Aku melihat--entah apa yang kulihat---seorang cowok sedang berdiri dengan sayap besar mengembang di punggungnya. Cowok itu sepertinya sadar dengan keberadaanku yang hanya bisa mematung tak bergerak.
Dia menatapku tajam. Walau saat ini sedang turun salju lebat dan dalam keadaan cukup gelap, aku masih bisa melihat matanya yang berwarna biru terang.
Untuk sepersekian detik kami berdua hanya bisa mematung. Aku mengenalnya. Dia adalah Gabriel Axton White. Teman sekolahku di High School. Tapi, kenapa ... kenapa dia punya sayap? Siapa dia? Makhluk apa dia?
Oh, Tuhan! Apa aku sedang berhalusinasi? Apa aku tadi salah minum obat? Sungguh. Kenapa aku tidak bisa berpikir jernih?
"Ka ... kau?" hanya itu kata-kata yang keluar dari mulutku.
Gabriel atau siapapun dia yang mirip Gabriel, tapi bersayap--terlihat canggung. Aku bisa melihat kilatan matanya yang menatapku. Sedetik kemudian, dia terbang. Kedua sayap putih besarnya mengepak di udara seperti seekor burung raksasa, lalu menghilang.
"What the ..."
Kurasa kepalaku pusing tak karuan. Mual dan mataku berkunang-kunang. Sepertinya aku sudah tidak waras. Pemandangan tadi membuat pandanganku berputar. Hitam, gelap dan aku tak sadar apa-apa lagi. Aku pingsan.
***
Aku membuka mataku perlahan-lahan, tubuhku serasa melayang. Tidak---aku memang melayang dan aku merasa seseorang sedang menggendongku dan membawaku terbang. Mataku terasa sangat berat untuk terbuka lebih lebar, tapi aku bisa melihat sosok yang sedang membawaku saat ini, walau sedikit kabur.
Itu Gabe---Gabriel!
Dan ya, Tuhan! Dia bersayap! Sayap putihnya mengembang dan mengepak di udara seperti seekor burung raksasa. Mata birunya menatap lurus ke depan, namun debaran jantung dan hawa hangat yang keluar dari tubuhnya membuatku yakin bahwa aku sedang tidak bermimpi.
Gabe menurunkanku di atas rerumputan hijau yang terhampar sejauh mata memandang. Aku bisa mendengar suara gemericik air di telingaku. Lalu, alunan seruling merdu yang membuatku mengantuk. Rasanya tubuhku berat sekali ketika kucoba untuk bangkit dan mataku masih sulit untuk membuka lebih lebar.
Gabe berdiri menjulang di depanku. Kedua sayapnya masih mengembang di belakang punggungnya. Aku ingin memanggilnya, tapi lidahku kelu.
Aku pasti sudah gila, atau mungkin sedang berhalusinasi. Tuhan, apa yang harus kulakukan???
Seseorang bertudung hitam menghampiri Gabe. Saat ia membuka tudungnya, aku bisa melihat ia adalah seorang laki-laki dan memiliki wajah yang luar biasa tampan. Matanya biru tapi lebih gelap. Janggut tipis tumbuh disekitar dagunya. Hidungnya tegas dan mancung seperti Gabe, lalu rambut pirang pasirnya---panjang sebahu---melambai-lambai tertiup angin yang berhembus.
"Kenapa kau membawanya kemari?" tanya pria itu sambil menatapku tajam. Suaranya mengalun merdu. Ekspresinya menunjukan kecemasan, tapi sepertinya bukan mencemaskanku melainkan mencemaskan dirinya sendiri.
"Aku tidak punya pilihan lain. Dia masih tetap mengingatku," jawab Gabe yang masih memunggungiku.
"Kau tahu tempat ini terlarang baginya untuk masuk," laki-laki itu terlihat gusar.
"Ya, aku tahu. Aku akan membawanya kembali."
"Jika ia masih mengingatmu, kau harus menghapus ingatannya kembali," kata pria itu.
"Aku sudah mencobanya dan ini yang kedua kali. Aku tidak tahu apakah aku harus melakukan untuk ketiga kali, jika ia masih mengingatku." Gabe berbalik sejenak untuk menatapku. Wajahnya mengernyit dan tatapannya sendu.
Aku masih tidak bisa bergerak apalagi bersuara. Rasanya tubuhku terkunci. Aku benar-benar tidak tahu sedang berada di mana. Tempat ini terlalu indah untuk ditempati seorang manusia.
Dan apa katanya tadi? Menghapus ingatanku???
It's totally insane!!!
Ya, Tuhan... Siapa mereka sebenarnya?
Langit tampak cerah pagi ini dalam minggu ketiga musim gugur yang menjelang. Tetap saja angin dingin berhembus menusuk sampai ke dalam tulang. Daun-daun pohon Maple depan rumah pun sudah berguguran dengan warna kuning keemasan yang menyebar ke penjuru jalan aspal depan rumah karena terbawa angin.
Aku mengenakan sweater ungu mudaku yang dibeli musim panas kemarin. Hadiah dari Dad karena ia mendadak dapat bonus gaji dari atasannya di kantor.
Mom datang mengoleskan selai ke beberapa roti lalu menyerahkannya pada piring depan Dad yang sedang membaca koran. Aku melirik jam dinding, kemudian mempercepat menghabiskan serealku yang masih tersisa di mangkuk. Bus sekolah sebentar lagi akan datang menjemput.
Aku terlalu malas untuk berjalan kaki ke sekolahku karena cukup menguras tenaga dan sebenarnya mulai bosan naik bus sekolah.
Malas karena terkadang ada siswa resek yang senang menggodamu atau menjahilimu. Sering terjadi begitu pada siswa atau siswi yang bisa dibilang nerd, freak, weak atau jelek. Walau aku belum pernah diganggu oleh siswa resek dalam bus---tapi jika kuingat lagi---aku dulu sempat dijahili mereka sekali. Kakiku tersandung oleh kaki panjang Nick yang memang sudah panjang seperti tongkat, badannya kurus jangkung.
Entahlah, kupikir dia gemar makan galah hingga punya badan seperti itu. Cowok itu sengaja, aku tahu dia memang ingin membuatku terjatuh dan ditertawakan. Aku kesal sekali. Untungnya, ia tidak pernah lagi naik bus sekolah karena ayahnya sudah membelikan ia mobil bekas. Itu terjadi di tahun pertamaku di high school. Sekarang aku sudah memasuki tahun ketiga.
"Makan perlahan, Sweety. Kau bisa tersedak," kata Mom pada Keandra, adik perempuanku yang berumur 7 tahun. Baru masuk SD musim panas lalu.
Keandra tersenyum manis. Disekitar mangkuknya sudah berceceran tumpahan sereal di meja. Gadis kecil itu memang masih belum pandai menyuapi dirinya sendiri saat makan.
"Aku berangkat," kataku seraya bangkit. Suara klakson bus sekolah terdengar memanggil dua kali di depan.
Aku menyampir tas ranselku. Keandra menatapku dengan tatapan berbinar. Rambut merah kecoklatannya kubelai dengan lembut dan dia tersenyum kecil. Aku melambai pada Mom dan Dad, setengah berlari berjalan ke halaman depan.
Bus melaju perlahan menuju sekolah Rowenna High School sekitar 15 menit perjalanan dari kompleks perumahanku. Aku duduk di salah satu kursi kosong, sebelah cewek berkaca mata yang sedang fokus membaca sebuah novel.
Bus tampak sepi penumpang hari ini. Tidak ada adik-adik kelas yang ikut naik, juga komplotan anak resek yang senang rusuh di belakang sambil menjaili siswa lain.
Aku segera melompat turun begitu bus berhenti di halaman parkir sekolah. Dua buah mobil Porsche melintas ketika aku baru saja menjejakan kaki ke aspal. Sharon, Demi, Ashley dan Karen turun dari dalam dengan gaya anggun dan berkelas. Aku memandangi mereka bersamaan dengan semua orang yang berada di sini. Keempat gadis cantik itu berjalan sambil mengibas-ngibas rambut panjang mereka yang di cat warna-warni.
Aku menghela napas. Mereka adalah cewek-cewek paling populer di sekolah ini. Sulit rasanya mengalihkan pandangan ketika mereka lewat. Sharon merupakan ketua tim chearleaders dan ketiga temannya adalah anggotanya.
Keempat gadis itu kompak mengenakan kaos ketat warna pink bertuliskan nama mereka masing-masing, serta rok pendek warna putih yang berkibar-kibar saat mereka berjalan. Cowok-cowok menatap mereka seakan melihat daging panggang dalam keadaan perut lapar.
Aku menggelengkan kepala, lalu berjalan menuju kelas biologi di gedung empat. Semenjak sekolah disini, aku hanyalah seorang gadis biasa. Tidak mungkin bagiku untuk menjadi cewek populer di sekolah apalagi masuk dalam geng mereka. Aku tidak secantik Sharon yang wajahnya membuat cowok-cowok terpana. Juga tidak seseksi Karen yang lekuk tubuhnya bagai gitar spanyol, tidak semodis Ashley yang selalu tampil keren dengan busana apapun, juga tidak setajir Demi yang punya banyak uang untuk bisa nyalon, shopping dan liburan kemana saja.
Aku hanyalah Keana Larson, gadis biasa saja dengan rambut sedikit ikal sepunggung berwarna cokelat kemerahan yang kuwarisi dari mom, kulit putih pucat, tubuhku tidak terlalu tinggi hanya 162 cm juga tidak terlalu kurus namun tidak berbentuk seperti model-model seksi. Prestasiku lumayan walau tidak pintar-pintar amat. Mungkin jika aku tiba-tiba menghilang ke planet lain atau diculik makhluk astral, pasti tidak akan ada yang merasa kehilanganku disini, tidak--kecuali keluargaku atau Liz dan Becca--dua sahabat karibku sejak middle school.
Dan mereka berdua kini sedang berlari kecil menghampiriku menyusuri koridor untuk menuju kelas Biologi. Kami memang sama-sama mengambil pelajaran kelas Biologi tahun ini. Pelajaran berikutnya kami tidak sekelas. Aku hanya sekelas dengan Liz di pelajaran olahraga sebagai pelajaran jam ketiga kami nanti.
"Apa kalian sudah menyelesaikan tugas dari Mr. Thompson?" tanya Liz dengan napas terengah-engah sehabis berlari tadi.
"Yeah, aku sudah. Kau tahu betapa mengerikannya ia jika kita lupa menyelesaikan tugas yang diberikannya," sahutku.
Kami menyusuri koridor dengan langkah cepat karena lima menit lagi kelas dimulai.
Ketika itulah waktu serasa berhenti berjalan. Angin kencang berembus membuat rambutku yang bebas menutupi separuh wajahku--dan dengan cepat aku menyibaknya, lalu terpana selama beberapa saat--memandang seorang cowok dihadapan kami yang berjalan tegak mengenakan jaket kulit hitam yang tak diresleting dengan T-shirt putih sebagai dalamannya. Sebelah tangannya ia masukan ke dalam saku celana jins warna biru dongker sobek-sobek di bagian lutut. Sementara tangan satunya memegangi tali tas di bahunya. Entah mengapa ia tampak sangat keren.
Bukan hanya aku yang terpana, tapi juga semua orang di sekitarnya ikut terkesima. Siapakah gerangan cowok asing berwajah super duper tampan itu? Auranya sungguh memikat bahkan aku sampai menelan ludah ketika ia lewat di sebelah bahuku dengan gaya cool-nya.
"Wow! Apakah dia murid baru?" seru Liz tak kuasa menahan kekagumannya.
Si cowok tampan tadi sudah berbelok menyusuri gedung menuju selatan. Orang-orang masih saja memandangnya dengan takjub dan mulut ternganga.
"Ganteng banget! Sumpah. Dia cowok tertampan yang pernah kulihat!" Becca ikut terkagum-kagum. Bola matanya nampak nyaris lompat dari rongganya.
Aku pun merasakan hal yang sama. Di sekolah ini lumayan banyak cowok-cowok bertampang keren. Tapi rata-rata mereka playboy, badboy, sombong dan troublemaker. Seperti Dalton Crawford; tampan, berprestasi dan bintang olahraga football yang jadi incaran cewek-cewek di sekolah. Sebulan lalu, ia dan Sharon resmi berpacaran. Dalton termasuk cowok angkuh karena ia lebih senang bergaul dengan siswa populer saja.
Atau Calvin Morris si troublemaker yang berwajah tampan. Banyak cewek yang suka padanya, tapi dia adalah jenis cowok yang sebaiknya dihindari karena cowok jenis ini bisanya hanya membawa polusi negatif untuk cewek baik-baik--sepertiku misalnya, maksudku cewek yang tidak terlalu banyak tingkah. Dan aku sebisa mungkin harus menghindari Calvin yang badboy itu.
"Berani taruhan, pasti Sharon and the gank bakalan pingsan liat cowok itu," ujar Liz, nyengir lebar.
Aku dan Becca tertawa. Bel masuk berbunyi. Kami bertiga tersentak dan langsung menghambur menuju ruang kelas biologi di gedung empat sebelum terlambat.
o0o
Ruang kafetaria penuh sesak oleh murid-murid yang kelaparan, termasuk Liz, Becca dan aku. Kami duduk di salah satu meja kosong di gang tengah. Menu hari ini sosis, sup krim, apel dan roti gandum.
Setelah ini, aku dan Liz akan ke gedung gymnasium karena pelajaran olahraga. Liz sangat menyukai olahraga sementara aku tidak. Aku hanya menyukai renang sebagai olahraga favoritku. Liz cukup ahli bermain voli dan bidang atletik. Sedangkan, Becca lebih menyukai bidang musik. Dia pandai bermain biola. Sementara aku? Entahlah, tak ada yang benar-benar kukuasai, kecuali bidang teater atau drama dan sialnya setiap kali tampil dalam acara tahunan sekolah aku hanya kebagian peran kecil saja. Seperti jadi pohon atau penggerek layar. Sungguh, rasanya sulit sekali untuk bisa jadi pemeran utama.
"Kalian tahu, cowok tampan tadi pagi ternyata satu kelas denganku di kelas sejarah. Namanya Gabriel, Gabe panggilannya." Becca memberitahu dengan semangat.
"Benarkah? Terus gimana tanggapan Sharon dan Ashley? Mereka kan sekelas denganmu di sana," tanya Liz sambil menyendok sup krimnya. "Wueekk... asin banget. Harusnya mereka ganti koki sekolah ini. Kenapa sih makanan kantin kita nggak ada yang benar?"
"Sharon dan Ashley benar-benar tidak berkedip melihat Gabe. Semua dalam kelas bahkan Mrs. Madison kelihatan terpesona." Becca memilih mengabaikan keluhan Liz.
Ya, harus kuakui cowok bernama Gabe itu sangat tampan. Aku bisa merasakan auranya begitu kuat.
"Lalu, apa dia duduk di sebelahmu?" tanyaku sembari mencocol potongan roti gandumku ke dalam sup krim dan Liz benar rasanya keasinan.
"Well, kuharap begitu, tapi tidak. Dia duduk di belakang Ashley--sebelah Mary, cewek yang satu kelas denganmu di kelas trigonometri," jawab Becca. Sorot matanya memancarkan kekecewaan. "Dia pindahan dari California."
Dan tiba-tiba seperti tersihir, semua orang memusatkan perhatiannya ke pintu kafeteria dimana sosok Gabe yang baru datang sedang berdiri memegang nampan berisi makan siangnya. Aku ikut memandang ke arah cowok itu. Gabe tampak tenang sekali berjalan diantara ratusan pasang mata yang menatapnya, menuju kursi kosong di sudut dekat jendela. Dihadapannya ada dua gadis adik kelas yang saling melongo karena tak menyangka cowok tampan pusat perhatian itu kini duduk di depan mereka.
Kuperhatikan arah tempat geng anak-anak populer yang juga tengah memperhatikan Gabe sambil berbisik-bisik. Sharon dan ketiga sahabat ceweknya melototi Gabe dengan tatapan lapar. Aku berani taruhan, pasti Sharon menyesal karena sudah jadian dengan Dalton. Pasti ia akan menjadikan Gabe sebagai incaran selanjutnya. Setidaknya begitulah sepak terjang Sharon sebagai cewek paling cantik di sekolah. Bergonta-ganti cowok baginya semudah mengganti pakaian dalam dan Gabe adalah cowok paling seksi yang pernah kulihat di planet ini.
Setelah makan siang di kantin selesai, aku bersama Liz bergegas ke ruang ganti untuk mengganti pakaian olahraga, sementara Becca pergi ke gedung dua, kelas bahasa Inggrisnya.
Aku berjalan menuju lokerku begitu selesai mengganti pakaianku. Liz lebih dulu ke ruang gymnasium. Ia ingin melakukan pemanasan karena hari ini ada pengambilan nilai olahraga voli yang aku tidak suka. Bisa kutebak pasti nilaiku tidak akan bagus karena untuk sekedar serve saja aku tidak bisa.
Aku menutup lokerku setelah selesai memasukan pakaianku ke dalam sana. Setelah pelajaran olahraga berakhir, aku harus berganti pakaian lagi dan memasuki kelas trigonometri, lalu kelas bahasa inggris dan kelas pemerintahan sebagai kelas terakhir.
Aku terkejut melihat Gabe sedang berdiri di dua loker sebelahku. Cowok itu memasukan pakaiannya ke dalam. Sepertinya ia satu kelas bersamaku karena mengenakan seragam olahraga juga.
Aku mendadak gugup. Entahlah. Ada aura aneh yang terpancar dari tubuh Gabe. Aura memikat dan juga misterius. Sepertinya Gabe tahu sedang kuperhatikan, cowok itu cuma melirik sekilas dari ekor matanya tanpa bicara sepatah pun.
Aku memilih untuk segera menyusul Liz ke gedung Gym, namun kakiku tersandung oleh langkahku sendiri hingga aku jatuh berlutut ke lantai. Sepatu kets-ku berdecit ketika aku berusaha bertumpu pada kedua kakiku agar tidak jatuh tertelungkup. Alhasil lututku sakit dan memerah. Suara tawa menggema dari beberapa anak yang ada di sekitarku.
Sial!
Aku bisa merasakan parasku merah padam. Jadi, aku cepat-cepat bangkit berdiri. Gabe lewat disisiku--berjalan santai tanpa melirikku sama sekali, tapi telingaku bisa mendengar gumamannya yang sangat mengejutkan.
"Jangan terlalu sering memandang wajahku atau kau akan terjatuh ..."
Hei, dia bercanda kan? Aku menatap nanar kepergiannya. Wajahku panas. Anak lain masih senyum-senyum memandangiku. Aku seperti tertangkap basah sedang mencuri--ya, mencuri pandang ke arahnya dan rasanya menyebalkan karena perkataannya benar. Hatiku tertohok. Ingin sekali aku masuk ke dalam lokerku dan bersembunyi di sana.
Dengan kikuk, aku berjalan menuju gymnasium--berharap Gabe tidak mengungkit apa yang terjadi apalagi mengolok-olokku nanti.
🍁🍁🍁
Setelah insiden jatuhku kemarin, aku semakin gugup setiap bertemu Gabe. Entah itu di kelas atau di koridor sekolah. Dia tidak pernah bicara apapun lagi padaku, tapi aku senang--setidaknya dia tidak mengungkit kejadian itu dan sepertinya sudah melupakannya.
Cowok itu juga satu kelas denganku di kelas trigonometri dan bahasa inggris. Aku malas karena di dua kelas itu ada Sharon. Sharon terlihat sangat tertarik pada Gabe, termasuk teman-teman gengnya dan juga seluruh cewek di sekolah ini, dan mungkin juga aku.
Gabe tampak dingin dan selalu menyendiri saat makan siang di kafetaria sementara anak-anak lain bergerombol membentuk geng di bangku-bangku favorit mereka. Kelihatannya Gabe tidak tertarik untuk berteman dengan siapa pun. Itu aneh menurutku. Padahal cowok seperti dia pasti dengan mudah diterima kalangan manapun. Bahkan club-club sekolah dan geng anak populer, juga geng anak bermasalah berusaha mengajaknya untuk bergabung.
Gabe tetaplah cuek. Aku juga masih sering curi-curi pandang--sebenarnya aku hanya ingin tahu apa sih yang dia makan, karena nampan piringnya selalu tak tersentuh. Ia hanya makan buah-buahan setahuku--sepenglihatanku--dan sialnya Gabe selalu tahu jika aku sedang melihatnya. Jadi, mau tidak mau aku selalu membuang muka ke arah lain dalam keadaan merah padam.
Dan hari ini entah sudah berapa kali Calvin, Nick dan Jeremy mendatangi Gabe. Basa-basi perkenalan. Kelihatannya ada niat jahat di benak ketiga cowok bandel itu. Kebiasaan membuli siswa baru, tapi entah kenapa niat jahat mereka belum terlaksana sampai detik ini.
"Kau tidak makan?" Calvin mencomot kentang goreng di piring Gabe sambil nyengir. Nick dan Jeremy saling melempar seringai jaiil.
Gabe menatapnya malas. "Makan saja buatmu," lalu bangkit berdiri. Rahangnya mengeras. Nick si kaki panjang dan Jeremy langsung menghadangnya.
"Mau kemana? Aku kan baru saja duduk, Sobat." Calvin memanggilnya, tangannya mencomot lagi kentang goreng di piring Gabe. Seisi ruangan memperhatikan mereka, bertanya-tanya apa yang ingin dilakukan cowok tengil itu pada Gabe.
Gabe menggelengkan kepala dan mendengus. Mata birunya melirik Calvin tajam.
"Aku tidak tertarik berteman denganmu."
"Wow. Kau sangat mempesona, Gabe. Kau tahu, kau akan jadi sainganku di sekolah selain Crawford yang sok itu," kata Calvin. Kali ini memakan potongan sosis Gabe di piring.
Dalton yang sedang duduk bersama anggota tim football dan cheerleader---Sharon juga duduk di sana tengah menatap Gabe dan Calvin was-was---bangkit berdiri tiba-tiba. Ia dan Calvin memang sudah tak akur dari tahun pertama. Setahuku mereka bersaing dalam hal yang tidak penting bagiku, saingan cewek.
Wajah Dalton menegang. Sharon segera menenangkannya. Calvin memang begitu, senang sekali mencari masalah. Dua cowok itu pernah beberapa kali terlibat adu fisik dan yang sangat tidak adil, Calvin yang hanya menerima hukuman. Tapi, itu tidak membuatnya kapok untuk memulai permusuhan pada Dalton.
Dan suasana kantin pun berubah senyap. Semua orang menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Kulihat anak-anak club catur memasang taruhan untuk memilih siapa yang akan memenangkan pertarungan sengit ini.
Mendadak aku merasa mual. Aku benci suasana seperti ini. Perkelahian, bullying, adu jotos--apapun itu aku sangat tidak menyukainya. Adakah yang ingin meminjamkanku ember? Ingin sekali aku mengguyur kepala Calvin karena kedatangannya sungguh merusak suasana. Sayang air limunku sudah habis sejak tadi. Kalau tidak, mungkin sudah kusiram ke wajah brengseknya. Ya, itupun kalau aku berani.
"Menyingkirlah." Gabe menatap Nick dan Jeremy dengan garang. Kedua cowok itu pun menggeser badan mereka ke samping. Gabe langsung berjalan cepat meninggalkan kafetaria dengan ekspresi kesal.
Calvin terkekeh menatap kepergian Gabe. Tatapannya beralih pada Dalton yang kini sudah kembali duduk di kursinya.
"Kuharap kau berhenti mencari masalah, Morris! Aku tidak ingin poin nilaiku berkurang gara-gara kau!" suara Dalton terdengar nyaring.
"Santai saja, Man! Aku tidak akan ngapa-ngapain kok. Kau pacaran saja dengan Sharon," Calvin menggerling pada Sharon, lalu mengedipkan sebelah mata pada Karen yang duduk di sebelahnya.
Karen pernah menyukai Calvin dan kelihatannya sampai sekarang pun masih, walau mereka sempat berpacaran sebentar. Aku tidak mengerti apa yang disukai Karen pada Calvin yang menyebalkan itu selain wajahnya yang memang cukup tampan. Tapi, tampang bukan segala-galanya, kan? Jika kepribadiannya tidak baik, buat apa.
"Kenapa sih Calvin selalu saja resek?" keluh Liz, diam-diam melirik Vincent di balik kelopak matanya.
Vincent---anggota club basket. Badannya tinggi kekar dengan rambut keemasan---cowok yang ditaksir Liz sejak tahun kemarin.
"Yeah, mungkin hidupnya membosankan jadi dia seperti itu," sahutku skeptis, menepuk tangan Liz. "Kau lihat apa? Cowok itu?"
Liz tampak malu-malu saat aku mengikuti arah tatapannya. Becca tertawa kecil.
"Mungkin sebaiknya kau kejar dia. Ini waktu yang tepat. Nanti kita keburu lulus, lho." Becca menimpali.
"Tidak, ah. Aku takut. Kalian kan tahu sainganku berat. Demi juga naksir dia."
"Tapi, sepertinya Vincent juga menyukaimu, Liz. Sungguh. Lihat dia menoleh ke arah kita."
Aku menyenggol Liz yang spontan menunduk saat vincent menatap ke arah kami. Bisa dilihat sudut bibirnya menyunggingkan senyum tipis. Liz mengangkat wajahnya malu-malu dan tersenyum kecil pada Vincent.
Liz bertemu cowok itu di kelas psikologi. Menurutku Liz lumayan cantik. Rambutnya lurus pirang sebahu dengan poni depan. Kulitnya putih, tapi tidak sepucat aku, agak kemerahan mungkin karena ayahnya keturunan meksiko. Tubuhnya juga ramping. Hanya satu kekurangannya, ia tidak percaya diri. Nama aslinya sebenarnya Elizabeth, tapi entah bagaimana aku menyingkatnya jadi Liz sampai sekarang, termasuk Becca--Rebecca.
"Kita harus ke kelas sekarang. Sebentar lagi masuk." Aku beranjak bangkit. Liz dan Becca mengikuti. Anak-anak lain sudah mulai meninggalkan kafetaria menuju kelas masing-masing termasuk Calvin, Nick dan Jeremy.
Aku lega setidaknya tidak ada pertumpahan darah hari ini di kantin gara-gara Calvin.
o0o
Aku duduk menyandar di sofa depan tv menonton pertandingan NBA yang berlangsung selama musim gugur ini. Sepulang sekolah tadi, aku langsung mengerjakan PR dan tidur sebentar.
Hujan mengguyur deras sampai pukul lima sore. Udara di luar dingin sekali. Perutku sudah agak lapar. Mom sedang memasak makan malam. Dad belum pulang kerja, mungkin sebentar lagi. Keandra duduk di bawah bermain dengan Angelo, kucing persia peliharaannya.
Sebenarnya aku tidak suka binatang. Tapi, Keandra terus merengek minta punya anjing atau kucing, jadi Dad pun pergi ke toko binatang dan membelinya seekor kucing persia berwarna putih yang tampak seperti boneka.
"Keana, bisa Mom minta tolong?" Suara Mom terdengar di dapur.
Aku langsung menghampirinya. "Ada apa, Mom?"
"Sepertinya saus tomat dan daun parsley sudah habis. Mom lupa saat belanja tadi tidak membelinya," kata Mom. Tangannya bergerak membuka tutup lemari demi lemari di dapur. Mencari kedua benda itu di setiap sudut.
Aku melirik ke jendela. Hujan sudah berhenti, tapi di luar pasti dingin dan lembab. Aku senang berbelanja tentu saja, sebagai seorang wanita--berbelanja menjadi insting alamiah--tapi dalam cuaca seperti ini, bergelung dalam selimut lebih menyenangkan.
"Kenapa mom tidak mencatatnya di daftar belanja?" Aku cemberut.
Kebiasaan mom tidak pernah hilang. Setiap berbelanja, pasti ada saja barang yang ia lupakan dan entah kenapa selalu barang yang penting.
"Aku lupa, sayang. Entahlah. Kau tahu saat sudah di dalam supermarket, terkadang kita lupa mau membeli apa karena pikiranmu teralihkan oleh barang yang lain."
Aku memutar bola mata. Yang benar saja. Itu bukan alasan. Itu memang kebiasaannya.
"Masak yang lain saja. Yang tidak perlu pakai bahan itu."
"Kalau begitu, Mom akan cari resep baru. Masakan tanpa saus tomat."
Otakku berpikir cepat. Mom suka memasak, tapi tidak ahli dan sering bereksperimen tapi, jarang yang berhasil. Aku tidak ingin malam ini makan makanan aneh buah eksperimennya. Perutku lapar, aku ingin makan makanan enak.
"Mom mau masak apa sih?" tanyaku was-was.
"Umm... spaghetty mushroom. Tapi, sekarang tidak tahu. Kau ada ide?"
Aku menatap Mom yang terlihat manis dengan blouse abu-abu muda dan rok panjang bunga-bunganya. Mom mirip seperti aku. Sementara Keandra mirip Dad. Keandra punya mata berwarna zamrud macam Dad, sedangkan aku coklat terang macam Mom.
Keandra cantik, punya lesung pipi, kulit putih bersih bukan pucat dan bulu mata lentik. Ia akan tumbuh dewasa dengan rupa yang menawan. Satu-satunya kesamaan kami adalah kami punya rambut warna cokelat kemerahan. Sementara Dad cokelat gelap. Intinya Mom mewariskan sebagian dirinya padaku. Aku hanya mewarisi sedikit punya dad yaitu dagu yang lancip.
"Entahlah. Aku hanya ingin makan sesuatu yang normal," ujarku menekan kata normal dan membuat Mom tertawa. Ia tahu masakan eksperimennya kadang bisa meracuni seisi rumah.
Mom menatapku dengan tatapan puppy eyes-nya dan aku tak kuasa menolak. Dengan enggan, aku naik ke kamarku di lantai dua, mengenakan hoody merah marun yang tergantung di dalam lemari. Lalu, berjalan ke pintu.
"Kau sungguh putri Mom yang cantik, Keana." Suara mom memuji di belakangku ketika aku hendak membuka pintu.
"Ya, tentu saja," jawabku.
Angin dingin langsung menerpa wajahku begitu berada di luar. Aku berjalan menyusuri kompleks perumahanku menuju sebuah supermarket di ujung jalan berjarak dua blok dari rumah.
Ada sebuah mobil volvo silver terparkir di sudut jalan. Itu mobil Dalton. Aku tahu karena cowok itu sering mengendarainya ke sekolah dan di dalam mobil aku bisa melihat Dalton bersama Sharon sedang membicarakan sesuatu, lalu berciuman mesra.
Aku mual. Pemandangan ini membuat bulu kudukku meremang. Kadang aku berpikir bagaimana rasanya dicium karena sejujurnya aku belum pernah dan itu membuatku penasaran. Pasti rasanya menyenangkan.
Selama beberapa saat, aku memperhatikan mereka dengan bodohnya. Sharon memang tinggal di area kompleks yang sama denganku, tapi rumahnya lebih besar dan mewah karena orang tuanya bekerja di kantor pemerintahan. Dan aku berani bertaruh Sharon bahkan tak pernah menyadarinya, mungkin juga tak pernah menganggapku ada.
Kami tinggal di kawasan Aldrich Avenue kota Minneapolis, negara bagian Minnesota yang berbatasan langsung dengan negara Kanada. Tempat yang sudah kuhabiskan dari saat aku masih bayi. Sharon pindah ke sini sekitar musim dingin dua tahun lalu.
Selesai berciuman, Dalton membawa mobilnya melaju melewatiku. Sama sekali tidak berhenti, bahkan mereka mungkin tidak melihatku yang berdiri menjulang di pinggir jalan dekat mereka. Aku mendengus, berusaha tidak mempedulikan kedua manusia itu dan meneruskan langkahku menuju supermarket.
Sesampai di sana, aku merasa gembira. Cepat-cepat aku berjalan menuju rak-rak bumbu masakan. Berbelanja selalu menyenangkan buatku. Aku mengambil dua botol saus tomat dan memasukannya ke dalam keranjang yang kubawa. Kemudian, menyusuri konter sayur mayur dan buah-buahan.
Ekor mataku tak sengaja menangkap sosok yang selama ini mencuri perhatian semua orang di sekolah. Itu Gabriel Axton White. Cowok itu berdiri di rak-rak bagian perlengkapan mandi. Aku bisa melihatnya dari tempatku karena Gabe punya tubuh tinggi tegap yang membuatnya mudah dikenali.
Aku menimbang-nimbang apakah harus menyapanya atau tidak. Dan akhirnya, kuputuskan untuk menghentikan niatku karena hanya akan membuatku semakin tampak bodoh di depannya. Pikiranku bertanya-tanya apakah Gabe tinggal di sekitar sini?
Selesai mengambil dua ikat daun parsley di tempat sayuran, aku segera menuju kasir dan Gabe rupanya juga sudah berdiri di situ lebih dahulu.
Aku menatapnya canggung, tersenyum sekilas dan langsung membuang muka ke arah lain. Gabe menatapku lekat-lekat, seolah sedang mengingat siapa cewek aneh yang tersenyum padanya.
Kami saling diam tanpa bicara. Ketika sudah gilirannya untuk membayar, Gabe berbalik dan mempersilakanku untuk membayar duluan. Aku sejenak terpana dan mengucapkan terima kasih, lalu berjalan ragu ke meja kasir. Keranjang yang kubawa tak sengaja menyenggol konter barang di pinggir tempatku lewat. Aku sempat mendengar bunyi benda jatuh ke dalam keranjangku.
Sebelum sempat memeriksa, kasir cewek yang usianya 3-4 tahun di atasku--sedang mengunyah permen karet--langsung mengambil keranjang itu, mengeluarkan isinya dan menempelkannya pada scanner barcode. Aku terkejut ketika ada sekotak alat kontrasepsi ukuran XL dalam keranjangku. Cewek kasir itu mengambilnya dan hendak men-scannya jadi,1 aku buru-buru berteriak.
"Maaf, itu bukan punyaku," kataku cepat membuat gerakan si cewek terhenti. Aku melirik ke arah Gabe dari balik kelopak mataku dan sialnya, cowok itu juga tengah memperhatikan.
Si cewek kasir menatapku bingung. Kedua alisnya terangkat. "Tapi ini ada di dalam keranjangmu."
Aku mengusap hidungku, sama bingungnya kenapa benda bodoh itu bisa ada di sana. Gabe tampak menahan senyum menatapku, sementara orang-orang mengantre di belakangnya, memandangku dengan rasa ingin tahu.
"Oh, well ... mungkin ini sebuah kesalahan. Sungguh. Aku tidak membelinya."
Si cewek kasir menatapku lekat-lekat sembari mengunyah permen karet di mulutnya keras-keras, matanya bersinar jail. Tatapannya kemudian beralih pada Gabe, mengerjap.
"Atau punyamu?"
Gabe menggeleng. "Bukan."
Sial. Pipiku panas. Kenapa aku harus mengalami kejadian memalukan ini di depan Gabe? Sungguh, jika tidak ada Gabe mungkin aku tidak semalu ini. Lagipula untuk apa aku membeli ** kalau cowok saja aku nggak punya.
"Okelah, kalau begitu. Tapi lebih baik menggunakan pengaman, kau tahu," kata si cewek itu lagi sambil tersenyum nakal padaku.
Aku diam saja. Selesai membayar dan mengucapkan terima kasih, cepat-cepat kuambil belanjaanku, lalu berjalan menuju pintu keluar. Aku sempat menoleh ke belakang ketika tanganku mendorong pintu. Kulihat Gabe berdiri di depan kasir, mengeluarkan barang-barang dalam keranjangnya. Cowok itu menatapku kemudian, senyuman mengejek tersungging di bibirnya.
Wow, bagus sekali Keana. Dia pasti sedang menertawaimu sekarang. Kututup kepalaku dengan tudung jaketku, lalu segera melesat keluar dari tempat itu. Rasa malu membuat laparku mendadak hilang.
🍁🍁🍁
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!