"Ini adalah takdir cinta kita, Ustadz. Apapun yang terjadi saat ini, itu sudah menjadi bagian dari rencana Allah. Jangan memaksakan dirimu. Berbahagialah dan jangan pikirkan aku!"
"Bagaimana bisa saya baik-baik saja di saat saya sudah melanggar janji padamu?"
Azzahra Nafeeza Fatharani, gadis yang akrab disapa Zahra itu tersenyum mendengar ucapan laki-laki yang ada di hadapannya.
"Terkadang rasa cinta itu hadir hanya karena Allah ingin menguji kita, Ustadz. Apakah kita bisa mengendalikan perasaan dan lebih memprioritaskan cinta kepada Allah atau perasaan itu akan membuat kita lupa pada Allah. Percayalah, Ustadz, Allah akan menghapus rasa cinta kita ini jika memang kita tidak ditakdirkan satu sama lain." Gadis itu menatap lekat manik hitam milik laki-laki yang sudah berhasil membuatnya jatuh cinta.
Untuk sekejap dunia terasa berhenti bagi keduanya. Sesak di dada tentu saja ada. Namun, semua sudah menjadi kehendak Sang Maha Cinta.
"Terima kasih atas rasa ini. Maaf, sudah mencintaimu secara lancang. Seharusnya dari awal aku sadar, wanita sederhana sepertiku tidak pantas untukmu."
"Kamu memang wanita yang sederhana, tapi kesederhanaanmu-lah yang membuat saya jatuh cinta,Azzahra Nafeeza Fatharani . Fii amanillah! Semoga kamu diberikan laki-laki yang terbaik."
***
"Ayah sama Bunda kenapa ninggalin Zahra sendiri di sini? Sekarang Zahra udah gak punya siapa-siapa lagi." Seorang gadis yang baru menginjak usia sepuluh tahun tengah meringkuk, menangis sembari memegang kedua batu nisan milik orang tuanya. Beberapa hari yang lalu, kedua orangtuanya menjadi korban tabrak lari sehingga membuat nyawa mereka tidak dapat diselamatkan.
"Zahra, Sayang, kamu jangan sedih lagi, ya, Nak? Tante yakin, kamu pasti kuat! Zahra juga gak perlu khawatir, karena kita adalah keluarga, jadi Zahra gak sendirian di sini. Ada Om Firman, Tante Ninda, sama Aretha yang selalu ada buat Zahra."
Azzahra Nafeeza Fatharani, gadis yang akrab disapa Zahra itu hanya menatap dengan tatapan kosong. Melihat hal itu, Aretha segera membawa Zahra ke dalam dekapannya. Gadis itu kembali menangis ketika merasakan hangatan pelukan dari Sang Tante.
Wajah yang semula putih kemerah-merahan, kini berubah menjadi pucat dengan mata yang sudah sembab.
Perlu waktu bagi gadis seperti Zahra untuk menerima semuanya, tanpa harus menyalahkan takdir. Apalagi di saat usianya yang masih membutuhkan kasih sayang dari orang tua.
Aretha, tangan wanita tersebut terulur untuk menghapus air mata yang membasahi kedua pipi keponakannya.
"Aku tau, Zahra, perempuan seperti kamu pasti kuat. Abi dan Ummi aku pernah bilang, di saat kita sedang diuji oleh Allah, itu tandanya Allah sayang sama kita. Allah tau kita mampu, Allah tau kita kuat. Ujian itu juga salah satu bentuk kasih sayang dan cinta Allah kepada hamba-Nya," ucap Aretha Zayba Almira . Gadis yang berusia empat tahun lebih tua dari Zahra itu ikut memeluknya.
"Kamu gak usah khawatir! Kita adalah keluarga, jadi kamu bisa panggil aku 'kakak' dan orang tua aku bisa kamu panggil 'abi dan ummi'. Ngga usah sungkan. Ya, 'kan, Bi, Mi?" Aretha menatap kedua orangtuanya silih berganti. Keduanya serempak mengangguk sambil mengulas senyuman hangat.
"Terima kasih, Kak Aretha." Zahra tersenyum tipis membuat ketiga makhluk Allah itu merasa sedikit lega. Setidaknya, Zahra tidak merasa kesepian, karena mereka bertiga akan selalu ada untuk gadis itu.
***
Beberapa tahun kemudian ....
"Kakak!"
Zahra. Tepat pada hari ini, usia gadis itu bertambah satu tahun.
Dengan wajah kusam karena baru bangun dari tidur, ia berjalan dengan mata celingukan mencari penghuni rumah.
"Ya Allah, orang-orang pada ke mana, ya? Kok pada gak ada," gerutunya dengan raut wajah kesal. Tanpa berpikir panjang, ia langsung masuk ke dalam kamar mandi.
Selang beberapa menit kemudian, kini Zahra sudah rapi dengan baju gamis berwarna coklat, senada dengan warna jilbab pashmina yang ia pakai.
Wajah yang putih, bulu mata yang lentik, bibir yang berwarna pink alami, dan kulit yang kemerah-merahan, membuat gadis itu terlihat cantik tanpa harus menggunakan make-up.
Saat menuruni anak tangga, lampu di ruang tamu seketika mati dan membuat Zahra sedikit kaget. Namun, secara tiba-tiba ia dikejutkan dengan suara seseorang yang sudah tidak asing lagi di telinganya.
"Selamat ulang tahun!"
Firman, Ninda, dan Aretha berjalan menghampirinya sambil membawa kue ulang tahun dan beberapa kado.
Melihat hal itu, membuat senyum zahra seketika mengembang, terlihat beberapa tetes butiran kecil jatuh dari mata gadis itu.
"Selamat ulang tahun, Sayang. Abi sama Ummi do'ain yang terbaik buat kamu," ucap Ninda seraya memeluk Zahra.
"Terima kasih, Ummi. Zahra benar-benar lupa kalau hari ini adalah hari ulang tahun Zahra." Mereka saling melemparkan senyum, lalu kemudian duduk di sofa.
Zahra memotong-motong kue ulang tahun tersebut lalu membaginya menjadi beberapa bagian.
"Suapan pertama buat Ummi," ucap Zahra sambil menyuapi kue itu ke mulut Ninda.
"Terima kasih, Sayang."
"Dan suapan kedua buat Abi." Firman tersenyum dan membuka mulutnya, memberikan izin agar keponakannya itu dapat menyuapinya.
"Aish, masa Kakak ngga dikasih, sih, Ra?" ketus Aretha sehingga membuat mereka semua tertawa.
"Kak Aretha pasti kebagian, kok. Tadi Zahra kasih Abi sama Ummi dulu, karena kita harus menghormati yang lebih tua. 'Kan gak enak kalau kita berdua duluan yang makan, sedangkan Abi sama Ummi belum mencoba."
Zahra tersenyum, lalu menyuruh Aretha untuk membuka mulut. "Dan sekarang, suapan ketiga untuk Kakak aku yang paaaaaling aku sayangi."
Keduanya sama-sama terkekeh, Aretha pun membuka mulut untuk menerima suapan kue dari zahra.
"Terima kasih, ya, zahra. Walaupun kita bukan saudara kandung, kamu tetap adik aku dan Abi sama Ummi adalah orang tua kita." Aretha memegang pundak zahra sebelum ia kembali melanjutkan ucapannya.
"Tepat di hari ulang tahun kamu, Kak Aretha bakal do'ain yang terbaik. Semoga kamu dipanjangkan umur, sehat selalu, dimudahkan setiap urusan, lulus sekolah dengan nilai terbaik, dan dipertemukan dengan jodoh yang terbaik menurut Allah. Aamiinn."
"Aamiin." Mereka serempak meng'aamiin'kan do'a yang diucapkan Aretha.
Sejenak Firman dan Ninda saling pandang. Meski Zahra bukanlah anak kandung, tetapi kebahagiaan mereka terasa lengkap setelah gadis itu masuk ke dalam kehidupan mereka.
Beberapa tahun setelah ditinggalkan oleh kedua orangtuanya, kini Zahra tidak terlalu sering menangis lagi. Firman dan Ninda juga selalu menasehati kedua putrinya, terlebih-lebih lagi Zahra agar gadis itu selalu mendo'akan orang tuanya.
"Ohya, bagaimana kalau kita sekarang ziarah ke makam ayah dan bundanya Zahra?" ajak Firman membuat wajah Zahra seketika berbinar.
"Wah, boleh tuh. Ya sudah, sekarang aja, yuk?" Ninda menyahut dengan antusias.
Zahra mengangguk semangat, lalu merapikan jilbabnya. "Ayok!"
***
"Assalamu'alaikum, Ayah, Bunda, Zahra datang." Gadis itu menangis sembari menaburkan bunga di atas kubur orang tuanya.
"Ayah, Bunda pasti tau, 'kan? Hari ini Zahra ulang tahun, sekarang putri kalian juga sudah besar. Zahra yakin, meski kita udah berbeda alam, tapi di sana kalian pasti do'ain Zahra." Zahra menghela nafas sambil menyerka air matanya.
"Dulu waktu masih kecil, Zahra cerewet, ya, Yah, Bund? Zahra sering marah-marah kalau mainan yang Zahra pengenin gak dibeli-in sama kalian. Ayah dan bunda juga sering banget nasehatin Zahra agar menjadi perempuan yang baik, sholehah, dan berbakti kepada orang tua."
"Ayah, Bunda, Zahra rindu," lanjutnya dengan isakan tangis.
Firman lalu berjongkok dan memegang bahu Zahra. Pria itu nampak tersenyum, matanya menatap batu nisan milik saudaranya—ayah Zahra.
"Lihat Zahra, Arhan! Sekarang anak gadis yang dulunya kamu dan istrimu rawat dengan baik, sekarang dia sudah menjadi anak yang sholehah dan anak yang kuat. Sekarang, anak gadis kalian sudah berumur tujuh belas tahun, dia persis seperti kalian. Cantik, baik hati, dan sholehah." Sejenak Firman menatap Zahra dengan mata yang berkaca-kaca. Gadis tersebut menatap Sang Om dengan tatapan sendu.
"Aku berjanji, aku akan pegang amanah ini dengan baik, aku akan menjaga Zahra dan merawatnya seperti aku merawat Aretha. Kalian pasti bahagia di sana, melihat putri kalian yang sudah besar dan yang selalu mendo'akan kalian."
Zahra, ia tersenyum mendengar penuturan Firmah. Meskipun Firman dan Ninda bukanlah orang tua kandung. Namun, mereka sangat menyayangi gadis itu.
Ninda dan Aretha pun ikut berjongkok dan mengelus-elus bahu Zahra.
"Jangan sedih, oke? Ada Kakak dan Abi sama Ummi di sini yang bakal selalu ada di samping kamu," ucap Aretha. Keduanya sama-sama tersenyum dan berpelukan.
"In syaa Allah." Sejenak Zahra menatap ketiga makhluk Allah yang ada di sampingnya. Ia ingin mengatakan sesuatu.
"Abi, Ummi, Kak Aretha. Terima kasih, ya? Selama ini kalian udah mau menerima Zahra, menjaga, dan merawat Zahra. Dulu Zahra pikir, Zahra gak punya siapa-siapa lagi, tapi ternyata Allah Maha Baik. Zahra dikasih sama Allah keluarga yang benar-benar sayang sama Zahra."
"Sama-sama, Sayang. Meskipun kamu bukan anak kandung kami, tapi kami tetap sayang sama kamu, seperti kami menyayangi Aretha. Kalian berdua anak-anak yang berbakti dan sholehah. Ummi sama Abi bangga punya putri seperti kalian," ucap Ninda bangga.
Zahra tersenyum, lalu mengangguk. Ia dan Aretha pun sontak memeluk Ninda dengan erat. Firman lantas tersenyum melihat ketiga perempuan tersebut, ia membelai dengan lembut kepala Sang Istri.
"Ya sudah, sebelum pulang, kita berdo'a dulu, yuk?" ajak Firman yang dibalas anggukan oleh mereka.
***
"Ustadzah Zahra!"
Mendengar namanya dipanggil, membuat pemilik nama itu menoleh ke belakang. Zahra mendapati pria yang ia kenal sedang berdiri di belakangnya sambil membawa bingkisan.
"Ustadz Zeehan?"
Bersambung ....
"Ustadz Zeehan?"
Muhammad Zeehan Sakhi Pratama , nama lengkapnya. Dikenal dingin, cuek pada perempuan, tapi tidak bagi Zahra yang sudah menjadi teman dekat pria itu. Namun, sekat di antara mereka masih ada, hanya saja pria tersebut sedikit terbuka dengannya.
Pertemuan mereka berawal saat Zahra pertama kali masuk mengajar di sekolah mengaji milik abinya, Firman. Meskipun ia masih duduk di bangku kelas dua belas. Namun, ia diminta Firman untuk turut membantu mengajar di tempat itu, karena jumlah para anak-anak santri yang ingin belajar Al-Qur'an semakin bertambah, sehingga perlu pengajar tambahan dan Zahra pun menyetujuinya.
"Saya dengar dari ustadz-ustadzah, katanya hari ini kamu ulang tahun?" tanya Zeehan saat sudah berada di hadapan Zahra.
"Iya, Ustadz. Kenapa memangnya?"
Zeehan tersenyum tipis dan menggeleng. "Tidak apa. Maaf, saya tidak tahu. Oh, ya, ini ada hadiah kecil dari saya, tolong diterima, ya?"
Zahra menatap bingkisan yang dipegang Zeehan dan kembali menatap pria tersebut.
"Ya Allah, Ustadz, Ustadz Zehaan gak perlu repot-repot kasih Zahra hadiah," tolak Zahra secara halus.
"Tidak apa-apa, saya ikhlas. Lagipula ini hanya hadiah kecil dan sederhana, tapi saya berharap semoga bisa membawa kepada kebaikan."
Zahra mengambil bingkisan tersebut dengan malu-malu.
"Terima kasih, Ustadz, maaf kalau sudah merepotkan," ucapnya.
"Sama-sama. Semoga hadiahnya bermanfaat."
Zahra mengangguk. "Saya masuk ke dalam duluan, ya, Ustadz? Takut anak-anak sudah menunggu."
"Tafaddholy! Saya juga mau ke tempat wudhu sebentar."
Gadis itu pun masuk ke dalam kelas terlebih dahulu. Terlihat para anak-anak santri sudah menunggunya.
"Assalamu'alaikum, Anak-anak!" sapa Zahra tersenyum ramah.
"Wa'alaikumussalam, Ustadzah." Semua anak-anak menjawab dengan serempak membuat Zahra gemas melihat mereka.
"Udah pada baca do'a, belum?" tanya Zahra sebelum memulai kelas.
"Belum."
"Ya sudah, baca do'a dulu, yuk!" Zahra memperhatikan semua anak-anak santri yang terlihat bersemangat.
"Tangannya ditadahkan." Gadis itu memulai aba-aba agar semuanya menadahkan tangan untuk berdo'a.
"Kepala ditundukkan. Aa baa taa!" sahut mereka kompak.
Awal belajar pun dimulai dengan membaca do'a, anak-anak santri terlebih-lebih lagi Zahra, semuanya terlihat khusyuk.
Diam-diam, sepasang mata sedang mengintip di balik jendela. Ia tersenyum tipis menatap gadis yang saat ini sedang memimpin do'a tersebut.
"Uhibbuka fillah."
***
"Kak Aretha mau ikut ngajar juga?" tanya Zahra di sela-sela makan.
"Iya. Lagipula tugas kuliah Kakak gak terlalu banyak, jadi Kakak juga pengen ikut. Gak apa-apa, 'kan, Bi?" tanya Aretha kepada Firman.
Firma berpikir sejenak, kemudian mengangguk. "Ngga masalah, kamu bisa sekalian bantu Zahra juga di sana."
"Wahh, putri-putri Ummi, semuanya menjadi ustadzah. Maa syaa Allah, Ummi bangga sama kalian." Ninda tersenyum bahagia. Aretha dan Zahra saling tatap dan terkekeh.
"Bakal sulit ngga, sih, hadapin anak-anak?" tanya Aretha.
Zahra mengangguk, setelah itu menggeleng. "Sulitnya ada, mudahnya juga ada. Tergantung nasib kitanya, sih, Kak. Kadang-kadang kita bisa dapat santri yang rewelnya tingkatan dewa, susah diatur," jelasnya sambil mengunyah nasi.
Firman tertawa pelan mendangar penjelasan Zahra. "Yang penting dari dalam hati kita dulu. Kalau kita sanggup dan tekad kita sudah bulat, mau senakal apapun anak-anak santri, in syaa Allah kita akan bisa tetap sabar dan bertahan."
"Abi mah enak bilang kayak gitu, karena Abi orangnya penyabar. Apalah nasib kami perempuan ini yang suka ngomel-ngomel ngga jelas, meskipun kesabaran kami setingkat kabupaten, kalau dihadapin dengan hal yang nyebelin, pasti ngga bisa sabar!" sahut Ninda sewot.
Ketiga makhluk Allah itu dibuat tertawa mendengar cerocosan Ninda.
"Sabar memang sulit, tapi Allah menghadiahkan pahala besar di balik kesabaran kita itu, Sayang. Apalagi kalau ngajarin anak-anak orang mengaji, meskipun anak-anaknya pada bandel, tapi pahala akan terus mengalir," jelas Firman dengan lembut. Sontak membuat Zahra gigit bibir.
Ah, dia benar-benar menginginkan sosok laki-laki yang akan menjadi pendamping hidupnya nanti seperti Firman, abi angkatnya.
"Oh, iya, Abi, ngomong-ngomong di tempat anak-anak belajar, ustadz dan ustadzahnya ada berapa orang?" tanya Aretha.
"Kalau tidak salah, ada sembilan orang. Kalau Aretha jadi ikut mengajar di sana, bertambah jadi sepuluh orang," jawab Firman.
"Ustadznya ada berapa orang, Bi?" Mendengar pertanyaan Aretha, membuat Zahra tersedak makanan yang dimakannya.
"Ya Allah, Zahra, kamu kenapa?" tanya Aretha. Zahra menyengir kuda dan menatap Aretha tidak percaya.
"Jangan kaget, Zahra! Kakak cuma nanya aja, kok, ngga lebih." Aretha paham maksud tatapan adiknya itu. Zahra mengulum senyum, ia juga tau maksud dari pertanyaan Aretha. Kenapa tidak? Sudah tujuh tahun satu rumah dengannya, ia pasti tahu tentang gadis itu.
"Ustadznya ada lima orang, dua orang sudah menikah, tiga orang belum. Kenapa? Kamu pengen Abi jodohin sama salah satu dari mereka?" celetuk Firman membuat Aretha membulatkan matanya.
"Ya Allah, Bi, ngga! Aretha mau fokus kuliah dulu. Nih, suruh Zahra aja yang duluan nikah, Bi. Katanya dia suka sama salah satu ustadz di sana!" timpal Aretha sambil tertawa terbahak-bahak.
"Allahu Akbar! F1tnah! Kapan Zahra bilang gitu?" Zahra melototkan matanya.
"Maa syaa Allah, memangnya Zahra suka sama ustadz siapa?" tanya Firman. Zahra tersenyum canggung, keringat sudah mulai bercucuran di dahinya. Sedangkan Aretha, gadis itu saat ini sedang menatapnya sambil menaik-turunkan alis.
"Namanya juga anak-anak muda, Bi. Yang namanya perasaan cinta kepada lawan jenis itu pasti ada, kayak Ummi dulu. Ummi jadi ingat, deh, waktu momen pertama kali ketemu sama Abi. Benar-benar ngga bakalan terlupakan, ya, Bi, kisah cinta kita?" Ninda tiba-tiba menyahut, membuat Zahra bernafas lega. Setidaknya ia tidak perlu menjawab pertanyaan Firman tadi.
"Iya, Ummi. Karena kalau berjodoh, sudah pasti Allah akan mempertemukan, entah itu dengan cara yang tidak terduga. Sebab, bukan karena bertemu lalu berjodoh, tapi karena berjodohlah, maka bertemu."
"Tapi, Aretha dan Zahra harus ingat. Tidak semua cinta itu bisa berakhir dengan pernikahan. Terkadang perasaan cinta itu didatangkan hanya untuk menguji kita, apakah kita akan selalu memprioritaskan cinta kepada Allah atau kita akan melupakan Allah karena mencintai makhluk-Nya. Dalam mencintai, menjaga perasaan itulah yang sulit. Menjaga agar perasaan tersebut tidak menjerumuskan ke dalam hal-hal yang dilarang oleh Allah." Firman memberikan nasehat yang panjang untuk kedua putrinya. Sebagai orang tua memang harus senantiasa menasehati anak-anaknya, terlebih-lebih lagi perihal agama, karena zaman sekarang, sudah berapa banyak anak-anak yang rusak karena pergaulan dan perasaan. Tidak sedikit anak-anak remaja yang bunuh diri karena putus cinta. Na'udzubillah min dzaalik.
Bersambung ...
"Ustadz Zeehan?"
Muhammad Zeehan Sakhi Pratama , nama lengkapnya. Dikenal dingin, cuek pada perempuan, tapi tidak bagi Zahra yang sudah menjadi teman dekat pria itu. Namun, sekat di antara mereka masih ada, hanya saja pria tersebut sedikit terbuka dengannya.
Pertemuan mereka berawal saat Zahra pertama kali masuk mengajar di sekolah mengaji milik abinya, Firman. Meskipun ia masih duduk di bangku kelas dua belas. Namun, ia diminta Firman untuk turut membantu mengajar di tempat itu, karena jumlah para anak-anak santri yang ingin belajar Al-Qur'an semakin bertambah, sehingga perlu pengajar tambahan dan Zahra pun menyetujuinya.
"Saya dengar dari ustadz-ustadzah, katanya hari ini kamu ulang tahun?" tanya Zeehan saat sudah berada di hadapan Zahra.
"Iya, Ustadz. Kenapa memangnya?"
Zeehan tersenyum tipis dan menggeleng. "Tidak apa. Maaf, saya tidak tahu. Oh, ya, ini ada hadiah kecil dari saya, tolong diterima, ya?"
Zahra menatap bingkisan yang dipegang Zeehan dan kembali menatap pria tersebut.
"Ya Allah, Ustadz, Ustadz Zehaan gak perlu repot-repot kasih Zahra hadiah," tolak Zahra secara halus.
"Tidak apa-apa, saya ikhlas. Lagipula ini hanya hadiah kecil dan sederhana, tapi saya berharap semoga bisa membawa kepada kebaikan."
Zahra mengambil bingkisan tersebut dengan malu-malu.
"Terima kasih, Ustadz, maaf kalau sudah merepotkan," ucapnya.
"Sama-sama. Semoga hadiahnya bermanfaat."
Zahra mengangguk. "Saya masuk ke dalam duluan, ya, Ustadz? Takut anak-anak sudah menunggu."
"Tafaddholy! Saya juga mau ke tempat wudhu sebentar."
Gadis itu pun masuk ke dalam kelas terlebih dahulu. Terlihat para anak-anak santri sudah menunggunya.
"Assalamu'alaikum, Anak-anak!" sapa Zahra tersenyum ramah.
"Wa'alaikumussalam, Ustadzah." Semua anak-anak menjawab dengan serempak membuat Zahra gemas melihat mereka.
"Udah pada baca do'a, belum?" tanya Zahra sebelum memulai kelas.
"Belum."
"Ya sudah, baca do'a dulu, yuk!" Zahra memperhatikan semua anak-anak santri yang terlihat bersemangat.
"Tangannya ditadahkan." Gadis itu memulai aba-aba agar semuanya menadahkan tangan untuk berdo'a.
"Kepala ditundukkan. Aa baa taa!" sahut mereka kompak.
Awal belajar pun dimulai dengan membaca do'a, anak-anak santri terlebih-lebih lagi Zahra, semuanya terlihat khusyuk.
Diam-diam, sepasang mata sedang mengintip di balik jendela. Ia tersenyum tipis menatap gadis yang saat ini sedang memimpin do'a tersebut.
"Uhibbuka fillah."
***
"Kak Aretha mau ikut ngajar juga?" tanya Zahra di sela-sela makan.
"Iya. Lagipula tugas kuliah Kakak gak terlalu banyak, jadi Kakak juga pengen ikut. Gak apa-apa, 'kan, Bi?" tanya Aretha kepada Firman.
Firma berpikir sejenak, kemudian mengangguk. "Ngga masalah, kamu bisa sekalian bantu Zahra juga di sana."
"Wahh, putri-putri Ummi, semuanya menjadi ustadzah. Maa syaa Allah, Ummi bangga sama kalian." Ninda tersenyum bahagia. Aretha dan Zahra saling tatap dan terkekeh.
"Bakal sulit ngga, sih, hadapin anak-anak?" tanya Aretha.
Zahra mengangguk, setelah itu menggeleng. "Sulitnya ada, mudahnya juga ada. Tergantung nasib kitanya, sih, Kak. Kadang-kadang kita bisa dapat santri yang rewelnya tingkatan dewa, susah diatur," jelasnya sambil mengunyah nasi.
Firman tertawa pelan mendangar penjelasan Zahra. "Yang penting dari dalam hati kita dulu. Kalau kita sanggup dan tekad kita sudah bulat, mau senakal apapun anak-anak santri, in syaa Allah kita akan bisa tetap sabar dan bertahan."
"Abi mah enak bilang kayak gitu, karena Abi orangnya penyabar. Apalah nasib kami perempuan ini yang suka ngomel-ngomel ngga jelas, meskipun kesabaran kami setingkat kabupaten, kalau dihadapin dengan hal yang nyebelin, pasti ngga bisa sabar!" sahut Ninda sewot.
Ketiga makhluk Allah itu dibuat tertawa mendengar cerocosan Ninda.
"Sabar memang sulit, tapi Allah menghadiahkan pahala besar di balik kesabaran kita itu, Sayang. Apalagi kalau ngajarin anak-anak orang mengaji, meskipun anak-anaknya pada bandel, tapi pahala akan terus mengalir," jelas Firman dengan lembut. Sontak membuat Zahra gigit bibir.
Ah, dia benar-benar menginginkan sosok laki-laki yang akan menjadi pendamping hidupnya nanti seperti Firman, abi angkatnya.
"Oh, iya, Abi, ngomong-ngomong di tempat anak-anak belajar, ustadz dan ustadzahnya ada berapa orang?" tanya Aretha.
"Kalau tidak salah, ada sembilan orang. Kalau Aretha jadi ikut mengajar di sana, bertambah jadi sepuluh orang," jawab Firman.
"Ustadznya ada berapa orang, Bi?" Mendengar pertanyaan Aretha, membuat Zahra tersedak makanan yang dimakannya.
"Ya Allah, Zahra, kamu kenapa?" tanya Aretha. Zahra menyengir kuda dan menatap Aretha tidak percaya.
"Jangan kaget, Zahra! Kakak cuma nanya aja, kok, ngga lebih." Aretha paham maksud tatapan adiknya itu. Zahra mengulum senyum, ia juga tau maksud dari pertanyaan Aretha. Kenapa tidak? Sudah tujuh tahun satu rumah dengannya, ia pasti tahu tentang gadis itu.
"Ustadznya ada lima orang, dua orang sudah menikah, tiga orang belum. Kenapa? Kamu pengen Abi jodohin sama salah satu dari mereka?" celetuk Firman membuat Aretha membulatkan matanya.
"Ya Allah, Bi, ngga! Aretha mau fokus kuliah dulu. Nih, suruh Zahra aja yang duluan nikah, Bi. Katanya dia suka sama salah satu ustadz di sana!" timpal Aretha sambil tertawa terbahak-bahak.
"Allahu Akbar! F1tnah! Kapan Zahra bilang gitu?" Zahra melototkan matanya.
"Maa syaa Allah, memangnya Zahra suka sama ustadz siapa?" tanya Firman. Zahra tersenyum canggung, keringat sudah mulai bercucuran di dahinya. Sedangkan Aretha, gadis itu saat ini sedang menatapnya sambil menaik-turunkan alis.
"Namanya juga anak-anak muda, Bi. Yang namanya perasaan cinta kepada lawan jenis itu pasti ada, kayak Ummi dulu. Ummi jadi ingat, deh, waktu momen pertama kali ketemu sama Abi. Benar-benar ngga bakalan terlupakan, ya, Bi, kisah cinta kita?" Ninda tiba-tiba menyahut, membuat Zahra bernafas lega. Setidaknya ia tidak perlu menjawab pertanyaan Firman tadi.
"Iya, Ummi. Karena kalau berjodoh, sudah pasti Allah akan mempertemukan, entah itu dengan cara yang tidak terduga. Sebab, bukan karena bertemu lalu berjodoh, tapi karena berjodohlah, maka bertemu."
"Tapi, Aretha dan Zahra harus ingat. Tidak semua cinta itu bisa berakhir dengan pernikahan. Terkadang perasaan cinta itu didatangkan hanya untuk menguji kita, apakah kita akan selalu memprioritaskan cinta kepada Allah atau kita akan melupakan Allah karena mencintai makhluk-Nya. Dalam mencintai, menjaga perasaan itulah yang sulit. Menjaga agar perasaan tersebut tidak menjerumuskan ke dalam hal-hal yang dilarang oleh Allah." Firman memberikan nasehat yang panjang untuk kedua putrinya. Sebagai orang tua memang harus senantiasa menasehati anak-anaknya, terlebih-lebih lagi perihal agama, karena zaman sekarang, sudah berapa banyak anak-anak yang rusak karena pergaulan dan perasaan. Tidak sedikit anak-anak remaja yang bunuh diri karena putus cinta. Na'udzubillah min dzaalik.
Bersambung ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!