Nyonya Sofi meletakkan nampan makanan di samping kakiku dan berkata dengan tegas, "Oh ya tentu saja, orang sepertimu seharusnya mendapatkan hukuman, jika tidak kau akan mengulangi kegilaan itu lagi, apa kau tahu semalam itu berbahaya."
"Aku terpaksa melakukannya maksudku ...," aku tergagap.
Nyonya Sofi berseru, "Memangnya apa yang membuatmu terpaksa harus tidur di taman, sepanjang malam saat badai hujan, apa yang kau pikirkan apa kau ingin mencelakakan dirimu sendiri? Kau bisa demam! Kau bisa tersambar petir! Kau bisa tertimpa pohon tumbang!"
Aku merasa tenggorokan ku tercekat.
"Tidur!" seruku.
"Ya, kau tidur di halaman seolah seperti kau tidur di atas ranjangmu, Nyonya Marta sampai meminum teh herbalnya pagi-pagi sekali karena melihat kelakuanmu," seru Nyonya Sofi.
Bukankah semalam aku jatuh dari atap kastil? Benarkah semalam hanya sebuah mimpi? Bagaimana bisa aku hanya tidur di halaman? Aku membuka mulut lalu menutupnya lagi, sebaiknya aku tidak menceritakan kejadian yang sebenarnya, itu bukan hal yang baik untuk diungkapkan. Keluar tengah malam, berkelahi dengan Pika, naik ke atas atap, memelihara kucing tanpa sepengetahuan Nyonya Marta, itu akan menjadi hukuman berat selama seminggu penuh.
"Kurasa semalam aku tidur sambil berjalan," seruku.
Sebaiknya aku berbohong.
Nyonya Sofi menatapku dengan sudut matanya dan berkata, "Jika anak lain yang mengatakannya aku tidak akan percaya, tapi kau memang aneh sejak dulu. Tapi, syukurlah kau tidak tidur sambil berjalan melewati pagar pemakaman."
"Ya aku memang aneh," kataku, "itu karena aku anak burung bangau."
Nyonya Sofi memelototi ku lalu menghela nafas. Aneh adalah kata yang tepat untuk menjelaskan apa yang terjadi semalam, jatuh dari ketinggian tiga lantai aku seharusnya celaka tapi tidak terjadi apa-apa denganku. Aku tidak terluka sedikitpun lalu aku teringat dengan Mike. Kucing hitam itu tiba-tiba bisa bicara maksudku benar-benar bisa bicara. Aku pasti sudah gila aku harus mencari Mike untuk memastikannya.
Aku sudah duduk di pinggir ranjang dan akan melompat turun tapi Nyonya Sofi menghentikan aku.
"Kau mau kemana?" tanya Nyonya Sofi.
"Aku ada piket membersihkan kebun hari ini," kataku.
Aku mencari-cari alasan.
Nyonya Sofi berseru, "Tidak ada piket apapun untukmu hari ini Sia, kau hanya harus makan, pergi mandi dan mengganti pakaianmu."
Nyonya Sofi melirik ke arah nampan di kasur.
Aku melihat isi nampan yang dibawa Nyonya Sofi untukku : Segelas susu coklat, tiga buah kue salju, sup wortel dengan sedikit potongan ayam, dia juga membawa satu setel baju bukan baru tapi masih bagus berwarna biru bergambar bunga matahari. Kami, para anak panti tidak pernah mendapatkan keistimewaan seperti ini kecuali karena satu alasan: Seseorang datang untuk membawaku pergi dari sini, ini hari terakhirku di panti asuhan jadi Nyonya Marta memperlakukanku dengan istimewa sebagai rasa syukur karena dia tidak harus melihatku lagi besok.
Aku mendongak pada Nyonya Sofi dan bertanya, "Apa Nyonya Marta sedang menungguku di kantornya?"
Nyonya Sofi menghela nafas berat, dia mengangguk pelan, mendadak matanya menjadi merah sembab lalu dia memelukku dengan erat hingga aku sulit bernafas.
Nyonya Sofi bergumam, "Kau memang selalu menyusahkanku, Alesia. Kau membuat keributan setiap hari tapi tempat ini takkan pernah sama lagi tanpamu."
Aku menepuk paha Nyonya Sofi.
"Tenang saja," kataku, "aku akan kembali dalam lima menit, tidak akan ada yang mau mengadopsi ku."
Aku menghabiskan makananku dengan cepat lalu mandi dan memakai baju baruku yang tampak sedikit kekecilan. Aku berjalan di lorong mengekor di belakang nyonya Sofi. Semua anak panti berdiri di lorong untuk menatapku dengan rasa penasaran dan heran. Diantara kerumunan anak, aku melihat Pika dan dua temannya yang menyebalkan. Pika memasang senyum mengejek untukku, ada bekas luka di dahi Pika yang membuatku merasa puas.
Lori berlari untuk menghampiriku.
"Apa kau akan pergi? Apa dia akan membawamu?" tanyanya.
"Aku tidak tahu," kataku.
Lori sedang menggendong Mike, aku menatap dengan tajam. Mike segera memalingkan kepalanya dariku, ada urusan yang belum selesai dengannya aku akan mencarinya nanti. Mike harus menjelaskan semua yang terjadi semalam entah itu dengan bahasa kucing atau dengan bahasa manusia.
"Aku tidak mau kau pergi," kata Lori.
"Aku mungkin tidak akan pergi," kataku tersenyum.
Nyonya Sofi berbelok di lorong, aku bisa melihat pintu kantor Nyonya Marta di ujung lorong. Sepuluh tahun! itu waktu yang dibutuhkan hingga akhirnya ada seseorang datang untuk membawaku pergi dari panti asuhan ini. Biasanya mereka, calon orang tua angkat yang datang ke sini akan lebih menyukai anak perempuan yang cantik seperti Pika atau yang lemah lembut dan penyayang seperti Lori. Ada kesan pemberontak yang menempel di wajahku, ada tanda pembangkang dan suka membuat onar yang tidak disukai oleh banyak orang di dahiku yang sulit di hapus, itu membuat calon orang tua angkat tidak pernah sudi melirikku.
Kata Nyonya Marta jika aku tidak bisa merubah raut wajahku yang seperti kucing liar yang sedang mengamuk aku akan berakhir di panti asuhan ini hingga aku tua. Jadi, ada kemungkinan orang yang sedang menungguku di kantor nyonya Marta, dia salah lihat anak atau dia sama anehnya denganku. Pasti ada kekeliruan!
Aku melihat pintu kantor Nyonya Marta dan bersiap untuk ditolak dan kembali memakai baju lusuh lagi.
Nyonya Sofi membuka pintu kantor, aku masuk berdiri di dekat pintu. Aku menunggu Nyonya Marta yang sedang menulis sesuatu di mejanya. Setelah menandatangani beberapa kertas di meja, Nyonya Marta meletakkan pena dan menoleh padaku.
Wajah Nyonya Marta kaku tanpa ekspresi seperti biasa.
Nyonya Marta berkata, "Alesia kau sudah datang, kemarilah."
Aku hanya maju tiga langkah, aku tidak mau jauh-jauh dari pintu, jika ini sebuah kesalahan aku bisa langsung melompat kembali ke kamarku.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!