NovelToon NovelToon

Terjerat Pernikahan Sebagai Pengganti

TPSP - Bab 01

“Arshala, tunggu!” pekik sahabatnya dari belakang.

Dia, Arshala Chantara seorang mahasiswi semester lima dengan jurusan Administrasi Bisnis. Awal untuk mencapai kuliah menjadi perjuangan tersendiri untuknya. Terlahir dari keluarga yang berkekurangan menyebabkan Arshala harus hidup berbeda dengan kedua sahabatnya.

Di semester sebelumnya, dia berhasil meraih beasiswa sehingga bisa meringankan beban kedua orang tuanya. Selain itu, dia juga bekerja menjadi tutor privat untuk anak-anak. Melalui relasinya, dia bisa berpenghasilan dari sana. Meskipun, hasilnya tidak besar, Arshala masih bisa menyisihkan uang untuk disimpan.

“Beneran nggak mau ikut? Waktu bakalan cepat berlalu, Arsha. Mari bersenang-senang sejenak, sebelum skripsi datang. Ini aja kita sudah ditanya judul mana judul. Ayolah,” rengek Yaya mengayunkan tangan Arshala.

“Aku nggak bisa ikut, kalian saja nikmati hari ini,” balas Arshala tetap menolaknya.

“Sekali aja, aku yang akan bayar semuanya,” sahut Qira membantu Yaya membujuk Arshala.

“Aku harus buat modul pembelajaran, biar anak didikku lebih mudah memahami materi sekolahnya. Maaf, aku harus balik ke kos. Lain waktu saja, ya.” Arshala melambaikan tangan pada kedua sahabatnya.

Dia tetap menolak ajakan yang entah sudah berapa kali dia dapatkan. Sejak pertama menginjakkan kaki di kampus ini, Arshala sudah berjanji tidak akan main-main menggunakan keringat kedua orang tuanya secara percuma. Tak seharipun, Arshala membuang waktunya sia-sia saja.

Arshala berjalan menyusuri gang menuju kos-kosan yang jaraknya hanya 5 menit dari kampus. Rasa lelahnya harus dikesampingkan, sore ini dia harus bersiap mengajar ke salah satu murid privatnya.

Motivasi Arshala ketika lelah hanyalah dengan memandang foto keluarga yang jauh dari kesempurnaan di layar ponselnya. Lamunannya buyar, ketukan pintu yang terdengar berkali-kali.

Arshala meneguk minum terlebih dahulu sebelum membuka pintu. Dia pikir ini pasti kedua sahabatnya tadi, mereka memang tidak pernah menyerah untuk memaksa Arshala.

“Mohon maaf, cari siapa ya, Pak?” tanya Arshala pada dua pria berbadan besar menggunakan kacamata.

Bukannya menjawab pertanyaannya, salah satu dari mereka memberi isyarat dengan anggukan. Sontak Arshala mengambil langkah ke belakang, namun tindakannya kalah cepat. Seharusnya dia bisa segera menutup pintunya kembali, pria itu sudah menahannya kuat.

Arshala dibawa paksa, pemberontakan yang dia lakukan tak berarti apa-apa bagi kedua pria itu. Ketakutan sudah menjalar ke seluruh tubuhnya, Arshala sudah berada di dalam mobil.

“Kalian siapa? Apa yang akan kalian lakukan?” tanya Arshala dengan suara gemetar.

Pria itu lagi-lagi diam, Arshala tidak bisa bergerak banyak. Tangannya sudah diikat kuat, matanya kini sudah ditutupi oleh kain.

“Lepaskan saya!” pekik Arshala.

“Diam! Sekali lagi kamu berisik, kami akan pastikan kamu tidak akan bisa merasakan hari besok!” bentak pria yang menyetir mobil tersebut.

Selama perjalanan berlangsung, Arshala membungkam bibirnya. Keheningan di dalamnya membuat Arshala membayangkan hal buruk yang mungkin saja akan dialami. Berharap ada seseorang yang membantunya, namun ponselnya saja tidak sempat dia bawa.

“Ibu, Ayah, Arshala takut.”

...***...

Arshala ditarik paksa memasuki sebuah rumah, matanya yang masih tertutup kain hanya bisa merasakan ketakutan serta langkah yang ragu.

Setelah berjalan beberapa detik, Arshala dipaksa duduk. Mereka melepaskan satu per satu ikatan pada Arshala. Mengerjapkan matanya berkali-kali, mencoba menormalkan penglihatannya yang sedikit kabur.

Seorang pria duduk di depannya dengan menyilangkan tangannya serta kakinya menghadap Arshala dengan tersenyum remeh. Arshala terdiam, dia sangat mengenalnya.

Jamel, pria itu tak lain majikan di tempat ibunya bekerja. Sungguh mengejutkan, semua pria itu meninggalkannya berdua saja. Arshala sangat tahu di mana ibunya bekerja. Lalu kenapa di tempat ini dia dibawa dan ada apa dengan tatapan itu?

“Arshala, akhirnya aku bisa melihatmu secara langsung lagi,” ucap Jamel mengedipkan salah satu matanya.

“Mohon maaf, ini sebenarnya ada apa, Pak?” tanya Arshala tanpa basa basi.

“Ayahmu belum menghubungimu? Jika tidak, dia pasti lupa untuk memberitahu kamu,” balas Jamel.

Sudah hampir tiga hari, Arshala malah tidak berhubungan sama sekali dengan ibu maupun ayahnya. Tugas kuliah yang semakin menumpuk, belum lagi jadwalnya bekerja. Pulang hanya sempat untuk beristirahat.

“Ayah tidak mengatakan apapun, Pak. Bahkan, belum menelpon Arsha,” jawab Arshala.

“Mari ikuti saya, kamu akan mengetahui apa yang seharusnya ayahmu katakan.” Jamel jalan duluan menuju suatu ruangan.

Arshala masa ragu, dia hanya beranjak dari duduknya. Kakinya masih di tempat, belum pernah mendatangi rumah Jamel yang satu ini. Terkenal dengan memiliki banyak istri, Arshala tadinya ingin meyakinkan bahwa ini adalah rumah salah satu istrinya yang lain.

Jamel menghentikan langkahnya, menghadap ke arah Arshala yang masih terpaku dengan pikirannya sendiri. Jamel menepuk tangannya sekali, agar Arshala mengikutinya.

Ditengah bimbang yang menyelimuti hatinya, Arshala berjalan tegap penuh ketegangan. Terlanjur melangkah, Arshala benar-benar mengikuti jejak Jamel.

“Masuklah,” titah Jamel memberikan senyumnya.

“Kenapa harus masuk kamar, Pak?” tanya Arshala menyipitkan matanya.

Jamel menghela napasnya kasar, cukup sudah bersabar untuk menahan gejolak yang sejak tadi dia tahan. Jamel menarik lengan Arshala secara paksa untuk memasuki kamar tersebut. Dengan cepat, Jamel mengunci pintunya.

“Pak, saya mohon jangan melakukan hal yang gila. Bukankah Bapak akan mengatakan yang ayah saya akan katakan? Lalu, ini apa maksudnya?” ucap Arshala penuh dengan pertanyaan.

“Jujur, aku sudah lama tergila-gila denganmu, Arshala. Sejak melihatmu yang semakin beranjak dewasa, semuanya tampak menggiurkan. Untuk mendapatkan penolakan untuk menikah, aku harus lakukan ini,” jawab Jamel dengan santainya.

“Satu lagi, aku sudah mendapatkan izin dari ayahmu. Jadi, aku tidak akan sungkan merasakan kenikmatan ini,” lanjut Jamel.

“Istri Bapak sudah tiga, kenapa selalu merasa kurang? Ayah saya tidak mungkin mengizinkan anaknya disentuh oleh pria yang umurnya saja sama dengannya. Lampiaskan saja nafsu Bapak dengan istri-istri Bapak!” ucap Arshala menanggapi Jamel.

Jamel tertawa keras, pria itu benar-benar menakutkan di hadapan Arshala. Dia harus bisa mengeluarkan diri dari neraka ini. Kunci masih di genggaman pria itu.

Jamel mendekatkan dirinya sampai Arshala sudah tidak bisa lagi mengelak. Badannya mencapai dinding, pertahannya memeluk dirinya sendiri. Pandangan mata Jamel sudah dipenuhi dengan aura negatif.

Lehernya merasakan tercekik, tangan besar itu menekannya kuat. “Merendahlah, ayah dan ibumu saja berlutut meminta bantuan padaku. Jangan sok jual mahal. Tadinya aku ingin bermain perlahan, namun wanita sok suci sepertimu harus dihajar dengan kasar!” Jamel mendorongnya, Arshala terjatuh di atas kasur.

Arshala memegangi lehernya, napasnya tercekat hingga dia terbatuk-batuk. Sedangkan Jamel, dia sudah sibuk dengan aktivitasnya membuka pakaiannya.

Arshala merangkak untuk menjauh, usahanya gagal. Kakinya ditarik oleh Jamel, perlawanannya tak berarti apa-apa. Arshala yang berada di bawahnya, hanya bisa menangis sejadi-jadinya.

“Saya mohon, jangan lakukan itu, Pak,” tutur Arshala lirih.

Tepatnya matahari hendak tenggelam, bersamaan itu juga Arshala merasakan rasa sakit tiada terkira. Luruhnya cairan merah dan perih menjadi satu, pria biadab itu merenggut kesucian yang telah dia jaga selama 21 tahun dia hidup.

Arshala, wanita itu tidak pernah membuka matanya. Telinganya hanya mendengar suara aneh yang keluar dari mulut Jamel.

“Aku tidak ingin hidup, aku ingin meninggalkan dunia yang jahat ini,” batin Arshala yang terus merintih kesakitan.

...----------------...

Mohon dukungannya dengan memberi like, komentar, vote, subscribe, dan beri ulasan💜

^^^Salam Hangat^^^

^^^-Cacctuisie-^^^

TPSP - Bab 02

Arshala berjalan tengah malam dengan rambut terurai tanpa alas kaki. Hatinya yang hancur bersamaan hilangnya bagian hidup yang selalu terjaga. Air mata sudah tidak bisa lagi keluar, lukanya sudah menghalanginya.

Mata bengkak dan sembab, jalanan yang sudah sepi. Kakinya sudah lecet-lecet akibat terlalu lama berjalan. Tempat yang sudah dituju di depan mata, Arshala memejamkan matanya. Tangannya telentang, dinginnya malam ini akan menjadi kisah tragis untuknya.

Sedikit lagi, dia akan menjatuhkan dirinya di atas jembatan. Tiba-tiba saja, wajah sang ibu yang selalu memberinya semangat kala dunianya sedang tidak baik-baik saja terlintas dalam pikirannya. 

“Apa balasan paling tepat untuk pria tua itu? Kenapa aku yang harus menyerah? Ibu, aku harus bagaimana?” Audra meringkuk, pening rasa kepalanya seakan-akan sudah penuh muatannya.

“Tidak, aku tidak boleh meninggal seperti ini. Aku akan membalaskannya, meskipun aku harus membayar hutang kedua orang tuaku dengan nyawa. Aku akan membebaskan diriku yang selama ini sudah aku tahan lama,” ucap Arshala membulatkan tekadnya, tangannya terkepal kuat.

Arshala tidak tahu harus ke mana kelanjutan langkahnya. Tiada ojek maupun taksi yang melintas, kebetulan setelah kebejatan pria itu, dia memberi ongkos Arshala untuk pulang.

Tidak, dia tidak akan pulang tanpa melepaskan bebannya. Dia mengingat perkataan sahabatnya, ada suatu tempat yang harus dikunjungi. Sayang sekali, Arshala tidak membawa ponselnya.

Hampir 1 jam berlalu menunggu, akhirnya ada taksi yang melintas dengan kecepatan kencang. Arshala seperti menantang maut, melambaikan tangan sekuatnya. Sopir taksi tersebut menginjak pedal rem mendadak. Arshala berhasil mendapatkannya dengan berbagai negosiasi.

Tibanya di tempat tersebut, Arshala merasa ragu. “Ini hanya sekali, lepaskan semuanya di sini.” Arshala mulai masuk.

Suara dentuman hebat di dalam sana, Arshala baru saja memasukinya sudah menutup telinga. Butuh waktu untuknya bisa berbaur dengan suasananya. Ada beberapa pria yang menawarkan minuman untuk, Arshala yang masih waras pun menolak.

Dia hanya ingin menikmati musik keras itu, semua orang menggerakkan badannya mengikuti irama. Arshala hanya ikut-ikut saja, ada benarnya kata sahabatnya. Akan tetapi, pandangannya terganggu dengan pria yang menarik paksa seorang wanita.

Arshala masih memiliki keberanian, dia menyeka tangan pria yang tak dia kenal itu. Sang pria langsung menoleh, memberi tatapan sinis, dan menepis tangan Arshala.

“Lepaskan dia! Jangan kasar dengan wanita, bicara baik-baik!” ucap Arshala mengeraskan suaranya agar terdengar.

Pria itu tak mendengarkan ucapan Arshala, tetap menarik wanita itu keluar dari sana. Arshala tidak tinggal diam, dalam benaknya hanyalah ketakutan apabila ada wanita lain yang akan sama bernasib miris dengannya. 

Tanpa segan, Arshala menahan lengan pria itu. “Kamu mengenalnya?” tanya pria itu pada wanita yang digenggamannya.

Wanita itu menggelengkan kepalanya. “Jangan ikut campur urusan saya.” Pria itu tetap melangkah.

Emosi Arshala mencuat saat mendengar wanita itu minta dilepaskan. Arshala maju dan menamparnya, meskipun Arshala tak mengenalnya. Kejadian yang menimpanya sangat berpengaruh untuk Arshala.

“Kenapa kamu menamparnya?” ujar wanita itu.

“Dia memaksamu, kamu harus meminta pertolongan. Jangan sampai pria semacam dia merenggut apa yang seharusnya tidak kamu berikan,” balas Arshala.

“Dia Kakakku, dia melarangku bermain di dalam sana. Aku masih belum puas, makanya dia menyeretku,” jelas wanita itu, sontak Arshala terdiam tanpa kata.

Ponsel pria itu berdering, dia meninggalkan Arshala dan adiknya berdua. Tidak berlama-lama dia menerima panggilan singkat, namun bahasanya sangat berat.

“Kita harus cepat ke sana, Cely,” ucapnya terburu-buru.

Wanita itu terpaksa ikut, Arshala hanya bisa mengedipkan matanya berkali-kali. Dia menyesali perbuatannya tanpa bertanya. Niatnya hanya untuk membantu saja, bukan mencampuri permasalahan keluarga orang.

...***...

Dua hari berlalu, Arshala bolos kuliahnya. Pesan dan panggilan dari kedua sahabatnya tak dihiraukannya. Arshala sibuk dengan dirinya sendiri. Menyembuhkan luka hatinya sangatlah sulit, bahkan ayahnya yang katanya memberikan izin pria bejat itu belum menghubunginya.

Arshala tidak butuh penjelasan, tapi setidaknya kepedulian serta tanyakan keadaannya sudah membuat Arshala sedikit merasakan kelegaan. 

“Baiklah, aku sudah putuskan ini. Aku berjanji tidak akan menyesal, ini yang terbaik untukku. Aku tidak ingin mereka kesulitan selalu, aku akan bekerja penuh untuk membayarkan hutang tersebut,” ucap Arshala mantap dengan keinginannya.

Arshala berkemas, dia akan pulang ke rumahnya. Keputusannya sudah bulat, dia tidak bisa melanjutkan kuliahnya. Meskipun, langkahnya berat untuk melepas impiannya. Lulusan sarjana memang akan menjadi kebanggan tersendiri untuk setiap orang.

Jarak rumahnya dari kosan hanya memakan waktu 5 jam. Arshala memesan jasa mobil yang sering mengantar penumpang ke tempatnya. Dia sudah menghubungi ibunya, namun tidak ada balasan sama sekali.

Menjelang malam, Arshala sudah di depan rumah yang sangat sepi. Berkali-kali dia mengetuk pintu, tiada tanda-tanda ibu maupun ayahnya membukanya. 

“Ini pada ke mana? Masa iya sudah tidur?” gumam Arshala.

Arshala menunggu, ada seorang tetangga yang melintas. Wanita paruh baya itu mengatakan bahwa sudah dua hari ini tidak melihat kedua orang tuanya. Tidak ada yang tahu mengenai kepergian mereka, Arshala langsung cemas.

“Apa ini ada kaitannya dengan pria jahat itu? Apa maunya?” rintih Arshala, berkutat dengan ponselnya mencari nama-nama yang bisa dihubungi.

Dua tampak berjalan dari kejauhan, Arshala menyipitkan matanya karena sedikit gelap. Benar saja, kedua orang tuanya datang membawa dua tas ukuran sedang. Ibunya mengambil langkah besar, memeluk erat Arshala.

Kedua mata sembab, Arshala masih bingung dengan keduanya. Pelukan hangat seorang ibu memanglah dibutuhkan Arshala saat ini. Memandang ayahnya dengan sorot wajah kecewa. 

Mereka memasuki rumah tersebut, tanpa basa basi yang panjang. Kedua orang tuanya mendudukkan Arshala. Ibunya membawakan minum untuknya yang datang-datang jauh.

“Ada apa sebenarnya Bu, Pak?” tanya Arshala.

“Sebelumnya, Ibu mau minta maaf, Nak. Ibu benar-benar tidak tahu kemalangan yang menimpamu. Ayahmu bodoh, menyerahkan anaknya hanya untuk mendapat keringanan mengenai hutang kita.” Claudia tertunduk lemah.

“Mungkin ini proses untuk menguatkan mental Arshala yang lemah. Orang susah memang selalu diinjak. Berapa jumlahnya, Yah? Seberapa banyak?” tanya Arshala lagi.

“Jumlahnya 150 juta, Nak. Ayah tidak berdaya, kita sangat membutuhkannya kala itu. Hanya Pak Jamel yang bisa membantu kita,” jawab Juno, ayah Arshala.

“Sebanyak itu untuk apa, Yah?!” sahut Arshala terkejut dengan angkanya

“Ceritanya panjang, Nak. Kecelakaan yang menimpa saudara kita yang mengharuskan operasi secara tiba-tiba. Ayah bingung memikirkan bagaimana caranya mendapatkan uang sebanyak itu. Kamu tahu, pekerjaan Ayah hanya sebagai tukang kebun,” balas Juno menceritakan singkatnya.

“Ayah dan Ibu memiliki pilihan agar kita terbebas dari permasalahan ini. Apa kamu bisa memenuhinya?” lanjut Juno yang terlihat frustasi.

“Jangan bilang aku harus menjadi istri keempat pria itu?” tukas Arshala curiga memperhatikan gerak-gerik kedua orang tuanya ada kesedihan bercampur dengan kekhawatiran.

...----------------...

Mohon dukungannya dengan memberi like, komentar, vote, subscribe, dan beri ulasan💜

^^^Salam Hangat^^^

^^^-Cacctuisie-^^^

TPSP - Bab 03

“Apa, Yah?! Jadi, Arshala mempunyai saudara perempuan dari wanita lain. Sebelumnya Ayah sudah menikah, lalu kenapa nggak kasih tahu Arshala sejak awal? Ibu tahu kalau Ayah sudah pernah menikah?” ucap Arshala tak habis pikir dengan cerita ayahnya.

Arshala bingung harus memberikan ekspresi dan reaksi apa. Mendengarnya saja seperti ketidakmungkinan, selama itu dia tidak mengetahui adanya saudara. Terlebih lagi, kesuciannya harus direnggut lantaran hutang ayahnya untuk membiayai biaya rumah sakit saat saudaranya kecelakaan.

Kecewa untuk kedua kalinya, Arshala yang ingin terlihat tegar pun harus berkali-kali menyeka air matanya. Ini benar-benar tidak adil untuknya. Rasanya meluapkan kemarahan pun tiada merubah apapun yang telah terjadi.

Andai sejak awal tak ada yang ditutupi, Arshala rela tidak melanjutkan pendidikannya untuk berkuliah. Perjuangannya cukup berat, ibunya sampai menjual perhiasan yang dia pakai, dan simpanannya habis untuk membayar biaya kuliahnya. Lebih baik, Arshala bekerja keras setelah lulus sekolah.

“Nak, Ibu dan Ayah minta maaf. Ibu baru tahu saat pulang kalau kamu … kamu harus menyerahkan diri pada Pak Jamel. Kalau bisa, Ibu saja yang menggantikanmu, Nak. Ibu, Ibu sangat terpukul mendengarnya langsung dari lisan ayahmu,” tutur Claudia yang terus menangis tersedu-sedu seraya memegangi dadanya yang semakin menyesakkan.

‘Andai ibu tahu aku akan mengakhiri hidupku hari ini, ibu pasti akan lebih terpukul. Aku akan menyimpannya sendiri saja,’ gumam Arshala dalam hati.

“Jangan menyalahkan diri, Bu. Arshala tadinya juga merutuki nasib menyedihkan ini. Akan tetapi, Arshala sudah putuskan menghentikan langkah untuk menjadi sarjana. Sekarang, katakan Ayah apa yang bisa Arshala lakukan supaya keluarga kita terbebas dari jeratan pria tua itu?” tanya Arshala dengan tegasnya kali ini.

Juno menarik napasnya, ini juga berat untuk dia katakan. Entah berapa kali Arshala harus merelakan dirinya berkorban untuk saudaranya. Namun, Juno yakin ini akan merubah hidup anaknya yang malang ini.

“Lanjutkan saja kuliahmu, Nak. Keputusan yang sebenarnya Ayah tidak ingin kamu melakukannya. Menikahlah dengan suami kakakmu. Tepatnya kemarin, dia menghembuskan napas terakhirnya setelah melahirkan. Bayinya butuh sosok ibu, apa kamu bersedia?” tutur Juno tidak berani menatap Arshala.

Lega memang, Arshala sudah menunggu permintaan semacam apa yang akan ayahnya ucapkan. Dia sangat takut apabila masih berhubungan dengan Jamel. Namun, masalah menikah dengan suami kakaknya? Arshala masih terkejut dengan perkataan ayahnya. Dalam benaknya, kenapa selalu untuk kakaknya?

“Bagaimana denganku? Seberapa banyak lagi menahan sabar, hanya Ibu yang saat ini aku perjuangkan. Jika tidak sebesar itu jumlahnya, aku bisa menolaknya. Aku bisa memeras keringat untuk mencari uang,” batin Arshala.

Dalam diamnya, Arshala dipenuhi dengan tanda tanya yang mengganggu. Niat untuk tidak mengenal pacaran, sekarang dia malah harus menikah dengan pria yang tak dikenal dan parahnya atas dasar paksaan keadaan. 

Arshala benar-benar sibuk dengan pikirannya sendiri. Bagaimana jadinya pernikahan tanpa adanya cinta? Menikah karena anak, apa itu mungkin bisa menjadikan rumah tangganya berhasil? 

Claudia selaku ibunya tak berdaya untuk membela Arshala. Setelah pemakaman kakaknya, permohonan bertubi-tubi dari pihak keluarga sang pria agar adiknya bisa menikah dengan anaknya. Bayi mungil yang kerap kali mengeluarkan suara sedihnya, Claudia juga tidak tega dengannya.

Satu hal yang pasti, Juno benar-benar mengambil kesempatan ini untuk melunasi hutangnya. Arshala tak pernah tahu keegoisan ayahnya. Logikanya juga, bagaimana bisa seorang ayah membiarkan anaknya dilecehkan? Jika Arshala tidak kuat mental, bisa saja di hari yang sama Juno kehilangan kedua anaknya.

“Apa keluarganya benar mau memberikannya lunas, Yah?” tanya Arshala serius.

Juno mengangguk cepat. “Biarkan Arshala memikirkannya, Yah, Bu. Meskipun, pada akhirnya penolakan tidak berarti apa-apa. Arshala izin ke kamar.” Arshala meninggalkan kedua orang tuanya.

...***...

Di lain tempat, rumah megah yang kelihatannya penuh dengan kesempurnaan. Sudah dua hari ini menebarkan hawa kegelapan. Terlebih seorang pria yang merasakan dunianya sedang hancur. Kehilangan istri tercintanya.

Dia, Nahed Jazlin, pewaris keluarganya. Keterpurukannya, membuatnya enggan melakukan apa-apa selain memeluk foto sang istri yang sudah berbeda alam. Air matanya sudah keruh, tersisa mata sembab, dan tatapan datar.

Makanan yang di sampingnya tak tersentuh. Dia sudah seperti orang yang berpuasa, namun tanpa berbuka. Mahanta Jazlin, papanya yang terus mendesaknya untuk menikah dengan segera. Anaknya yang baru lahir itu membutuhkan belaian kasih sayang dari seorang ibu. Menurutnya yang paling tepat yakni Arshala. Itupun terlepas dari hasutan Juno yang sudah membutuhkan uang sebagai balasannya.

“Bagaimana keputusanmu, Nahed? Kasihan anakmu, Mama memang bisa menjaganya. Namun, kamu tidak iba melihatnya harus berjaga tiap malam? Membayar orang tidak menjamin tanggung jawabnya mengurus bayi,” ucap Mahanta yang ikut duduk di pinggir ranjang.

“Sekali tidak, selamanya tidak. Aku juga tidak membutuhkan anak itu. Papa bisa letakkan saja dia ke panti asuhan, aku tidak sudi memegangnya,” timpal Nahed yang tetap kekeh pendiriannya.

Pekerja di rumahnya berlari memasuki kamar Nahed tergopoh-gopoh. “Pak, Maaf Bibi tidak sopan. Ibu jatuh saat membuat susu untuk adik bayi,” ucap Bi Isum.

Sontak Mahanta dan Nahed berlari melihat keadaan Clara. Kejadian ini memang disengaja, ini hanyalah usaha kedua orang tua Nahed supaya anaknya mau menerima perjodohan paksa ini.

Clara terduduk di kursi, sedangkan Bi Isum membersihkan susu yang tumpah di lantai. Masing-masing dari mereka memerankan perannya agar terlihat nyata di pandangan Nahed.

“Ma, apa yang sakit?” tanya Nahed.

“Punggung Mama rasanya kayak mau lepas, Nahed. Kaki Mama juga kayaknya terkilir,” jawab Clara.

“Pa, tolong bawakan cucu mama ke sini. Kasihan dia masih merengek dari tadi. Nasib buruk cucuku, kasihannya tanpa ibu sejak lahir,” lanjut Clara memijat pucuk kakinya.

Nahed mengambil alih pijatan mamanya. Dia belum mengambil hati saat mamanya menyinggung anaknya. Mahanta pergi ke kamar cucu kecilnya, membawanya dihadapan Nahed agar mau melihatnya.

“Sayang, ternyata sudah tidur. Kenapa sangat rewel sekali kamu, Nak? Apa yang membuatmu gelisah?” tutur Clara menggendongnya.

“Lihatlah, dia membutuhkan sosok ibu, Nahed. Mama sangat yakin, kalau istrimu masih ada tidak akan membiarkannya seperti ini. Coba kamu lihat dengan benar, dia sangat mirip dengan istrimu.” Clara memampangkan wajah cucunya pada Nahed yang masih acuh.

“Kalau kamu egois terus, bagaimana Mama bisa tenang? Sampai kapan Mama dan Papa menjalani masa tua melihat anak kamu tanpa ibu. Coba bayangkan, kalau kamu berada di posisinya. Menyakitkan, Nahed,” kata Clara mencoba membuka hati Nahed.

Helaan panjang terdengar melelahkan untuknya. Anak yang menyebabkan kematian ibunya sendiri dalam hati Nahed. Tetapi, menggantikan posisi istrinya juga sulit untuk Nahed. Terlebih lagi, hanya istrinya yang mau mempertahankan kehamilannya meski tahu akan melahirkan anak perempuannya ini.

“Sampai kapan kita akan membahas pernikahan? Bagaimana jika Cilla sedih mengetahui Nahed akan menduakannya? Cukup, buang saja anak ini!” ujar Nahed memegangi kepalanya, berdiri hendak beranjak pergi.

“Nahed! Berhenti atau kamu akan menyesalinya!” bentak Mahanta yang sudah habis kesabarannya.

...------------...

Mohon dukungannya dengan memberi like, komentar, vote, subscribe, dan beri ulasan💜

^^^Salam Hangat^^^

^^^-Cacctuisie-^^^

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!