Hujan deras sedang mengguyur kota J, membuat Defina sedikit lama menunggu taksi yang sedang ia pesan, sekitar 30 menit lamanya ia mondar-mandir di lobi kantor, ingin rasanya ia menghubungi sang suami untuk menjemput, namun ia sadar jika dirinya hanyalah istri nominal.
Kini ia sudah setengah jam lebih berlalu, iapun semakin uring-uringan. "Gimana ini, aku bisa kena marah sama suami ku," gumamnya sambil mengelus dada mencoba meredamkan perasaan cemas yang sedang melanda dirinya.
Pasrah dengan keadaan, akhirnya ia kini duduk termenung sambil menopang dagu, menoleh kiri dan kanan, moga-moga taksi yang pesan muncul segera.
"Fin...." panggil seorang pria dengan badan tegak tinggi dan setelan jas press di badan, outfit yang sangat keren, tapi jangan harap Defina akan tergiur dengan pria dihadapannya itu. Yah...pria itu adalah manager Defina, sedang posisi Defina adalah Staf bagian penanggung jawab pemasaran.
Defina langsung menoleh ke arah sumber suara datang, meski terasa enggang meladeni, namun Defina harus menghargai, secara yang manggil adalah bos dari bagian marketing yang merupakan atasan langsung dirinya.
"Sial" umpatnya dalam hati. Bicara dengannya sama saja cari masalah secara pria ini adalah saingan berat sang suami dalam bisnis.
"Mau pulang bareng?, sekefo aja jika jalur barat ada pohon tumbang, kemungkinan besar taksi yang kamu pesan menjadi salah satu kendaraan yang terjebak di sana." Jelasnya panjang lebar.
Aku melihatnya dengan serius mendengar info yang barusan ia sampaikan, ada senyum licik terlukis dari wajahnya, "Dasar buaya, pandainya ia membuat alibi, agar aku terjebak dengannya." celetukku meski ia masih dihadapan ku sekarang.
"Tak percaya, nih liat dengan mata kepala sendiri, biar otak kamu jernih dari pikiran menuduh." Cukup terkejut saat aku melihat sendiri berita tersebut yang mungkin sudah beredar ramai di medsos, secara jaman sekarang gak butuh sedetik aja semua udah viral di mana-mana.
Terdiam untuk sesaat, aku berpikir tak mungkin aku menghubungi suami ku untuk menjemput sedang perjalanan yang ditempuh yang merupakan alternatif lain jarak tempuh hampir dia kali lipat. " Kelamaan mikir, ayo cepetan, sebelum aku berubah pikiran." sambil menarik tangan ku dan berjalan kearah area parkir. Aku terpaksa ngikut saja, menimbang tak ada pilihan lain.
"Kenapa sih, mikir lama ?, dia itu playboy jangan terlalu setia jadi istri entar diselingkuhin baru tau rasa." ucapannya ngalir begitu saja, tanpa filter ataupun basa basi.
Risih, resah, cemas, jengkel, semua campur aduk, andai ada pilihan lain saat ini, ogah amat aku sekarang nebeng dengannya. Bilangnya suamiku playboy, dia lupa predikat yang tersematkan padanya, "sesama playboy dilarang sok nasehatin, ngaca dulu sana, baru bilangin orang." balas ku tanpa ampun.
"Hahaha..." malah tertawa lebar, tepat dihadapan ku.
"Naif bangat jadi istri" lanjutnya kelewat santuy.
"Mas, niat amat sih jelekin orang," balas ku sedikit emosi.
"Bukan menjelekkan Fin, tapi mengingatkan...!" jelasnya sekali lagi.
Kami pun terdiam setelah perdebatan yang lumayan menyinggung satu sama lain, aku ingat dulu ia hanyalah karyawan biasa seperti ku, namun karena ia berbakat dengan berbagai ide tentang pemasaran, ia di promosikan menjadi kepala bagian staf marketing dan dalam kurang dari setahun ia mendapatkan promosi lagi sebagai penghargaan atas prestasinya yang menembus pasar internasional. Jujur aku bangga dengan prestasinya, namun tidak dengan sifat play yang ia miliki dengan alibi sedang penjajakan para gadis demi menemukan bibit, bebet, bobot yang terbaik.
"Dasar buaya darat," cetus ku setengah berbisik.
"Jangan menghujat ku lagi, belum kapok dapat suami play juga, siapa yang gak tau sepak terjang suami mu, secara aku se frekuensi dengannya jaman kuliah dulu."
"Serah Lo...!" jawab ku cetus.
Perdebatan kami semakin menjadi-jadi, jujur ia pria yang asyik diajak ngobrol, hanya saja predikat playboy yang ia sandang terlanjur membuat ku risih berada didekatnya, aku terpaksa membatasi obrolan kami demi menghindari obrolan panas yang menyinggung satu sama lain, secara aku juga sedang nebeng sama dia entar diturunin lagi di tengah jalan.
Perjalanan yang kami tempuh menguras waktu setengah jam lebih, aku pikir jalannya pasti sunyi, namun tak disangka jalan yang kami ambil sebagai jalan alternatif justru padat kendaraan, pasti mereka adalah bagian dari korban kemacetan di jalur barat.
Sesekali aku melihat jam di pergelangan tangan ku, terlihat sangat cemas, itu pasti karena aku sedang berfikir entah apa yang akan terjadi jika suami ku melihat ku diantar kawan lamanya, belum lagi lewat jalur alternatif, entah ia cemburu atau tidak, aku juga tak yakin, tapi aku merasa mencemaskan diri ku sekarang, sepertinya aku punya firasat buruk saat ini.
"Fin...hampir sampai, gimana aku antar sampai depan rumah?" tanyanya membuyarkan diriku yang sudah kalut dalam lamunan.
"Eh...dah sampai yah!, antar sampai depan rumah saja, gak enak turun disini ada mata paparazzi dimana-mana alias tetangga jahil." guyon ku, tapi sejujurnya sama aja mau turun depan rumah atau depan lorong, pasti ketahuan juga secara punya tetangga semua teman arisan ibu mertua, sama aja cari mati.
Sampai depan rumah, aku sempat melirik jam tangan dipergelangan ku, oh tidak ternyata sudah pukul 9 malam, aku dengan amat sangat cemas turun dari mobil pak manager yang tak lain kawan lama suami sendiri.
Belum lima langkah aku berjalan menuju pagar, aku dikagetkan dengan pintu pagar yang tiba-tiba terbuka, oh...jantungku hampir lompat dari tempatnya melihatnya sudah berdiri tegak membukakan pintu pagar rumah kami.
"Mas, tumben bukain pagar," sapa ku agak gugup.
"Pengen lihat siapa yang ngantar istri saya, " jawabnya dengan nada datar dan dingin, menunjukkan aura cemburu yang kuat.
Aku menoleh kebelakang hendak menjelaskan keadaan ku sekarang, namun mas Fatir sudah turun dari mobil dan berjalan mendekati kami.
"Biar aku jelasin, kamu pasti salah paham sekarang....!" ucapnya dengan nada sedikit tegang, berbanding terbalik dengan ku yang sudah hampir panik.
"Kamu mau balas dendam?, aku dulu cuman bermain dengan kekasih mu dan dia sekarang berstatus istri ku, harusnya kamu tau batasannya." kata demi kata ia ucapkan dengan lantang, membuat mas Fatir sedikit getar.
"Kamu salah paham sekarang, sebaiknya dengar dulu penjelasan kami." jelasnya kembali, didepan suamiku yang sedang naik darah.
"Salah paham kamu bilang...!, jika ini untuk pertama kalinya itu wajar, tapi ini sudah kesekian kali kau mengantar istri ku, kamu lihat sana, aku juga punya mobil lebih keren dari milikmu, ada apa denganmu niat bangat jadi pe-bi-nor." Suami ku semakin naik pitam.
"Jaga ucapan mu....!, jika kamu pria yang baik kau sendiri yang menjemputnya, ia tak perlu duduk termenung menunggu taksi seorang diri di lobi kantor," Entah kenapa Mas Fatir kini malah terpancing dengan emosi suamiku, sedang biasanya ia tak pernah meladeni sebelumnya.
Buk....Bu...kkk....
Akhirnya hal yang aku takutkan kejadian juga didepan mata ku sekarang, oh tuhan aku benar-benar panik melihat mereka berantem di hadapanku tentang perkara sepele.
"Mas..udah, aku jelasan di dalam, gak enak diliatin tetangga," kata ku mencoba menenangkan suamiku dengan menahan dirinya.
"Diam...Kau...!" bentaknya lantang dengan mata melototi wajah ku.
Aku mundur menjauh darinya, aku tak menyangka ia akan semarah ini dan baru kali ini aku lihat raut wajahnya se emosi sekarang.
"Kalian puas, selingkuh dibelakang ku," Teriaknya menggelegar dengan melemparkan beberapa foto di hadapan ku dan mas Fatir.
Aku bergeming...netra ini fokus pada beberapa lembar foto yang berserakan tepat di bawah ku dan mas Fatir, malam ini menjadi malapetaka besar untuk ku dalam kehidupan rumah tangga yang sedang kami bangun bahkan masih berumur jagung.
Mas Fatir menunduk hendak mengambil beberapa foto, namun aku mencegat nya. "Biar aku mas," aku langsung memungut semua foto - foto tersebut, namun ada satu foto yang membuat diri ku tak kuasa menatapnya, yah...foto dengan adegan berciuman, "Lihai sekali orang ini mengedit foto, aku tau betul foto ini dan siapa yang ada dalam adegan tersebut," selepas kalimat itu terucap, foto tersebut langsung di rampas oleh suamiku, dengan kasar ia memperjelas foto tersebut pada ku, " kamu bilang editan, Lalu sekarang yang kalian lakukan dihadapan ku juga editan, pulang bareng dan entah sudah kesekian kalinya," dengan nada sinis ia mengucapkan kalimat yang semakin membuatku tak menyangka akan tuduhan yang ia sematkan pada kami.
Mas Fatir hendak menjelaskan kembali, namun aku yang lelah dengan kekanakan dirinya langsung mencegatnya,"Tak usah diperjelas lagi Mas Fatir, biarkan lah dia dengan argumen tuduhannya padaku, aku lelah.....hmmm ..... Maaf tapi silahkan Mas pulang, dan terimakasih atas tumpangannya," aku langsung berlalu dan memasuki rumah, dari arah belakang ia ternyata masih mengekori langkah ku, hingga kaki ini melangkah masuk dalam kamar, " masih punya muka masuk dalam kamar ini, sudah selingkuh masih juga tak tau diri," sindirnya dengan nada sinis.
Langkah ku seketika terhenti pas depan pintu kamar pribadi kami, kaki yang terlanjur melewati pintu kamar aku tarik kembali, aku mundur sedikit menjauh dari pintu kamar pribadi kami. Sesaat aku diam dan mulai mengambil napas panjang, " Huf....mau mas apa sekarang?, aku sudah tak tau lagi harus dengan bahasa apa untuk menjelaskan semua salah pahaman yang terjadi antara kita." Balas ku tanpa menoleh ke arahnya, ada rasa sakit yang luar biasa, andai itu luka luar mungkin darahnya sudah mengucur deras, tapi sayang ini adalah luka batin yang tak terukur sakitnya.
"Kamu nanya?" ucapnya dengan menirukan gaya si Alif Cepmek yang viral itu.
Aku menyambut ucapannya dengan nada mulai emosi, "Yah, bahkan aku bertanya-tanya ada apa dengan mu?, bukan kah yang menginginkan pernikahan ini bukan aku, bukan kah yang maksa nyentuh itu kamu, dan bahkan yang di rugikan selama ini itu aku, bahkan kau sendiri yang bilang aku ini hanya sebatas istri nominal, lantas masalahnya apa?"
"Lancang sekali....!, apa itu yang Fatir ajarkan padamu?" bentaknya sekali lagi.
"Mas, dari tadi Mas terus menuduh kami, jika memang bukti yang kamu berikan itu benar adanya, lantas kenapa tidak kau ceraikan saja diri ku, gampang kan?" jawab ku mulai agak meninggi.
"Oh...jadi benar kamu ada hubungan dengan Fatir?, sampai segitu ngebetnya ingin bercerai, udah sangat gatal sekarang karena aku hanya sekali menyentuhmu..?" sindirnya dengan semakin merendahkan diri ku.
"Mas, cukup....!, Aku bilang Cukup...!" tegas ku dan hendak berpaling menjauh darinya, "mau kemana kamu?, jika memang ingin pergi lagi, kenapa gak sekalian kau ambil semua pakaian kamu dan bawa pergi dari rumah ini, aku tak Sudi rumah ini menjadi kotor karena wanita murahan seperti mu,"
Tubuh ku bergetar, bukan karena aku takut pisah darinya tapi ada rasa amarah yang berkecamuk yang aku tak tahan dengannya yang selalu memandang rendah diri ku. "Mas....kau mengusirku?" ku tatap matanya dengan linangan air mata pedih menahan luka, luka yang teramat menyakitkan, luka yang aku tak tau ia akan sembuh atau membekas selamanya.
Ya, mungkin ini yang terbaik, aku memang lebih baik pergi. Mungkin ini bukanlah tempat yang di takdirkan untuk ku, biarlah aku pergi dengan luka, tapi aku pastikan atas semua perbuatan kejinya padaku, Allah pasti akan membalas semuanya. "Mas, selamat kau menang aku yang kalah, carilah wanita yang lebih baik dari ku, aku doakan kamu bahagia dengannya," dengan perasaan tersayat aku memaksakan langkah memasuki kamar yang menjadi saksi kebersamaan kami tiga bulan lamanya.
Aku mulai mengambil semua pakaian yang aku bawa sebelumnya dan sengaja meninggalkan beberapa pakaian yang dia belikan untuk ku. Setelah selesai berkemas aku melangkah keluar dari kamar, di depan kamar rupanya aku bertemu dengan penonton setia drama kami, yang tak lain adalah si ibu mertua yang sedari dulu memiliki impian memisahkan kami berdua.
Aku yakin ia pasti sedang bersorak gembira dalam hati sekarang, secara sedari dulu ini adalah salah satu moment yang ia harapkan terjadi dalam rumah ini.
Aku mendekati dirinya, mengulurkan tangan hendak Salim untuk terakhir kalinya, tapi tak kusangka ia malah menepis tangan ku dan berlalu meninggalkan diri ku dengan senyuman sinis menghiasi sudut bibirnya, bahkan sempat terdengar sayup kalimat jika ia sangat bahagia dengan perpisahan kami.
Aku berdiri sejenak, mengatur napas dan mulai melangkah kembali tanpa menoleh sedikitpun, aku terus melangkah hingga kini aku sudah berada di luar pagar, untung saat ini sudah berhenti hujan, aku berharap mendapatkan taksi segera, tak lama menunggu taksi yang aku harapkan segara muncul, antara senang dan sedih aku menaikkan barang bawaan ku dan aku duduk tepat dibelakang sang supir, aku baru beranikan diri melihat rumah itu untuk terakhir kalinya saat sudah berada dalam kendaraan.
"Kenapa tadi aku sangat lama menunggu taksi dan tak satupun dari 3 taksi yang aku pesan datang menjemput, bahkan aku terjebak dalam situasi yang tak menguntungkan diri ku. Kanapa ya...Tuhan engkau mempermudah perpisahan kami, apa salah ku hingga engkau membiarkan rumah tangga ku hancur seperti ini...?" aku terus bergumam dalam hati hingga sang supir membuyarkan lamunan ku, " Mbak, tujuan mana?, sejak tadi mbak murung, maaf, tapi mba mau kemana?" tanya sang supir terdengar iba pada ku.
"Eh...Maaf...!" aku seketika bingung dengan apa yang harus aku jawabkan pada sang supir taksi, sejenak aku terdiam, otak ku yang sedari tadi lelah, ku paksa kembali berpikir entah kemana tujuan kali ini, aku sebelumnya terlalu emosi hingga tak sadar akan kubawa kemana langkah ini, dan kemana tujuan ku sekarang.
"Mbak...!"
Dengan helaan napas panjang, suara berat terdengar sengau, bukannya menjawab aku justru menangis tak jelas.
Sang supir terpaksa berhenti dan menoleh kearah ku. "Mbak klo boleh saran, di depan ada penginapan harganya terjangkau, akan tetapi dijamin keamanannya, klo mbak mau aku punya kenalan moga aja ada yang kosong,"
"Ya, aku setuju. Terimakasih pak...!" sahut ku tanpa tanggapan lain lagi.
hanya sekitar lima atau tujuh menit kami sudah sampai tepat di depan penginapan tersebut.
Ketika hendak menurunkan barang bawaan ku, aku di kejutkan dengan suara pria yang memanggil nama ku dengan jarak sekitar 10 meter jauhnya, memang samar karena suasana gelap, namun suara itu terdengar sangat familiar.
"kamu" ucap ku dengan dengan ekspresi mengejutkan.
"Jadi si playboy itu mengusir kamu?" tanyanya membangkitkan sakit ku.
"Ngapain masih membuntuti diri ku?, kepo aja terus, kayak mak-mak carlota lorong rumah mas Rayhan." sahut ku sedikit nyindir.
"Gak marah?"
"Ngapain coba harus marah, meskipun kaitannya dengan mu, tapi kejadian hari ini sama sekali bukan karena tuduhan itu,"
"Lalu apa?"
"Aku terlalu lelah, pengen istirahat. Yang jadi masalah ini bukan tentang fisik tapi soal hati."
"Oh"
"Ya, Udah, masuk dan istirahat. Aku tinggal tak jauh dari sini, besok biar aku jemput. Sekalian buat dia meledak." lanjutnya masih dengan gaya biasanya, kelewat santuy.
Sang supir yang baik hati telah memesankan penginapan tersebut untuk diriku, aku sangat berterimakasih walaupun berat tapi hari ini aku bertemu dengan orang baik, itu membuat hati ku sedikit lega.
"Mas, terimakasih."
"Sama-sama, Mbak. Moga tempatnya nyaman buat mbak istirahat malam ini," sahutnya dengan tersenyum pada ku.
Aku pun memasuki kamar penginapan, sampai dalam kamar ternyata lumayan juga, meski kamar sederhana, namun cukup nyaman untuk menjadi tempat istirahat malam ini, setidaknya aku bisa berpikir jernih malam ini.
Aku kini berganti pakaian setelah membersihkan tubuh ku, serasa sangat lengket. Aku memeriksa barang bawaan ku satu persatu dan memasukkan ke dalam lemari dua pintu. Setelah beres aku merebahkan diri di kasur, karena lelah aku pun tertidur dengan pulas.
Ponsel berdering keras, semalam untuk berjaga-jaga dari kesiangan aku sempat membuat alarm, untung saja..., kalua ngak pasti aku dah terlambat bangun sekarang. Nada dering yang aku pilih lumayan berisik alhasil membuat ku terbangun dari mimpi indah ku semalam. Mimpi bertemu dengan Almarhum papa dan mama, bisa jadi mereka juga merasakan kesedihan diri ku hingga aku terbawa mimpi olehnya.
Masih muka bantal ku raih ponsel itu, lalu aku matikan segera, aku langsung bergegas bangkit dan bersiap-siap menuju kantor, tentu saja untuk hari ini tak ada menu sarapan.
Aku keluar dari kamar dan langsung mengunci pintu kamar tersebut, hari ini memang belum terpikirkan planning selanjutnya, tapi aku sedang mengatur rencana mencari hunian sewa bulanan, semoga aku bertemu dengan kamar kost terjangkau setidaknya sesuai dengan gaji bulan ditambah pengeluaran harian ku.
Kini aku tak lagi menggunakan taksi menuju kantor, aku baru sadar jika penginapan yang aku tempati sekarang lumayan strategis, aku memutuskan naik angkot menuju kantor.
Demi menghemat biaya aku wajib mengatur keuangan kembali, seperti sedia kala. Sebenarnya situasinya ini gak asing, aku dulu bahkan lebih melarat dibanding sekarang.
Selama perjalanan aku melirik kesana kemari, mencari tempat kost sekitar. Jika diukur jarak dari kantor dengan daerah penginapan yang aku tempati sekarang ternyata lebih dekat dibandingkan rumah mas Rayhan, aku pun menjadi semangat dan tak melewatkan satu pun rumah penginapan ataupun rumah kost.
Karena fokus memperhatikan penginapan sepanjang jalan, aku sampai lewat beberapa meter dari tempat pemberhentian menuju kantor.
"Hampir saja," lirih ku sedikit cemas.
"Mangkanya jadi orang jangan kebanyakan ngelamun, aku panggil sepanjang jalan kamu malah keasikan lihat rumah sepanjang jalan, untung aku sabar, klo ngak udah aku lempar pake batu mobil angkot yang kamu barusan naiki." Ngakak seperti biasa dan berjalan mendahului.
"Pak Fatir bahagia bangat ya hari ini!" sapa Lira rekan satu tim ku.
"Massa," sahut ku sekenanya.
"Iya lah, emang kapan pria itu begitu sembrono kayak tadi, biasanya kan ketus gitu, pa lagi ma kamu, pasti kumat muka judes plus cuek."
"Lagi kesambet setan kali!"
Hahahaha....
Kami pun ngakak bersama, hingga kami lupa jika ada paparazzi yang sedang menyorotkan kamera kearah kami, merekam semua yang barusan kami guyon kan bersama, "Gila Fin, tamat riwayat kita si Opik tuh, kayaknya gawat deh, aku barusan liat kayaknya dia rekam apa yang kita omongin tentang bos barusan," Lira langsung panik dan ngejar bang Opik hingga masuk dalam ruangan kerja yang merupakan ruangan tim kami.
"Mereka kenapa ?" Tanya salah seorang rekan dari Tim lain.
"Gak liat, klo mereka lagi kejar - kejaran, itu tandanya bentar lagi, stok jomblo di kantor kita akan berkurang...!" jawab ku ngasal agak kocak.
" Hahahaha....yang benar aja kamu, klo Meraka di satukan bisa-bisa kita kiamat lebih awal."
"Hahaha...bisa aja sih kamu....!"
Hahahaha....kamipun tertawa bersama dan kembali fokus dengan tumpukan kerjaan dihadapan kami yang tiada habisnya sepanjang masa.
Ditengah fokus dengan kerjaan harian ku, entah ada apa dengan diri ku. Aku tiba-tiba pusing dan penglihatan menjadi gelap, hingga tak sadarkan diri. Mereka bergegas mengantarkan ku ke rumah sakit terdekat, lagi-lagi giliran Lira yang harus mengalah dan menemani ku hingga aku siuman.
Perlahan aku membuka mata, ku dapati ruangan kosong dan ketika hendak bangun aku baru sadar jika tangan kiri ku sedang terpasang infus. "Aku kenapa kok bisa masuk Rumah Sakit, biasa aku gak pernah seperti ini sebelumnya, baru kali ini aku merasa sangat lelah," lirih ku, berharap ada seseorang yang akan menemui ku segera mungkin.
Dalam kondisi pasrah, akhirnya pintu kamar di buka oleh seseorang, siapa lagi klo bukan Lira, tapi yang aku heran kok pria yang dibelakang dirinya seperti nya sangat familiar, ternyata mas Fatir ikut mengantarkan diri ku.
"Lira' mahkluk kutub itu ngapain disini?" tanya ku berbisik.
" Di Kutub sedang mencair, bisa jadi karena efek El Nino." jawabnya ngasal dengan lantang, membuat fokus bos kami langsung mengarah pada Lira dengan ucapannya barusan.
"Kamu tuh, ditanya apa jawabnya apa?" oceh ku berusaha mengalihkan pandangan mas Fatir pada kami.
"Apaan sih, emang aku budek, gak tobat ya kamu!, tadi di kantor kamu bilang aku kesambet setan, sekarang kamu bilang aku manusia kutub, serah Lo deh Fin, asal Lo bahagia dan ngak curhat ma tukang taksi."
"Eh....tunggu, dia bilang kamu curhat ma tukang taksi, kok bisa?" Lira' menatapku dengan mengerutkan dahi.
"Jangan dengerin dia, manusia kutub klo mencair yah gitu, suka ngelantur." balasku dan langsung menghindar merebahkan diri.
"Enak aja," sahutnya meski masih fokus dengan layar laptop di pangkuannya
"Aku kenapa ?" tanyaku pada gadis dengar predikat jomblo forever, meski beda 2 tahun lebih tua tapi jangan coba-coba manggil dia kakak, pasti langsung ngamuk persis harimau betina.
"Entah?, tanyain sendiri tuh sama bos, dia yang berurusan dengan dokter yang tanganin kamu.
Mendengar penjelasan yang barusan Lira sampaikan, aku melemparkan tatapan ke arah Mas Fatir, "Mas....aku kenapa?" tanyaku padanya mengulang pertanyaan yang barusan aku tanyakan pada Lira.
Tanpa menjawab ia malah sibuk dan fokus mengetik sesuatu pada ponsel miliknya, tak selang sedetik, ada notif pesan masuk di wa ku, aku pun langsung membukanya, dan alangkah terkejutnya diri ku membaca teks yang mas Fatir kirimkan pada ku.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!