Hal-hal lucu adalah kesukaannya, hal hal estetis adalah adiktif baginya. Manis-manis itu gula, si Gadis Manis itu Ambar namanya.
"Hiks ... hiks ... hiks ...." Seseorang menepuk pundak Ambar. Kemudian dia menolehkan kepala.
"Lo ngapain, Am? Ya ampun, siapa yang buat lo nangis? Sini biar gue hajar," ucap Lala bersungut-sungut saat melihat air mata mengalir dari kedua pelupuk mata Ambar.
"Jangan, jangan dihajar ...." Tangis Ambar justru semakin keras. Lalu gadis itu mengangkat sesuatu dengan kedua tangannya untuk ditunjukkan kepada Lala. "Aku aja lemah di depan yang lucu-lucu gini. Masa kamu main hajar aja?"
"Meong ...," suara seekor kucing kecil yang berada di genggaman kedua tangan Ambar.
Tanpa berkata apa-apa lagi, sahabat Ambar itu pergi meningalkannya sambil mengelus dada. "Sabar, La. Sabar. Kalau gak kayak gitu bukan Ambar namanya. Tahan, tahan jangan ngatain."
🍒🍒🍒
"Mau makan?" tanya Lala pada Ambar selepas mereka ganti baju dari kaos olahraga menjadi seragam OSIS.
Ambar menganggukkan kepala dengan antusias untuk menjawab pertanyaan Lala.
"Udah cuci tangan belum? Habis pegang kucing, kan?"
Ambar mengacungkan jempolnya. "Sudah, dong. Ya kali aku makan nasi, lauk bulu kucing." Kemudian tawa Ambar pecah. Tapi niat bercandanya gagal saat melihat Lala tidak bereaksi apapun, justru hanya menatap Ambar datar. Kicep seketika gadis itu saat melihat ekspresi sahabatnya.
"Padahal aku udah susah-susah ngelucu," gerutu Ambar sambil mulai berjalan menuju kantin yang disusul Lala hingga mereka berjalan beriringan.
"Makanya gak usah ngelucu. Daripada buang-buang waktu buat ngelucu yang ujung-ujungnya garing mending cari degem-degem," ucap Lala sambil melirik pada barisan anak baru yang sedang melaksanakan MOS di lapangan basket Aster High School.
Berbeda dengan Lala yang hanya melirik kemudian kembali menatap lurus koridor menuju kantin, Ambar memilih untuk mengalihkan pandangan pada barisan anak baru yang sedang melaksanakan MOS. "Hari terakhir MOS, ya?" gumam Ambar saat melihat penampilan flash mop oleh sekelompok murid yang berpakaian pramuka sambil memegang bendera morse.
"Iya, emang kenapa?" tanya Lala yang berhasil menangkap suara dari gumaman Ambar.
"Nonton demo ekstra dulu, yuk!" ajak Ambar disertai dengan senyum lebar. Antusiasnya kembali lagi.
"Gak, ah. Gue laper, Am. Lagian udah dua hari gue ikut ngurusin MOS." Tetapi Ambar tidak perduli dengan penolakan Lala. Gadis yang energinya terlampau berlebihan itu sudah menarik sahabatnya untuk bergabung diantara kerumunan kelas sebelas lain yang ikut menonton demo ekstra.
Di tengah riuhnya kerumunan penonton, Lala dan Ambar ikut menambah keriuhan dengan bertepuk tangan begitu flash mop selesai. Tetapi tepuk tangan Ambar langsung berhenti ketika melihat sebuah boneka besar berjalan menuju lapangan. "Aaaaaa ... lucuuuu!" teriak Ambar sambil berlari menuju boneka besar berwarna biru muda yang kemudian disusul suara bedebam.
"Lucunya ...," ucap Ambar begitu gemas tanpa perduli banyak orang melihat kearahnya. Gadis itu bahkan menggesek-gesekkan hidungnya pada bulu boneka tersebut yang begitu lembut dan harum.
"Awhh ...." Kemudian terdengar suara rintihan yang membuat Ambar berhenti menggesekkan hidungnya. Lalu dia pun segera sadar dan langsung berdiri.
Setelah Ambar berdiri, seseorang keluar dari bawah boneka biru besar yang sudah tergelatak sambil merintih dan memegangi pinggangnya. "Gila!" maki seseorang itu yang ternyata adalah seorang lelaki.
"Maaf," cicit Ambar pelan sambil memilin milin jarinya sendiri.
Tidak mau memperlama urusannya dengan Ambar, lelaki itu memilih untuk segera pergi sambil membawa boneka yang sempat jatuh bersamanya. "Minggir!" Ambar segera menggeser tubuhnya untuk memberi jalan pada lelaki yang sudah dia tabrak dan dibuatnya jatuh.
Tetapi kemudian Ambar tersadar permintaan maafnya belum dijawab. Gadis itu mengejar lelaki tadi. "Maaf dulu," ucap Ambar setelah berhasil meraih bagian belakang seragam yang dikenakan lelaki itu.
Dia berdecak sebelum kemudian menjawab permintaan maaf dari Ambar, "Udah aku maafin." Setelah itu dia berlalu meninggalkan Ambar yang terdiam di tempatnya.
"Kok lucu, ya. Denger cowok bicara pakai aku kamu. Kayak ada manis-manisnya," ucap Ambar kemudin ngibrit begitu melihat Lala berjalan di koridor.
"Abis dari mana aja, sih? Gue cariin tau gak?" Lala terlihat kesal. Tentu saja, dia sudah lapar terus ditarik menuju lapangan. Setelah sampai lapangan yang mengajak justru hilang entah kemana.
"Habis ketemu cowok. Lucu tau, dia bicaranya pakai aku-kamu."
"Biasa aja padahal," jawab seorang gadis yang kerap dikabarkan sebagai seorang lesbi karena meski cantik tapi tidak pernah pacaran. Boro-boro, digosipin sama salah satu cowok saja tidak pernah. Dan gadis itu bernama Lala.
"Aku jadi penasaran dia siapa."
"Twau gwak--"
"Habisin dulu makanan lo, bego. Nyembur kena gue semua, nih," ucap Lala memotong ucapan Ambar yang tidak jelas karena sesendok nasi plus lauk baru saja masuk ke dalam mulut Ambar.
Dengan susah payah Ambar cepat-cepat menelan makanan yang memenuhi mulutnya lalu kembali berbicara, "Tau gak, cowok tadi yang aku tabrak?"
"Gak tau, lah. Kan, gue di tengah lapangan nonton demo ekstra. Tapi tadi gimana ceritanya, kok lo bisa nabrak dia?"
"Dia siapa?" tanya Ambar yang membuat Lala langsung menepuk jidatnya.
"Cowok yang katanya lo tabrak!" Setelah itu Ambar baru manggut-manggut paham yang membuat Lala semakin banyak mengelus dada.
Selanjutnya Ambar menceritakan kronologi kejadiannya dengan super detail dan menggebu-gebu ala gadis itu. Sedangkan Lala sesekali menganggukkan kepala saat mendengarkan cerita Ambar. Kemudian mata gadis itu menangkap keberadaan seseorang yang berjalan di koridor.
"Cowoknya itu bukan?" Tanya Lala. Ambar yang duduk membelakangi koridor langsung memutar duduknya untuk melihat orang yang Lala maksud.
Seseorang yang bergender laki\-laki itu berjalan menaiki tangga menuju lantai dua yang merupakan wilayah kelas duabelas, tempat di mana seluruh ruang kelas duabelas, laboratorium, serta perpustakaan berada. Setelah lelaki itu menghilang dari pandangan Ambar, dia kembali memutar duduknya menghadap Lala.
"Iya, itu cowoknya," ucap Ambar sambil menganggukkan kepala. "Kok kamu bisa tau? Padahal kayaknya dia anak baru. Soalnya aku baru lihat dia hari ini."
"Anak baru pala lo pitak! Udah kelas duabelas, tuh!" Ambar memandangi Lala tidak percaya. "Gue beberapa kali lihat dia, tapi anaknya emang jarang banget kelihatan. Setau gue dia anak DASA."
"IPA Satu? Dia pinter, dong." Lala mengangguk mantap seolah jawaban Ambar benar-benar tepat sasaran.
"Saingannya Kak Bara. Kayaknya emang gak banyak yang tau dia." Lala memasukkan bakwan goreng yang tinggal sekali gigit ke dalam mulutnya.
"Berarti dia ranking dua paralel?" Lala kembali menganggukkan kepalanya. Sedangkan Ambar sedang mengingat-ingat peraih ranking dua paralel di sekolahnya. "Damar? Yang namanya sering nampang di daftar ranking paralel itu, kan? Kalau gak ranking dua pasti ranking tiga? Dia orangnya?"
"Iya. Pinter banget kayaknya. Dia cuma ngandelin nilai akademik buat bisa ada di ranking itu. Coba yang lain, Kak Bara jadi ketua OSIS yang pasti sedikit-sedikitnya ada penambahan nilai buat setiap mapel, belum lagi emang aslinya dia pinter. Terus Kak Putri yang juga saingan mereka, dia ketua ekstra jurnalistik. Sering banget ikut lomba karya tulis. Kak Kinan yang selalu ada diposisi ranking empat, dia sekretaris OSIS.
"Kata Kak Bara, dia anaknya ambis banget sampai jarang keluar kelas demi bisa belajar waktu jam istirahat." Lala menyudahi penjelasannya dengan menyeruput es jeruknya yang tinggal seperempat gelas.
"Kok kamu gak pernah cerita, sih?" Ambar menatap Lala dengan pandangan kesal dan ekspresi cemberut.
Lala menepuk jidatnya. "Lo gak nanya, Am. Buat apa gue cerita? Gue gak sekurang kerjaan itu astaga."
"Hehehe ... iya, sih. Kamu emang banyak kerjaan," ucap Ambar setelah sebelumnya sempat menunjukkan sederet giginya.
"Nah, itu tau gue banyak kerjaan. Tau, lah gimana sibuknya gue," ucap Lala dengan tampang sombongnya.
"Kerjaan kamu yang tiap aku tanya katanya sibuk rebahan, sibuk main hp itu, kan?"
"Astagfirullah, gue tabok juga mulut lo, Am."
🍒🍒🍒
Setelah bel dibunyikan, tertanda sudah berakhirnya jam istirahat yang kemudian dimulai jam pelajaran ke tujuh. Lala bergegas menarik Ambar menuju perpustakaan untuk meminjam buku paket sebelum guru ekonomi datang dan mengomel karena menganggap muridnya belum siap mengikuti pelajaran.
"Am, lo yang tanda tangan, gih," minta Lala sambil menggotong buku paket keluar dari perpustakaan. Ambar hanya menganggukkan kepala, kemudian gadis itu menandatangani buku peminjaman serta menuliskan kelas dan jumlah buku yang dipinjam.
"Udah?" tanya Lala begitu Ambar keluar dari perpustakaan.
"Sudah," jawab Ambar sambil mengambil alih beberapa buku paket yang ada di tangan Lala.
Mereka berdua berjalan menyusuri koridor kelas duabelas yang jika jam istirahat akan jadi sangat mencekam untuk adik kelas yang melewatinya. Kemudian saat melewati depan kelas DASA, Ambar mengintip ke dalam melalui pintu yang terbuka. Di dalam sana, di tempat duduk paling depan, tepat di hadapan meja guru, duduk Damar dengan ekspresi seriusnya yang termotivasi oleh kuatnya ambisi.
"Kelihatan banget, sih kalau dia memang ambisius," ucap Ambar begitu mulai menuruni tangga.
Lala menganggukkan kepala. "Iya. Tapi menurut gue justru aneh."
"Please, Am," ucap Lala yang tidak henti-hentinya memohon sejak tadi. Gadis itu membujuk ambar yang sedang sibuk mengerjakan tugas matematika agar mau membantunya.
"Enggak mau. Aku lagi ngerjain tugas. Salah sendiri pakai acara bolos di rooftop. Sok-sokan banget." Ambar mencebikkan bibirnya kesal karena Lala terus saja meracau minta diambilkan ponselnya yang tertinggal di rooftop.
"Yaudah, temenin aja. Serius, Am. Gak bohong gue kalau di rooftop hawanya mistis. Awalnya yang gue kira rumor ternyata kenyataan." Ambar mengendikkan bahu acuh. Gadis itu sudah bertekad, tanpa penawaran yang menarik, dia tidak akan beranjak mengikuti kemauan Lala.
"Gue beliin es krim, deh." Setelah sesi mohon memohon yan gagal, dimulailah sesi tawar menawar.
"Berapa?" tanya Ambar.
"Satu doang, lah. Emang dipikir beli eskrim pakai daun mangga?"
"Mbak-mbak Indoapril yang suka jaga kasir juga tau kalau beli es krim pakai uang. Tapi terserah kamu aja, sih." Ambar kembali mengendikkan bahu, berpura-pura acuh. Padahal gadis itu rasanya sudah ingin ngiler saat mendengar kata es krim. Tapi tidak apa-apa, dengan begini pasti dia akan mendapat penawaran yang lebih menguntungkan, setidaknya menurut pemikiran Ambar sendiri.
"Yaudah, terserah lo aja mau beli berapa. Tapi ambilin hp gue di rooftop." Ambar tersenyum lebar kemudian ngibrit pergi setelah sempat mengacungkan jempol pada Lala yang akhirnya bisa bernapas lega.
Untuk menuju rooftop perlu melewati tangga menuju lantai dua yang jelas dipakai lalu lalang oleh anak kelas 12. Kemudian Ambar berbelok menuju deretan kelas dua belas. Di antara dua ruang kelas, terdapat tangga menuju rooftop. Suara berderit terdengar begitu Ambar membuka pintu yang menghubungkan rooftop dengan bagian dalam gedung sekolah.
Ambar mendapati suasana sangat sepi dengan angin lembut yang berhembus, membuat surai Ambar bergoyang\-goyang. Baru saja Ambar akan melangkahkan kaki mencari keberadaan ponsel Lala, gadis itu justru melihat keberadaan seorang siswa berdiri di tepian rooftop yang tanpa pagar pembatas. Langsung saja Ambar berlari menghampiri siswa itu yang kemudian disusul suara berdebam.
"Kelihatan banget, sih kalau dia memang ambisius."
"Iya. Tapi menurut gue justru aneh." Ambar mengerutkan dahi setelah mendengar jawaban Lala.
"Aneh gimana? Justru bagus, dong. Itu tandanya dia gak mager-mageran buat belajar. Kalau yang rajin disebut aneh, terus normal itu yang tiap harinya cuma main hp sambil rebahan kayak kita?"
Lala berdecak kesal karena Ambar tidak paham maksud ucapannya. Sebenarnya bukan hanya Ambar yang kadang tidak mengerti maksud ucapan Lala, karena banyak juga yang kadang tidak paham maksud ucapan Lala yang memang belibet dan kadang setengah-setangah kayak ngasih petunjuk teka-teki. "Maksud aneh itu karena di zaman sekarang saat banyak anak-anak cowok lebih milih main game saat ada waktu senggang, Damar justru habisin waktunya sama angka-angka yang bikin mumet. Pasti ada tuntutan yang besar di balik semua itu."
"Kak Damar ngapain sih pakai berdiri di pinggir kayak gitu? Gak usah main-main, deh. Nyawa Kak damar itu cuma satu, jangan dibuat bercanda," teriak Ambar kesal setelah sempat terdiam beberapa saat dalam posisi terduduk.
Tanpa memperdulikan pantatnya yang terasa nyeri, Ambar sangat mengkhawatirkan Damar yang nyaris menapakkan kakinya ke pada udara kosong. Tetapi yang dikhawatirkan justru tidak bereaksi baik. "Nyawaku bukan urusanmu."
Kemudian Damar beranjak dari jatuh terduduknya, berjalan menuju pintu masuk gedung sekolah. Tetapi Ambar tidak diam saja. Gadis itu pun segera ikut beranjak dari posisi jatuh terduduknya. Dengan memegangi bagian belakang baju Damar, Ambar berhasil menghentikan laju langkah lelaki itu.
"Nyawa Kakak memang bukan urusanku. Tapi kalau Kak Damar lompat dari atas gedung ini di depan mataku, jelas itu menjadi urusanku. Mungkin Kakak gak punya lagi rasa kemanusiaan terhadap diri Kakak sendiri, tapi aku masih punya rasa kemanusiaan terhadap orang lain." Tetapi dengan keacuhan yang tetap tegak berdiri, Damar meningalkan Ambar begitu saja seolah apa yang gadis itu ucapkan sangat tidak penting.
Sedangkan Ambar hanya bisa menahan rasa kesal yang sudah mendidih di dalam hatinya. Setelah sempat mendengus kesal, Ambar kembali melanjutkan kegiatannya yang tertunda. Jika Ambar tidak berhasil kembali dengan ponsel milik Lala, bisa bisa gagal es krim gratisnya.
Ah, memikirkan es krim membuat Ambar kembali mendapatkan suasana hati yang baik.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!