Saat itu, terdengar ledakan tepung mesiu dari ujung selongsong sebuah pistol. Bagaikan kilat, peluru-peluru besi itu datang dan menghujam kuat menuju ke tubuh seorang pria, tanpa welas asih.
"Berhenti!" Dari kejauhan terdengar suara beberapa lelaki berteriak dan berlari mengejar si pria berjas hitam.
Tubuh sang pria terjatuh lemas, menghantam dinginnya lantai semen pelabuhan. Setelah beberapa butir peluru bersarang di dalam tubuhnya, sang pria kembali berusaha untuk menggerakkan otot-otot pada badannya, agar ia bisa kembali berlari dari kematian.
Merintih … terdengar suara si pria, tengah mengatur napasnya yang tersedak-sedak. "Ini tidak benar, seharusnya tidak seperti ini!" gumamnya, dengan penuh kepanikan.
Pria tersebut adalah seorang mata-mata yang dikirimkan oleh organisasi rahasia non-pemerintah, untuk mencuri senjata biologi, dari kelompok radikal kelas Internasional.
"Itu dia, jangan biarkan dia lolos!"
Meresap, warna bajunya pun berubah menjadi biram, layaknya anggur merah yang telah difermentasi. Pekikan suara sang pria pun terdengar melejit kencang.
Dengan tubuh yang sudah mulai mati rasa, digeratkannya gigi-gigi itu, demi mengumpulkan sisa-sisa energi yang tersimpan. Lalu, ia kembali berlari untuk menyelamatkan nyawanya.
Tak jauh dari tempat sang pria berada, terdapat sebuah kapal Speedboat berwarna hitam legam, tampak berlabuh di atas perairan dermaga.
Sang pria langsung melompat ke atas kapal hitam tersebut. Dengan cekatan, ia menghidupkan mesin kapal bak seorang profesional.
Napasnya tersengal-sengal, batuk pun mulai terdengar. Namun, tangannya tetap bekerja demi menghidupkan mesin kapal. "Tidak akan aku biarkan semua hal ini menjadi sia-sia!" ujarnya, untuk menyemangati diri sendiri.
Motor berputar dengan cepat. Mesin bertenaga bensin itu, mulai memanaskan seluruh komponennya. Speedboat pun menyala.
Dingin … badannya bergetar, napas terasa semakin berat.
Dengan sisa-sisa tenaga yang ia miliki, sang pria berusaha menghidupkan mesin gerak otomatis demi menghantarkan paket yang ia curi dari komplotan tersebut, untuk dibawa lari ke markas organisasi.
Perlahan … *boat* hitam itu bergerak menjauh dari tepi pelabuhan.
Kelompok radikal tersebut tak mau membiarkan *boat* untuk lolos begitu saja, dengan ganasnya peluru musuh masih menghujani *Speedboat* hitam itu, dengan senjata-senjata kaliber mesin mereka.
Namun, semua yang mereka lakukan, tidaklah berguna.
Memang sedari awal, Speedboat yang dikendarai oleh sang pria, telah dilengkapi dengan sistem anti peluru, juga memiliki teknologi tercanggih pada saat ini. Atap dari Speedboat itu tertutup dengan otomatis, dan membiarkan sang pengemudi bisa berkendara dengan nyaman menuju laut lepas.
Beberapa saat kemudian, keheningan terjadi. Ya, sang pria berhasil pergi menjauh dari tempat terkutuk itu.
***
Ombak menderu tenang … kapal telah berjalan larut, menembus lautan lepas. Perlahan, kendaraan air berwarna hitam ini, bergerak stabil menuju markas organisasi.
Sang pria terselamatkan dari ancaman mati di tangan musuh.
"Syukurlah ... mereka tidak mengejarku lagi," gumamnya dengan suara yang serak.
Tenggorokannya mulai terasa sangat kering, napasnya juga terasa berat dan susah diatur. Terdengar, bila jantung sang pria berdebar tak karuan.
Tepat dari dalam kerongkongannya, pria berjas hitam itu, merasa ada angin yang ingin keluar membawa cairan kental dari dalam rengkungnya. Lantas, tersedaklah ia. Sang pria memuntahkan cairan itu dalam kondisi terbatuk-batuk.
Badannya terlemas, tubuhnya terjatuh ke lantai. Ia merasakan jika kepalanya sangatlah pusing dan berat.
Dengan sisa-sisa tenaga, dirinya mencoba meraih alat komunikasi yang tersemat di dalam saku baju. Berharap, markas bisa mengetahui, jika misi kali ini berhasil dilaksanakan.
Ketika ia mengambilnya, tangan sang pria bergetar dengan kencang, tak terkontrol. Terdengar suara nyaring saat sang pria menghidupkan mesin komunikasi tersebut. Lalu, suara statis bergeremu keluar dari alat komunikasi itu.
Dengan jari tengahnya, sang pria menekan tombol panggilan keluar, menuju markas organisasi.
"Laporan. Mission 273『Code Red』selesai dilaksanakan."
Dari alat komunikasi tersebut, terdengar suara statis yang menjawab laporan sang pria.
"La ~ poran ~ … ~ di ~ terima!"
Dengan masuknya jawaban dari pusat, sang pria mulai mengendurkan rasa waspadanya.
Saat itu, tampak jika adrenalin si pria berambut kuning, dan berperawakan seperti orang eropa tersebut, mulai mengendur, hanyut dengan suasana malam yang tenang.
"S-syukur ~ lah ...," gumamnya, setelah memberi kabar kepada markas. Dan entah mengapa, saat itu, sang pria merasakan kepuasan tersendiri.
Alat komunikasi itu terjatuh dari tangannya, badan sang pria tergeletak bersimbah darah. Tak sejengkal jari pun dapat ia angkat akibat kekurangan darah.
"Ahh, ini kah akhir dari segalanya ...? " Kembali, sang pria bergumam dengan kedua bibirnya yang tengah bergetar hebat.
Sejujurnya, ia sudah yakin, jika ini adalah akhir dari hidupnya.
Dalam detik-detik akhir hayatnya itu, seluruh memori kehidupan terputar kembali di benaknya, bagaikan lembaran film proyektor tempo dulu.
Terpingkal-pinglak. Entah mengapa tiba-tiba sang pria merasa ingin tertawa. Menyeringai lebar, wajahnya tersenyum lembut dalam kabut malam.
Tepat di tangan kanannya, terdapat sebuah tabung berukuran sepuluh sentimeter, yang berisikan cairan senjata penghancur bumi.
Namun, jasad kematian sang pria, tampak memandang senyum ke arah tabung tersebut—seperti, tidak ada beban yang tertinggal di dunia ini.
Waktu berputar tidak diketahui, *speedboat* telah sampai di markas rahasia, secara otomatis warna dari *speedboat* berubah menjadi putih dan atapnya terbuka secara sendirinya. binar rembulan masuk menyinari seisi kapal super cepat itu ... indah, malam yang begitu indah ....
Demikian, sang pria menghembuskan napas terakhirnya dalam larut malam yang elok ....
.
.
.
***
.
.
.
Dari kegelapan yang sangat gulita, secercah cahaya berubah menjadi sinar yang sangat gemilang—merebak, menyinari sekujur pandangan, layaknya mentari pada siang hari.
"Aku, dimana ...?"
Badan mungilnya terasa amat dingin, bahkan menusuk sampai ke seluruh sendi-sendi tulang. Ingin dia menyampaikan perasaannya kala itu.
Tak ada cara lain, akhirnya, ia tak mampu mencegah diri untuk meluapkan rasa sakit itu.
Di dalam kabut senja, terngiang rintihan bayi merengek, bahkan menggelegar, memecahkan sunyi pagi.
Entah kenapa … saat ini, ia tidak bisa membuka matanya. Tetapi dirinya tahu betul, jika di depan wajahnya itu, ada secercah cahaya yang menyinari dirinya.
"Aneh!? Kenapa aku merasa sulit menggerakkan anggota tubuhku ...!?"
Tiba-tiba, terdengar perkataan seorang wanita, dengan nada suara yang begitu lembut dari arah sebelah kiri. Tampaknya, saat ini, si anak tengah didekap oleh seseorang.
"Anakku … wahai anakku yang malang, Ibu meminta maaf karena engkau dilahirkan dalam kondisi seperti ini. Semoga engkau menjadi anak yang kuat ... tangguh ... dan perkasa, seperti Ayah-mu, kelak, wahai anakku …."
Lalu, dari sebelah kanan, ada suara wanita lain, berbicara dengan nada yang cukup tegas.
"Sharlie, siapa nama putramu ini!?"
Tiba-tiba, sang anak merasakan ada tetesan air yang begitu hangat. Terjatuh tepat di atas pipi kirinya.
Hangatnya tetesan tersebut, seketika, ia merasakan ketenangan yang merasuk sampai ke dalam sukma. Demikian hal tini langsung menghentikan teriakannya.
"Ahh ... apakah wanita ini menangis ...?"
Lalu ... beberapa saat kemudian, sang anak mendengarkan kembali suara wanita yang mendekap dirinya dengan penuh kehangatan. Nada suaranya terdengar sangat bergetar, bagaikan orang yang tengah menangis … juga menahan rasa perih.
"A-aku, akan aku beri dia nama, A-Arley ... Arley Gormik." Setelah nama itu diberikan. Lantas, suara sang wanita sejenak terdiam, lalu ia menarik sekali napas yang panjang, dan si wanita mengatakan kalimat terakhirnya. "Kumpulkanlah buku itu ... Arley."
Dalam senyapnya malam, seorang anak telah ditinggal pergi oleh kedua orang tuanya. Di saat sang bayi masih sangat membutuhkan kehangatan ibu dan ayah kandungnya, namun, setelah malam hari ini berakhir, ia tak akan pernah merasakannya lagi ....
Argog. Begitulah cara mereka memanggil namanya
Seorang anak kecil, yang memiliki rambut berwarna merah darah, bermata hijau, dan berkulit sangat putih pucat, tampak seperti orang yang tengah sakit keras.
Sesungguhnya, nama panggilannya itu, adalah sebuah cercaan baginya, karena ia memiliki perawakan yang cukup berbeda, dengan manusia pada umumnya.
Ya, memiliki warna rambut yang sangat mencolok saja, sudah bisa membuat seseorang untuk dijauhi secara rasis. Apalagi, ia memiliki warna kulit yang begitu pucat, juga warna matanya yang hijau, ini adalah suatu fenomena yang amat langka, bagi khalayak masyarakat desa.
Mereka menyebut anak tersebut sebagai orang yang aneh, cacat, bahkan beberapa dari mereka, sempat menghinanya sebagai keturunan terkutuk.
Tetapi, hanya satu orang yang tidak memanggil anak tersebut demikian ....
"Arley~!"
Dari lantai bawah, terdengar seorang wanita memanggil nama sang anak, dengan nada yang begitu lembut.
Arley Gormik. Nama yang diberikan kepada sang pria, setelah dirinya tersadar, jika ia telah dilahirkan kembali pada dunia yang berbeda.
Mereka menyebut nama planet ini dengan sebutan『Soros』.
Dunia yang sangat unik, di mana, seluruh kehidupannya penuh dengan sihir dan impian.
『Soros』 adalah planet yang memiliki kehidupan layaknya『Bumi』. Arley telah sadar dan meyakini, jika tempat ia tinggal saat ini, adalah dimensi yang berbeda dari tempat ia berada sebelumnya.
Sebab utama ia berpikir demikian, karena di jagad tempat ia dahulu tinggal, tidak ada satu pun orang yang yang bisa menggunakan『Mana』.
Saat ini, Arley tinggal di sebuah Gereja kuno, yang masyarakat desanya sudah malas untuk memanjatkan doa, pada Gereja tersebut.
"Arley!" Panggilan itu bergema untuk yang kedua kalinya.
"Iya, Ibunda Terra, sebentar lagi aku turun!"
Saat itu, tertutuplah sebuah buku, yang isinya telah habis dibaca semua oleh sang anak berambut merah, yang kali ini menyandang panggilan, Arley tersebut.
Tanpa pikir panjang, Arley langsung bergegas menemui panggilan sang biarawati, yang telah ia anggap, sebagai ibundanya sendiri.
"Haduh!—ya Tuhan, kamu lama sekali kalo Ibunda panggil!" Terdengar suara amarah ibunda, yang saat itu, siap untuk meledak.
"M-Maaf Ibunda, tadi aku baru selesai membaca buku." Sambil tersenyum, Arley berusaha mengalihkan perhatian Ibundanya. Sebenarnya, ini adalah trik agar Arley tidak dimarahi oleh Biarawati itu.
"Haah, ya sudahlah. Ini, Ibunda punya titipan, tolong kamu antarkan obat sakit kepala ini kepada Paman Ordley, yang rumahnya di pinggir hutan."
"Siapp laksanakan!"
Lalu, Arley bergegas mengantarkan paket tersebut.
Keluarlah Arley dari dalam Gereja tuanya. Saat pertama kali ia keluar dari pintu tua Gereja tersebut, ia langsung bisa melihat, pucuk dari sebuah gunung yang menjulang tinggi, dan tampak sangat agung bagi mereka yang memandangnya.
Gunung itu terlihat sangat dekat, padahal, jaraknya sangatlah jauh dari posisi desa saat ini. butuh waktu satu bulan, agar bisa sampai ke gunung tersebut, degan menggunakan kereta kuda.
Pucuknya yang tertutupi oleh awan, dan putih salju yang terpapar pada dataran gunung, membuah orang-orang memanggil gunung itu dengan sebutan, ‘Great Mountain’.
Setiap kali Arley melihat gunung itu, ia langsung mengembangkan senyumnya, entah mengapa, sebuah perasaan bahagia langsung merebak di dalam hatinya, ketika ia memandangi gunung raksasa tersebut.
Setelah puas memandangi gunung putih itu, Arley pun mulai melangkahkan kakinya, untuk bergegas, mengantarkan paket obat, pada orang yang memesannya.
Namun, saat ia hendak keluar dari dalam gerbang gereja, tiba-tiba ada beberapa anak kecil, yang mendekati Arley, sambil membawa ranting kayu.
“Hey lihat! Itu Argog!” ucap salah seorang dari mereka, sambil menunjuk Arley, menggunakan ranting kayunya.
Mereka berjumlah enam orang, dan semuanya, memiliki rentang umur yang hampir sama, yaitu, sekitar lima sampai delapan tahun.
Mendekatlah mereka berenam ke arah Arley. Saat itu, Arley tidak bisa melanjutkan perjalannya, ia hanya terpojok di gerbang pintu gerejanya.
“A-apa yang kalian inginkan …?” Wajah Arley yang pucat, bertambah semakin pucat, saat mereka mendesak Arley, dan ingin berbuat sesuatu padanya.
Ketika itu, salah seorang dari mereka datang dan mendekat, bahkan sampai menarik kerah kaos baju Arley, dan membuatnya kusut tak beraturan. Arley pun diancam oleh si anak.
“Hey, mengapa kamu masih berada di desa kami? Kemarin, kan, sudah kami bilang. Jangan pernah hidup di desa kami lagi!” ancam sang anak, sambil menarik Arley, mendekat ke wajahnya.
Arley pun memalingkan pandangannya, ia tidak ingin memperpanjang masalah ini. “Hal itu terlalu berlebihan … aku mau tinggal di mana, jika tidak di desa ini ….”
“Itu terserah sama kamu! Kami tidak peduli!” Lantas, sang anak langsung mendorong Arley, dan membuat dirinya menabrak gerbang kayu, yang berada di belakangnya. “Tinggal saja di dalam hutan! Kalau kau bisa mati, itu lebih baik!” ucapnya dengan kasar. “Hahaha! Ayo kawan-kawan, kita tinggalkan saja dia.” Kemudian, sang anak pergi meninggalkan Arley sendiri.
Ketika itu, Arley hanya tertunduk diam pada posisinya. Ia memandang tajam ke arah pundak sang anak. Tangannya pun digeram, ingin sekali ia menghajar wajah anak itu, tetapi, ia tak ingin emosinya menguasai dirinya.
Tapi, permasalahan belum selesai sampai di situ. Tiba-tiba, datang seorang remaja, dan ia kemudian langsung membentak Arley, dengan suara lantangnya.
“Hei! Kenapa kau melihat adikku dengan pandangan itu!” Teriak seorang wanita, dengan tatapan kejamnya.
Arley langsung tersentak, ia langsung berdiri dari duduknya. “M-maafkan aku! Aku tidak bermaksud buruk!” ucap Arley dengan penuh kerendahan.
Sontak, wanita itu langsung mengambil sebuah ranting, dan ia menghajar Arley, tepat menuju kepalanya. Untungnya, Arley bertindak cepat, dan ia menahan serangan sang wanita remaja, dengan menggunakan punggung tangan kanannya.
Sabetan kuat pun tertangkis, akan tetapi, luka yang cukup ringan tercipta akibat perilaku tak terpuji si wanita remaja.
Arley sempat merintih, menahan sakit. Akan tetapi, ia tak memperpanjang tangisannya, karena ia tak ingin merepotkan ibundanya yang sedang bekerja di dalam gereja. Saat ini, ibunda Terra sedang meracik obat lainnya, untuk penduduk desa.
Sang anak berambut merah itu pun langsung menutupi lukanya dengan tangan kiri.
“Ingat, ya! Kalau kamu sampai menatap adikku dengan tatapan seperti itu lagi! Akan aku laporkan kamu ke kepala desa!” Setelah ia puas melukai Arley, remaja berumur lima belas tahun itu pun langsung pergi meninggalkan Arley, kemudian ia kembali berjalan, bersama kedua temannya sambil tertawa cekikikan.
Lagi-lagi, sang anak hanya bisa menatap wanita itu dengan pandangan lesu. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa, karena dirinya hanya bisa menerima perlakuan ini, sebab sebuah janji yang tengah mengikatnya.
Lantas, Arley pun pergi dari tempat itu sambil memegang kantung bajunya, ia mencoba mengecek, apakah obat yang ingin ia antarkan, masih berada di kantungnya atau tidak.
“Syukurlah, obatnya tidak kenapa-kenapa.” Mengingat kondisi hari semakin padam, sang anak berambut merah itu, memilih untuk segera berangkat, menuju rumah, paman Ordley, untuk mengantarkan pesanannya.
Ia pun hanya bisa menghela napas panjang, untuk mengendurkan hatinya, yang terasa lebih perih, di bandingkan punggung tangan kanannya.
***
Perjalanan sudah berlangsung cukup lama, mungkin sekitar setengah jam, dari saat Arley keluar dari depan pintu Gereja.
Saat di pertengahan jalan, Arley sempat menghentikan langkahnya. Tepat di sebuah lahan sawah, yang tergambar begitu luas.
Kondisi saat ini sangatlah sepi, karena jam sudah memasuki waktu di mana para petani harus kembali ke rumah mereka masing-masing.
Dengan kata lain, persawahan ini kosong, tak ada satu manusia pun yang menjaganya.
"Baiklah, jaraknya sudah lumayan jauh."
Arley kemudian menarik sebuah tongkat kayu, dari sela-sela celananya yang tampak begitu longgar.
Lantas, saat tongkat itu telah dirinya keluarkan, langsunglah sang anak memejamkan matanya, dan ia berusaha mengkonsentrasikan energi『Mana』,pada ujung tongkat sihirnya tersebut.
Terbayang, lantunan angin bergerak berputar di dalam pikirannya yang jernih. Lalu, Arley mengimajinasikan, bahwa angin itu, akan berputar kencang dan membawanya terbang.
"Gale ventum!"
Terucap kalimat mantra, sembari Arley mengayunkan tongkat sihir ke udara.
Sedikit demi sedikit pusaran angin tercipta di hadapannya.
Beberapa saat kemudian, pusaran angin yang Arley ciptakan, berputar semakin kencang mengikuti porosnya, lalu terkonsentrasi pada satu titik.
Tampak kokoh, demikian Arley berhasil menciptakan pusaran angin yang padu, dan dapat disentuh.
Tanpa ragu, ia langsung melompat ke atas angin yang dirinya ciptakan tadi. Dengan kedua kakinya yang kecil, Arley dapat menginjak angin tersebut, seperti benda yang padat.
Melalui instruksinya, kemudian Arley memerintahkan angin itu untuk menerbangkan dirinya ke langit yang luas.
"Ahahaha! Aku berhasil! WOoohoOo!"
Saat itu, Arley yang baru saja menginjak umur empat tahun. Dengan sangat gembiranya ia terbang ke langit lepas, menggunakan sihir yang ia rapalkan. Ya, keadaan ini merupakan hal yang baru untuk Arley sendiri.
"Huwa ...! Ini ternyata yang dimaksud, berkomunikasi dengan alam."
Terpukau dengan keindahan langit di sore hari. Sejenak, Arley melihat dan menikmati indahnya batas cakrawala bumi『Soros』dengan mata berkaca-kaca.
Beberapa saat kemudian, terpintas, secercah memori yang sangat penting pada benaknya. Teringatlah ia, mengenai hal yang seharusnya Arley kerjakan terlebih dahulu. "Ahh! Ya, ampun! Aku lupa mengantarkan pesanan, Ibunda Terra!"
Kembali teringat tugas penting itu. Dengan sangat cepat, Arley terbang menuju rumah Paman Ordley, tanpa menunda-nundanya lagi.
.
.
.
***
.
.
.
Saat itu. Pria bernama ‘Ordley Verna’, sedang berusaha menghidupkan perapian di dalam rumahnya.
Kayu-kayu sudah dimasukkan ke dalam perapian, lalu dia menepuk-nepuk kedua tangannya yang kotor, akibat debu kayu yang menempel pada kulitnya.
paman Ordley lalu mengambil jarak selangkah ke belakang, kemudian dia mengucapkan sesuatu dari mulutnya, sambil mengacungkan jari telunjuknya pada sebuah objek.
"Burn."
Rapal sang paman, sembari dia mengembuskan napas panjangnya, menuju objek tersebut.
Keluarlah api dari mulut sang paman. Hal tersebut menyebabkan kayu-kayu kering yang telah tersusun di dalam perapian, terbakar dengan sempurna, dan jadilah penghangat ruangan yang tampak begitu pesam.
Namun, Tiba-tiba terdengar suara angin yang amat gusar, menghantam atap rumah paman Ordley.
Angin itu, terdengar sangat keras, ketika menghantam atap rumah sang paman. "W-whoa ... apa itu!?" Embusan angin kencang tersebut, membuat paman Ordley menjadi cemas dengan kondisi rumahnya.
Ia pun bergegas keluar rumah, untuk melihat situasi yang tengah berlangsung.
.
.
.
***
.
.
.
Ketika itu, sang paman sangat dikejutan, oleh kedatangan Arley yang begitu mendadak.
Suasana di sore hari ini, membuat beliau susah untuk melihat sekitarnya, karena sakit kepala yang tengah dideritanya belakangan ini.
"Paman Ordley, selamat sore!" panggil Arley, sambil berlari ke arahnya.
"Huh ...? Ahh, Argog rupanya. Kamu menakutiku saja." Paman Ordley kemudian menurunkan rasa khawatirnya, dan menyambut Arley dengan hangat.
Kemudian, sang paman pun langsung menoleh ke arah atap rumahnya, untuk memastikan, apakah ada hal yang rusak, pada atap rumahnya tersebut. "Hmm, belakangan ini angin sangat kencang, ya," ucap paman Ordley, dengan rasa cemas.
Arley yang takut, bila ada warga desa yang sadar, jika dirinya bisa menyihir … ketika itu, ia langsung berusaha merahasiakan semua hal.
Tampak jika Arley sedang dalam kondisi panik. Tetapi, karena pengelihatan paman Ordley yang kurang baik, hal itu pun tertutupi dengan sendirinya.
Sebisa mungkin, ia berusaha mengalihkan subjek pembicaraan mereka. "I-Ini Paman! Obat sakit kepala yang Paman pesan telah jadi."
"Sudah jadi, ya? Terimakasih banyak atas bantuannya ...."
Arley kemudian memberikan obat tersebut langsung ke Paman Ordley.
Setelah mengambilnya dari tangan Arley, paman Ordley kemudian menyematkan obat yang berada di dalam kertas itu, masuk ke dalam saku bajunya.
"Ngomong-ngomong … kamu jalan sendirian?"
"Iya Paman, kebetulan Ibunda Terra menyuruhku langsung menghantarkan obat ini kepada Paman."
Tak punya kepentingan lain, Arley berniat untuk langsung pulang ke rumahnya. "Kalau begitu, aku pamit duluan Paman—"
"Tunggu Argog!” Namun, tiba-tiba sang paman menghentikan dirinya. “Ehm … aku sedang memasak sup kambing. Kondisi sudah mulai malam, sebaiknya kau menginap saja dulu di rumahku."
Langkah kaki Arley langsung terhenti, kemudian, ia melihat gumpalan asap yang mengepul keluar, dari cerobong asap rumah milik Paman Ordley.
Sebenarnya, jika ia terbang langsung menuju Gereja, maka Arley akan tiba dalam waktu yang singkat.
Tetapi, bilamana ada orang yang tahu jika terdapat seorang anak berusia empat tahun bisa terbang, pasti akan langsung membuat heboh satu kampung.
Lantas, sang paman pun mendorong Arley untuk terakhir kalinya, agar ia, mau tinggal di rumah sang paman dengan suka rela.
"Tak usah risau, aku akan mengirimkan pesan kepada Ibunda Terra, supaya ia tidak cemas. Dia yang mengirimkanmu ke sini, kan? Pasti dia sudah menduga hal ini akan terjadi."
"K-Kalau demikian, maka aku terima tawaran Paman."
Paman Ordley pun tersenyum lebar setelah ia berhasil merayu Arley. Wajahnya perlahan menghangat di suhu yang cukup dingin ini.
"Nah! Kalau begitu, yuk, segera masuk ke dalam! Jangan sungkan, nanti kau harus makan yang banyak, agar tubuhmu tumbuh dengan sehat, juga biar kulitmu tidak pucat seperti ini lagi, gahaha!"
Ketiak itu, Arley hanya mampu tertawa dengan cuitan yang dipaksakan. "Ahahahaha ...." Akan tetapi, pada akhirnya Arley membuka diri, untuk menikmati makan malam mereka bersama. Sebab utamanya, karena Arley sudah lama sekali tak memakan daging kambing.
Dalam senja yang melandai perlahan itu, mereka berdua tampak tertawa hangat, sambil berjalan masuk ke dalam rumah.
Dingin nan syahdu. Beberapa kali deruan angin mengetuk jendela rumah Paman Ordley layaknya seperti mereka ingin masuk ke dalam rumah bersama orang-orang yang ada di dalamnya.
Tak lama setelah Arley dan Paman Ordley masuk ke dalam rumah, seketika itu juga Paman Ordley menuliskan sebuah pesan dalam secarik kertas.
Lalu sang Paman mengikatkan kertas itu pada seekor burung merpati, yang telah terlatih dalam pengiriman surat. Dan ia menerbangkan merpati itu keluar lewat jendela rumahnya.
Terbanglah merpati itu melewati dinginnya langit malam. Seperti sebuah pertanda, bahwasannya musim gugur akan segera berlalu dan menanti musim dingin untuk tiba.
Ordley Verna, individu satu ini cukup berbeda dengan orang-orang yang Arley kenal.
Biasanya masyarakat Desa selalu menghujat, mengejek, serta menyakiti Arley—bahkan sampai meninggalkan bekas luka pada tubuhnya.
Tetapi, Arley sendiri tidak terlalu mempedulikan hal tersebut—karena ia memiliki sebuah prinsip hidup yang sangat ia pegang teguh, dan tak akan pernah dia lepaskan, sampai kapanpun itu.
Prinsipnya tersebut adalah : "Kejahatan harus dibalas dengan kebaikan, kebaikan akan menularkan kebajikan. "
Prinsip ini sudah Arley pegang sebelum ia dilahirkan ke dunia ini, dan hanya prinsip inilah yang bisa Arley percaya sampai kapanpun.
Di luar itu, Arley juga telah berjanji dengan Ibundanya, bahwasannya ia tidak akan dendam dengan warga desa, karena mereka hanya belum kenal dengan dirinya semata.
Arley percaya, bahwasannya ... pada suatu saat nanti, jika masyarakat desa telah mengenali dirinya dengan baik, maka—mereka bisa menjadi teman-teman karibnya di kemudian hari.
***
Paman Ordley, begitulah biasanya Arley menyebut beliau. Paman Ordley adalah seseorang yang tinggal di pinggir desa, biasanya masyarakat desa menyebut Paman Ordley sebagai penjaga perbatasan, karena posisi rumahnya yang paling dekat dengan mulut hutan.
Demikian beliau tinggal sebatang kara di rumah bertingkat dua ini, tanpa ada yang menemaninya.
Dahulu Paman Ordley memiliki seorang istri dan seorang anak lelaki. Kehidupannya penuh dengan kebahagiaan dan rasa cinta, namun sekitar setahun yang lalu—keluarga beliau terkena musibah.
Musibah yang menyembabkan seluruh perangkat keluarganya tewas, dan tak ada yang tersisa. Istri dan anak semata wayang beliau ditemukan dalam kondisi terbunuh, secara mengenaskan.
Ya, dibunuh oleh monster.
Semenjak itulah Paman Ordley tinggal sendirian di rumah yang cukup mewah ini. Kondisinya yang semakin hari semakin memburuk membuat Arley merasa iba dengan sang Paman.
Berjalannya waktu, Arley berusaha untuk mendekatkan dirinya kepada sang Paman.
Tentu saja kekosongan pada hatinya membuat sang Paman menerima kekurangan Arley dengan lapang dada.
Demikianlah bagaimana Arley bisa bersosialisasi dengan Paman Ordley.
.
.
.
***
.
.
.
Suhu di luar semakin sejuk, matahari tenggelam dengan cepat, dan bulan bersinar dengan terang.
Suara percikan bunga api yang membakar potongan kayu pinus, menjadi lagu latar belakang pada malam hari ini.
Tak berapa lama kemudian, Paman Ordley menaruh mangkuk-mangkuk berisi sup daging kambing—yang uapnya mengepul di hadapan wajah Arley.
"Makanlah ...," ucap Paman Ordley.
Arley sangat terhanyut ketika melihat kepulan asap yang begitu banyak—muncul dari sebuah mangkuk kecil berukuran dua kepalan tangan orang dewasa. "Huah ...!" jawabnya dengan girang.
"Kalau mau tambah bilang saja, aku membuat porsi yang cukup banyak hari ini." Akhirnya Paman Ordley pun duduk pada kursi makannya.
"Siap Paman! Selamat makan!" ucap Arley sembari ia menyantap sup itu dengan lahapnya.
Pada gigitan pertama, daging sup yang Arley makan—terasa begitu empuk dan lebur, kaldu rempah pada kuahnya terasa sangat kuat dan nikmat, aroma amis sama sekali tidak tercium. Begitu santapan ini tenggelam di dasar perut, kehangatannya langsung terasa merebah ke seluruh tubuhnya.
"Uwah! ini sangat luar biasa enak!" Arley sangat terkejut, sungguh kenikmatan sup ini diluar dugaannya.
Namun secara tiba-tiba—tak sengaja mata Arley melihat ke arah wajah Paman Ordley—yang ketika itu, ia dengan hangatnya tengah memperhatikan segala perbuatan Arley, seperti pandangan seorang ayah terhadap anaknya.
Wajah Arley langsung memerah, dan perlahan kepalanya merunduk malu akibat perbuatan yang ia lakukan sendiri.
"Syukurlah jikalau kau menyukainya." Senyum Paman Orldey sambil memandang Arley dengan gembira.
Setelah puas memperhatikan ekspresi wajah Arley, akhirnya Paman Ordley juga ikut menyantap makan malamnya.
Bibir mereka pun basah dengan kuah sup yang terasa begitu hangat.
"Bagaimana kondisi Ibunda Terra?" Muncul pertanyaan dari sang paman ketika mereka sedang makan dengan lahapnya.
"Emm, masih seperti biasanya, dia masih membuatkan obat untuk warga desa yang datang ke Gereja kami, padahal tugasnya sebagai missionaries Gereja jadi terbengkalai akibat hal tersebut." Jelas Arley sambil mengunyah daging kambingnya.
"Syukurlah, aku berharap beliau panjang umur, agar warga desa ini tetap makmur seperti sedia kala." Disela-sela lahapnya beliau menyantap hidangan malam ini, sang Paman berdoa untuk kemaslahatan desa.
Namun secara refleks—Arley terdiam membisu.
"A-ah?! maafkan aku, seharusnya aku tidak mengangkat topik ini ..., " ujar Paman Ordley canggung. Makan malam menjadi terhenti sesaat.
Sekilas Paman Ordley melihat bekas luka baru pada punggung tangan kanan Arley. Lantas, saat itu juga sang Paman menghela nafasnya dalam-dalam. "Tentu saja kau membenci warga desa, setelah apa yang kau derita akibat perbuatan kami." Ketika itu, alis Paman Ordley mengkerut seperti seseorang yang merasa bersalah.
"Tidak apa-apa Paman, aku mengerti mengapa warga desa membenciku—tetapi aku sama sekali tidak membenci mereka, bahkan aku berharap suatu saat mereka akan menjadi teman-teman karibku—kelak di kemudian hari!" ucap Arley dengan penuh makna.
Seperti tak bisa dihindarkan, wajah Paman Ordley tersenyum lebar dan wajahnya kembali memerah. "Gaaahh! kau anak yang sangat dermawan Argog!" Kemudian lagi-lagi Paman Ordley bertingkah semaunya, ia melompat dari kursi makannya, dan sang Paman memeluk Arley dengan dekapan yang sesak nan hangat.
"P-Paman! aku tidak bisa bernapas!"
"-Ahh?! maaf-maaf, aku merasa begitu bahagia dengan keberadaanmu hari ini Argog—nah ayo kita lanjutkan makan malamnya!"
Jamuan pun kembali berlangsung, selepas itu mereka melanjutkan makan malam sambil berbincang-bincang ringan.
***
----------------------------------------------
Hai! sahabat pembaca dimanapun kalian berada!
Ingat! jangan lupa untuh support Author ya!
Caranya gampang banget kok, cukup tekan tombol like, komen, dan rate *5 pada bagian depan!
Bantuan kalian sangatlah berarti untuk Author, karena setiap support yang kalian berikan, sudah bisa menambah semangat Author untuk melanjutkan kisah ini!
Juga bagi kalian yang berkenan untuk menyumbangkan pointnya!
Author akan merasa sangat berterima kasih!
dan akan semakin bersemangat untuk menuliskan chapter-chapter selanjutnya!
Bahkan Author bisa saja loh memberi Crazy Up!
Baiklah!
Demikian salam penutup dari Author untuk kalian semua!
Jangan lupa untuk tetap berbahagia!
dan selalu berpikiran positif!
Have a nice day, and Always be Happy!
See you on the next chapter!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!