NovelToon NovelToon

Melawan Semesta

Melawan Semesta 1

"Besok elu pulang ya...?" Sambil mengunyah makanan yang ada di dalam mulutnya, Denis bertanya menatap laki-laki yang sedang duduk di depannya. Mengisahkan jarak dari meja makan yang menjadi penghalang.

"Sebenarnya gue masih mau di sini, tempatnya adem, gue tenang saja kalau lihat bentangan sawah seperti ini" menoleh ke arah jendela, pemandangan sawah yang membentang luas tidak ia lihat ketika berada di kota. Meskipun sebenarnya dirinya memang ada di luar kota, sekedar untuk liburan namun tempatnya sekarang berada di pedesaan. Desa sahabatnya yang pernah bersekolah satu tempat dengannya.

Junan tidak akan menduga bisa mendatangi kampung sahabatnya. Meskipun keduanya tidak lagi bersekolah di tempat yang sama, namun komunikasi mereka tetap berjalan.

"Kapan-kapan kan lu bisa ke sini lagi. Liburan semester, atau kalau lu ada waktu" habis tandas tidak tersisa makanan yang ada di piring Denis. Padahal isi piring itu tadinya membumbung tinggi bagai gunung Semeru, namun sekarang semuanya habis dilahap olehnya. Meneguk minuman satu gelas penuh dan menyimpan gelasnya yang tidak lagi berisi di depannya. "Nanti sore kita mancing bagaimana. Dari kemarin gagal terus karena hujan, hari ini sepertinya cuaca bisa bersahabat" kedua matanya mengarah ke jendela, melihat warna biru cerah di langit sana.

"Boleh" Junan menyelesaikan sarapannya. Mengambil piring kotor milik Denis juga miliknya dan membawanya ke tempat pencucian piring.

"Eh jangan Jun, nanti gue saja yang cuci piring. Sebaiknya lu tunggu gue di ruang tengah, kita cari cacing di belakang rumah untuk umpan" Denis buru-buru beranjak dan mengambil piring kotor dari tangan Junan.

Melangkah meninggalkan dapur, bukannya duduk di sofa di ruang tengah, Junan terus melangkahkan kaki menuju teras rumah. Duduk di kursi kayu memperhatikan lingkungan sekitar. Begitu berbeda jauh dengan tempat tinggalnya. Kalau seandainya masa kecilnya ia habiskan di perkampungan seperti ini, dirinya mungkin akan memiliki kenangan indah di masa kecil.

Suara mesin motor terdengar dari jarak jauh semakin dekat dan masuk ke halaman rumah yang dipagari oleh tuan rumah dari bambu.

"Melamun saja nak Jun" bapak yang baru saja datang dengan kendaraan roda duanya, menyapa laki-laki yang duduk di teras rumah.

"Nunggu Denis om mau pergi cari cacing untuk umpan memancing"

"Kalau mau cari cacing, dibelakang rumah ada itu. Denis biasanya mencari di belakang rumah untuk umpan" langkahnya mendekat ke arah Junan, duduk di kursi kosong menghela nafas lelah. "Mau pulang besok ya...?" Suara Jamil bapak dari Denis kembali terdengar.

"Iya om. Maunya sih masih ingin berlama-lama di sini tapi saya harus sekolah juga"

Kepala Kamil manggut-manggut, hingga kemudian Denis datang menghampiri dan berdiri di samping Junan.

"Tempat kamu di Jakarta ya...? Ada orang di sini yang mau pindah ke sana. Pekerjaannya sebenarnya di kota ini, tapi harus pindah karena pekerjaan yang mengharuskan untuk pindah. Mereka sudah berpindah-pindah tempat, anaknya seusia kalian berdua"

"Julian sama ibunya ya pak...? Kemarin Denis ketemu dia. Dia juga lagi berlibur di sini sebelum pindah ke Jakarta katanya" Denis mengambil tempat duduk di samping Kamil.

"Iya, mungkin kalau tidak salah sore ini mereka ke kota. Oh ya Den, jemput ibumu sana di pasar. Bapak harus bantu pak Heru di sawahnya. Jangan lupa itu ya, bapak mau siap-siap dulu" Kamil memberikan kunci motor kepada Denis, masuk ke dalam rumah.

"Jun, gue mau jemput ibu dulu nggak apa-apa kan. Nggak lama kok"

"Elu minta izin sama gue kayak gue nggak mau izinin saja. Ya nggak apa-apa lah, lagian gue juga mau jalan-jalan sebentar sambil nunggu kamu"

"Oke lah, gue pergi dulu"

Kepergian Denis meninggalkan Junan seorang diri. Sejak kemarin hujan terus melanda sehingga untuk berjalan santai di kampung itu saja belum pernah ia lakukan. Menarik dirinya dari tempat duduknya, Junan melangkahkan kaki keluar dari halaman rumah. Berjalan kecil menikmati udara pagi yang begitu sejuk dan membuat tentram.

Semakin jauh ia berjalan, sesekali menyapa warga di tempat itu yang pergi turun ke sawah. Matanya terus memperhatikan pemandangan yang menurutnya menakjubkan. Terbesit dalam hati, jikalau tinggal di pedesaan asri seperti itu adalah hal yang menyenangkan.

"Kak Lian, layangannya putus"

Teriakan anak kecil mengalihkan fokus Junan. Dirinya melihat dua orang anak kecil juga satu remaja yang seusia dirinya berdiri pinggir jalan memainkan layangan. Hingga remaja laki-laki itu berlari mengejar layangan yang putus yang dimainkan oleh anak kecil yang berteriak tadi.

Junan berdiri masih begitu jauh dari mereka namun remaja yang mengejar layangan itu, semakin dekat dengannya. Tidak bergerak dari tempatnya, kedua mata Junan fokus memperhatikan laki-laki itu yang sepertinya berlari ke arahnya. Tidak melihat bahwa di depannya ada sosok yang diam mematung di tempatnya, apalagi matanya hanya tertuju pada layangan yang berusaha untuk ia gapai. Kagetnya tidak ia sangka ketika melompat untuk meraih tali layangan itu, tubuhnya menubruk tubuh seseorang hingga keduanya terjungkal terbaring di tanah.

Bukan karena tabrakan itu yang membuat keduanya mematung, membulatkan mata saling tatap dalam jarak yang begitu sangat sangat dekat. Akan tetapi satu hal yang membuat keduanya bahkan tidak bisa bergerak walau hanya seinci. bibir keduanya saling menempel, bertemu dalam keadaan yang sangat sulit untuk dijabarkan.

Deg

Deg

Deg

Degub jantung Junan berdetak tidak beraturan. Dari jarak dekat itu, ia dapat melihat kedua mata indah yang di miliki oleh remaja itu.

Saking terkejutnya hingga laki-laki itu menarik diri terburu-buru, duduk di samping Junan dengan tangan gemetar memegang bibirnya yang baru saja menempel pada bibir seseorang.

Junan ikut bangun, menatap remaja di hadapannya dengan tatapan mata tidak berkedip sama sekali. Laki-laki itu menoleh ke arah Junan, di situlah dapat Junan lihat dengan jelas wajah laki-laki itu.

Bibir tipis yang sungguh Junan tidak habis pikir kalau bibir itu begitu seksi seperti bibir perempuan. Merah muda dan bahkan menurutnya itu begitu indah. Kedua mata indah berwarna kecoklatan, bulu mata lentik yang sungguh mungkin wanita saja akan iri untuk memiki bulu mata seperti itu. Padahal yang berada di depannya adalah laki-laki, namun kelihatannya bahkan remaja itu terlihat cantik. Padahal tidak ada sama sekali penampilan yang terkesan seperti perempuan, semuanya normal senormal normalnya.

Lamunan Junan terkejut ketika tanpa menunggu Junan untuk bangkit berdiri, remaja itu sudah ngacir berlari kabur begitu saja. Bahkan sendalnya sampai putus, begitu terburu-buru bagai di kejar seseorang.

Sampai dirinya jatuh akibat tersandung kaki sendiri. Junan bangkit hendak mendekat, namun remaja itu kembali bangkit berlari kembali meninggalkan Junan seorang diri dengan perasaan tidak bisa ia jabarkan sama sekali.

"Astaga... apa-apaan ini" Junan memegang bibirnya tanpa sadar.

Melawan Semesta 2

Sudah gelas ketiga Junan habiskan isinya sampai tandas tidak tersisa. Ia merasa begitu kehausan, merasakan betapa kerongkongannya begitu kering sampai ingin terus membasahinya dengan air minum masuk ke dalam mulutnya.

Masih teringat jelas bagaimana kejadian tadi, bagai film yang terus berputar-putar di kepalanya. Terangkat tangannya memegang bibirnya dan membasahi dengan air liur. Begitu jelas bagaimana rupa sosok yang mencuri ciumannya tadi. Wajahnya yang terlihat manis, tidak hilang dari ingatan Junan.

"Cantik" satu kata itu lolos keluar dari mulut Junan. Sedetik kemudian matanya melotot menggelengkan kepalanya begitu cepat. "Astaga bodoh Junan, dia cowok woi" tangannya memukul kepalanya pelan sebelum kembali menuang air ke dalam gelas yang ia pegang.

Getar ponselnya di atas meja mengalihkan fokusnya kepada benda pipih itu. Tertera nama ibu di layar ponsel itu. Dengan cepat meraih ponselnya mengangkat panggilan wanita kesayangannya.

"Iya bu"

"Jun, kapan pulang. Ibu udah bosan loh ini tidak punya teman"

"Lah, kemarin siapa yang ngusir Junan katanya malas liat muka aku. Sekarang kok malah bilang kangen segala"

"Bukan kangen, cuman suruh kamu pulang cepat supaya ada yang ibu suruh-suruh"

Junan mendelik dengan tatapan sinis meskipun sebenarnya ibunya tidak dapat melihat ekspresi wajahnya itu.

"Besok Junan pulang. Si pretty gimana bu, ibu kasih makan kan kesayangan aku"

"Nggak, sudah ibu sembelih jadikan nasi kucing"

"Astaga ibu...jahat banget sumpah"

Kekehan kecil terdengar dari sebrang sana. Ibunya sedang menertawakan dirinya yang tentunya kesal makhluk kesayangannya dijadikan tumbal, dijadikan nasi kucing pula.

"Makanya pulang. Si pretty sudah kangen sama kamu kayaknya, tidak semangat dia menjalani hari-harinya yang penuh kesepian. Biasanya kan kalau sama kamu, kalian berdua banyak drama"

"Iya, besok aku pulang. Jangan biarkan pretty keluar rumah loh ya bu. Apalagi biarin kucingnya si Jenan yang malu-malu sinting datang terus di rumah"

"Lah kemarin mereka berduaan kok di depan, pacaran mereka"

"Ya jangan biarkan pacaran dong bu. Nanti kalau pretty hamil bagaimana"

"Ya bagus dong, supaya ibu punya cucu. Nggak apa-apalah biar anak kucing. Udah ah ibu mau jaga kios lagi. Pulang besok itu ya, awas saja sampai nggak pulang"

"Iya ibu sayang iya... besok anakmu ini pulang"

Tidak sempat menjawab lagi karena ibunya sudah mematikan panggilan. Apalagi tadi dirinya sempat mendengar suara seseorang yang memanggil yang sepertinya adalah pembeli. Junan menghela nafas, menyandarkan kepalanya di kursi sambil menatap langit-langit rumah. Melamun menatap kosong ke atas, kembali tangannya memegang bibirnya. Senyum kecil terbit di bibirnya, detik berikutnya ia mengacak-acak rambutnya frustasi.

"Astaga....gue kenapa sih"

"Kenapa Jun...?"

Kedatangan Denis membuat Junan terperanjat kaget. Rasmi ibu dari Denis mengikuti langkah putranya itu, menyimpan belanjaan di atas meja.

"Kenapa nak Junan, mukanya kesal begitu" Rasmi mengeluarkan belanjaannya dan beralih mendekati kulkas untuk di simpan di dalam sana.

"Nggak kenapa-kenapa Tan, tadi cuma bosan saja nunggu Denis lama banget" alasan yang menurut tuan rumah masuk akal. Padahal sebenarnya Junan sedang tidak memikirkan Denis, sama sekali bukan Denis yang ada di dalam pikirannya.

"Maaf banget Jun, tadi masih ngobrol sama teman di pasar. Oh ya, jadi mancing nggak nih kita...?"

"Jadilah. Gue udah nunggu elo dari tadi masa iya tiba-tiba nggak jadi"

"Gas lah kita cari umpan"

"Pulangnya jangan terlalu siang ya, nanti hujan lagi seperti kemarin" suara Rasmi mengingatkan mereka.

"Iya Bu"

Peringatan Rasmi rupanya tidak masuk ke telinga mereka. Buktinya baik Junan maupun Denis kini masih begitu menikmati kegiatan mereka sampai sore hari mulai menjemput. Dan di sore hari itu langit kembali mendung, langit sepertinya akan kembali memuntahkan isi perutnya.

"Jun pulang yuk, mau hujan lagi nih kayaknya" Denis mengangkat kepala melihat ke atas langit yang mulai menghitam. "Ikannya juga udah lumayan lah buat makan malam" tatapannya jatuh pada ember hitam yang ada di tengah-tengah mereka.

Junan ikut melihat ke atas, melihat cuaca yang tidak lagi mendukung pada akhirnya ia setuju dengan usulan Denis untuk pulang ke rumah.

Sayangnya baru saja membereskan peralatan mereka, rintik hujan mulai turun hingga digantikan dengan derasnya yang mulai membasahi tubuh keduanya. Terpaksa harus pulang dalam keadaan basah. Akan tetapi hal itu tidak membuat Junan kesal sebab ia memang menikmati kegiatan mereka hari ini. Apalagi dinginnya air hujan membasahi kulitnya, begitu segar ia rasakan.

Berjalan memegang pancingan masing-masing, banyak anak-anak yang rupanya begitu senang bermain di bawah guyuran hujan. Mereka berlari begitu riang, sesekali menendang air hujan yang tergenang di jalanan.

Junan tersenyum melihat pemandangan itu, tidak pernah ia lihat sebelumnya anak-anak kecil bermain kejar-kejaran begitu bahagia bermandikan air hujan. Jika di lingkungan tempat tinggalnya, pastinya anak-anak seperti yang ia lihat akan dimarahi oleh orang tua mereka ketika ketahuan bermain hujan. Langkahnya terhenti memperhatikan anak-anak itu. Hingga satu tatapan lurus di depan sana, kedua matanya menangkap sosok yang ia lihat tadi pagi. Sosok itu Berdiri merentangkan kedua tangannya, kepalanya menengadah ke atas membiarkan air hujan menyirami wajahnya.

Sosok itu yang menabraknya tadi pagi. sosok itu yang mencium bibirnya hingga tanpa sadar ia mengangkat tangannya memegang bibirnya. Sosok itu tersenyum begitu manis memperlihatkan lesung pipinya menambah kesan menawan di wajahnya.

Junan bahkan tidak bergerak sedikitpun dari tempatnya ia berdiri. Kedua matanya tidak sekalipun teralihkan dari pemandangan yang menurutnya begitu menyenangkan hatinya.

Denis yang merasa tidak bersama seseorang, menghentikan langkah dan berbalik melihat ke belakang. Keningnya mengerut ketika melihat Junan terdiam berdiri di tengah jalan.

"JUNAN... AYO"

teriakan Denis mengalihkan sosok itu untuk melihat ke arah Junan. Satu tatapan lurus membuat kedua mata mereka bertemu dalam satu titik. Saling menatap satu sama lain tanpa bergerak sedikitpun di tempat mereka.

Melawan Semesta 3

"Hati-hati ya, kapan-kapan main ke sini lagi nak Junan" Rasmi tersenyum hangat pada sosok Junan yang kini bersiap akan meninggalkan desa itu. Hampir seminggu Junan berada di desa itu dan selama seminggu itu Rasmi memperlakukan Junan seperti anaknya sendiri.

"Iya tan, kalau ada waktu pasti saya ke sini lagi. Tempatnya adem, bikin betah" senyuman Junan terukir di bibirnya.

Mobil yang akan membawanya ke kota sudah siap di halaman rumah. Biasanya di pedesaan seperti itu, jika ingin menginjakkan kaki ke kota mereka akan menaiki mobil penumpang. Tentu saja bayar sesuai dengan harga tempuh yang di tuju. Di dalam mobil ada tiga orang yang juga menjadi penumpang mobil itu.

"Kabari kalau sudah sampai ya" Denis memeluk Junan menepuk pelan bahu temannya itu.

"Pasti itu" Junan membalas menepuk bahu Denis.

"Tiba di kota elu mau dijemput siapa. Naik mobil kan...?"

"Teman gue yang jemput nanti di terminal mobil. Kebetulan kemarin gue datang sama-sama dengan dia. Harusnya dia ngikut ke sini kemarin"

"Lain kali ajak sekalian dengan temanmu itu"

Setelah berpamitan, Junan masuk ke dalam mobil. Melambaikan tangan kepada temannya juga Rasmi dan Kamil hingga mobil itu berbelok dan tidak terlihat lagi.

Junan mengirimkan pesan kepada ibunya kalau hari ini ia akan pulang ke Jakarta. Kepalanya bersandar menatap ke luar jendela mobil. Di lalui jalan yang kemarin sore mereka lewati saat pulang dari memancing. Jika mengingat kejadian kemarin membuat bibir Junan melengkungkan senyuman.

Masih Junan ingat saat hujan kemarin sore ketika dirinya bertemu lagi dengan remaja itu. Remaja itu malah kabur sama seperti pertama kali mereka bertemu di pagi harinya.

"Dia liat gue kayak ngeliat setan saja" gumamnya sembari terkekeh pelan.

Junan tiba di Jakarta pada menjelang malam. Harusnya teman yang bersama dengannya untuk pulang ke Jakarta mengantarkan dirinya ke rumah namun karena temannya itu mempunyai urusan mendadak jadilah Junan akan pulang menggunakan ojek online.

"Sorry banget ya bos gue nggak bisa antar lo pulang" merasa bersalah Genta tidak bisa mengantar Junan sampai di depan rumahnya. Andai saja dirinya tidak mempunyai urusan yang mendadak, jelas saja ia tidak akan menurunkan ketua geng mereka itu di pinggir jalan.

"Santai saja, nggak apa-apa. Gue bisa pesan ojol buat pulang" Junan melepas sabuk pengamannya. "Ngomong-ngomong kayaknya besok bisa kali ya kita malak. Udah lama kan nggak pernah malak lagi. Lumayanlah setidaknya buat party perayaan masuk sekolah"

"Terserah bos saja sih sebenarnya, nanti gue beritahu Gafar sama Edwin"

"Ok sip. Hati-hati lu" menepuk pundak Genta pelan kemudian keluar dari mobil.

Junan memesan ojol setelah Genta pergi meninggalkan dirinya. Tepat di depan cafe, temannya itu menurunkan dirinya. Sesekali memperbaiki posisi tas di punggungnya, berdiri di pinggir jalan menunggu ojeknya datang.

"Mas Junan...?" Seorang laki-laki berpakaian khas tukang ojol berhenti tepat di depan Junan.

"Iya. Sesuai aplikasi ya mas"

"Siap mas"

Biasanya Junan tidak akan pernah memesan ojol sebab dia mempunyai kendaraan sendiri. Akan tetapi kali ini situasinya berbeda jadi terpaksa dirinya harus memesan ojol untuk mengantarnya pulang.

"Terimakasih mas, kembaliannya ambil saja" Junan tersenyum memberikan ongkos yang ia berikan.

"Terimakasih banyak mas" senyum sumringah laki-laki itu terbentuk di bibirnya.

Kepergian tukang ojol tadi membuat Junan balik badan membuka pagar rumah. Warung milik sang ibu masih terbuka dan biasanya akan tutup pukul sembilan malam.

"Baru pulang Jun...?" Jenan yang rupanya datang berbelanja menyapa Junan. Mereka tinggal satu komplek di daerah itu.

"Hummm" hanya menjawab dengan gumaman, Junan terus melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah.

Sang ibu masih melayani pembeli, Junan langsung menuju kamarnya di lantai atas. Merebahkan tubuhnya di kasur, menghirup aroma kamarnya yang begitu khas.

"Rindunya dengan kamar ini"

Begitu senang rasanya bisa pulang kembali ke rumah. Sudah rindu sekali dirinya dengan kamarnya sendiri padahal baru saja ia tinggal beberapa hari. Tasnya masih tergeletak di sampingnya, kedua matanya mulai berat begitu mengantuk dan ia menguap beberapa kali.

Pintu kamarnya terbuka menampakkan sang ibu yang datang dengan senyuman hangat. Seekor kucing putih berada di gendongan ibunya.

"Ya ampun pretty, papa kangen banget sama kamu" Junan bangkit mengambil posisi duduk.

Kucing putih itu melompat dari gendongan ibu Junan, menghampiri Junan hingga keduanya berpelukan. Lebih tepatnya Junan yang merengkuh pretty di dekapannya. Menciuminya beberapa kali, begitu sayang ia kepada kucing peliharaannya itu.

"Belum makan kan...? Biar ibu siapkan ya" Maria berdiri di depan putranya, menawarkan makan malam kepada anak semata wayangnya itu.

"Nggak lapar bu, Junan mau langsung tidur saja. Capek banget, badan Junan pegal-pegal terlalu lama duduk" Junan merebahkan tubuhnya, berbaring bersama pretty yang ada di atas tubuhnya.

"Ya sudah, kalau mau makan nanti tinggal cari sendiri di bawah"

"Pretty sudah dikasih makan bu...?"

"Sudah, makan banyak dia. Oh iya Jun, besok itu kita punya tetangga baru. Rumah di depan sana yang berhadapan dengan kita, sudah ada yang akan menghuninya. ibu penasaran siapa penghuninya setelah pak Andi kemarin.

"Yang jelas pasti manusia lah bu"

"Ck, ibu juga tau kalau itu. Nanti kalau misalkan tetangga baru kita ada anaknya dan seumuran kamu, ajak berteman ya. Kamu kan nggak punya teman di komplek ini"

"Malas ah, Junan sudah punya teman di sekolah. Jangan lupa tutup pintunya ya bu, Junan mau tidur. Ngantuk banget ini" diraihnya bantal guling di dekatnya, ia dekap dengan erat kemudian menutup mata.

Maria geleng kepala, mengambil tas sang putranya yang ada di atas ranjang. Ia letakkan di kursi belajar kemudian keluar kamar membiarkan putranya untuk istirahat.

_____

"JUNAAAAN BANGUN, NGGAK MAU SEKOLAH KAH...?

lengkingan suara sang ibu meresahkan di telinga Junan. Sampai ia menutup kepalanya dengan bantal guling. Sudah beberapa kali sang ibu memanggilnya untuk bangun dari tempat tidurnya namun Junan yang masih begitu mengantuk tidak menghiraukan panggilan sang ibu.

"Astaga ini anak, belum bangun juga" Maria berkacak pinggang, geleng kepala menghampiri putranya di ranjang.

Plaaaak

Plaaaak

Plaaaak

"Aw aw.... sakit bu. Astaga ini sih namanya kdrt" Junan meringis di pukul oleh sang ibu. Mengelus bokongnya yang menjadi pelampiasan kekesalan ibunya.

"Bangun, matahari sudah nampak kamu masih tiduran saja. Mandi sana, berangkat sekolah. Ibu mau ke tetangga baru kita, mereka baru saja datang. Awas saja kamu belum bangun saat ibu panggil lagi"

"Ck...iya iya, ini Junan bangun" dengan setengah hati, Junan mengambil posisi duduk masih dalam keadaan menutup mata.

Maria melengos pergi begitu saja ketika telah membangunkan Junan dari tidurnya. Mencebik dengan bibir yang miring, Junan mencak-mencak tidak jelas, beranjak mengambil handuknya dan masuk ke dalam kamar mandi.

Maria melihat ke arah rumah di depan mereka. Hanya terhalang oleh jalan raya di komplek itu. Tersenyum dirinya ketika melihat tetangga barunya ternyata seorang wanita baya juga memiliki seorang putra. Tanpa pikir panjang, Maria membuka pagar berjalan tergesa-gesa menghampiri tetangga barunya yang sedang menurunkan barang-barang dari mobil.

"Waaah nggak nyangka saya akan mempunyai tetangga baru. Selamat datang di komplek permata indah bu. Selamat pagi, maaf saya Maria tetangga ibu. Itu rumah saya yang cat warna putih" Maria menunjuk rumahnya bermaksud memberitahu tetangga barunya.

"Saya Lusi bu. Kebetulan baru pindah dari Bandung dan ini anak saya Julian" Lusi tersenyum akrab, senang sekali baru pertama kali datang sudah di sambut hangat oleh tetangganya.

"Cakep banget anaknya, laki-laki tapi kok kelihatan cantik ya" pujian Maria membuat Julian tersenyum kikuk. "Saya juga punya anak laki-laki, nanti kalian berteman ya. Umur Julian berapa, kelas berapa sekarang"

"17 tahun bu, kelas tiga SMA" Julian menjawab.

"Nah cakep, anak saya juga umurnya 17 tahun kelas tiga SMA. Nanti kenalan ya sama anak tante, mau kan...?" Maria sungguh ngebet ingin memperkenalkan Junan kepada Julian. Bukan apa-apa, putranya itu tidak mempunyai teman di komplek itu maka dari itu Maria ingin putranya akrab dengan Julian.

Julian melirik ibunya, Lusi hanya tersenyum hangat dan menganggukkan kepala sebagai pertanda kalau ia memberikan izin. Lagi pula hak Julian juga kan mau berteman dengan siapa saja.

"Iya bu"

Jawaban Julian membuat senyum Maria begitu Lebar. Hingga terdengar suara pagar dibuka dari arah rumahnya. Semua orang melihat ke arah rumah Maria. Junan sedang mendorong motornya keluar pagar. Sudah rapi dengan seragam sekolah yang ia pakai. Bajunya yang ia biarkan di luar, bahkan lengannya digulung dengan topi hitam yang terpasang di kepalanya namun di pasang terbalik. Senyuman Maria semakin lebar ketika melihat anaknya.

"Junan, sini nak. Kenalan sama tetangga kita" Maria memanggil melambaikan tangan.

Mau tidak mau Junan melangkahkan kaki mendekati mereka. Semakin dekat maka semakin jelas terlihat wajah Junan. Kedatangan Julian disambut senyuman oleh Lusi dan senyuman lebar oleh Maria. namun tidak dengan Julian, matanya bahkan melotot melihat siapa kini yang ada di depannya. Terkejut bukan main mengetahui kenyataan siapa tetangga depan rumahnya.

Dan Junan...?

Dia yang melihat Julian menatap tidak berkedip. Sungguh tidak percaya mengetahui siapa tetangga baru mereka.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!